KARAKTERISTIK SISTEM
HUKUM PIDANA/ACARA PIDANA CIVIL LAW (BELANDA)
Pertama.
Sistem hukum belanda (civil law) bersumber pada :
1. Undang
– undang dasar.
2. Undang
– undang.
3. Kebiasaan/case
law.
4. Doktrin.
Negeri belanda telah memiliki kitab
undang-undang hukum pidana nasional pada saat negeri itu di jajah perancis pada
awal abad 19. Setelah perancis menguasai belanda, hukum pidana nasional belanda
di ganti dengan code de penal dan code de produce penale – perancis. Sesudah
belanda memperoleh kemerdekaannya, undang-undang perancis tetap berlaku, dengan
beberapa perubahan. Perubahan tersebut antara lain penghapusan hukuman badan
dan hukuman mati. Akhirnya code de penale dan code de produce penale perancis
di ganti seluruhnya dengan undng undang belanda yang dilandaskan pada kebaisaan
lama (costum) yang berkembang di negeri belanda. Kebiasaan kebiasaaan ini
tercermin didalam kitab undang undang hukum pidana belanda pada saat perancis
mengambil alih kekuasaan di negeri belanda. Unsur unsur dari pengaruh perancis,
inggris dan jerman juga di ambil dan di masukkan ke dalam kitab undang-undang
hukum pidana belanda.
Segitiga peraturan perundang undangan
yang mengatur hukum pidana umum adalah sebagai berikut:
1. Kitab
undang-undnag hukum pidana (penal code atau wet boek van strafrecht).
2. Kitab
undang-undang hukum acara pidana (code of criminal procedure atau wetboek van
strafvordering).
3. Undang-undang
tentang susunan, organisasi, kekuasaan dan tugas tugas pengadilan dan sistem
penuntutan (judical act atau wet op de rechterlijke organisatie).
Skema:
Penal code (wetboek v. Strafrecht)
Code
of criminal procedure
judicial of organization act.
(wetboek
v. Strafvordering) (wet
op de rechterlijke organ.)
Penal
code tahun 1881 (berlaku effektip tahun 1886) merupakan induk dari :
1. Undang
– undang kepenjaraan (beginselen gevanengiswezen)
2. Peraturan
tata tertib penjara (gevangensmaatregel)
3. Undang
– undang tentang probation 1970.
4. Undang
– undang tentang penderita penyakit jiwa (psychopaten reglement)
5. Peraturan
tentang tindakan tindakan yang di ambil pihak kepolisian.
·
The judicial
organization act (1827) merupakan induk dari undang – undang yang mengatur
organisasi penasehat hukum (advocaten wet).
·
The code of criminal
procedure (dibentuk tahun 1838 dan dicabut/di gantikan dengan undang – undang
tahun 1921 yang berlaku tahun 1926) adalah induk dari :
1. Peraturan
umum tentang batas waktu (daluarsa) dalam perkara perkara pidana (algemene
termijnen wet ).
2. Peraturan
tentang ongkos/biaya perkara pidana (wet tarieven in strafzaken).
3. Keputusan
grasi
4. Peraturan
tentang catatan pelaku tindak pidana dan surat keterangan kelakuan baik (wet of
de justitiele documentenen op de verlkaringen omtrent het gedrag).
5. Keputusan
pembebasan dari catatan pengadilan (besluit inlichtingen justitiele
documentatie).
Case law tidak di publikasikan secara
resmi oleh pemerintah. Kumpulan putusan – putusan mahkamah agung ( hooge raad)
dalam perkara pidana terdapat dalam : komentar komentar tentang “delikten
delinkwet (1970)”. Doktrin yang berisikan pendapat- pendapat, buku–buku acuan
dan jurnal yang terkanal dalam hukum pidana.
Kedua. Bertitik
tolak dari sejarah perundangan belanda sebagaimana telah di uraikan di muka,
maka karakteristik kedua dari sistem hukum belanda (civil law sistem) adalah di
anutnya asas legalitas atau “the principle of legality. Asas ini mengandung
makna sebagai berikut :
1. Tiada
suatu perbuatan merupakan tindak pidana, kecuali telah di tentukan dalam
undang-undang terlebih dahulu. Undang-undang di maksud adalah hasil dari
perundingan pemerintah parlemen.
2. Ketentuan
undang-undang harus di tafsirkan secara harfiah dan pengadilan tidak
diperkenankan membrikan suatu penafsiran analogis untuk menetapkan suatu
perbuatan sebagai tindak pidana.
3. Ketentuan
undang undang tidak berlaku surut.
4. Menetapkan
bahwa hanya hukuman yang tercantum secara jelas dalam undang-undang yang bolaeh
di jatuhkan.
Ketiga. Di anutnya asas legalitas sebagaimana di
uraikan dalam butir kedua di atas, sangat berpengaruh terhadap soal pertanggung
jawaban pidana (criminal liability atau strafbaarheid ). Syarat umum bagi
adanya pertanggung jawaban pidana menurut hukum pidana belanda adalah adanya
gabungan antara per buatan yang dilarang dan pelaku yang di ancam dengan
hukuman. Perbuatan pelanggaran hukum dari pelaku harus memenuhi syarat sebagai
berikut :
1. Bahwa
perbuatan tersebut (berbuat atau tidak berbuat ) dilakukan seseorang.
2. Di
atur dalam ketentuan undang-undang termasuk dalam lingkup definisi pelanggaran
3. Bersifat
melawan hukum
Keempat. Di anutnya asas legalitas dalam sistem hukum
pidana belanda melibatkan keterikatan hakim terhadap isi ketentuan undang
undang dalam menyelesaikan perkara pidana. Hakim tidak di perbolehkan
memperluas penafsiran terhadap isi ketentuan undang-undang sedemikian rupa
sehingga dapat membentuk delik delik baru.
Kelima.
Sistem hukum pidana belanda mengenal pembedaan antara kejahatan (misdrijven)
dan pelanggaran (overtredingen). Pembedaan dimaksud berasal dari perbedaan
antara mala in se dan mala prohibita
yaitu perbedaan yang di kenal dalam hukum yunani. Mala in se adalah perbuatan
di sebut sebagai kejahatan karena menurut sifatnya adalah jahat. Sedangkan mala
prohibita, suatu perbuatan di sebut kejahatan karena undang undang menetapkan
sebagai perbuatan yang dilarang.
Keenam.
Sistem peradilan yang di anut di semua negara yang berlandaskan “civil law
sistem” pada umumnya adalah sistem inquisitor. Sistem inquisitor menempatkan
tersangka sebagai objek pemeriksaan baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan
maupun pada tahap pemeriksaan di muka sidang pengadilan.
Ketujuh.
Sistem pemidanaan yang di anut pada umumnya di negara negara yang berlandaskan
civil law system adalah sistem pidanaan alternatif dan alternatip-kumulatip,
dengan batas minimal dan maksimal yang diperkenankan menurut undang-undang.
CIRI UTAMA DOKTRIN
HUKUM PIDANA LIBERAL.
Bertitik tolak dari pendekatan historis
dan sosiologis, professor leon radzinowics telah mencatat dan menguraikan
bebrapa ciri utama doktrin hukum pidana liberal sebagai berikut:
Pertama,
oleh karena hukum, terutama hukum pidana membatasi kemerdekaan individu; maka
menetapkan suatu peraturan yang berlebih lebihan akan meningkatkan kejahatan
dari pada mengurangi kejahatan,. Fungsi hukum pidana bukanlah memaksakan nilai
nilai moral semata-mata, melainkan melayani dan melindungi kepentingan kelompok
masyarakat tertentu.
Kedua,
hak hak individu dimasa lampau sangat tidak terlindungi, oleh karena itu di
berikan suatu perlindungan atas hak hak individu terhadap intervensi penguasa.
Pada tiap tahap peradilan pidana, hak hak seorang tersangka mutlak di lindungi.
Asas praduga tak bersalah harus
merupakan pedoman bagi aparat penegak hukum. Asas ini di kenal pada abad ke
19 dengan maxim “it is better ten guilty
persons escape than one innocent man should suffer”.
Ketiga,
hukum pidana harus bersifat “clarity”(jelas) dan “certainty” (pasti). Baik
norma dan sanksi yang akan di jatuhkan harus di tetapkan terlebih dahulu dalam
undang-undang dan tidak membolehkan adanya penafsiran dan kebebasan kekuasaan
kehakiman. Pengetahuan tentang hukuman yang di tetapkan oleh undang –undang
adalah untuk melindungi hak-hak individu dan mencegah penjahat melakukan
kejahatan.
Keempat,
diperlukan suatu peraturan perundangan tentang hukum pidana yang lengkap
sebagai suatu “pilar peringatan” dari suatu usaha pengendalian sosial.
Kelima,
dasar pembenaran hukuman pada hakekatnya adalah retributip, hal ini berarti
bahwa setiap orang harus memperoleh hukuman sesuai dengan akiat dari kejahatan
yang telah di lakukannya.
Keenam,
beratnya hukuman harus di batasi dalam arti bahwa hukuman harus seimbang dengan
kejahatan dan tidak boleh lebih dari yang seharusnya. Tujuan hukuman adalah
mencegah pelaku kejahatan merugikan atau melukai anggota masyarakat lain dan
mencegah orang lain untuk melakukan kejahatan.
Ketujuh,
sifat hukuman harus sesuai dengan sifat dan luasnya dampak sebagai dari
kejahatan yang telah di lakukannya.
Kedelapan,
pelaksanaan hukuman tidak hanya harus sesuai dengan sifat dan luasnya akibat
kejahatan, akan tetapi juga harus di terapkqn secara cepat (speedy) dan pasti
(certainty).
Kesembilan,
tidak ada kekecualian dalam hukuman. Hal ini berarti bahwa tidak diperlukan
adanya usaha usaha reformasi bagi pelaku kejahatan. Hal ini disebabkan karena
para ahli penologi liberal sepakat dimana pelaku kejahatan harus di jatuhi
hukuman untuk kejahatan yang telah di lakukannya dan bukan karena untuk
kepentingan pelaku kejahatan sebagaimana adanya atau untuk apa yang akan
terjadi dimasa yang akan datang.
Kesepuluh,
para penganut paham liberal memandang seseorang pelaku kejahatan sebagai mahluk
yang bebas, dapat mengukur konsekwensi dari kejahatan yang dilakukannya dan
mampu melihat keuntungan keuntungan yang akan diperolehnya.
Kesebelas,
sikap menentang dari kaum liberal terhadap gagasan pencegahan kejahatan (
prevention of crime), khususnya tindakan-tindakan kepolisian, mencerminkan
reaksi terhadap campur tangan atas kemerdekaan pribadi. Menurut paham liberal
“lebih baik mencegah kejahatan dari pada menghukum kejahatan”
Konsep
dasar Hukum Pidana Menurut “Common Law System” dan “Civil Law System”
Suatu
konsep dasar atau basic concept dari suatu system tertentu adalah
merupakan pkok-pokok fikiran mengenai
pengertian-pengertian dasar, asas, sistematika dan sturktur yang berlaku
menurut system tertentu.
Mengenai hal ini, terdapat 4 uraian tetntang konsep
dasar hokum pidana diantaranya :
1.
Unsur
–unsur suatu tindak pidana (element of
crimes)
2.
Klasifikai tindak
pidana
3.
Pertanggung
jawaban pidana
4.
Alasan-alasan
pengurangan atau penghapusan pdana.
1.
Unsur-unsur
suatu tindak pidana
Dalam system Common Law
(Hukum Inggeris), setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap
undang-undang pidana harus memenuhi
unsure sebagai berikut:
1.
Tertuduh telah melakukan perbuatan yang di tuduhkan atau dikenal
dengan istilah Actus-reus.
2.
Tertuduh
melakukan pelanggaran terhadap undang-undang dengan disertai niat jahat atau
dikenal dengan istilah Means-rea.
Hokum Pidana Inggeris.
Menurut Hukum Pidana Inggeris, Actus-reus mengandung
prinsip bahwa:
a.
Perbuatan
yang di tuduhkan harus
secara langsung dilakukan
tertuduh.
b.
Perbuatan yang
dituduhkan harus dilakukan
tertuduh dengan sukarela (tanpa
paksaan dari pihak lain) atau perbuatan dan akibatnya memang di kehendaki oleh tertuduh.
c.
Ketidak
tahuan akan undang-undang yang berlaku
bukan merupakan alas an pemaaf/yang tidak dapat di pertanggung jawabkan.
Unsure Means-Rea dalam
hokum pidana di
Negara yang menganut
common law system melekat pada setiap tindak pidana, dan merupakan
unsure utama. Dan hal ini di jabarkan dan di kalsifikasikan menjadi :
1.
Intention atau
purposely. Yakni seorang tertuduh menyadari perbuatan dan
menghendaki akibatnya.
2.
Reacklessness. Yakni tertuduh sudah
dapat memperkirakan atau menduga sebelum perbuatan dilaksanakan tentang akibat yang akan terjadi, akan tetapi tertuduh
sesungguhnya tidak menghendaki akibat itu terjadi.
3.
Negligence.
Bahwa tertuduh tidak menduga akibat yang akan terjadi, akan tetapi dalam keadaan tertentu undang-undang
mensyaratkan bahwa tertuduh harus sudah
dapat menduga akibat- akibat yang akan terjadi dari perbuatan yang di
lakukannya.
Unsur-unsur Tindak Pidana Berdasarkan Hukum
Pidana Belanda
Sebagai suatu peraturan umum maka dalam setiap
rumusan suatu “tindak pidana” di bedakan
anatara unsure “intent” dan unsure “Guilt”. Tindak pidana dibedakan dalam kejahatan atau “misdrijven”
dan Pelanggaran atau “overtredingen”. Pada kejahatan biasanya unsure sikap
batin atau “Mens-rea” mutlak diperlukan. Sedangkan pada pelanggaran atau overtedingen, unsure
tersebut tidak mutlak diperlukan.
Unsure
Intent/ Opzet
Arti Intent atau opzet dikaitkan dengan :
1.
Conduct atau perbuatan, berarti merupakan perwujudan
dari keinginan atau kehendak pelaku.
2.
Result atau
akibat, berarti seseorang yang melakukan perbuatan akan mempunyai kehendak
dapat melihat akibat-akibat dari perbuatannya itu.
3.
Circumstances
atau keadaan yang menyertainnya, berarti pelaku tindak pidana menyadari
sepenuhnya keadaan yang menyertai tindakannya itu.
jika hal tersebut pada butir
(1),(2) dan (3) di atas tidak ada pada
si pelaku, maka menurut hokum pidana belanda, unsure intent atau opzet dengan
sendirinya tidak ada. Jika kita perbandingkan dengan hokum pidana di inggris ,
jelas bahwa intent/opzet sama dengan unsure “purposely” atau “knowingly”.
Unsure
Guilt/ Culpa
Pada umumnya
dapat dikatakan bahwa unsure “Guilt” pada suatu tindak pidana
terbukti jika: “pelaku dapat menduga/ mengetahui akan akibat dari suatu
perbuatan yang sesungguhnya tidak pelaku
inginkan atau pelaku secara sadar menanggung akibat-akibat yang seharusnya
dapat pelaku hindarkan.
2 . Klasifikasi
Tindak Pidana
Klasifikasi suatu tindak pidana menurut hokum pidana
Inggris bertitik tolak dan tergantung dari hierarki pengadilannya. Terhadap
perkara-perkara pidana, terdapat 2 (dua) pengadilan yang memiliki kewenangan
mengadili yang berbeda, yaitu:
1.
Crown Court
2.
Magistrate
Court.
Crown court memiliki kewenangan untuk memeriksa dan
memutus perkara pidana berat. Pengadilan ini terdiri dari satu hakim dan
anggota juri. Sedangkan Magistrate Court memiliki kewenangan untuk memeriksa
dan memutus perkara-perkara pidana ringan. Pengadilan ini terdiri dari satu
hakim saja.
3.
Pertanggung
Jawaban Pidana (criminal liability)
Konsep pertanggung jawaban atau “Liability” diartikan
sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan diterima pelaku
dari seseorang yang telah dirugikan.
Perubahan bentuk wujud ganti rugi dengan sejumlah uang
kepada ganti rugi dengan penjatuhan hukuman, secara historis merupakan awal
dari “liability” atau “pertanggung jawaban”.
Pertanggung jawaban pidana atau “criminal liability”,
sesungguhnya tidak hanya menyangkut soal hokum semata-mata, melainkan juga
menyangkut soal nilai-nilai moral atau kesusilaan umu yang di anut oleh suatu
masyarakat atau kelompok-kelompok dalam masyarakat. Pertanggung jawaban pidana
bukanlah merupakan sesuatu yang bersifat
mutlak dan abadi sepanjang masa, akan tetapi ia bersifat relative dan
in-konsisten.
4.
Alas
an-alasan Pengurangan atau Penghapusan Pidana
Dalam hokum
pidana belanda landasan untuk menyatakan bahwa perbuatan seseorang bukan
merupakan suatu tindak pidana dinamakan “rechvaardigingsgronden”.
Dalam hokum pidana belanda dibedakan 2 landasan pembenar dari suatu tindak pidana, yaitu :
1.
Writtenstaturoy
conditions
2.
Unwritten
statutory conditions.
Uraian mengenai landasan pembenar ini akan ditujukan
terhadap yang bersifat “written statuory conditions”. “Written statutory
conditions atau justification” meliputi :
a.
General
defenses.
b.
Special
defences.
Termasuk
kedalam “ General defenses” adalah :
1. Self defense (nodweer) pasal 48 KUHP Indonesia
2. Exsistence
of a legal duty pasal 50 KUHPI
3. “official
orders, pasal 51 KUHPI
4. Neccessity
(noodtoestand) pasal 49 KUHPI, necessity, sesungguhnya muncul dari suatu
keadaan konflik anatar dua kepentingan: seseorang mengorbankan kepentingan yang
lebih kecil demi demi kepentingan yang lebih besar. Harus dapat di buktikan
bahwa perbuatan yang di lakukan tidak melebihi apa yang layak dilakukan dalam
suatu situasi tertentu, dan sifat jahat dari perbuatan itu tidak lebih buruk
dari sifat jahat yang seharusnya
dihindarkan.
Konsep pertanggung jawaban pidana berdasarkan Hukum
Pidana Inggris.
Pertanggungjkawaban pidana berdasarkan hokum
pidana Negara-negara yang menganut “common law system” pada prinsipnya tidak
memiliki perbedaan yang fundamental dengan “civil law system”.
Seseorang tidak dipertanggungjawabkan atas suatu
tindak pidana jika:
a.
Ia memperoleh
tekanan (physic atau psikologis) sedemikian rupa sehingga mengurangi
pengendalian diri yang bersangkutan atau membatasi kebebasan pribadinya,
seperti : gila atau daya paksa.
b.
Pelaku termasuk
golongan orang-orang yang tunduk pada peraturan khusus, seperti: diplomat asing
atau anak di bawah umur.
Termasuk kedalam penghapusan pertanggung jawaban
pidana sub (a) di atas :
a. Insanity atau gila/sakit jiwa.
b. Automatism atau gerak reflex.
c. Drunkenness atau mabuk.
d. Coercion atau daya paksa.
e. Necessity atau keadaan darurat.
f. Mistake or ignorance of fact atau kekeliruan atas
fakta.
g. Accident atau kecelakaan.
Termasuk ke dalam
penghapusan pertanggung jawaban pidana sub (b) di atas :
a. Pengusaha atau yang memegang kekuasaan atau raja yang
berdaulat.
b. Diplomat asing.
c. Perkumpulan atau badan usaha secara terbatas.
d. Anak di bawah usia 10 tahun.
DAFTAR PUSTAKA
Atmasasmita, Romli, LLM, SH. ASAS-ASAS PERBANDINGAN HUKUM PIDANA, Yayasan LBH Indonesia.
Jakarta, 1989.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar