Pengertian
jinayah secara bahasa adalah
اِسْمٌ لِمَا يَجْنِيْهِ الْمَرْءُ مِنْ شَرٍّ
وَمَا اكْتَسَبَهُ
Nama bagi hasil perbuatan bagi seseorang yang buruk dan apa yang di
usahakan
Pengertian
jinayah secara istilah Fuqaha sebagaimana yang di kemukakan oleh Abdul Qadir
Audah adalah :
فَالْجِنَا يَةُ اِسْمٌ لِفِعْلٍ مُحَرَّمٌ شَرْعًا,سَوَاءٌ
وَقَعَ الْفِعْلُ عَلَى نَفْسٍ أَوْ مَالٍ اَوْ غَيْرُ ذَالِكْ
Jinayah adalah suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang oleh
syara’, baik perbuatan tersebut mengenai
jiwa, harta, atau lainnya.[1]
Sedangkan
menurut Sayyid Sabiq adalah:
“Yang
di maksud dengan jinayah dalam istilah syara’ adalah setiap perbuatan yang
dilarang.dan perbuatan yang dilarang itu adalah setiap perbuatan yang oleh
syara’ dilarang untuk melakukannya, karena adanya bahaya terhadap agama, jiwa,
akal, kehormatan, atau harta benda”.[2]
Dalam
konteks ini pengertian Jinayah sama dengan jarimah.
Menurut bahasa, jarimah berasal dari
kata (جَرَمَ ) yang sinonimnya ( كَسَبَ وَقَطَعَ )
artinya: berusaha dan bekerja. Hanya saja pengertian usaha disini khusus untuk
usaha yang tidak baik atau usaha yang di
benci oleh manusia.[3]
Menurut
istilah, Imam Al Mawardi mengemukakan sebagai berikut :
اَلْجَرَاءِمُ مَحْظُوْرَاتٌ شَرْعِيَّةٌ
زَجَرَاللهُ تَعَالَى عَنْهَابِحَدٍّأَوْ تَعْزِيْرٍ
Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang di larang oleh syara’, yang
di ancam dengan hukuman had atau ta’dzir.[4]
Perbuatan
yang di larang ( مَحْظُوْرَاتٌ ) adakalanya berupa mengerjakan perbuatan
yang dilarang dan adakalanya meninggalkan perbuatan yang
diperintahkan.sedangkan lafadz syari’ah (شَرِيْعَةٌ ) dalam definisi tersebut mengandung
pengertian bahwa suatu perbuatan yang baru di anggap sebagai jarimah apabila
perbuatan itu dilarang oleh syara’ dan diancam dengan hukuman. Dengan demikian
apabila perbuatan itu tidak ada larangan nya dalam syara’ maka perbuatan
tersebut hukumnya mubah sesuai dengan kaidah yang berbunyi :
اَلْأَصْلُ فِى الْأَ شْيَاءِ الْاءِبَاحَةُ
حَتَّى يَدُلُّ الدَّلِيْلُ عَلَي التَّحْرِيْمِ
Pada dasarnya semua perkara di bolehkan, sehingga ada dalil yang
menunjukkan keharamannya.[5]
Lafal had mempunyai dua arti, yaitu arti umum dan arti khusus. Had
dalam arti umum meliputi semua hukuman yang telah di tentukan oleh syara’, baik
hal itu merupakan hak Allah maupun hak individu. Dalam pengertian ini termasuk
hukuman qishash dan diat. Dalam aarti khusushad itu adalah hukuman yang telah
di tentukan oleh syara’ dan merupakan hak Allah, seperti hukuman potong tangan untuk jarimah
pencurian, dera seratus kali untuk jarimah zina, dan dera delapan puluh kali
untuk untuk jarimah qadzaf. Dalam pengertian khusus ini , hukuman qishash dan
diat tidak termasuk, karna keduanya merupakan hak individu. Sedangkan
pengertian “ta’zir” adalah hukuman yang belum di tentukan oleh syara’ dan untuk
penetapan serta pelaksanaannya diserahkan kepada Ulil amri (penguasa) sesuai
dengan bidangnya.
walaupun demikian, meskipun hukuman ta’zir itu ketentuannya
diserahkan kepada Ulil amri (penguasa), namun dalam pelaksanaan tetap berpedoman kepada dasar-dasar yang
telah ditetapkan oleh Alqur’an dan As-sunnah dengan tujuan untuk mencegah
manusia, supaya ia tidak membuat kekacauan dan kerusakan.
B.
RUANG
LINGKUP JINAYAH/ JARIMAH
Ruang lingkup hukum pidana islam meliputi pencurian, perzinaan
(termasuk homoseksual dan lesbian), menuduh orang yang baik-baik berbuat zina
(al qadzaf), meminum minuman yang memabuk kan(khamar), membunuh dan/melukai
seseorang, merusak harta seseorang, melakukan gerakan-gerakan kekacauan dan
semacamnya berkaitan dengan hukum kepidanaan.
Hukum
kepidanaan yang di maksud disebut adalah jarimah.
C.
MACAM
– MACAM JARIMAH
Jarimah itu sangat banyak macam dan ragamnya. Akan tetapi secara
garis besar kita dapat membaginya dalam engan meninjauinya dari beberapa segi:
1.
Di
tinjau dari Segi Berat Ringannya Hukuman
Dari segi berat ringannya hukuman, jarimah dapat di bagi kepada
tiga bagian. Antara lain :
a.
Jarimah
Hudud
b.
Jarimah
Qishash dan Diat, dan
c.
Jarimah
Ta’zir
a.
Jarimah
Hudud
Jarimah
hudud adalah jarimah yang di ancam dengan hukuman had. Pengertian hukuman had
adalah hukuman yang telah di tentukan oleh syara’ dan menjadi hak Allah
(masyarakat)
Ciri
khas Jarimah Hudud itu adalah sebagai berikut:
1.
Hukumnya
tertentu dan terbatas, dalam arti bahwa hukumannya telah ditentukan oleh syara’
dan tidak ada batas minimal dan maksimal.
2.
Hukuman
tersebut merupakan hak Allah semata-mata, atau kalu ada hak manusia disamping
hak Allah, maka hak Allah yang lebih menonjol. Pengertian hak Allah sebagaimana
di kemukakan oleh mahmud syaltut :
“hak Allah adalah suatu hak yang manfa’atnya kembali kepada
masyarakat dan tidak tertentu bagi seseorang”.[6]
Dalam
hubungannya dengan hukuman had maka pengertian hak Allah di sini adalah bahwa
hukuman tersebut tidak bisa di hapuskan oleh perseorangan (orang yang menjadi
korban atau keluarganya) atau oleh masyarakat yang di wakili oleh negara.
Adapu
jarimah hudud ini terbagi menjadi tujuh macam. Yakni :
1.
Jarimah
Zina
2.
Jarimah
Qazdaf
3.
Jarimah
Syurbul khomri
4.
Jarimah
Pencurian
5.
Jarimah
Hirabah
6.
Jarimah
Riddah
7.
Jarimah
Al Baghyu (pemberontakan)[7]
b.
Jarimah
Qishash dan Diat
Jarimah
Qishash dan diat adalah jarimah yang di ancam dengan hukuman qishash atau diat.
Baik qishash maupun diat keduanya adalah hukuman yang sudah ditentukan oleh
syara’. Perbedaanya dengan hukuman had adalah bahwa had merupakan hak Allah
(masyarakat) , sedangkan qishash dan diat adalah hak manusia (individu). Dan
adapun yang dimaksud dengan hak manusia sebagaimana dikemukakan oleh Mahmud
Syaltut : “Hak manusia adalah suatu hak yang manfa’atnya kembali kepada
orang tertentu”
Pengertian
hak manusia di sini adalah bahwa hukuman
tersebut bisa dihapuskan atau dimaafkan oleh korban atau keluarganya.
Adapun
ciri hasnya jarimah qishash dan diat adalah sebagai berikut :
1.
Hukumannya
sudah tertentu terbatas, dalam arti bahwa hukumannya telah ditentukan oleh
syara’ dan tidak ada batas minimal dan maksimal.
2.
Hukuman
tersebut merupakan hak perseorangan (individu), dalam arti bahwa koban atau
keluarganya berhak memberikan pengampunan terhadap pelaku.
Adapun jarimah qishash dan
diat hanya ada dua macam, yaitu pembunuhan dan penganiayaan. Namun apabila
diperluas maka ada lima macam, yaitu:
1.
Pembunuhan
sengaja
2.
Pembunuhan
menyerupai sengaja
3.
Pembunuhan
karena kesalahan
4.
Penganiayaan
sengaja
5.
Penganiayaan
tidak sengaja
c.
Jarimah
Ta’zir
Jarimah ta’zir adalah
jarimah yang di ancam dengan hukuman ta’zir. Pengertian ta’zir menurut bahasa
ialah ta’dib atau memberi pelajaran. Juga diartikan Ar rad wa Al Man’u[8] ,
artinya menolak dan mencegah, akan tetapi menurut istilah, sebagai mana di
kemukakan oleh imam Al Mawardi yakni :
“Ta’zir itu adalah hukuman pendidikan atas dosa (tindak pidana)
yang belum di tentukan hukumannya oleh syara’.[9]
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa hukuman ta’zir itu adalah hukuman yang belum di tetapkan
oleh syara’, melainkan diserahkan kepada Ulil amri, baik penentuannya maupun
pelaksanaannya. Dalam menentukan hukuman tersebut, penguasa hanya menetapkan
hukuman secara global saja. Artinya pembuat undang- undang tidak menetapkan
hukuman untuk masing-masing jarimah ta’zir, melainkan hanya menetapkan
sekumpulan hukuman, dari yang seringan-ringannya sampai yang seberat-beratnya.
Adapun ciri-ciri nya adalah sebagai berikut :
1.
Hukumannya
sudah tertentu terbatas, dalam arti bahwa hukumannya telah ditentukan oleh
syara’ dan tidak ada batas minimal dan maksimal.
2.
Penentuan
hukumannya adalah hak penguasa.
Berbeda dengan jarimah hudud dan qishash maka jarimah ta’zir tidak
ditentukan banyaknya, hal ini oleh karena yang termasuk jarimah ta’zir ini
adalah setiap perbuatan maksiat yang tidak di kenakan hukuman had dan qishash,
yang di jumlahnya sangat banyak.
Tentang jenis-jenis jarimah ta’zir ini ibnu taimiyah mengemukakan :
Yang artinya :
“ perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had dan
tidak pula kifarat, seperti mencium anak-anak (dengan syahwat) mencium wanita
lain yang bukan istri, tidur satu ranjang tanpa persetubuhan, atau memakan
barang yang tidak halal seperti darah dan bangkai.... . . .
Maka semuanya itu di kenakan hukum ta’zir sebagai pembalasan dan
pengajaran, dengan kadar hukuman yang di tetapkan oleh penguasa.[10]
Tujuan di berikannya hak penentuan jarimah-jarimah ta’zir dan
hukumannya kepada penguasa adalah agar mereka dapat mengatur masyarakat dan
memelihara kepentingan-kepentingannya.
3.
Di
tinjau dari segi niat
Jarimah ini terbagi menjadi dua yakni :
a.
Jarimah
sengaja, dan
b.
Jarimah
tidak sengaja.
a.
Jarimah
sengaja menurut Muhammad Abu Zahrah adalah :
“ Jarimah
sengaja adalah suatu jarimah yang di lakukan oleh seseorang dengan kesengajaan
dan atas kehendaknya serta ia mengetahui bahwa perbuatan tersebut di larang dan
di ancam dengan hukuman”[11]
b.
Abdul
Qadir Audah mengemukakan pengertian jarimah tidak sengaja sebagai berikut:
“Jarimah tidak
sengaja adalah jarimah di mana pelaku tidak sengaja (berniat) untuk melakukan
perbuatan yang dilarang dan perbuatan tersebut terjadi sebagai akibat
kelalaiannya”
Contohnya
seperti seseorang menembak orang lain yang di sangkanya penjahat yang sedang
dikejarnya, tetapi kemudian ternyata penduduk biasa.
4.
Di
tinjau dari segi Waktu tertangkapnya
Jarimah ini terbagi menjadi dua bagian, yakni :
a.
Jarimah
tertangkap basah ( jaroo imul mutalabbasu biha)
b.
Jarimah
yang tidak tertangkap basah (jaroo imu laa talbasu fiha)[12]
5.
Di
tinjau dri segi Cara melakukannya.
Jarimah ini juga terbagi menjadi dua, yakni:
a.
Jarimah
positif (jaroo imu ijaabiyyatu)
b.
Jarimah
negatif (jaroo imu salbiyatu)[13]
Pengertian jarimah positif adalah jarimah yang terjadi karna
melakukan perbuatan yang dilarang, seperti pencurian, zina, dan pemukulan.
Seangkan jarimah negatif adalah jarimah yang terjadi karna meninggalkan
perbuatan yang di perintahkan,seperti tidak mau menjadi saksi , enggan
melakukan sholat dan puasa.
6.
Di
tinjau dari segi objeknya.
Jarimah ini juga terbagi menjadi dua yakni:
a.
Jarimah
perseorangan ( jaroo imu dhiddul afradi)
b.
Jarimah
masyarakat (jaroo imu dhiddul jama’ati)
Penhgertian jarimah perseorangan adalah suatu jarimah dimana
hukuman terhadap pelakunya di jatuhkan untuk melindungi hak perseorangan (
individu), walaupun sebenarnya apa yang menyinggung individu, juga berarti
menyinggung masyarakat.
Pengertian jarimah masyarakat adalah suatu jarimah dimana hukuman
terhadap pelakunya di jatuhkan untuk melindungi kepentingan masyarakat,
walaupun sebenarnya kadang-kadang apa yang menyinggung masyarakat, juga
menyinggung perseorangan.
7.
Di
tinjau dari segi tabi’atnya.
Jarimah yang di tinjau dari segi ini terbagi dua, yakni:
a.
Jarimah
biasa (jaroo imu ‘adiyyatun)
b.
Jarimah
politik ( jaroo imu siyasatun)
Jarimah biasa adalah jarimah yang dilakukan oleh seseorang tnpa
mengaitkannya dengan tujuan tujuan politik. Sedangkan jarimah politik,
sebagaimana di kemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah :
“jarimah
politik adalah jarimah yang merupakan pelanggaran terhadap peraturan pemerintah
atau pejabat pejabat pemerintah atau terhadap garis-garis politik yang telah di
tentukan oleh pemerintah”.
D.
ASAS
ASAS HUKUM PIDANA ISLAM
Asas mempunyai beberapa pengertian. Salah satu di antaranya adalah
kebenaran yang menjadi tumpuan berfikir atau berpendapat. Selain itu, juga
berarti alas atau landasan.
Asas
hukum islam berasal dari alqur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.,baik yang
bersifat rinci maupun yang bersifat umum. Sifat asas hukum itu dikembangkan
oleh akal fikiran manusia yang memenuhi syarat untuk itu. Hal demikian dapat
diketahui bahwa asas –asas hukum islam meliputi: (1) asas-asas umum, (2)
asas-asas hukum pidana, (3) asas-asas hukum perdata, dan masih banyak asas
hukum yang lainnya seperti asas hukum
internasional, asas-asas hukum administrasi negara dll.
1.
Asas-Asas
Umum
Asas-asas hukum Islam adalah asas-asas hukum yang meliputi semua
bidang dan lapangan hukum islam, yaitu sebagai berikut:
a.
Asas
Keadilan
Asas keadilan adalah asas yang penting dan mencangkup semua asas
dalam bidang hukum islam. Akibat dari pentingnya asas tersebut, Allah SWT
mengungkapkan di dalam Alquran lebih dari 1.000 kali, terbanyak disebut setelah
kata Allah dan ilmu pengetahuan. Diantaranya adalah dalm surah Shadd (38) ayat
26 .
b.
Asas
Kepastian Hukum
Asas kepastian hukum adalah asas yang menyatakan bahwa tidak ada
satu perbuatan yang dapat di hukum kecuali atas kekuatan ketentuan peraturan
yang ada dan berlaku pada perbuatan itu. Asas ini berdasarkan Alquran surah
Al-Israa’ (17) ayat 15 dan Al Ma’idah (5) ayat 95.
c.
Asas
Kemanfa’atan
Asas kemanfa’atan adalah asas yang menyertai asas keadilan dan
kepastian hukum yang telah disebutkan di atas. Dalam melaksanakn asas keadilan
dan kepastian hukum, seyogyanya di pertimbangkan asas kemanfa’atannya, baik
kepada yang bersangkutan sendiri maupun kepada kepentingan masyarakat. Asas ini
berdasarkan Alquran surah Al Baqarah (2) ayat 178.
2.
Asas-Asas
Hukum Pidana
Asas-asas hukum pidana islam adalah asas-asas hukum yang mendasari
pelaksanaan hukum pidana islam, di antaranya :
a.
Asas
Legalitas
Asas legalitas adalah asas yang menyatakan bahwa tidak ada
pelanggaran dan tidak ada hukuman sebelum ada undang-undang yang mengaturnya.
Asas ini berdasarkan Alquran Surah Al Israa’ (17) ayat 15 dan surah Al-An’am
(6) ayat 19.
b.
Asas
Larangan Memindahkan Kesalahan Kepada Orang Lain
Asas ini adalah asas yang menyatakan bahwa setiap perbuatan
manusia, baik perbuatan yang baik maupun perbuatan yang jahat akan mendapatkan
imbalan yang setimpal. Asas ini terdapat dalam Al Quran Surah Al-An’am ayat 165. Surah Al-Faatir ayat
18, Surat Az-Zumar ayat 7, Surah An-Najm ayat 38, Surah Al-Muddatstsir ayat 38.
c.
Asas
Praduga Tak Bersalah
Asas paraduga tak bersalah adalah asas yang mendasari bahwa
seseorang yang di tuduh melakukan sesuatu kejahatan harus dianggap tidak
bersalah sebelum hakim dengan bukti-bukti yang meyakinkan menyatakan dengan
tegas kesalahannya itu.
3.
Asas
–Asas Hukum Perdata
Asas-Asas hukum perdata Islam adalah asas-asas hukum yang mendasari
pelaksanaan hukum perdata islam, diantaranya: (1) asas kekeluargaan (2) asas
kebolehan atau mubah (3) asas kebajikan (4) asas kemslahatan hidup, dan masih
banyak lagi asas asas hukum perdata Islam yang tidak di ebutkan disini.[14]
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainuddin. HUKUM PIDANA ISLAM, Jakarta: Sinar Grafika, 2007
Hakim, Rahmat. Hukum Pidana Islam (fiqh Jinayah), Bandung : Pustaka
Setia, 2000
Wardi Mukhlis, Ahmad. Pengantar dan Asas HUKUM PIDANA ISLAM Fiqh
Jianayah, Jakarta : Sinar Grafika, 2004
Wardi Mukhlis, Ahmad. HUKUM PIDANA ISLAM, Jakarta : Sinar Grafika,
2005
[1] Abdul Qodir
Audah, At Tasyri’ Al jina’iy Al Islamiy, juz 1, Dar Al Kitab Al ‘Araby,
Bierut, tanpa tahun, halamn 67.
[3] Muhammad Abu Zahrah, Al
jarimah wa Al ‘Uqbah fi Al fiqh Al Islamiy, Maktabah Al Angelo Al
Mishriyah, kairo, tanpa tahun, halamn 22.
[4] Al Mawardi,
Al Ahkam As Sulthaniyah, maktabah Musthafa Al Baby Al Halaby, mesir, 1973,
cetakan III, halaman 219. Juga lihat: Abi Ya’la Muhammad Ibn Al Husain, Al
Ahkam As Sulthaniyah, Maktabah Ahmad Ibn Sa’ad, surabaya, 1974, cetakan
III, halaman 257.
[5] Jalaluddin As Syuyuthi, Al Asybah
wa An Nazhair, Dar Al Fikr, tanpa tahun, halaman 43
[8] Dr. Abdul Aziz ‘Amir, At Ta’zir
fi As Syari’ah Al Islamiyah, Dar Al Fikr Al Araby, cetakan IV. 1969, halaman
52.
[9] Al Mawardi, op cit, halaman
236.
[10] Ibn Taimiyah, As Siyasah As
Syari’iyyah, Maktabah Anshar As Sunnah Al Muhammadiyah, Kairo, 1961, halaman
112.
[11] Muhammad Abu Zahrah, op cit.,
halaman 143.
[12] Ibid, halaman 85
[13] Abdul Qadir Audah., op cit.,
halaman 86.
[14] Lihat, H. Mohammad Daud Ali,
op. Cit., halaman. 114
Tidak ada komentar:
Posting Komentar