Selasa, 01 Mei 2012

Perbandingan KARAKTERISTIK SISTEM HUKUM PIDANA/ACARA PIDANA

KARAKTERISTIK SISTEM HUKUM PIDANA/ACARA PIDANA CIVIL LAW (BELANDA)

Pertama. Sistem hukum belanda (civil law) bersumber pada :
1.      Undang – undang dasar.
2.      Undang – undang.
3.      Kebiasaan/case law.
4.      Doktrin.
Negeri belanda telah memiliki kitab undang-undang hukum pidana nasional pada saat negeri itu di jajah perancis pada awal abad 19. Setelah perancis menguasai belanda, hukum pidana nasional belanda di ganti dengan code de penal dan code de produce penale – perancis. Sesudah belanda memperoleh kemerdekaannya, undang-undang perancis tetap berlaku, dengan beberapa perubahan. Perubahan tersebut antara lain penghapusan hukuman badan dan hukuman mati. Akhirnya code de penale dan code de produce penale perancis di ganti seluruhnya dengan undng undang belanda yang dilandaskan pada kebaisaan lama (costum) yang berkembang di negeri belanda. Kebiasaan kebiasaaan ini tercermin didalam kitab undang undang hukum pidana belanda pada saat perancis mengambil alih kekuasaan di negeri belanda. Unsur unsur dari pengaruh perancis, inggris dan jerman juga di ambil dan di masukkan ke dalam kitab undang-undang hukum pidana belanda.
Segitiga peraturan perundang undangan yang mengatur hukum pidana umum adalah sebagai berikut:
1.      Kitab undang-undnag hukum pidana (penal code atau wet boek van strafrecht).
2.      Kitab undang-undang hukum acara pidana (code of criminal procedure atau wetboek van strafvordering).
3.      Undang-undang tentang susunan, organisasi, kekuasaan dan tugas tugas pengadilan dan sistem penuntutan (judical act atau wet op de rechterlijke organisatie).
Skema:                                            
                                                   Penal code (wetboek v. Strafrecht)


 



Code of criminal procedure                                                       judicial of organization act.
(wetboek v. Strafvordering)                                           (wet op de rechterlijke organ.)
Penal code tahun 1881 (berlaku effektip tahun 1886) merupakan induk dari :
1.      Undang – undang kepenjaraan (beginselen gevanengiswezen)
2.      Peraturan tata tertib penjara (gevangensmaatregel)
3.      Undang – undang tentang probation 1970.
4.      Undang – undang tentang penderita penyakit jiwa (psychopaten reglement)
5.      Peraturan tentang tindakan tindakan yang di ambil pihak kepolisian.
·         The judicial organization act (1827) merupakan induk dari undang – undang yang mengatur organisasi penasehat hukum (advocaten wet).
·         The code of criminal procedure (dibentuk tahun 1838 dan dicabut/di gantikan dengan undang – undang tahun 1921 yang berlaku tahun 1926) adalah induk dari :
1.      Peraturan umum tentang batas waktu (daluarsa) dalam perkara perkara pidana (algemene termijnen wet ).
2.      Peraturan tentang ongkos/biaya perkara pidana (wet tarieven in strafzaken).
3.      Keputusan grasi
4.      Peraturan tentang catatan pelaku tindak pidana dan surat keterangan kelakuan baik (wet of de justitiele documentenen op de verlkaringen omtrent het gedrag).
5.      Keputusan pembebasan dari catatan pengadilan (besluit inlichtingen justitiele documentatie).
Case law tidak di publikasikan secara resmi oleh pemerintah. Kumpulan putusan – putusan mahkamah agung ( hooge raad) dalam perkara pidana terdapat dalam : komentar komentar tentang “delikten delinkwet (1970)”. Doktrin yang berisikan pendapat- pendapat, buku–buku acuan dan jurnal yang terkanal dalam hukum pidana.
Kedua. Bertitik tolak dari sejarah perundangan belanda sebagaimana telah di uraikan di muka, maka karakteristik kedua dari sistem hukum belanda (civil law sistem) adalah di anutnya asas legalitas atau “the principle of legality. Asas ini mengandung makna sebagai berikut :
1.      Tiada suatu perbuatan merupakan tindak pidana, kecuali telah di tentukan dalam undang-undang terlebih dahulu. Undang-undang di maksud adalah hasil dari perundingan pemerintah parlemen.
2.      Ketentuan undang-undang harus di tafsirkan secara harfiah dan pengadilan tidak diperkenankan membrikan suatu penafsiran analogis untuk menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak pidana.
3.      Ketentuan undang undang tidak berlaku surut.
4.      Menetapkan bahwa hanya hukuman yang tercantum secara jelas dalam undang-undang yang bolaeh di jatuhkan.
Ketiga.  Di anutnya asas legalitas sebagaimana di uraikan dalam butir kedua di atas, sangat berpengaruh terhadap soal pertanggung jawaban pidana (criminal liability atau strafbaarheid ). Syarat umum bagi adanya pertanggung jawaban pidana menurut hukum pidana belanda adalah adanya gabungan antara per buatan yang dilarang dan pelaku yang di ancam dengan hukuman. Perbuatan pelanggaran hukum dari pelaku harus memenuhi syarat sebagai berikut :
1.      Bahwa perbuatan tersebut (berbuat atau tidak berbuat ) dilakukan seseorang.
2.      Di atur dalam ketentuan undang-undang termasuk dalam lingkup definisi pelanggaran
3.      Bersifat melawan hukum
Keempat.  Di anutnya asas legalitas dalam sistem hukum pidana belanda melibatkan keterikatan hakim terhadap isi ketentuan undang undang dalam menyelesaikan perkara pidana. Hakim tidak di perbolehkan memperluas penafsiran terhadap isi ketentuan undang-undang sedemikian rupa sehingga dapat membentuk delik delik baru.
Kelima. Sistem hukum pidana belanda mengenal pembedaan antara kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen). Pembedaan dimaksud berasal dari perbedaan antara  mala in se dan mala prohibita yaitu perbedaan yang di kenal dalam hukum yunani. Mala in se adalah perbuatan di sebut sebagai kejahatan karena menurut sifatnya adalah jahat. Sedangkan mala prohibita, suatu perbuatan di sebut kejahatan karena undang undang menetapkan sebagai perbuatan yang dilarang.
Keenam. Sistem peradilan yang di anut di semua negara yang berlandaskan “civil law sistem” pada umumnya adalah sistem inquisitor. Sistem inquisitor menempatkan tersangka sebagai objek pemeriksaan baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan maupun pada tahap pemeriksaan di muka sidang pengadilan.
Ketujuh. Sistem pemidanaan yang di anut pada umumnya di negara negara yang berlandaskan civil law system adalah sistem pidanaan alternatif dan alternatip-kumulatip, dengan batas minimal dan maksimal yang diperkenankan menurut undang-undang.
CIRI UTAMA DOKTRIN HUKUM PIDANA LIBERAL.
Bertitik tolak dari pendekatan historis dan sosiologis, professor leon radzinowics telah mencatat dan menguraikan bebrapa ciri utama doktrin hukum pidana liberal sebagai berikut:
Pertama, oleh karena hukum, terutama hukum pidana membatasi kemerdekaan individu; maka menetapkan suatu peraturan yang berlebih lebihan akan meningkatkan kejahatan dari pada mengurangi kejahatan,. Fungsi hukum pidana bukanlah memaksakan nilai nilai moral semata-mata, melainkan melayani dan melindungi kepentingan kelompok masyarakat tertentu.
Kedua, hak hak individu dimasa lampau sangat tidak terlindungi, oleh karena itu di berikan suatu perlindungan atas hak hak individu terhadap intervensi penguasa. Pada tiap tahap peradilan pidana, hak hak seorang tersangka mutlak di lindungi.
            Asas praduga tak bersalah harus merupakan pedoman bagi aparat penegak hukum. Asas ini di kenal pada abad ke 19  dengan maxim “it is better ten guilty persons escape than one innocent man should suffer”.
Ketiga, hukum pidana harus bersifat “clarity”(jelas) dan “certainty” (pasti). Baik norma dan sanksi yang akan di jatuhkan harus di tetapkan terlebih dahulu dalam undang-undang dan tidak membolehkan adanya penafsiran dan kebebasan kekuasaan kehakiman. Pengetahuan tentang hukuman yang di tetapkan oleh undang –undang adalah untuk melindungi hak-hak individu dan mencegah penjahat melakukan kejahatan.
Keempat, diperlukan suatu peraturan perundangan tentang hukum pidana yang lengkap sebagai suatu “pilar peringatan” dari suatu usaha pengendalian sosial.
Kelima, dasar pembenaran hukuman pada hakekatnya adalah retributip, hal ini berarti bahwa setiap orang harus memperoleh hukuman sesuai dengan akiat dari kejahatan yang telah di lakukannya.
Keenam, beratnya hukuman harus di batasi dalam arti bahwa hukuman harus seimbang dengan kejahatan dan tidak boleh lebih dari yang seharusnya. Tujuan hukuman adalah mencegah pelaku kejahatan merugikan atau melukai anggota masyarakat lain dan mencegah orang lain untuk melakukan kejahatan.
Ketujuh, sifat hukuman harus sesuai dengan sifat dan luasnya dampak sebagai dari kejahatan yang telah di lakukannya.
Kedelapan, pelaksanaan hukuman tidak hanya harus sesuai dengan sifat dan luasnya akibat kejahatan, akan tetapi juga harus di terapkqn secara cepat (speedy) dan pasti (certainty).
Kesembilan, tidak ada kekecualian dalam hukuman. Hal ini berarti bahwa tidak diperlukan adanya usaha usaha reformasi bagi pelaku kejahatan. Hal ini disebabkan karena para ahli penologi liberal sepakat dimana pelaku kejahatan harus di jatuhi hukuman untuk kejahatan yang telah di lakukannya dan bukan karena untuk kepentingan pelaku kejahatan sebagaimana adanya atau untuk apa yang akan terjadi dimasa yang akan datang.
Kesepuluh, para penganut paham liberal memandang seseorang pelaku kejahatan sebagai mahluk yang bebas, dapat mengukur konsekwensi dari kejahatan yang dilakukannya dan mampu melihat keuntungan keuntungan yang akan diperolehnya.
Kesebelas, sikap menentang dari kaum liberal terhadap gagasan pencegahan kejahatan ( prevention of crime), khususnya tindakan-tindakan kepolisian, mencerminkan reaksi terhadap campur tangan atas kemerdekaan pribadi. Menurut paham liberal “lebih baik mencegah kejahatan dari pada menghukum kejahatan”
Konsep dasar Hukum Pidana Menurut “Common Law System” dan “Civil Law System”
            Suatu konsep dasar atau basic concept dari suatu system tertentu adalah merupakan  pkok-pokok fikiran mengenai pengertian-pengertian dasar, asas, sistematika dan sturktur yang berlaku menurut system tertentu.
Mengenai hal ini, terdapat 4 uraian tetntang konsep dasar  hokum pidana diantaranya :
1.      Unsur –unsur  suatu tindak pidana (element of crimes)
2.      Klasifikai tindak pidana
3.      Pertanggung jawaban pidana
4.      Alasan-alasan pengurangan atau penghapusan pdana.

1.      Unsur-unsur suatu tindak pidana
Dalam system Common Law (Hukum Inggeris), setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap undang-undang  pidana harus  memenuhi  unsure  sebagai  berikut:
1.      Tertuduh  telah melakukan  perbuatan yang di tuduhkan atau dikenal dengan istilah  Actus-reus.
2.      Tertuduh melakukan pelanggaran terhadap undang-undang dengan disertai niat jahat atau dikenal  dengan istilah Means-rea.
Hokum Pidana Inggeris.
Menurut Hukum Pidana Inggeris, Actus-reus  mengandung  prinsip bahwa:
a.       Perbuatan yang  di tuduhkan  harus  secara  langsung dilakukan tertuduh.
b.      Perbuatan  yang  dituduhkan  harus  dilakukan  tertuduh  dengan sukarela (tanpa paksaan dari pihak lain) atau perbuatan dan akibatnya  memang di kehendaki oleh tertuduh.
c.       Ketidak tahuan  akan  undang-undang yang  berlaku  bukan merupakan alas an pemaaf/yang tidak dapat di pertanggung jawabkan.
Unsure Means-Rea dalam  hokum  pidana  di  Negara  yang  menganut  common law system melekat pada setiap tindak pidana, dan merupakan unsure utama. Dan hal ini di jabarkan dan di kalsifikasikan menjadi :
1.      Intention atau purposely. Yakni seorang tertuduh menyadari perbuatan  dan  menghendaki akibatnya.
2.      Reacklessness.  Yakni tertuduh  sudah  dapat memperkirakan  atau  menduga sebelum  perbuatan dilaksanakan tentang akibat  yang akan terjadi, akan tetapi tertuduh sesungguhnya  tidak menghendaki  akibat itu terjadi.
3.      Negligence. Bahwa tertuduh  tidak menduga  akibat yang akan terjadi, akan tetapi  dalam keadaan tertentu  undang-undang  mensyaratkan bahwa tertuduh harus sudah  dapat menduga akibat- akibat yang akan terjadi dari perbuatan yang di lakukannya.
 Unsur-unsur Tindak Pidana Berdasarkan Hukum Pidana Belanda
Sebagai suatu peraturan umum maka dalam setiap rumusan  suatu “tindak pidana” di bedakan anatara unsure “intent” dan unsure “Guilt”. Tindak pidana  dibedakan dalam kejahatan atau “misdrijven” dan Pelanggaran atau “overtredingen”. Pada kejahatan biasanya unsure sikap batin atau “Mens-rea” mutlak diperlukan. Sedangkan  pada pelanggaran atau overtedingen, unsure tersebut  tidak mutlak diperlukan.
Unsure Intent/ Opzet
             Arti Intent atau opzet dikaitkan dengan :
1.      Conduct  atau perbuatan, berarti merupakan perwujudan dari keinginan atau kehendak pelaku.
2.      Result atau akibat, berarti seseorang yang melakukan perbuatan akan mempunyai kehendak dapat melihat akibat-akibat dari perbuatannya itu.
3.      Circumstances atau keadaan yang menyertainnya, berarti pelaku tindak pidana menyadari sepenuhnya keadaan yang menyertai tindakannya itu.
jika hal tersebut pada butir (1),(2) dan  (3) di atas tidak ada pada si pelaku, maka menurut hokum pidana belanda, unsure intent atau opzet dengan sendirinya tidak ada. Jika kita perbandingkan dengan hokum pidana di inggris , jelas bahwa intent/opzet sama dengan unsure “purposely” atau “knowingly”.
Unsure Guilt/ Culpa
Pada umumnya  dapat dikatakan bahwa unsure “Guilt” pada suatu tindak pidana terbukti  jika: “pelaku dapat  menduga/ mengetahui akan akibat dari suatu perbuatan  yang sesungguhnya tidak pelaku inginkan atau pelaku secara sadar menanggung akibat-akibat yang seharusnya dapat pelaku hindarkan.
2 .  Klasifikasi Tindak Pidana
Klasifikasi suatu tindak pidana menurut hokum pidana Inggris bertitik tolak dan tergantung dari hierarki pengadilannya. Terhadap perkara-perkara pidana, terdapat 2 (dua) pengadilan yang memiliki kewenangan mengadili yang berbeda, yaitu:
1.      Crown Court
2.      Magistrate Court.
Crown court memiliki kewenangan untuk memeriksa dan memutus perkara pidana berat. Pengadilan ini terdiri dari satu hakim dan anggota juri. Sedangkan Magistrate Court memiliki kewenangan untuk memeriksa dan memutus perkara-perkara pidana ringan. Pengadilan ini terdiri dari satu hakim saja.
3.      Pertanggung Jawaban Pidana (criminal liability)
Konsep pertanggung jawaban atau “Liability” diartikan sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dari seseorang yang telah dirugikan.
Perubahan bentuk wujud ganti rugi dengan sejumlah uang kepada ganti rugi dengan penjatuhan hukuman, secara historis merupakan awal dari “liability” atau “pertanggung jawaban”.
Pertanggung jawaban pidana atau “criminal liability”, sesungguhnya tidak hanya menyangkut soal hokum semata-mata, melainkan juga menyangkut soal nilai-nilai moral atau kesusilaan umu yang di anut oleh suatu masyarakat atau kelompok-kelompok dalam masyarakat. Pertanggung jawaban pidana bukanlah merupakan sesuatu yang bersifat  mutlak dan abadi sepanjang masa, akan tetapi ia bersifat relative dan in-konsisten.
4.      Alas an-alasan Pengurangan atau Penghapusan Pidana
 Dalam hokum pidana belanda landasan untuk menyatakan bahwa perbuatan seseorang bukan merupakan suatu tindak pidana dinamakan “rechvaardigingsgronden”.
Dalam hokum pidana belanda  dibedakan 2 landasan pembenar  dari suatu tindak pidana, yaitu :
1.      Writtenstaturoy conditions
2.      Unwritten statutory conditions.
Uraian mengenai landasan pembenar ini akan ditujukan terhadap yang bersifat “written statuory conditions”. “Written statutory conditions atau justification” meliputi :
a.       General defenses.
b.      Special defences.
Termasuk kedalam “ General defenses” adalah :
1.      Self  defense (nodweer) pasal 48 KUHP Indonesia
2.      Exsistence of a legal duty pasal 50 KUHPI
3.      “official orders, pasal 51 KUHPI
4.      Neccessity (noodtoestand) pasal 49 KUHPI, necessity, sesungguhnya muncul dari suatu keadaan konflik anatar dua kepentingan: seseorang mengorbankan kepentingan yang lebih kecil demi demi kepentingan yang lebih besar. Harus dapat di buktikan bahwa perbuatan yang di lakukan tidak melebihi apa yang layak dilakukan dalam suatu situasi tertentu, dan sifat jahat dari perbuatan itu tidak lebih buruk dari sifat jahat  yang seharusnya dihindarkan.
Konsep pertanggung jawaban pidana berdasarkan Hukum Pidana Inggris.
 Pertanggungjkawaban pidana berdasarkan hokum pidana Negara-negara yang menganut “common law system” pada prinsipnya tidak memiliki perbedaan yang fundamental dengan “civil law system”.
Seseorang tidak dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana jika:
a.       Ia memperoleh tekanan (physic atau psikologis) sedemikian rupa sehingga mengurangi pengendalian diri yang bersangkutan atau membatasi kebebasan pribadinya, seperti : gila atau daya paksa.
b.      Pelaku termasuk golongan orang-orang yang tunduk pada peraturan khusus, seperti: diplomat asing atau anak di bawah umur.
Termasuk  kedalam penghapusan pertanggung jawaban pidana sub (a) di atas :
a.       Insanity atau gila/sakit jiwa.
b.      Automatism atau gerak reflex.
c.       Drunkenness atau mabuk.
d.      Coercion atau daya paksa.
e.       Necessity atau keadaan darurat.
f.       Mistake or ignorance of fact atau kekeliruan atas fakta.
g.      Accident atau kecelakaan.
Termasuk ke dalam penghapusan pertanggung jawaban pidana sub (b) di atas :
a.       Pengusaha atau yang memegang kekuasaan atau raja yang berdaulat.
b.      Diplomat asing.
c.       Perkumpulan atau badan usaha secara terbatas.
d.      Anak di bawah usia 10 tahun.


DAFTAR PUSTAKA
Atmasasmita, Romli, LLM, SH. ASAS-ASAS PERBANDINGAN HUKUM PIDANA, Yayasan LBH Indonesia. Jakarta, 1989.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar