PENDAHULUAN
Pengaruh system hukum global terhadap system hukum di Indonesia
sejak dari zaman penjajahan hingga dalam perkembangan system hukum di Indonesia, khususnya perkembangan system
Hukum pidana. Kondisi ini sangat mempengaruhi perkembangan peraturan
Perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi sebagai produk
politik hukum di Indonesia. Perundang-undangan yang mengatur tentang korupsi
telah dikacaukan oleh karakter problematik system hukum pidana yang penuh
ketidakpastian bahkan dikendalikan berbagai sub system dari system hukum yang
dipengaruhi oleh system hukum global yang berkembang seperti Civil Law System, Common Law System,
Sosialis Comunis Law System, Muslim Law System dan masih tetap hidup system
Hukum adat serta tradisi yang menjadi budaya hukum masyarakat local termasuk
pengaruh Cina Law System. Pengaruh
yang paling kuat dari system hukum global terhadap sub system hukum pidana
(Hukum Positif) adalah Civil Law System yang
merupakan system hukum pidana warisan Hindia Belanda.
Selanjutnya pada tataran substansi hukum, diperlukan harmonisasi
peraturan perundang-undangan tentan pemberantasan tindak pidana korupsi
meliputi hukum formil dan hukum materiil yang mengakomodir semua bentuk tindak
pidana yang potensial delik korupsi dalam
suatu system hukum pidana dan system peradilan pidana, guna penerapan hukum
yang efektif dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi.
Diperlukan adanya identifikasi dan perubahan terhadap system Hukum
pidana yang masih dominan warisan colonial atau reformasi terhadap system Hukum
pidana khususnya dalam kerangka penegakan tindak pidana korupsi. Dengan legal
spirit system Hukum Indonesia sesuai ground
norm atau staad fundamental norm Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945
melalui kebijakan politik hukum pada RUU KUHP dan KUHAP baru yang aspiratif dan
anti korupsi.
Pada tataran struktur hukum, memberdayakan seluruh potensi penegak
hukum dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi yang memberlakukan azas deffrensiasi fungsional sebagai
sentral dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi sebagai dasar tindakan
represif seperti yang ditetapkan oleh system hukum pidana formal dalam KUHAP
Hukum acara pidana lainnya pada UU tertentu, serta menjadikan azas deffrensiasi fungsional diantara
aparat penegak hukum tindak pidana korupsi sebagai pendekatan fundamentum penerbitan fungsi secara
instansional diantara penegak Hukum yang terkait.
Pengertian
Korupsi
Istilah korupsi berasal dari bahasa latin yaitu “corruptie” atau “corruptus”[1]
selanjutnya kata corruption berasal
dari kata corrumpore (suatu kata
Latin yang tua). Dari bahasa latin inilah yang kemudian diikuti dalam bahasa
Eropa seperti Inggris:corruption,
corrupt; Perancis: corruption; Belanda
Ccorruptie (korruptie). Dalam ensiklopedia Indonesia yaitu gejala bahwa para
pejabat badan-badan Negara menyalahgunakan terjadinya penyuapan, pemalsuan
serta ketidakberesan lainnya.
Pengertian korupsi secara harfiah dapat berupa:
Kejahatan, kebusukan, dapat
disuap, tidak bermoral, kebejatan dan ketidakjujuran.
Perbuatan yang buruk
seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya.
Perbuatan yang kenyataannya
menimbulkan keadaan yang bersifat buruk; - Perilaku yang jahat dan tercela,
atau kebejatan moral; -Penyuapan dan bentuk-bentuk ketidakjujuran; - Sesuatu
yang dikorup, seperti kata yang diubah atau diganti secara tidak tepat dalam
satu kalimat; - Pengaruh-pengaruh yang korup.
Istilah “korupsi” sering kali selalu diikuti dengan istilah kolusi
dan nepotisme yang selalu dikenal dengan singkatan KKN (Korupsi Kolusi dan
Nepotisme). KKN saat ini sudah menjadi masalah dunia, yang harus diberantas dan
dijadikan agenda pemerintahan untuk di tanggulangi secara serius dan mendesak,
sebagai bagian dari program untuk memulihkan kepercayaan rakyat dan dunia
internasional dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi Negara yang
bersangkutan. Transparency International memberikan definisi tentang korupsi sebagai
perbuatan menyalahgunakan kekuasaan dan kepercayaan public untuk kepentingan
pribadi.
Dalam definisi tersebut, terdapat tiga unsur dari pengertian
korupsi, yaitu:
Menyalahgunakan kekuasaan;
Kekuasaan yang
dipercayakan (yaitu baik disektor public maupun disektor swasta), memiliki akses
bisnis atau keuntungan materi;
Keuntungan pribadi (tidak
selalu berarti hanya untuk pribadi orang yang menyalahgunakan kekuasaan, tetapi
juga anggota keluarganya dan teman-temannya).
-Rumusan
Masalah
Korupsi dalam
Konsep KUHAP (Hukum Formal)
Undang-undang dalam arti formil, ialah keputusan pemerintah yang
memperoleh nama undang-undang karena bentuknya, dalam mana ia timbul. Artinya
bahwa hukum formil adalah hukum yang ditetapkan untuk mempertahankan atau
melaksanakan hukum materiil. Hukum dalam
arti formal ini disebut juga hukum acara[3].
Mengingat bahwa tindak pidana korupsi sudah merupakan extra ordinary crime sehingga
penanggulangannya pun diperlukan cara-cara yang luar biasa, sehingga dengan
hanya mengandalkan hukum acara pidana (KUHAP) maka penegakan hukum
terhadap kejahatan korupsi tidak akan efektif. Oleh karena itu,
dalam perundang-undangan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, juga
diatur tentang
beberapa ketentuan acara
yang diperlukan untuk lebih efektifnya penegakan hukum terhadap tindak pidana
korupsi.
Dalam UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU No. 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi beberapa ketentuan tentang acara
pidana terhadap tindak pidana korupsi yaitu antara lain:
Pembuktian terbalik dalam proses peradilan tindak pidana korupsi
Tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara sistematik dan
meluas, pemberantasannya harus dilakukan dengan cara yang khusus, antara lain
dengan cara penerapan “system pembuktian terbalik” yakni pembuktian yang
dibebankan kepada terdakwa. Artinya terdakwa sudah dianggap telah melakukan
tindak podana korupsi kecuali yang bersangkutan mampu membuktikan sebaliknya. Dalam
hal setiap PNS, pegawai BUMN/D atau penyelenggara Negara yang berdasrkan bukti
permulaan mempunyai kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilan atau sumber
pendapatannya, wajib membuktikan sahnya kekayaan yang diperolehnya. Hal ini
diatur dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 Pasal 37 A dan 38 B.
Namun demikian
sebagai konsekuensi dari system pembuktian terbalik tersebut, kepada terdakwa
juga diberikan hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana
korupsi, sehingga dengan demikian tercipta suatu keseimbangan atas pelanggaran
asas praduga tak bersalah (presumption of
innocence) dan menyalahkan diri sendidri (non self incrimination) dengan perlindungan hukum yang wajib
dberikan pada tiap orang.
Peraturan dan
perundang-undangan yang terkait dengan KKN dan bisnis meskipun instrument
hukum telah cukup lengkap, namun dalam
penerapan hukum secara structural dan
praktikal tetap menjadi peluang dan kendala terjadinya bentuk kejahatan dimensi
baru. Kasus-kasus KKN dalam praktik bisnis, yang terjadi selama ini hampir
tidak dapat terdeteksi dan diselesaikan secara yuridis. Peran politik hukum
pidana dalam pembentukan perundang-undangan baru yang memenuhi kebutuhan
perkembangan KKN sangat menentukan. Pasal-pasal hukum dalam KKN dan hukum
bisnis masih terjadi kamuflase yang dikemas sedemikian rupa sehingga dalam
penerapannya terjadi kelemahan bahkan KKN dalam praktik bisnis semakin
meningkat dan kronis endemis.
Perluasan alat bukti
Perluasan alat bukti ini dimaksudkan untuk mendukung system pembuktian
terbalik. Dalam UU No. 20 Tahun 2001 menetapkan perluasan mengenai perolehan
alat bukti yang berupa petunjuk. Menurut paragraph empat penjelasan umum UU No.
20 Tahun 2001 bahwa perluasan mengenai sumber perolehan alat bukti berupa
petunjuk selain yang diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keteranganm
terdakwa (sebagaimana diatur dalam pasal 188 ayat (2) UU. No. 8 Tahun 1981
tentang KUHAP), juga menurut pasal 26 A UU No. 20 Tahun 2001 diperoleh dari
alat bukti lain yang berupa: (1). Alat bukti yang berupa informasi yang
diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optic
atau yang serupa dengan itu, (2). Dokumen, yakni setiap rekaman data atau
informasi yang dapat dilihat, dibaca dan atau didengar yang dapat dikeluarkan
dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas,
benda fisik apa pun selain kertas,
mau[un terekam secara elektronik yang berupa tulisan, suara, gambar, peta,
rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang
-Batasan Masalah
Hukum Pidana Formal Korupsi
Terkait
dengan hukum pidana formil korupsi atau hukum acara pidana yang mengatur
tentang penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, secara umum dibedakan
dengan penanganan tindak pidana khusus
lainnya. Hal ini mengingat bahwa korupsi merupakan extra ordinary crime yang harus didahulukan disbanding tindak
pidana lainnya. Meskipun demikian, terhadap beberapa kejahatan sebagaimana
disebutkan di atas, yang secara yuridis terdapat unsure-unsur tindak pidana
korupsi dan berpotensi merugikan Negara dan perekonomian Negara daam jumlah
yang sangat besar, akan tetapi diatur dalam undang-undang tersendiri,mengalami
perlakuan yang tidak sama dengan tindak pidana korupsi sebagaimana yang diatur
dalam Undang-Undang pemberantasan tindak pidana korupsi. Kondisi ini dapat
memberikan kesimpulan bahwa sebesar apapun upaya pemberantasan korupsi di
Negara ini, perilaku korupsi akan tetap ada dan berkembang dengan modus-modus
lain dengan berbagai tameng terutama, legitimasi oleh asas legalitas.
Pasal 26 UU No. 31
Tahun 1999 yang pada dasarnya hampir sama dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU
No.3 Tahun 1971, yaitu dengan rumusan bahwa: “penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan
hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang
ini.” Ketentuan ini mengisyaratkan bahwa hukum acara pidana yang berlaku
terhadap ketentuan tindak pidana korupsi adalah UU No. 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana atau KUHAP, kecuali ditentukan lain menurut UU tersebut. Hal
ini menunjukan bahwa terdapat hukum acara yang bersifat ganda dalam penanganan
korupsi, yaitu di satu sisi menggunakan KUHAP, dan sisi lain menggunakan Hukum
Acara Pidana Khusus (ius singalare, iusspeciale/Bijzonder strafreht), yang
menyimpang dari ketentuan hukum acara pidana umum ini, dimaksudkan untuk
mempercepat proses peradilan terhadap kasus-kasus korupsi.
Ketentuan Lex
Specialist Menyimpang dari Hukum Acara Pidana
Adapun
ketentuan-ketentuan khusus atau “lex
specialist” yang menyimpang dari hukum acara pidana pada umumnya dalam
proses peradilan tindak pidana korupsi, sesuai dengan UU No. 31 Tahun 1999
adalah sebagai berikut:
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di siding pengadilan dalam
perkara tindak pidana korupsi harus di dahulukan dari perkara lain guna
penyelesaian secepatnya (Pasal 25 UU No.31/1999).
Dalam hal tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, maka
dapat dibentuk tim gabungan di bawah koordinasi Jaksa agung. Yang dimaksud
dengan tindak pidana korupsi yang sulit
pembuktiannya antara lain: tindak pidana korupsi di bidang perbankan,
perpajakan, bidang moneter dan keuangan yang bersifat: a) Bersifat lintas
sektoral; b) dilakukan dengan menggunakan teknologi yang canggih, atau c)
dilakukan oleh tersangka/terdakwa yang berstatus sebagai penyelenggara Negara
sebagaimana diterangkan dalam UU NOo. 28 Tahun 1999 tentang penyelengaraan
Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (Pasal 27 UU
No. 31/1999)
Untuk kepentingan penyidikan, tersangka wjib member keterangan
tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan
harta benda setiap orang atau korporasi yang diketahui dan atau yang di duga
mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang di lakukan tersangka
(Pasal 28 UU No.31/1999)
Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di siding
pengadilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang meminta keterangan
kepada bank tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa. Sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Gubernur Bank Indonesia berkewajiban
untuk memenuhi permintaan tersebut dalam waktu selambat-lambatnya 3 hari kerja,
terhitung sejak dokumen permintaan diterima secara lengkap, kemudian dapat
dilakukan pemblokiran rekening simpanan milik tersangka atau terdakwa yang
diduga hasil korupsi. Kemudian jika diperoleh bukti yang cukup, atas permintaan
penyidik, penuntut umum,atau hakim, bank pada hari itu juga mencabut pemblikiran
(Pasal 29 UU No.31/1999)
-Inti
Permasalahan
Korupsi Sebagai Masalah Budaya
Korupsi adalah penyakahgunaan
kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Hubungan pemberi-penerima jasa di sektor
publik membuka peluang untuk berkorupsi. Namun definisi ini menerima begitu
saja bahwa terdapat perbedaan antara peran umum dan peran pribadi seorang
pelaku. Di kebanyakan masyarakat tidak terdapat perbedaan yang sejelas itu. Di
sektir swasta, kebiasaan memberi hadiah berlaku umum dan juga sangat di hargai,
dan tampaknya lumrah untuk memberi pekerjaan dan kontrak kepada teman atau
keluarga. Pada umumnya tidak ada yang merasa aneh untuk berlaku serupa di
bidang umum. Dalam kenyataannya, bagi kebanyakan orang perbedaan tajam antara
dinia umum dan dunia pribadi merupakan sesuatu yang aneh.
Sekalipun demikian,
penduduk di negara berkembang membuat perbedaan yang jelas antara tingkah laku
apa yang dapat diterima dan ditolak berdasarkan norma budaya mereka sendiri.
Berdasarkan survei formal dan diskusi informal nyata adanya rasa frustasi
mengenai korupsi dan apa yang kelihatannya sebagai toleransi terhadap korupsi
sebenarnya hanya mencerminkan sikayang tidak begitu dihayati oleh umum. Ilmu
ekonomi tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan budaya tetapi dapat membantu
untuk memahami implikasi dari pilihan-pilihan masyarakat. Masyarakat dapat
bertanya pakah kebiasaan budaya telah menjadi beban yang menyukarkan
pertumbuhan ekonomi dan menghambat efisiensi pemerintahan.
Menbedakan antara suap, harga,
hadiah/kado, dan pemberian. Kesulitan dalam membedakan antara pemberian dan
suap berakar pada kesamaan dasrnya. Dalam setiap kasus ini hukum tidak menuntut
adanya suatu manfaat timbal balik. Dengan demikian, si penerima suap tau
pemberian harus emnggunakan cara informal yang lain. Bagian terakhir
menggariskan manfaat dan biaya yang mungkin ada bagi negara-negara berkembang
dan negara-negara yang dalam transisi dari sosialisme negara ke ekonomi pasar.
Peran KUHAP Dalam Penegakan Hukum Terhadap Korupsi
Peran KUHAP terkait dengan tindak
pidana korupsi dalam tulisan ini akan dikaji aspek hukum acara pidana yang berpengaruh pada struktur
hukum dalam proses system hukum pidana dan penerapan system peradilan pidana
mulai tahap penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan, yaitu sebagai
berikut:
Tahap
Penyidikan
Penyidikan
merupakan salah satu tahap dalam proses penegakan hukum pidana dan merupakan
tahap awal dalam criminal justice system
(system peradilan pidana). Oleh karena itu, proses penyidikan ini menjadi
sentral dan merupakan tahap kunci dalam upaya penegakan aturan-aturan pidana
terhadap berbagai peristiwa pidana konkret yang terjadi.
Sebagaimana telah
dijelaskan sub bab sebelumnya bahwa tindak pidana korupsi yang merupakan extra ordinary crime memiliki
kompleksitas yang lebih rumit dibandingkan dengan tindak pidana konvensional
atau bahkan tindak pidana khusus lainnya. Khususnya dalam tahap penyidikan,
tindak pidana korupsi ini, terdapat beberapa intitusi penyidik yang berwenang
menangani proses penyidikan terhadap pelaku tindak pidana yang terkait dengan
tindak pidana korupsi ini.
Sebagaimana dirumuskan
dalam Pasal 27 UU No. 31 Tahun 1999 bahwa: Dalam hal tindak pidana korupsi yang
sulit pembuktiannya, maka dapat dibentuk tim gabungan dibawah koordinasi Jaksa
Agung, Ketentuan ini menunjukan bahwa dalam penegakan hukum terhadap tindak
pidana korupsi maka institusi yang dikedepankan adalah Kejaksaan Agung. Dengan
demikian selain Polri selaku penyidik yang diberikan kewenangan berdasarkan
Pasal 6 dan 7 KUHAP, maka kejaksaan pun diberikan kewenangan untuk melakukan
penyidikan terhadap tindak pidana korupsi.
Selain kepolisian dan
kejaksaan, institusi yang juga mempunyai tugas melakukan penyidikan dalam
tindak pidana korupsi adalah Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK)
sebagaimana diatur dalam Pasal 6 huruf UU No. 30 Tahun 2002 bahwa: Komisi
pemberantasan Tindak Pidana Korupsi melakukan penyelidikan, penyidikan dan
penuntuatan terhadap tindak pidana korupsi; bahkan KPK kewenangan juga
mengambil alih penyidikan atau penuntutan tethadap pelaku tidak pidana korupsi
yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan, dalam hal terdapat alasan
hukum sebagaimana dijelaskan dalam pasal 9 UU No. 30 Tahun 2002.
Tahap Penuntutan
Tahap
kedua dalam proses peradilan pidana setelah proses penyidikan dinyatakan
lengkap adalah proses penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum. Peran kejaksaan
dalam proses peradilan pidana pidana dimulai sejak penyidikan terhadap suatu
tindak pidana diberitahukan oleh pihak penyidik kepada pihak kejaksaan bahwa
terhadap suatu tindak pidana telah dimulai penyidikannya dengan Surat
Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP). Sejak diterimanya SPDP tersebut,
pihak Kejaksaan menuntut Jaksa Penuntut Umum dengan surat P-16 untuk mengikuti
jalannya proses penyidikan. Proses koordinasi antara penyidik dengan Jaksa
Penuntut Umum kemudian dilakukan secara intensif dengan maksud agar hasil dari
penyidikan tersebut memenuhi persyaratan yuridis untuk dapat dilanjutkan ke
proses penuntutan dalam Persidngan di Pengadialan. Jaksa penuntut umum
mempunyai kewenangan untuk memberikan petunjuk-petunjuk kepada penyidik untuk
melengkapi Berkas Perkara penyidikan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 138
dan Pasal 139 KUHAP. Menurut Pasal 140 ayat (1) KUHAP bahwa hal dalam penuntut
umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia
dalam waktu secepatnya membuar surat dakwaan.
Tahap
Pemeriksaan di Pengadilan
Peradilan adalah slah satu pelaksanaan hukum dalam hal terjadi
tuntutan hak yang konkret melalui suatu putusan yang dijatuhkan oleh suatu
lembaga yang mandiri, bebas yang tidak dipengaruhi oleh lembaga di luar lembaga itu sendiri.Ilmu Hukum peradilan
disebut juga Art Boni et Aequi (seni
yang baik dan patuh). Jadi hakim tidak semata-mata mendasrkan pada ilmu atau
ketentuan hukum yang berlaku saja, akan tetapi didorong pada hati nurani.
Putusan hakim yang ideal tersebut adalah kepastian hukum, yang merupakan
perlindungan yustisable terhadap
tindakan sewenang-wenang. Yang artinya berarti bahwa seseorang akan dapat
memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Hukum harus
ditegakan, itulah harapan masyarkat yaitu adalah kepastian hukum. Kaitannya
dengan kejahatan korupsi maka masyarakat
menghendaki semua koruptor itu dihukum seberat-beratnya setidaknya
setimpal dengan perbuatannya, dengan maksud agar menimbulkan efek jera bagi
pelaku efek jera yang mencegah orang lain melakukan tindak pidana serupa.
Hukum adalah untuk
melindungi kepentingan manusia, sehingga penegakan hukum harus memberi manfaat bagi masyarakat, dan
tidak menimbulkan keresahan dalam masyarakat, dan tidak menimbulkan keresahan
dalam masyarakat Penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi sangat
bermanfaat untuk mengembalikan kerugian Negara yang sangat besar. Mengingat
korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang berdampak sangat buruk bagi
kelangsungan perekonomian Negara.
Tantangan ke depan
dalam aspek struktur hukum dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi adalah
tergantung bagaimana menyikapi 2 permasalahan besar yang aktual sebagai
tantangan yang harus dihadapi dengan perkiraan “learning from the future” yang cermat. Kedua tantangan sebagai
permaslahan besar yang harus disikapi ke depan sebagai berikut:
Menurut Alvin Toffler, Tahun 1980, membuat permintaan tentang zaman
yang di sebut “the third wafe” yaitu
(1) gelombang masyarakat agrarian, (2) gelombang masyarakat industry, dan (3)
gelombang kompetensisasi ditandai dengan ditemukannya chip computer, mengikuti
Nolan Alvintotter, Tahun 1955 melalui buku “the fourthwave” yaitu terjadi
globalisasi dalam segala aspek kehidupan manusia antara lain: teknologi,
budaya, ekonomi, politik dan tentunya hukum dalam kurung waktu 400-500 tahun
terakhir.
Terjadi perubahan dan peradaban “system kehidupan” di masyarakat
luas, termasuk perubahan peradaban system hukum yang berkembang dengan pesat
seiring dengan gelombang peradaban manusia yang dituturkan dalam the fourth
wave diatas seperti system hukum pidana yang berlaku saat ini, kondisinya
banyak peraturan perundang-undangan yang telah dibuat tetapi nilai-nilai dasar
yang berkembang masih dengan system lama, misalnya KUHP dan dalam beracara
pidana sesuai KUHAP banyak diwarnai pemikiran kodifikasi hukum warisan Belanda.
Pola tindak dan alam piker (mind set)
pada pejabat birokrasi eksekutif, legislative, yudikatif termasuk polri, jaksa,
hakim, dan masyarakat hukum masih tetap seperti zaman colonial, atau
berperilaku amtenar. Misalnya, dalam budaya kreasi bisnis Jepang dengan cepat
mengembangkan teknologi interusi, computer dan automotif yang bersifat
heroik.
-Penyelesaian
Masalah
KPK Sebagai Solusi Permasalahan
Tindak Pidana Korupsi
Bergulirnya
kekuasaan dari Presiden Soeharto sampai kepada kekuasaan Presiden Megawati
Soekarnoputri nyatanya tidak menghasilkan suatu eliminasi dari perbuatan
korupsi. Bahkan semakin deras saja pendapat bahwa sekarang ini dengan
bergulirnya kekuasaan semakin bergulir pula korupsi kekuasaan (power corruption), dan hal ini tambah
semakin buruknya system dalam menanggulangi korupsi. Memang telah dihasilkan
beberapa produk hukum sebagai pendukung pemberantasan korupsi, seperti UU No.
28 Tahun 1999 tentang pemberantasan KKN, UU No. 31 Tahun 1999 tentang perubahan
terhadap UU No. 31 Tahun 1971 tentana pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
maupun perubahan terakhir melalui UU. No. 21 Tahun 2000, tetapi ternyata semua
belum memberikan hasil yang memuaskan bagi masyarakat, apalagi masyarakat telah
ragu dengan semangat penegakan hukum (pemberantasan korupsi) yang dilakukan
oleh aparatur penegak hukum yang memiliki kewenangan tersebut, khususnya
institusi kepolisian dan kejaksaan.
Kendala
pemberantasan korupsi ini bukan tidak dipahami kalangan akademisi maupun
praktisi hukum saja, masyarakat pun menyadari kesulitan-kesulitan empiris
koruptif itu. Semangat pemberantasan korupsi ini didasari oleh pemerhati hukum
kenamaan, yaitu Prof. Dr. Baharuddin Lopa, S.H. yang kemudian sempat menjabat
Menteri Kehakiman R.I. dan Jaksa Agung R.I
Secara tidak
langsung, cikal bakal adanya Komisi Pemberantasan Korupsi ini berasal dari buah
pemikiran Prof. Dr. Andi Hamzah, S.H. dan ternyata ide ini diterima oleh Prof.
Baharuddin Lopa sewaktu beliau menghendaki diterapkan system pembalikan beban
pembuktian dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Dengan adanya system
pebalikan beban pembuktian ini, maka setiap gratifikasi yang nilainya diatas
Rp. 10 juta rupiah wajib diberitahukan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi
sebagaimana diatur dalam UU. No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan Ata s
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
teratnggal 21 November 2001.
Kewenangan KPK
sangat luas karena memang kehendak mendidrikan Komisi diarahkan sebagai suatu
super body atau indepedence’ state institution heavy, karenanya berdasarkan
pasal 6 tugas KPK adalah:
Koordinasi dengan intansi yang berwenang (intitusi yang berwenang
termasuk Badan Pemeriksaan keuangan dan Pembangunan, Komisi Pemeriksaan
Kekayaan Penyelenggara Negara, inspektorat pada Departemen) melakukan tindak
pidana korupsi,
Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakuakan pemberantasan
tindak pidana korupsi,
Melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak
pidana korupsi,
Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi,
Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan Negara
KESIMPULAN
Tindak Pidana Korupsi di Indonesia sudah sangat merajalela dan membudidaya di Indonesia bahkan Indonesia salah satu Negara yang terkorup di Asia,
Tinda Pidana Korupsi adalah pebuatan
yang sangat buruk, dan merugikan perekonomian Negara selain menyalahgunakan
kekuasaan dan kepercayaan public korupsi juga hanya menguntungkan diri sendiri.
Peran KUHAP dalam tidak pidana korupsi sangat berpengaruh seperti
dikutip Pasal 188 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP, lalu harus ada kekuatan pemerintah tertinggi dalam hal ini presiden
bersama-sama DPR, DPD dengan susatu keberanian moral dan konsistensi Hukum
dengan merespon bahwa korupsi merupakan bahaya nyata bahkan laten yang dapat
meruntuhkan sendi-sendi kehidupan bangsa terutama TIPIKOR, yang bersifat sebagai
kejahatan luar biasa atau extra ordinary
crime.
Diperlukan adanya pembentukan
extra ordinary crime atau prosedur yang luar biasa dengan pembentukan
komosi khusus gabungan yang melibatkan pengawasan semua unsure terkait serta
upaya penegakan Hukum terhadap tindak pidana korupsi, yang integrated, dengan
pendekatan system atau “systemic approach”, menyatukan interpretasi Hukum visi,
misi dan persepsi dalam pemberantasan TIPIKOR.
PENUTUP, KRITIK, DAN SARAN
Demikianlah makalah Peran KUHAP Dalam Tindak Pidana Korupsi yang
telah banyak membahas Seputar TIPIKOR. Penulis menyadari bahwa tulisan ini
masih jauh dari sempurna, akan tetapi dengan segala kerendahan hati dan
keterbasan serta kekurangan itu, Berdasarkan penulisan ini juga penulis
menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan di dalamnya. Untuk itu,
penulis harapkan krirtik dan saran dari berbagai pihak.
DAFTAR PUSAKA
Dr.
Drs. IGM Nurdjana, SH, M.Hum,Sistem Hukum
Pidana dan Bahaya Laten Korupsi
Prof.
Dr. Indriyanto Seno Adji, SH. MH, Korupsi
dan Penegakan Hukum
DR.
Andi Hamzah, SH, KUHP&KUHAP Edisi
Revisi 2008
Susan Rose- Ackerman, Korupsi dan pemerintahan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar