Rabu, 02 Mei 2012

Kaidah Fiqh Ketiga

KAIDAH FIQH
اَلْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ الْتَّيْسِيْر
“Kesuliutan mendatangkan Kemudahan”
Al-Masyaqqah menurut arti bahasa (etimologis) adalah al-ta’ab yaitu kelelahan, kepayahan, kesulitan, dan kesukaran seperti terdapat dalam QS. An-Nahl ayat 7 :
dan ia memikul beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup sampai kepadanya, melainkan dengan kesukaran-kesukaran (yang memayahkan) diri. Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
sedangkan  al-taysir secara etimologis berarti kemudahan, seperti di dalam hadis nabi yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim disebutkan :
اِنَّ الدِّيْنَ يُسْرٌ
Agama itu mudah, tidak memberatkan. Yusrun lawan dari kata ‘usyrun.
Jadi makna kaidah tersebut adalah kesulitan menyebabkan adanya kemudahan. Maksudnya adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan  dan kesukaran bagi mikallaf (subyek hukum), maka syariah meringankankannya tanpa kesulitan dan keukaran.[1] Dalam ilmu Fiqih, kesulitan yang membawa kepada kemudahan itu setidaknya ada tujuh macam, yaitu:
1.      Sedang dalam perjalanan (al-safar). Misalnya, boleh Qasar shalat, buka puasa, dan meninggalkan shalat Jum’at.

2.      Keadaan sakit. Misalnya, boleh tayamum ketika sulit memakai air, shalat fardhu sambil duduk, berbuka puasa  bulan ramadhan dengan kewajiban qadha  setelah sehat, ditundanya pelaksanaan had sampai terpidana sembuh, wanita yang sedang menstruasi.

3.      Keadaan terpaksa yang membahayakan kepada  kelangsungan hidupnya. Setiap akad yang dilakukan dalam keadaan terpaksa  maka akad tersebut tidak sah  seperti jual beli, gadai, sewa menyewa, karena bertentangan dengan prinsip ridha (rela), merusak atau menghancurkan barang orang lain karena dipaksa.


4.      Lupa al-nisyan) misalnya seorang lupa makan dan minum pada waktu puasa, lupa membayar utang tidak diberi sanksi, tetapi bukan pura-pura lupa.

5.      Ketidak tahuan (al-jahl). Misalnya, orang yang baru masuk Islam karena tidak tahu, kemudian makan makanan yang diharamkan, maka dia tidak dikenai sanksi. Seorang wakil yang tidak tahu bahwa yang di wakilkan kepadanya dalam keadaan  dilarang bertindak hukum, misalnya pailit maka tindakan hukum si wakil adalah sah sampai dia tahu bahwa yang  mewakilkan kepadanya dalam keadaan mahjur ‘alaih (dilaranhg melakukan tindakan hukum oleh hakim). Dalam contoh ini ada kaidah lain bahwa ketidak tahuan tentang hukum  tidak bias diterima di negeri Muslim, dalam arti kemungkinan untuk tahu telah ada.


1)      لَا يُقْبَلُ فِي دَارِلْاِسْلَامِ الْعُذْرُ بِجَهْلِ الأَحْكَام
“tidak terima di negeri muslim  alasan tidak tahu tentang hukum islam”

6. Umum al-Balwa. Misalnya, kebolehan bai al-salam(uangnya dahulu, barangnya belum ada). Kebolehan dokter melihat kepada bukan mahramnya demi untuk mengobati, sekadar yang di butuhkan dalam pengobatan. Percikan air dari tanah yang mengenai sarung untuk shalat.
 7.  Kekurang mampuan bertindak hukum (al-naqsh).  Misalnya, anak kecil, orang gila, orang dalam keadaan mabuk. Dalam ilmu hukum, yang berhubungan dengan palaku ini disebut unsur pema’af, termasuk di dalamnya keadaan terpaksa atau di paksa. [2]
Al-masyaqqah itu sendiri bersifat individual. Bagi si A mungkin masyaqqah tetapi bagi si B tidak terasa masyaqqah. Akan tetapi ada standar umum yang sesungguhnya bukan masyaqqah dan karenanya tidak menyebabkan  keringanan di dalam pelaksanaan ibadah, seperti terasa berat wudhu pada musim dingin, atau terasa berat shaum pada musim panas, atau juga  terasa berat bagi terpidana dalam menjalankan hukuman. Masyaqqah semacam ini tidak menyebabkan  keringanan di dalam ibadah dan dalam ketaatan kepada Allah. Sebab apabila dibolehkan  kmeringanan dalam masyaqqah tersebut akan menyebabkan hilangnya kemaslahatan ibadah dan ketaatan dan menyebabkan lalainya manusia di dalam melaksanakan ibadah[3].
Yang dikehendaki dalam dengan kaidah tersebut bahwa kita dalam melaksanakan ibadah itu tidak ifrath ( melampaui batas) dan tafrith (kurang dari batas). Oleh karena itu, para ulama membagi masyaqqah ini menjadi tiga tinggatan, yakni:
1.      Al-Masyaqqah al-‘Azhimmah (kesulitan yang sangat berat), seperti kekhawatiran akan hilangnya jiwa dan/ atau rusaknya anggota badan. Hilangnya jiwa dan/atau anggota badan menyebabkan kita tidak bisa melaksanakan ibadah dengan  sempurna. Masyaqqah semacam  ini membawa keringanan.
2.      Al-Masyaqqah al-Mutawasithah (kesulitan yang pertengahan, tidak sangat berat juga tidak sangat ringan). Masyaqqah semacam ini harus dipertimbangkan, apabila lebih dekat kepada masyaqqah yang sangat berat, maka ada kemudahan disitu. Apabila lebih dekat kepada masyaqqah yang ringan, maka tidak ada kemudahan  di situ. Inilah yang bersifat individual.
3.      Al-Masyaqqah al-Khafifah (kesulitan yang ringan), seperti terasa lapar waktu puasa, terasa cape waktu tawaf dan sa’i, terasa pening waktu rukuk dan sujud, dan lain sebagainya. Masyaqqah semacam ini bisa di tanggulangi dengan mudah yaitu dengan cara sabar dalam melaksanakan ibadah. Alasannya, kemaslahatan dunia dan akhirat yang tercermin dalam ibadah tadi lebih utama daripada masyaqqah yang ringan ini.
Adapun keringanan atau kemudahan karena adanya  masyaqqah ada tujuh macam, yakni:
1.      Takhfih isqath/ rukhsah isqath, yaitu keringanan dalam bentuk penghapusan seperti tidak wajib shalat bagi wanita yang sedang menstruasi atau  nifas. Tidak wajib haji bagi yang tidak mampu.
2.      Takhfif tanqish, yaitu keringanan berupa pengurangan, seperti shalat Qasah dua rakaat yang asalnya empat rakaat.
3.      Takhfif ibdal, yaitu keringanan berupa penggantian, seperti wudhu dan/ atau mandi wajib  diganti dengan tayamum, atau berdiri waktu shalat wajib diganti dengan duduk karena sakit.
4.      Takhfif taqdim, yaitu keringanan dengan cara  di dahulukan , seperti jama’ taqdim di arafah; mendahulukan  mengeluarkan zakat fitrah di bulan Ramadhan, jama’ taqdim bagi yang sedang bepergian yang menimbulkan masyaqqah dalam perjalanannya.
5.      Takhfif ta’khir, yaitu keringanan dengan cara di akhirkan seperti shalat jama’ ta’khir di muzdalifah, qadha saum Ramadhan bagi yang sakit, jama’ ta’khir bagi orang yang sedang dalam perjalanan yang menimbulkan masyaqqah dalam perjalanannya.
6.      Takhfif tarkhis, yaitu keringanan  karena rukhsah, seperti makan dan minum  yang di haramkan  dalam  keadaan terpaksa, sebab bila tidak, bisa membawa kematian.
7.      Takhfif taghyir, yaitu keringanan dalam bentuk berubahnya cara yang  dilakukan, seperti shalat pada waktu khauf (kekhawatiran), misalnya pada waktu perang.[4]
DASAR KAIDAH
Dalam surat al-Baqarah ayat 185 disebutkan :
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.
Diteliti dari asbab al-nuzul nya, ayat ini memang diturunkan dalam konteks pemberian keringanan hukum berupa diperbolehkannya berbuka puasa bagi orang sakit atau orang yang sedang melakukan perjalanan (musafir). Namun menurut kalangan Mufassiriin, jika di lihat dari aspek universalitas teks dan pesan mendasarnya, maka ayat di atas berlaku dalam skala yang sangat luas. Artinya, kemudahan itu tidak hanya diberikan kepada orang sakit atau musafir, melainkan bagi semua umat Islam yang mengalami kesulitan.
QS.al-Baqarah ayat 286 :
 Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.
QS.an-Nisa’ ayat 28 :
Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.
QS. Al-Hajj ayat 78 :
Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.
Sedangkan hadis-hadis yang menguatkan kaidah diatas antara lain:
اِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللهِ الحَنَفِيَةُالسَمْحَةُ
“sesungguhnya agama disisi Allah adalah yang ringan dan mudah” (HR. Al-Bukhari)
يَسِّرُواوَلاَتُعَسِّرُواوَبَشِّرُواوَلاَ تُنَفِّرُوا
“mudahkan lah mereka dan jangan kamu menyulitkan dan gembirakanlah dan jangan menyebabkan mereka lari” (HR. Al-Bukhari)
Kekecualian dari kaidah tersebut adalah:
Peratama, kesulitan-kesulitan yang diklasifikasikan kepada masyaqqah yang ringan seperti telah di klasifikasikan kepada masyaqqah  yang ringan seperti yang telah dijelaskan diatas.
Kedua, kesulitan-kesulitan yang muncul, memang suatu resiko dalam suatu perbuatan, seperti lapar ketika puasa. Kesulitan semacam ini tidak menyebabkan adanya keringanan kecuali bila kelaparan tadi membahayakan jiwanya.

KAIDAH-KAIDAH FURU’
Kaidah Ke 1
اِذَا ضَاقَ الأَمْرُ اِتَّسَعَ
“apabila suatu perkara menjadi sempit maka hukumnya meluas”
Kaidah ini sesungguhnya lebih tepat merupakan cabang dari kaidah “al-masyaqqah tajlib al-taisir” , sebab al masyaqqah itu adalah kesempitan atau kesulitan, seperti boleh berbuka puasa pada bulan Ramadhan karena sakit atau bepergian jauh. Sakit dan bepergian  jauh merupakan suatu kesempitan, maka hukumnya menjadi luas yaitu kebolehan berbuka. Akan tetapi, bila orang sakit itu sembuh kembali, maka hukum wajib melakukan saum itu kembali pula[5]. Oleh karena itu muncul pula kaidah kedua:
اذَا اِتَّسَعَ ضَاقَ
“apabila suatu perkara menjadi meluas maka hukumnya menyempit”
Contoh, penerapannya seperti wanita yang sedang menstruasi dilarang shalat dan shaum. Larangan tersebut menjadi hilang bila menstruiasinya berhenti. Kewajiban melaksanakan shalat fardhu dan shaum ramadhan  kembali lagi dan boleh dan boleh lagi melaksanakan shalat fardhu dan shaum.
Kaidah ke 2
اِذَا تَعَذَّرَ الأَصْلُ يُصَا رُ اِلىَ الْبَدَلْ
Apabila yang asli sukar dikerjakan maka berpindah kepada penggantinya”
 Contohnya : tayamum sebagai pengganti wudhu’ seseorang yang menggashap harta orang lain, wajib mengembalikan harta aslinya. Apabila harta tersebut telah rusak atau hilang sehingga tidak mungkin dikembalikan kepada pemiliknya, maka ia wajib menggantinya dengan harganya. Demikian juga halnya dengan orang yang meminjam satu benda, kemudian benda itu hilang (misalnya, buku,) maka penggantinya buku yang sama baik judul, penerbit, maupun cetakannya.
Dalam fiqh siyasah, kaidah di atas  banyak diterapkan terutama dalam hal yang berhubungan dengan tugas-tugas kepemimpinan. Misalnya ada istilah PJMT (pejabat yang melaksanakan tugas), karena pejabat yang sesungguhnya berhalangan, maka diganti oleh petugas lain sebagai penggantinya.
 Kaidah ke 3
مَا لاَ يُمْكِنْ التَّحْرُزْ مِنْهُ مَعْفُو عَنْهُ
“apa yang tidak mungkin menjaganya (menghindarkannya), maka hal itu dimaafkan”
Contohnya: pada waktu sedang shaum, kita berkumur-kumur, maka tidak mungkin terhindar dari rasa air di mulut atau masih ada sisa-sisa. Adarh pada pakaian yang sulit dibersihkan dengan cucian.
Kaidah ke 4
الرُّخْصَ لَا تُنَا طُ بِالْمَعَصِى
“Keinginan itu tidak dikaitkan dengan kemaksiatan”
Kaidah ini di gunakan untuk menjaga agar keinginan-keinginan di dalam hukum  tidak di salahgunakan untuk melakukan maksiat (kejahatan atau dosa). Seperti: orang bepergian dengan tujuan melakukan maksiat, misalnya, untuk membunuh orang atau untuk berjudi atau berdagang barang-barang yang di haramkan, maka orang semacam ini tidak boleh menggunakan keringanan-keringanan di dalam Hukum Islam. Misalnya, orang yang bepergian untuk berjudi kehabisan uang dan kelaparan kemudian ia makan daging babi. Maka dia tidak dipandang sebagai orang yang menggunakan rukhsah, tetapi tetap berdosa dengan makan daging babi tersebut.
Lain halnya dengan orang yang bepergian dengan tujuan yang dibolehkan seperti untuk kasbu al-halal (usaha yang halal), kemudian kehabisan uang dan kelaparan, serta tidak ada makanan kecuali yang di haramkan, maka memakannya di bolehkan.
DAFTAR PUSTAKA
Aziz Abdul, Qawa’id fiqhiyyah. Amzah. Jakarta. 2009
Abdul Haq, Ahmad. FORMULASI NALAR FIQH, Telaah kaidah fiqh Konspetual. Khalista. Surabaya. 2009
Djazuli Ahmad, Kaidah-Kaidah FIKIH, Kencana. Jakarta. 2010
Asyumi A Rahman. Qaidah-qaidah fiqh, cet I, Jakarta: Bulan Bintang, 1976.



[1] . Djazuli Ahmad, Kaidah-Kaidah FIKIH, Kencana. Jakarta. 2010
[2] . Djazuli Ahmad, Kaidah-Kaidah FIKIH, Kencana. Jakarta. 2010
[3] . Asyumi A Rahman. Qaidah-qaidah fiqh, cet I, Jakarta: Bulan Bintang, 1976.
[4] . Djazuli Ahmad, Kaidah-Kaidah FIKIH, Kencana. Jakarta. 2010
[5] . Djazuli Ahmad, Kaidah-Kaidah FIKIH, Kencana. Jakarta. 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar