Rabu, 02 Mei 2012

TINDAK PIDANA KORUPSI

 PENDAHULUAN
Pengaruh system hukum global terhadap system hukum di Indonesia sejak dari zaman penjajahan hingga dalam perkembangan system hukum di  Indonesia, khususnya perkembangan system Hukum pidana. Kondisi ini sangat mempengaruhi perkembangan peraturan Perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi sebagai produk politik hukum di Indonesia. Perundang-undangan yang mengatur tentang korupsi telah dikacaukan oleh karakter problematik system hukum pidana yang penuh ketidakpastian bahkan dikendalikan berbagai sub system dari system hukum yang dipengaruhi oleh system hukum global yang berkembang seperti Civil Law System, Common Law System, Sosialis Comunis Law System, Muslim Law System dan masih tetap hidup system Hukum adat serta tradisi yang menjadi budaya hukum masyarakat local termasuk pengaruh Cina Law System. Pengaruh yang paling kuat dari system hukum global terhadap sub system hukum pidana (Hukum Positif) adalah Civil Law System yang merupakan system hukum pidana warisan Hindia Belanda.
Selanjutnya pada tataran substansi hukum, diperlukan harmonisasi peraturan perundang-undangan tentan pemberantasan tindak pidana korupsi meliputi hukum formil dan hukum materiil yang mengakomodir semua bentuk tindak pidana yang potensial delik korupsi dalam suatu system hukum pidana dan system peradilan pidana, guna penerapan hukum yang efektif dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi.
Diperlukan adanya identifikasi dan perubahan terhadap system Hukum pidana yang masih dominan warisan colonial atau reformasi terhadap system Hukum pidana khususnya dalam kerangka penegakan tindak pidana korupsi. Dengan legal spirit system Hukum Indonesia sesuai ground norm atau staad fundamental norm  Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 melalui kebijakan politik hukum pada RUU KUHP dan KUHAP baru yang aspiratif dan anti korupsi.
Pada tataran struktur hukum, memberdayakan seluruh potensi penegak hukum dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi yang memberlakukan azas deffrensiasi fungsional sebagai sentral dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi sebagai dasar tindakan represif seperti yang ditetapkan oleh system hukum pidana formal dalam KUHAP Hukum acara pidana lainnya pada UU tertentu, serta menjadikan azas deffrensiasi fungsional diantara aparat penegak hukum tindak pidana korupsi sebagai pendekatan fundamentum penerbitan fungsi secara instansional diantara penegak Hukum yang terkait.
Pengertian Korupsi
Istilah korupsi berasal dari bahasa latin yaitu “corruptie” atau “corruptus”[1] selanjutnya kata corruption berasal dari kata corrumpore (suatu kata Latin yang tua). Dari bahasa latin inilah yang kemudian diikuti dalam bahasa Eropa seperti Inggris:corruption, corrupt; Perancis: corruption; Belanda Ccorruptie (korruptie). Dalam ensiklopedia Indonesia yaitu gejala bahwa para pejabat badan-badan Negara menyalahgunakan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya.
Pengertian korupsi secara harfiah dapat berupa:
  Kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan dan ketidakjujuran.
  Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya.
  Perbuatan yang kenyataannya menimbulkan keadaan yang bersifat buruk; - Perilaku yang jahat dan tercela, atau kebejatan moral; -Penyuapan dan bentuk-bentuk ketidakjujuran; - Sesuatu yang dikorup, seperti kata yang diubah atau diganti secara tidak tepat dalam satu kalimat; - Pengaruh-pengaruh yang korup.
Istilah “korupsi” sering kali selalu diikuti dengan istilah kolusi dan nepotisme yang selalu dikenal dengan singkatan KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme). KKN saat ini sudah menjadi masalah dunia, yang harus diberantas dan dijadikan agenda pemerintahan untuk di tanggulangi secara serius dan mendesak, sebagai bagian dari program untuk memulihkan kepercayaan rakyat dan dunia internasional dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi Negara yang bersangkutan. Transparency International  memberikan definisi tentang korupsi sebagai perbuatan menyalahgunakan kekuasaan dan kepercayaan public untuk kepentingan pribadi.

Dalam definisi tersebut, terdapat tiga unsur dari pengertian korupsi, yaitu:
   Menyalahgunakan kekuasaan;
   Kekuasaan yang dipercayakan (yaitu baik disektor public maupun disektor swasta), memiliki akses bisnis atau keuntungan materi;
  Keuntungan pribadi (tidak selalu berarti hanya untuk pribadi orang yang menyalahgunakan kekuasaan, tetapi juga anggota keluarganya dan teman-temannya).
-Rumusan Masalah
Korupsi dalam Konsep KUHAP (Hukum Formal)

Undang-undang dalam arti formil, ialah keputusan pemerintah yang memperoleh nama undang-undang karena bentuknya, dalam mana ia timbul. Artinya bahwa hukum formil adalah hukum yang ditetapkan untuk mempertahankan atau melaksanakan hukum  materiil. Hukum dalam arti formal ini disebut juga hukum  acara[3].
            Mengingat bahwa tindak pidana korupsi sudah merupakan extra ordinary crime sehingga penanggulangannya pun diperlukan cara-cara yang luar biasa, sehingga dengan hanya mengandalkan hukum acara pidana (KUHAP) maka penegakan hukum 
terhadap kejahatan korupsi tidak akan efektif. Oleh karena itu, dalam perundang-undangan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, juga diatur tentang                                     
 beberapa ketentuan acara yang diperlukan untuk lebih efektifnya penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi.
Dalam UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi beberapa ketentuan tentang acara pidana terhadap tindak pidana korupsi yaitu antara lain:
Pembuktian terbalik dalam proses peradilan tindak pidana korupsi
Tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara sistematik dan meluas, pemberantasannya harus dilakukan dengan cara yang khusus, antara lain dengan cara penerapan “system pembuktian terbalik” yakni pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa. Artinya terdakwa sudah dianggap telah melakukan tindak podana korupsi kecuali yang bersangkutan mampu membuktikan sebaliknya. Dalam hal setiap PNS, pegawai BUMN/D atau penyelenggara Negara yang berdasrkan bukti permulaan mempunyai kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilan atau sumber pendapatannya, wajib membuktikan sahnya kekayaan yang diperolehnya. Hal ini diatur dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 Pasal 37 A dan 38 B.

            Namun demikian sebagai konsekuensi dari system pembuktian terbalik tersebut, kepada terdakwa juga diberikan hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, sehingga dengan demikian tercipta suatu keseimbangan atas pelanggaran asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) dan menyalahkan diri sendidri (non self incrimination) dengan perlindungan hukum yang wajib dberikan pada tiap orang.
            Peraturan dan perundang-undangan yang terkait dengan KKN dan bisnis meskipun instrument hukum  telah cukup lengkap, namun dalam penerapan hukum  secara structural dan praktikal tetap menjadi peluang dan kendala terjadinya bentuk kejahatan dimensi baru. Kasus-kasus KKN dalam praktik bisnis, yang terjadi selama ini hampir tidak dapat terdeteksi dan diselesaikan secara yuridis. Peran politik hukum pidana dalam pembentukan perundang-undangan baru yang memenuhi kebutuhan perkembangan KKN sangat menentukan. Pasal-pasal hukum dalam KKN dan hukum bisnis masih terjadi kamuflase yang dikemas sedemikian rupa sehingga dalam penerapannya terjadi kelemahan bahkan KKN dalam praktik bisnis semakin meningkat dan kronis endemis.

Perluasan alat bukti
Perluasan alat bukti ini dimaksudkan untuk mendukung system pembuktian terbalik. Dalam UU No. 20 Tahun 2001 menetapkan perluasan mengenai perolehan alat bukti yang berupa petunjuk. Menurut paragraph empat penjelasan umum UU No. 20 Tahun 2001 bahwa perluasan mengenai sumber perolehan alat bukti berupa petunjuk selain yang diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keteranganm terdakwa (sebagaimana diatur dalam pasal 188 ayat (2) UU. No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP), juga menurut pasal 26 A UU No. 20 Tahun 2001 diperoleh dari alat bukti lain yang berupa: (1). Alat bukti yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optic atau yang serupa dengan itu, (2). Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik  apa pun selain kertas, mau[un terekam secara elektronik yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang
    -Batasan Masalah
      Hukum Pidana Formal Korupsi
            Terkait dengan hukum pidana formil korupsi atau hukum acara pidana yang mengatur tentang penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, secara umum dibedakan dengan penanganan  tindak pidana khusus lainnya. Hal ini mengingat bahwa korupsi merupakan extra ordinary crime yang harus didahulukan disbanding tindak pidana lainnya. Meskipun demikian, terhadap beberapa kejahatan sebagaimana disebutkan di atas, yang secara yuridis terdapat unsure-unsur tindak pidana korupsi dan berpotensi merugikan Negara dan perekonomian Negara daam jumlah yang sangat besar, akan tetapi diatur dalam undang-undang tersendiri,mengalami perlakuan yang tidak sama dengan tindak pidana korupsi sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang pemberantasan tindak pidana korupsi. Kondisi ini dapat memberikan kesimpulan bahwa sebesar apapun upaya pemberantasan korupsi di Negara ini, perilaku korupsi akan tetap ada dan berkembang dengan modus-modus lain dengan berbagai tameng terutama, legitimasi oleh asas legalitas.
            Pasal 26 UU No. 31 Tahun 1999 yang pada dasarnya hampir sama dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU No.3 Tahun 1971, yaitu dengan rumusan bahwa: “penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini.” Ketentuan ini mengisyaratkan bahwa hukum acara pidana yang berlaku terhadap ketentuan tindak pidana korupsi adalah UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau KUHAP, kecuali ditentukan lain menurut UU tersebut. Hal ini menunjukan bahwa terdapat hukum acara yang bersifat ganda dalam penanganan korupsi, yaitu di satu sisi menggunakan KUHAP, dan sisi lain menggunakan Hukum Acara Pidana Khusus (ius singalare, iusspeciale/Bijzonder strafreht), yang menyimpang dari ketentuan hukum acara pidana umum ini, dimaksudkan untuk mempercepat proses peradilan terhadap kasus-kasus korupsi.
Ketentuan Lex Specialist Menyimpang dari Hukum Acara Pidana
            Adapun ketentuan-ketentuan khusus atau “lex specialist” yang menyimpang dari hukum acara pidana pada umumnya dalam proses peradilan tindak pidana korupsi, sesuai dengan UU No. 31 Tahun 1999 adalah sebagai berikut:
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di siding pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi harus di dahulukan dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya (Pasal 25 UU No.31/1999).
Dalam hal tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, maka dapat dibentuk tim gabungan di bawah koordinasi Jaksa agung. Yang dimaksud dengan tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya antara lain: tindak pidana korupsi di bidang perbankan, perpajakan, bidang moneter dan keuangan yang bersifat: a) Bersifat lintas sektoral; b) dilakukan dengan menggunakan teknologi yang canggih, atau c) dilakukan oleh tersangka/terdakwa yang berstatus sebagai penyelenggara Negara sebagaimana diterangkan dalam UU NOo. 28 Tahun 1999 tentang penyelengaraan Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (Pasal 27 UU No. 31/1999)
Untuk kepentingan penyidikan, tersangka wjib member keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diketahui dan atau yang di duga mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang di lakukan tersangka (Pasal 28 UU No.31/1999)
Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di siding pengadilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang meminta keterangan kepada bank tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa. Sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Gubernur Bank Indonesia berkewajiban untuk memenuhi permintaan tersebut dalam waktu selambat-lambatnya 3 hari kerja, terhitung sejak dokumen permintaan diterima secara lengkap, kemudian dapat dilakukan pemblokiran rekening simpanan milik tersangka atau terdakwa yang diduga hasil korupsi. Kemudian jika diperoleh bukti yang cukup, atas permintaan penyidik, penuntut umum,atau hakim, bank pada hari itu juga mencabut pemblikiran (Pasal 29 UU No.31/1999)

-Inti Permasalahan
Korupsi Sebagai Masalah Budaya
            Korupsi adalah penyakahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Hubungan pemberi-penerima jasa di sektor publik membuka peluang untuk berkorupsi. Namun definisi ini menerima begitu saja bahwa terdapat perbedaan antara peran umum dan peran pribadi seorang pelaku. Di kebanyakan masyarakat tidak terdapat perbedaan yang sejelas itu. Di sektir swasta, kebiasaan memberi hadiah berlaku umum dan juga sangat di hargai, dan tampaknya lumrah untuk memberi pekerjaan dan kontrak kepada teman atau keluarga. Pada umumnya tidak ada yang merasa aneh untuk berlaku serupa di bidang umum. Dalam kenyataannya, bagi kebanyakan orang perbedaan tajam antara dinia umum dan dunia pribadi merupakan sesuatu yang aneh.
Sekalipun demikian, penduduk di negara berkembang membuat perbedaan yang jelas antara tingkah laku apa yang dapat diterima dan ditolak berdasarkan norma budaya mereka sendiri. Berdasarkan survei formal dan diskusi informal nyata adanya rasa frustasi mengenai korupsi dan apa yang kelihatannya sebagai toleransi terhadap korupsi sebenarnya hanya mencerminkan sikayang tidak begitu dihayati oleh umum. Ilmu ekonomi tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan budaya tetapi dapat membantu untuk memahami implikasi dari pilihan-pilihan masyarakat. Masyarakat dapat bertanya pakah kebiasaan budaya telah menjadi beban yang menyukarkan pertumbuhan ekonomi dan menghambat efisiensi pemerintahan.
            Menbedakan antara suap, harga, hadiah/kado, dan pemberian. Kesulitan dalam membedakan antara pemberian dan suap berakar pada kesamaan dasrnya. Dalam setiap kasus ini hukum tidak menuntut adanya suatu manfaat timbal balik. Dengan demikian, si penerima suap tau pemberian harus emnggunakan cara informal yang lain. Bagian terakhir menggariskan manfaat dan biaya yang mungkin ada bagi negara-negara berkembang dan negara-negara yang dalam transisi dari sosialisme negara ke ekonomi pasar.

            Peran  KUHAP Dalam Penegakan Hukum Terhadap Korupsi
                Peran KUHAP terkait dengan tindak pidana korupsi dalam tulisan ini akan dikaji aspek hukum  acara pidana yang berpengaruh pada struktur hukum  dalam proses system hukum  pidana dan penerapan system peradilan pidana mulai tahap penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan, yaitu sebagai berikut:
Tahap Penyidikan
    Penyidikan merupakan salah satu tahap dalam proses penegakan hukum pidana dan merupakan tahap awal dalam criminal justice system (system peradilan pidana). Oleh karena itu, proses penyidikan ini menjadi sentral dan merupakan tahap kunci dalam upaya penegakan aturan-aturan pidana terhadap berbagai peristiwa pidana konkret yang terjadi.
     Sebagaimana telah dijelaskan sub bab sebelumnya bahwa tindak pidana korupsi yang merupakan extra ordinary crime memiliki kompleksitas yang lebih rumit dibandingkan dengan tindak pidana konvensional atau bahkan tindak pidana khusus lainnya. Khususnya dalam tahap penyidikan, tindak pidana korupsi ini, terdapat beberapa intitusi penyidik yang berwenang menangani proses penyidikan terhadap pelaku tindak pidana yang terkait dengan tindak pidana korupsi ini.
      Sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 27 UU No. 31 Tahun 1999 bahwa: Dalam hal tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, maka dapat dibentuk tim gabungan dibawah koordinasi Jaksa Agung, Ketentuan ini menunjukan bahwa dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi maka institusi yang dikedepankan adalah Kejaksaan Agung. Dengan demikian selain Polri selaku penyidik yang diberikan kewenangan berdasarkan Pasal 6 dan 7 KUHAP, maka kejaksaan pun diberikan kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi.

       Selain kepolisian dan kejaksaan, institusi yang juga mempunyai tugas melakukan penyidikan dalam tindak pidana korupsi adalah Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) sebagaimana diatur dalam Pasal 6 huruf UU No. 30 Tahun 2002 bahwa: Komisi pemberantasan Tindak Pidana Korupsi melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntuatan terhadap tindak pidana korupsi; bahkan KPK kewenangan juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan tethadap pelaku tidak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan, dalam hal terdapat alasan hukum sebagaimana dijelaskan dalam pasal 9 UU No. 30 Tahun 2002.
Tahap Penuntutan
    Tahap kedua dalam proses peradilan pidana setelah proses penyidikan dinyatakan lengkap adalah proses penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum. Peran kejaksaan dalam proses peradilan pidana pidana dimulai sejak penyidikan terhadap suatu tindak pidana diberitahukan oleh pihak penyidik kepada pihak kejaksaan bahwa terhadap suatu tindak pidana telah dimulai penyidikannya dengan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP). Sejak diterimanya SPDP tersebut, pihak Kejaksaan menuntut Jaksa Penuntut Umum dengan surat P-16 untuk mengikuti jalannya proses penyidikan. Proses koordinasi antara penyidik dengan Jaksa Penuntut Umum kemudian dilakukan secara intensif dengan maksud agar hasil dari penyidikan tersebut memenuhi persyaratan yuridis untuk dapat dilanjutkan ke proses penuntutan dalam Persidngan di Pengadialan. Jaksa penuntut umum mempunyai kewenangan untuk memberikan petunjuk-petunjuk kepada penyidik untuk melengkapi Berkas Perkara penyidikan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 138 dan Pasal 139 KUHAP. Menurut Pasal 140 ayat (1) KUHAP bahwa hal dalam penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuar surat dakwaan.

Tahap Pemeriksaan di Pengadilan
              Peradilan adalah slah satu pelaksanaan hukum dalam hal terjadi tuntutan hak yang konkret melalui suatu putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga yang mandiri, bebas yang tidak dipengaruhi oleh lembaga di luar  lembaga itu sendiri.Ilmu Hukum peradilan disebut juga Art Boni et Aequi (seni yang baik dan patuh). Jadi hakim tidak semata-mata mendasrkan pada ilmu atau ketentuan hukum yang berlaku saja, akan tetapi didorong pada hati nurani. Putusan hakim yang ideal tersebut adalah kepastian hukum, yang merupakan perlindungan yustisable terhadap tindakan sewenang-wenang. Yang artinya berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Hukum harus ditegakan, itulah harapan masyarkat yaitu adalah kepastian hukum. Kaitannya dengan kejahatan korupsi maka masyarakat  menghendaki semua koruptor itu dihukum seberat-beratnya setidaknya setimpal dengan perbuatannya, dengan maksud agar menimbulkan efek jera bagi pelaku efek jera yang mencegah orang lain melakukan tindak pidana serupa.
            Hukum adalah untuk melindungi kepentingan manusia, sehingga penegakan hukum  harus memberi manfaat bagi masyarakat, dan tidak menimbulkan keresahan dalam masyarakat, dan tidak menimbulkan keresahan dalam masyarakat Penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi sangat bermanfaat untuk mengembalikan kerugian Negara yang sangat besar. Mengingat korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang berdampak sangat buruk bagi kelangsungan perekonomian Negara.
            Tantangan ke depan dalam aspek struktur hukum dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi adalah tergantung bagaimana menyikapi 2 permasalahan besar yang aktual sebagai tantangan yang harus dihadapi dengan perkiraan “learning from the future” yang cermat. Kedua tantangan sebagai permaslahan besar yang harus disikapi ke depan sebagai berikut:
Menurut Alvin Toffler, Tahun 1980, membuat permintaan tentang zaman yang di sebut “the third wafe” yaitu (1) gelombang masyarakat agrarian, (2) gelombang masyarakat industry, dan (3) gelombang kompetensisasi ditandai dengan ditemukannya chip computer, mengikuti Nolan Alvintotter, Tahun 1955 melalui buku “the fourthwave” yaitu terjadi globalisasi dalam segala aspek kehidupan manusia antara lain: teknologi, budaya, ekonomi, politik dan tentunya hukum dalam kurung waktu 400-500 tahun terakhir.
Terjadi perubahan dan peradaban “system kehidupan” di masyarakat luas, termasuk perubahan peradaban system hukum yang berkembang dengan pesat seiring dengan gelombang peradaban manusia yang dituturkan dalam the fourth wave diatas seperti system hukum pidana yang berlaku saat ini, kondisinya banyak peraturan perundang-undangan yang telah dibuat tetapi nilai-nilai dasar yang berkembang masih dengan system lama, misalnya KUHP dan dalam beracara pidana sesuai KUHAP banyak diwarnai pemikiran kodifikasi hukum warisan Belanda. Pola tindak dan alam piker (mind set) pada pejabat birokrasi eksekutif, legislative, yudikatif termasuk polri, jaksa, hakim, dan masyarakat hukum masih tetap seperti zaman colonial, atau berperilaku amtenar. Misalnya, dalam budaya kreasi bisnis Jepang dengan cepat mengembangkan teknologi interusi, computer dan automotif yang bersifat heroik.      

-Penyelesaian Masalah
            KPK Sebagai Solusi Permasalahan Tindak Pidana Korupsi
          Bergulirnya kekuasaan dari Presiden Soeharto sampai kepada kekuasaan Presiden Megawati Soekarnoputri nyatanya tidak menghasilkan suatu eliminasi dari perbuatan korupsi. Bahkan semakin deras saja pendapat bahwa sekarang ini dengan bergulirnya kekuasaan semakin bergulir pula korupsi kekuasaan (power corruption), dan hal ini tambah semakin buruknya system dalam menanggulangi korupsi. Memang telah dihasilkan beberapa produk hukum sebagai pendukung pemberantasan korupsi, seperti UU No. 28 Tahun 1999 tentang pemberantasan KKN, UU No. 31 Tahun 1999 tentang perubahan terhadap UU No. 31 Tahun 1971 tentana pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maupun perubahan terakhir melalui UU. No. 21 Tahun 2000, tetapi ternyata semua belum memberikan hasil yang memuaskan bagi masyarakat, apalagi masyarakat telah ragu dengan semangat penegakan hukum (pemberantasan korupsi) yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum yang memiliki kewenangan tersebut, khususnya institusi kepolisian dan kejaksaan.
            Kendala pemberantasan korupsi ini bukan tidak dipahami kalangan akademisi maupun praktisi hukum saja, masyarakat pun menyadari kesulitan-kesulitan empiris koruptif itu. Semangat pemberantasan korupsi ini didasari oleh pemerhati hukum kenamaan, yaitu Prof. Dr. Baharuddin Lopa, S.H. yang kemudian sempat menjabat Menteri Kehakiman R.I. dan Jaksa Agung R.I
            Secara tidak langsung, cikal bakal adanya Komisi Pemberantasan Korupsi ini berasal dari buah pemikiran Prof. Dr. Andi Hamzah, S.H. dan ternyata ide ini diterima oleh Prof. Baharuddin Lopa sewaktu beliau menghendaki diterapkan system pembalikan beban pembuktian dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Dengan adanya system pebalikan beban pembuktian ini, maka setiap gratifikasi yang nilainya diatas Rp. 10 juta rupiah wajib diberitahukan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana diatur dalam UU. No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan Ata s Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi teratnggal 21 November 2001.
            Kewenangan KPK sangat luas karena memang kehendak mendidrikan Komisi diarahkan sebagai suatu super body atau indepedence’ state institution heavy, karenanya berdasarkan pasal 6 tugas KPK adalah:
Koordinasi dengan intansi yang berwenang (intitusi yang berwenang termasuk Badan Pemeriksaan keuangan dan Pembangunan, Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara, inspektorat pada Departemen) melakukan tindak pidana korupsi,
Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakuakan pemberantasan tindak pidana korupsi,
Melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi,
Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi,
Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan Negara
                                                                  KESIMPULAN
Tindak Pidana Korupsi di Indonesia sudah sangat merajalela dan membudidaya di Indonesia bahkan Indonesia salah satu Negara yang terkorup di Asia, Tinda  Pidana Korupsi adalah pebuatan yang sangat buruk, dan merugikan perekonomian Negara selain menyalahgunakan kekuasaan dan kepercayaan public korupsi juga hanya menguntungkan diri sendiri.
Peran KUHAP dalam tidak pidana korupsi sangat berpengaruh seperti dikutip Pasal 188 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP, lalu  harus ada kekuatan pemerintah tertinggi dalam hal ini presiden bersama-sama DPR, DPD dengan susatu keberanian moral dan konsistensi Hukum dengan merespon bahwa korupsi merupakan bahaya nyata bahkan laten yang dapat meruntuhkan sendi-sendi kehidupan bangsa terutama TIPIKOR, yang bersifat sebagai kejahatan luar biasa atau extra ordinary crime.
Diperlukan adanya pembentukan extra ordinary crime atau prosedur yang luar biasa dengan pembentukan komosi khusus gabungan yang melibatkan pengawasan semua unsure terkait serta upaya penegakan Hukum terhadap tindak pidana korupsi, yang integrated, dengan pendekatan system atau “systemic approach”, menyatukan interpretasi Hukum visi, misi dan persepsi dalam pemberantasan TIPIKOR.

                                              PENUTUP, KRITIK, DAN SARAN
Demikianlah makalah Peran KUHAP Dalam Tindak Pidana Korupsi yang telah banyak membahas Seputar TIPIKOR. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, akan tetapi dengan segala kerendahan hati dan keterbasan serta kekurangan itu, Berdasarkan penulisan ini juga penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis harapkan krirtik dan saran dari berbagai pihak.
                                                          DAFTAR PUSAKA
Dr. Drs. IGM Nurdjana, SH, M.Hum,Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi
Prof. Dr. Indriyanto Seno Adji, SH. MH, Korupsi dan Penegakan Hukum
DR. Andi Hamzah, SH, KUHP&KUHAP Edisi Revisi 2008
Susan Rose- Ackerman, Korupsi dan pemerintahan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar