KAIDAH FIQH
اَلْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ الْتَّيْسِيْر
“Kesuliutan mendatangkan Kemudahan”
Al-Masyaqqah
menurut arti bahasa (etimologis) adalah al-ta’ab yaitu
kelelahan, kepayahan, kesulitan, dan kesukaran seperti terdapat dalam QS.
An-Nahl ayat 7 :
dan ia memikul beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu
tidak sanggup sampai kepadanya, melainkan dengan kesukaran-kesukaran (yang
memayahkan) diri. Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang,
sedangkan al-taysir secara etimologis berarti
kemudahan, seperti di dalam hadis nabi yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan
Muslim disebutkan :
اِنَّ
الدِّيْنَ يُسْرٌ
Agama itu mudah, tidak memberatkan. Yusrun lawan dari kata ‘usyrun.
Jadi makna kaidah tersebut adalah kesulitan
menyebabkan adanya kemudahan. Maksudnya adalah bahwa hukum-hukum yang dalam
penerapannya menimbulkan kesulitan dan
kesukaran bagi mikallaf (subyek hukum), maka syariah meringankankannya tanpa
kesulitan dan keukaran.[1]
Dalam ilmu Fiqih, kesulitan yang membawa kepada kemudahan itu setidaknya ada
tujuh macam, yaitu:
1.
Sedang dalam perjalanan (al-safar). Misalnya,
boleh Qasar shalat, buka puasa, dan meninggalkan shalat Jum’at.
2.
Keadaan sakit. Misalnya, boleh tayamum ketika sulit
memakai air, shalat fardhu sambil duduk, berbuka puasa bulan ramadhan dengan kewajiban qadha setelah sehat, ditundanya pelaksanaan had
sampai terpidana sembuh, wanita yang sedang menstruasi.
3.
Keadaan terpaksa yang membahayakan kepada kelangsungan hidupnya. Setiap akad yang
dilakukan dalam keadaan terpaksa maka
akad tersebut tidak sah seperti jual
beli, gadai, sewa menyewa, karena bertentangan dengan prinsip ridha (rela), merusak
atau menghancurkan barang orang lain karena dipaksa.
4.
Lupa al-nisyan) misalnya seorang lupa makan dan
minum pada waktu puasa, lupa membayar utang tidak diberi sanksi, tetapi bukan
pura-pura lupa.
5.
Ketidak tahuan (al-jahl). Misalnya, orang yang
baru masuk Islam karena tidak tahu, kemudian makan makanan yang diharamkan,
maka dia tidak dikenai sanksi. Seorang wakil yang tidak tahu bahwa yang di
wakilkan kepadanya dalam keadaan
dilarang bertindak hukum, misalnya pailit maka tindakan hukum si wakil
adalah sah sampai dia tahu bahwa yang
mewakilkan kepadanya dalam keadaan mahjur ‘alaih (dilaranhg
melakukan tindakan hukum oleh hakim). Dalam
contoh ini ada kaidah lain bahwa ketidak tahuan tentang hukum tidak bias diterima di negeri Muslim, dalam
arti kemungkinan untuk tahu telah ada.
1)
لَا
يُقْبَلُ فِي دَارِلْاِسْلَامِ الْعُذْرُ بِجَهْلِ الأَحْكَام
“tidak terima di negeri
muslim alasan tidak tahu tentang hukum
islam”
6. Umum al-Balwa. Misalnya, kebolehan bai
al-salam(uangnya dahulu, barangnya belum ada). Kebolehan dokter melihat
kepada bukan mahramnya demi untuk mengobati, sekadar yang di butuhkan dalam
pengobatan. Percikan air dari tanah yang mengenai sarung untuk shalat.
7. Kekurang mampuan bertindak hukum (al-naqsh). Misalnya, anak kecil, orang gila, orang dalam
keadaan mabuk. Dalam ilmu hukum, yang berhubungan dengan palaku ini disebut
unsur pema’af, termasuk di dalamnya keadaan terpaksa atau di paksa.
[2]
Al-masyaqqah itu sendiri bersifat individual. Bagi si A
mungkin masyaqqah tetapi bagi si B tidak terasa masyaqqah. Akan
tetapi ada standar umum yang sesungguhnya bukan masyaqqah dan karenanya
tidak menyebabkan keringanan di dalam
pelaksanaan ibadah, seperti terasa berat wudhu pada musim dingin, atau terasa
berat shaum pada musim panas, atau juga
terasa berat bagi terpidana dalam menjalankan hukuman. Masyaqqah
semacam ini tidak menyebabkan keringanan
di dalam ibadah dan dalam ketaatan kepada Allah. Sebab apabila dibolehkan kmeringanan dalam masyaqqah tersebut
akan menyebabkan hilangnya kemaslahatan ibadah dan ketaatan dan menyebabkan
lalainya manusia di dalam melaksanakan ibadah[3].
Yang dikehendaki dalam dengan kaidah tersebut
bahwa kita dalam melaksanakan ibadah itu tidak ifrath ( melampaui batas)
dan tafrith (kurang dari batas). Oleh karena itu, para ulama membagi masyaqqah
ini menjadi tiga tinggatan, yakni:
1.
Al-Masyaqqah al-‘Azhimmah (kesulitan yang sangat berat), seperti
kekhawatiran akan hilangnya jiwa dan/ atau rusaknya anggota badan. Hilangnya
jiwa dan/atau anggota badan menyebabkan kita tidak bisa melaksanakan ibadah
dengan sempurna. Masyaqqah
semacam ini membawa keringanan.
2.
Al-Masyaqqah al-Mutawasithah (kesulitan yang pertengahan, tidak sangat
berat juga tidak sangat ringan). Masyaqqah semacam ini harus dipertimbangkan,
apabila lebih dekat kepada masyaqqah yang sangat berat, maka ada kemudahan
disitu. Apabila lebih dekat kepada masyaqqah yang ringan, maka tidak ada
kemudahan di situ. Inilah yang bersifat
individual.
3.
Al-Masyaqqah al-Khafifah (kesulitan yang ringan), seperti terasa lapar
waktu puasa, terasa cape waktu tawaf dan sa’i, terasa pening waktu rukuk dan
sujud, dan lain sebagainya. Masyaqqah semacam ini bisa di tanggulangi dengan
mudah yaitu dengan cara sabar dalam melaksanakan ibadah. Alasannya,
kemaslahatan dunia dan akhirat yang tercermin dalam ibadah tadi lebih utama
daripada masyaqqah yang ringan ini.
Adapun keringanan atau kemudahan karena
adanya masyaqqah ada tujuh macam, yakni:
1.
Takhfih isqath/ rukhsah isqath, yaitu keringanan dalam bentuk penghapusan
seperti tidak wajib shalat bagi wanita yang sedang menstruasi atau nifas. Tidak wajib haji bagi yang tidak
mampu.
2.
Takhfif tanqish, yaitu keringanan berupa pengurangan, seperti shalat
Qasah dua rakaat yang asalnya empat rakaat.
3.
Takhfif ibdal, yaitu keringanan berupa penggantian, seperti wudhu dan/
atau mandi wajib diganti dengan tayamum,
atau berdiri waktu shalat wajib diganti dengan duduk karena sakit.
4.
Takhfif taqdim, yaitu keringanan dengan cara di dahulukan , seperti jama’ taqdim di arafah;
mendahulukan mengeluarkan zakat fitrah
di bulan Ramadhan, jama’ taqdim bagi yang sedang bepergian yang menimbulkan
masyaqqah dalam perjalanannya.
5.
Takhfif ta’khir, yaitu keringanan dengan cara di akhirkan
seperti shalat jama’ ta’khir di muzdalifah, qadha saum Ramadhan bagi yang
sakit, jama’ ta’khir bagi orang yang sedang dalam perjalanan yang menimbulkan
masyaqqah dalam perjalanannya.
6.
Takhfif tarkhis, yaitu keringanan karena rukhsah, seperti makan dan minum yang di haramkan dalam
keadaan terpaksa, sebab bila tidak, bisa membawa kematian.
7.
Takhfif taghyir, yaitu keringanan dalam bentuk berubahnya cara
yang dilakukan, seperti shalat pada
waktu khauf (kekhawatiran), misalnya pada waktu perang.[4]
DASAR KAIDAH
Dalam surat al-Baqarah ayat 185 disebutkan :
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu.
Diteliti dari asbab al-nuzul nya, ayat ini memang diturunkan dalam
konteks pemberian keringanan hukum berupa diperbolehkannya berbuka puasa bagi
orang sakit atau orang yang sedang melakukan perjalanan (musafir). Namun
menurut kalangan Mufassiriin, jika di lihat dari aspek universalitas
teks dan pesan mendasarnya, maka ayat di atas berlaku dalam skala yang sangat
luas. Artinya, kemudahan itu tidak hanya diberikan kepada orang sakit atau
musafir, melainkan bagi semua umat Islam yang mengalami kesulitan.
QS.al-Baqarah ayat 286 :
Allah
tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.
QS.an-Nisa’ ayat 28 :
Allah hendak memberikan
keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.
QS. Al-Hajj ayat 78 :
Dia sekali-kali tidak
menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.
Sedangkan hadis-hadis yang menguatkan kaidah diatas
antara lain:
اِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللهِ الحَنَفِيَةُالسَمْحَةُ
“sesungguhnya agama
disisi Allah adalah yang ringan dan mudah” (HR. Al-Bukhari)
يَسِّرُواوَلاَتُعَسِّرُواوَبَشِّرُواوَلاَ تُنَفِّرُوا
“mudahkan lah mereka dan
jangan kamu menyulitkan dan gembirakanlah dan jangan menyebabkan mereka lari” (HR. Al-Bukhari)
Kekecualian dari kaidah tersebut adalah:
Peratama, kesulitan-kesulitan yang diklasifikasikan
kepada masyaqqah yang ringan seperti telah di klasifikasikan kepada
masyaqqah yang ringan seperti yang telah
dijelaskan diatas.
Kedua, kesulitan-kesulitan yang muncul, memang suatu
resiko dalam suatu perbuatan, seperti lapar ketika puasa. Kesulitan semacam ini
tidak menyebabkan adanya keringanan kecuali bila kelaparan tadi membahayakan
jiwanya.
KAIDAH-KAIDAH FURU’
Kaidah Ke 1
اِذَا ضَاقَ الأَمْرُ اِتَّسَعَ
“apabila suatu perkara
menjadi sempit maka hukumnya meluas”
Kaidah ini sesungguhnya lebih tepat merupakan cabang dari kaidah “al-masyaqqah
tajlib al-taisir” , sebab al masyaqqah itu adalah kesempitan atau
kesulitan, seperti boleh berbuka puasa pada bulan Ramadhan karena sakit atau
bepergian jauh. Sakit dan bepergian jauh
merupakan suatu kesempitan, maka hukumnya menjadi luas yaitu kebolehan berbuka.
Akan tetapi, bila orang sakit itu sembuh kembali, maka hukum wajib melakukan
saum itu kembali pula[5].
Oleh karena itu muncul pula kaidah kedua:
اذَا اِتَّسَعَ ضَاقَ
“apabila suatu perkara menjadi meluas maka hukumnya
menyempit”
Contoh, penerapannya seperti wanita yang sedang
menstruasi dilarang shalat dan shaum. Larangan tersebut menjadi hilang bila
menstruiasinya berhenti. Kewajiban melaksanakan shalat fardhu dan shaum
ramadhan kembali lagi dan boleh dan
boleh lagi melaksanakan shalat fardhu dan shaum.
Kaidah ke 2
اِذَا تَعَذَّرَ الأَصْلُ يُصَا رُ
اِلىَ الْبَدَلْ
Apabila yang asli sukar dikerjakan maka berpindah kepada penggantinya”
Contohnya : tayamum sebagai
pengganti wudhu’ seseorang yang menggashap harta orang lain, wajib
mengembalikan harta aslinya. Apabila harta tersebut telah rusak atau hilang
sehingga tidak mungkin dikembalikan kepada pemiliknya, maka ia wajib
menggantinya dengan harganya. Demikian juga halnya dengan orang yang meminjam
satu benda, kemudian benda itu hilang (misalnya, buku,) maka penggantinya buku
yang sama baik judul, penerbit, maupun cetakannya.
Dalam fiqh siyasah, kaidah di atas
banyak diterapkan terutama dalam hal yang berhubungan dengan tugas-tugas
kepemimpinan. Misalnya ada istilah PJMT (pejabat yang melaksanakan tugas),
karena pejabat yang sesungguhnya berhalangan, maka diganti oleh petugas lain
sebagai penggantinya.
Kaidah ke 3
مَا لاَ يُمْكِنْ التَّحْرُزْ مِنْهُ
مَعْفُو عَنْهُ
“apa yang tidak mungkin menjaganya (menghindarkannya),
maka hal itu dimaafkan”
Contohnya: pada waktu sedang shaum, kita berkumur-kumur, maka tidak mungkin
terhindar dari rasa air di mulut atau masih ada sisa-sisa. Adarh pada pakaian
yang sulit dibersihkan dengan cucian.
Kaidah ke 4
الرُّخْصَ لَا تُنَا طُ بِالْمَعَصِى
“Keinginan itu tidak dikaitkan dengan kemaksiatan”
Kaidah ini di gunakan untuk menjaga agar keinginan-keinginan di dalam
hukum tidak di salahgunakan untuk
melakukan maksiat (kejahatan atau dosa). Seperti: orang bepergian dengan tujuan
melakukan maksiat, misalnya, untuk membunuh orang atau untuk berjudi atau
berdagang barang-barang yang di haramkan, maka orang semacam ini tidak boleh
menggunakan keringanan-keringanan di dalam Hukum Islam. Misalnya, orang yang
bepergian untuk berjudi kehabisan uang dan kelaparan kemudian ia makan daging
babi. Maka dia tidak dipandang sebagai orang yang menggunakan rukhsah, tetapi
tetap berdosa dengan makan daging babi tersebut.
Lain halnya dengan orang yang bepergian dengan tujuan yang dibolehkan
seperti untuk kasbu al-halal (usaha yang halal), kemudian kehabisan uang dan
kelaparan, serta tidak ada makanan kecuali yang di haramkan, maka memakannya di
bolehkan.
DAFTAR PUSTAKA
Aziz Abdul, Qawa’id fiqhiyyah. Amzah. Jakarta. 2009
Abdul Haq, Ahmad. FORMULASI NALAR FIQH, Telaah kaidah fiqh Konspetual.
Khalista. Surabaya. 2009
Djazuli Ahmad, Kaidah-Kaidah FIKIH, Kencana. Jakarta. 2010
Asyumi A Rahman. Qaidah-qaidah fiqh, cet I,
Jakarta: Bulan Bintang, 1976.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar