Rabu, 02 Mei 2012

AKAD IJARAH

PENGERTIAN IJARAH
Sewa menyewa atau dalam bahasa Arab Al Ijarah berasal dari kata Ajara ( أَجَرَ )yang arti menurut bahasanya ialah al-‘iwadh yang arti dalam bahasa Indonesianya ialah ganti dan upah. [1]
Sedangkan Sayyid Sabiq mengemukakan:
اَلْاِ جَارَةُ مُشْتَقَّةٌ مِنَ الْأَجْرِ وَهُوَ الْعِوَضُ,وَمِنْهُ سُمِّيَ اَلثَّوَابُ أَجْرًا
Ijarah diambil dari kata “Al-Ajr” yang artinya “iwadh (imbalan), dari pengertian ini pahala (tsawab) dinamakan ajr (upah /pahala)[2]
Sedangkan menurut istilah, para ulama berbeda-beda mendefinisikan ijarah, antara lain adalah sebagai berikut:
1.      Menurut Hanafiah bahwa ijarah adalah:

عَقْدُ يُفِيْدُ تَمْلِيْكُ مَنْفَعَةٍ مَعْلُوْمَةٍ مَقْصُوْدَةٍ مِنَ الْعَيْنِ اَلْمُسْتَأْجِرَةٍ بِعَوْضٍ

“akad untuk membolehkan pemilikan manfa’at yang diketahui dan disengaja dari suatu zat yang di sewa dengan imbalan”
2.      Sedangkan menurut malikiyah bahwa ijarah adalah :

تَسْمِيَةُ التَّعَا قُدِ عَلَي مَنْفَعَةِ الاَدَمِيْ وَبَعْضِ الْمَنْقُوْلَانِ

“nama bagi ‘Aqad-akad untuk kemanfa’atan yang bersifat  manusiawi dan untuk sebagian yang dapat dipindahkan.

3.      Menurut Syaikh Syihab Al-Din dan Syaikh Umairoh bahwa yang dimaksud dengan ijarah ialah:

عَقْدٌ عَلَي مَنْفَعَةٍ مَعْلُوْمَةٍ مَقْصُوْدَةٍ قَابِلَةٌ لِلْبَذْلِ وَالْأَبَاحَةِ بِعَوْضِ وَضْعا

“akad atas manfa’at yang diketahui dan di sengaja untuk memberi dan membolehkan dengan imbalan yang di ketahui ketika itu”[3]

4.      Menurut Syafi’iyah :
وَحَدُّ عَقْدِ الْاِجَارَةِ : عَقْدٌ عَلَي مَنْفَعَةٍ مَقْصُوْدَةٍ مَعْلُوْمَةٍ قَابِلَةٍ لِلْبَذْلِ وَالْاِبَاحَةِ بِعِوَضٍ مَعْلُوْمٍ

Defenisi akad iajarah adalah suatu akad atas manfa’at yang dimaksud dan tertentu yang bisa diberikan dan di bolehkan dengan imbalan tertentu.
5.      Menurut Hanabilah:

وَهِيَ عَقْدٌ عَلَى الْمَنَافِعِ تَنْعَقِدُ بِلَفْظِ الْاجَارَةِ وَالْكَرَاءِ وَمَا فِيْ مَعْنَاهُمَا

Ijarah adalah suatu akad atas manfa’at yang bisa sah dengan lafal ijarah dan kara’ dan semacamnya.[4]  

Dari definisi-defenisi tersebut di atas dapat dikemukakan bahwa pada dasarnya tidak ada perbedaan yang prinsip di antara para ulama dalam mengartikan ijarah atau sewa-menyewa. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa ijarah atau sewa-menyewa adalah akad atas manfa’at dengan imbalan. Dengan demikian, obyek sewa-menyewa adalah manfa’at atas suatu barang. Seseorang yang menyewa sebuah rumah untuk di jadikan tempat tinggal selama satu tahun dengan imbalan Rp.3000.000.00 (tiga juta rupiah), ia berhak menempati rumah itu untuk waktu satu tahun, tetapi ia tidak memiliki rumah tersebut. Dari segi imbalanya, ijarah ini mirip dengan jual beli, tetapi keduanya berbeda, karena dalam jual beli obyeknya benda, sedangkan dalam ijarah, obyeknya adalah manfa’at dari benda. Oleh karena itu, tidak di perbolehkan menyewa pohon untuk diambil buahnya karena buah itu benda, bukan manfa’at. Demikian pula tidak di bolehkan menyewa sapi untuk di perah susunya karena susu bukan manfa’at, melainkan benda.
DASAR HUKUM IJARAH
Para fuqaha’ sepakat bahwa ijarah merupakan akad yang dibolehkan oleh syara’, kecuali beberapa ulama’ seperti Abu Bakar Al-Asham, Isma’il bin ‘Aliyah, Hasan Al-Bishri, dll. Mereka tidak membolehkan ijarah, karena ijarah adalah jual beli manfa’at, sedangkan manfa’at pada sa’at dilakukannya akad, tidak bisa diserahterimakan. Setelah beberapa waktu barulah  barulah manfa’at itu dapat dinikmati sedikit  demi sedikit . sedeangkan sesuatu yang tidak ada pada waktu akad tidak boleh diperjualbelikan. Akan tetapi, pendapat tersebut disanggah oleh Ibnu Rusyd, bahwa manfa’at walaupun pada waktu akad belum ada, tetapi pada waktunya ia(manfaat) akan terwujud, dan inilah yang menjadi perhatian serta pertimbangan syara’.
Alasan Jumhur ulama tentang dibolehkannya ijarah adalah :
a.       QS.Ath-thalaq (65) ayat 6 :
£`èdqãZÅ3ór& ô`ÏB ß]øym OçGYs3y `ÏiB öNä.Ï÷`ãr Ÿwur £`èdr!$ŸÒè? (#qà)ÍhŠŸÒçGÏ9 £`ÍköŽn=tã 4 bÎ)ur £`ä. ÏM»s9'ré& 9@÷Hxq (#qà)ÏÿRr'sù £`ÍköŽn=tã 4Ó®Lym z`÷èŸÒtƒ £`ßgn=÷Hxq 4 ÷bÎ*sù z`÷è|Êör& ö/ä3s9 £`èdqè?$t«sù £`èduqã_é& ( (#rãÏJs?ù&ur /ä3uZ÷t/ 7$rã÷èoÿÏ3 ( bÎ)ur ÷Län÷Ž| $yès? ßìÅÊ÷ŽäI|¡sù ÿ¼ã&s! 3t÷zé& ÇÏÈ  
6.      tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu)
untuknya. 





b.      QS. Al-Qashash (28) ayat 26 dan 27 :

ôMs9$s% $yJßg1y÷nÎ) ÏMt/r'¯»tƒ çnöÉfø«tGó$# ( žcÎ) uŽöyz Ç`tB |Nöyfø«tGó$# Èqs)ø9$# ßûüÏBF{$# ÇËÏÈ   tA$s% þÎoTÎ) ߃Íé& ÷br& y7ysÅ3Ré& y÷nÎ) ¢ÓtLuZö/$# Èû÷ütG»yd #n?tã br& ÎTtã_ù's? zÓÍ_»yJrO 8kyfÏm ( ÷bÎ*sù |MôJyJø?r& #\ô±tã ô`ÏJsù x8ÏZÏã ( !$tBur ߃Íé& ÷br& ¨,ä©r& šøn=tã 4 þÎTßÉftFy bÎ) uä!$x© ª!$# šÆÏB tûüÅsÎ=»¢Á9$# ÇËÐÈ  
26. salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya".
27. berkatalah Dia (Syu'aib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun Maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, Maka aku tidak hendak memberati kamu. dan kamu insya Allah akan mendapatiku Termasuk orang- orang yang baik".
Dasar Hukum ijarah dari hadis adalah:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : قاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أُعْطُوْا الاَجِيْرُأَجْرَهُ قَبْلَ اَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ  (رواه ابن ماجه)
Dari Ibnu Umar RA, berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda: “Berikanlah olehmu upah buruh itu sebelum keringatnya kering.” (riwayat Ibnu Majah)[5]
كُنَّاَ نُكْرِى الأَ رْضَ بِمَا عَلَى السَّوَافِيْ مِنَ الزَّرْعِ فَنَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَلِكَ وَاَمَرَ نَا بِذَ هَبٍ اَوْوَرَقٍ (رواه احمد و ابو داود)
“Dahulu kami menyewa tanah dengan jalan membayar dari tanaman yang tumbuh. Lalu Rasulullah melarang kami cara itu dan memerintahkan  kami agar membayarnya dengan uang emas atau perak” (HR.Ahmad dan Abu Daud)[6]
Dari ayat-ayat alQur’an dan beberapa hadis Nabi tersebut jelaslah bahwa akad ijarah atau sewa-menyewa hukumnya dibolehkan, karena memang akad tersebut dibutuhkan oleh masyarakat.
RUKUN IJARAH DAN SYARAT-SYARATNYA
1.      rukun ijarah
Menurut Hanafiah, rukun ijarah hanya satu, yaitu ijab dan qabul, yakni pernyataan dari orang yang menyewa dan dan menyewakan. Lafal yang digunakan adalah lafal ijarah ((اِجَارَةْ, isti’jar, iktira’, dan ikra’.
Sedangkan menurut jumhur ulama, rukun ijarah itu ada empat, yaitu :
a.       aqid, yaitu mu’jir (orang yang menyewakan) dan musta’jir (orang yang menyewa),
b.      Sighat , yaitu ijab dan qabul.
c.       Ujrah (uang sewa atau upah), dan
d.      Manfa’at, baik manfa’at dari suatu barang yang di sewa atau jasa dan tenaga dari orang yang bekerja.
2.      Syarat –syarat Ijarah
Seperti halnya dalam akad jual beli, syarat-syarat ijarah ini juga terdiri atas empat jenis persyaratan, yaitu :
a.       Syarat terjadinya akad (syarat in’iqod)
b.      Syarat nafadz (berlangsungnya akad)
c.       Syarat sahnya akad, dan
d.      Syarat mengikatnya akad (syarat luzum)[7]



MACAM MACAM IJARAH
Ijarah ada dua macam, yakni :
1.      Ijarah atas manfa’at, disebut juga sewa-menyewa. Dalam ijarah bagian pertama ini, obyek akadnya adalah manfa’at dari suatu benda.
2.      Ijarah atas pekerjaan, disebut juga upah-mengupah. Dalam ijarah bagian kedua ini, obyek akadnya adalah amal atau pekerjaan seseorang.

KETENTUAN-KETENTUAN YANG TERKAIT
1.      Hukum Ijarah.
Akibat dari hukum ijarah  yang shahih adalah tetapnya hak milik atas manfa’at bagi musta’jir (penyewa), dan tetapnya hak milik atas uang sewa atau upah bagi mu’jir(yang menyewakan). Hal oleh karena akad ijarah adalah akad mu’awadhah, yang disebut dengan jual beli manfa’at.
Dalam ijarah fasid, apabila musta’jir telah menggunakan barang yang disewa maka ia wajib membayar uang sewa yang berlaku (ujrotul mitsli). Menurut hanafiyah, kewajiban membayar ujrotul mitsli berlaku apabila rusaknya akad iajrah tersebut karena syarat yang fasid, bukan karena ketidakjelasan harga, atau tidak menyebutkan jenis pekerjaannya. Dalam hal ijarah fasidah karena dua hal yang disebutkan terakhir ini, maka upah atau uang sewa harus dibayar penuh. Menurut imam zufar dan Syafi’i, dalam ijarah fasidah, upah atau uang sewa harus dibayar penuh, seperti halnya dalam jual beli.
2.      Hukum ijarah atas manfa’at (sewa-menyewa)
Akad sewa-menyewa dibolehkan atas manfaat yang mubah, seperti rumah untuk tempat tinggal, toko dan kios untuk tempat berdagang,mobil untuk kendaraan atau angkutan, pakaian dan perhiasan untuk dipakai.adapun manfaat yang diharamkan  maka tidak boleh disewakan, karena barangnya diharamkan. Dengan demikian , tidak boleh mengambil imbalan  untuk manfaat yang diharamkan ini, seperti bangkai dan darah.
3.      Hukum Ijarah Atas Pekerjaan (upah-mengupah)
Ijarah atas pekerjaan atau upah-mengupah adalah suatu akad ijarah untuk melakukan suatu perbuatan tertentu. Misalnya membangun rumah, menjahit pakaian, mengangkut barang ke tempat tertentu, memperbaiki mesin cuci, atau kulkas, dan sebagainya. Orang yang melakukan pekerjaan disebut ajir atau tenaga kerja.

Ajir atau tenaga kerja ada dua macam :
a.       Ajir (tenaga kerja) khusus, yaitu orang yang bekerja pada satu orang untuk masa tertentu. Dalam hal ini tidak boleh bekerja untuk orang lain selain orang yang telah mempekerjakannya. Contohnya seseorang yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga pada orang tertentu.
b.      Ajir (tenaga kerja) musytarak, yaitu orang yang bekerja untuk lebih dari satu orang, sehingga mereka bersekutu didalam memanfaatkan tenaganya. Contohnya tukang jahit, tukang celup, notaris, dan pengacara. Hukumnya adalah ia (ajir musytarak) boleh bekerja untuk semua orang , dan orang yang menyewa tenaganya tidak boleh melarangnya bekerja kepada orang lain. Ia (ajir musytarak) tidak berhak atas upah kecuali dengan bekerja.
BERAKHIRNYA AKAD IJARAH
Akad ijarah dapat berakhir karena hal-hal berikut ini :
1.      Meninggalnya salah satu pihak yang melakukan akad. Ini menurut pendapat hanafiah. Sedangkan menurut jumhur ulama, kematian salah satu pihak tidak mengakibatkan fasakh atau berakhirnya akad ijarah. Hal tersebut dikarenakan ijarah merupakan akad yang lazim. Seperti halnya jual-beli, dimana musta’jir memiliki manfa’at atas barang yang disewa dengan sekaligus sebagai hak milik yang tetap, sehingga bisa berpindah kepada ahli waris.
2.      Iqalah, yaitu pembatalan oleh kedua belah pihak. Hal ini karena ijarah adalah akad mu’awadhah (tukar-menukar), harta dengan harta sehingga memungkinkan untuk dilakukan dilakukan pembatalan (idqalah) seperti halnya jual beli.
3.      Rusaknya barang yang disewakan , sehingga ijarah tidak mungkin untuk diteruskan.
4.      Telah selesainya masa sewa, kecuali ada udzur. Misalnya sewa tanah untuk ditanami, tetapi ketika masa sewa sudah habis, tanaman belum bisa dipanen. Dalam hal ini ijarah dianggap belum selesai.
JU’ALAH (PELAYANAN KHUSUS)[8]
Penegertian Ju’alah adalah suatau kontrak dimana pihak pertama  (ja’il) menjanjikan untuk memberikan sejumlah imbalan tertentu ( جَعْلٌ) kepada pihak kedua (‘amil) atas suatu usaha/layanan proyek yang sifat dan batasan-batasannya termaktub dalam kontrak perjanjian.
Landasan Syari’ah untuk fasilitas ju’alah ini antara lain al Quran surat Yusuf (12) ayat 72 :
(#qä9$s% ßÉ)øÿtR tí#uqß¹ Å7Î=yJø9$# `yJÏ9ur uä!%y` ¾ÏmÎ/ ã@÷H¿q 9ŽÏèt/ O$tRr&ur ¾ÏmÎ/ ÒOŠÏãy ÇÐËÈ  
72. penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala Raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya".
Sifat-sifat dari fasilitas pelayanan khusus ju’alah ini pada perbankan adalah sebagai berikut :
a.       Ju’alah adalah salah satu jenis fasilitas jangka pendek yang dapat diterapkan untuk kegunaan perluasan produksi, perdagangan, atau jasa-jasa lainnya.
b.      Bank dapat memasuki kontrak ju’alah baik dari segi ja’il (peminta fasilitas/jasa) maupun sebagai ‘amil (pemberi fasilitas/jasa)
c.       Apabila bank bertindak sebagai ‘amil, maka bank mempunyai hak untuk memindahkan  sebagian atau seluruh fasilitas yang diminta kepada pihak ketiga.
d.      Suatu kontrak ju’alah yang disepakati harus mencankup:
1.      Jenis layanan yang diminta oleh ja’il atau ‘amil
2.      Penyelesaian proyek/ layanan dalam jangka waktu tertentu
3.      Pembayaran yang akan diterima oleh ‘amil dan cara serta proses pembayarannya.
e.       Apabila ‘amil telah mendapatkan order dari ja’il, maka ‘amil harus memperhitungkan seluruh biaya pelaksanaan proyek, dan atas perhitungan tersebut ia berhak meminta bayaran yang sesuai dan menguntungkan.
f.       Apabila ‘amil (dalam hal ini bank) hendak memindahkan seluruh atau sebagian layanan  yang diminta terhadapnya kepada pihak lain, maka suatu perjanjian harus dibuat antara ‘amil pertama (bank) dan ‘amil kedua (biro jasa/kontraktor/developer)
g.      ‘amil diperbolehkan untuk memindahkan sebagian atau layanan yang diminta oleh ja’il  kepada siapa saja yang dianggapnya layak dan tepat kecuali kepada ja’il itu sendiri.
h.      Apabila sebagian atau seluruh layanan di pindahkan kepada ja’il maka ju’alah menjadi batal.
i.        Contoh dari penerapan prinsip ju’alah adalah dalam pembangunan proyek sebuah gedung, baik kantor, ruko, maupun rumah makan. Dalam hal ini contoh kasus nasabah menjadi ja’il  (peminta layanan) dan bank sebagai ‘amil (pemberi layanan pembangunan). Sebagai ‘amil , bank harus memperhitungkan seluruh biaya yang di perlukan dalam pembangunan. Baik itu bahan baku, maupun upah buruh, dan biaya-biaya lainnya. Apabila bank telah sampai kepada angka (biaya) yang di setujui oleh ja’il, maka bank dapat memindahkan pelaksanaan pembangunan tersebut kepada pihak ketiga dalam hal ini developer. Untuk itu bank harus membuat perjanjian tersendiri, yang terpisah dari perjanjian awal dengan ja’il. Spread (perbedaan) pembayaran dari ja’il ke bank dan dari bank ke ‘amil itulah yang kemudian menjadi keuntungan pihak bank.

PENUTUP
Demikian lah uraian tentang ijarah dan ju’alah, yang meliputi pengertian dan dasar hukumnya, rukun dan syarat-syaratnya. Banyak sekali perkembangan kasus seiring dengan perkembangan zaman. Globalisasi yang semakin gencar membuat banyak sekali temuan-temuan baru dalamperkembangan fiqh muamalah sendiri.
Hanya ini yang bisa kami sampaikan , tentunya koreksi dan perbaikan serta kritik dan sarannya sangat kami harapkan demi terbentuknya makalah yang sempurna dan keilmuan yang benar-benar bisa di pertanggung jawabkan. Wallahu a’lam bis showab......


DAFTAR PUSTAKA
Ahmad. Wardi muchlis. Fiqh Muamalat, AMZAH, Jakarta .2010
Hendi.Suhendi, FIQH MUAMALAH,  Rajawali Pers, Jakarta. 2010.
Sohari. Sahrani, FIKIH MUAMALAH Untuk Mahasiswa dan Umum, Ghalia Indonesia, Ciawi-Bogor. 2011.



[1] . Ahmad. Wardi muchlis. Fiqh Muamalat, AMZAH, Jakarta .2010 hal., 315
[2]. Hendi.Suhendi, FIQH MUAMALAH,  Rajawali Pers, Jakarta. 2010. Hal., 116

[3] . Hendi.Suhendi, FIQH MUAMALAH,  Rajawali Pers, Jakarta. 2010. Hal., 120
[4] . Ahmad. Wardi muchlis. Fiqh Muamalat, AMZAH, Jakarta .2010,. hal. 323

[5] . Sohari. Sahrani, FIKIH MUAMALAH Untuk Mahasiswa dan Umum, Ghalia Indonesia, Ciawi-Bogor. 2011.hal., 167
[6] . Ahmad. Wardi muchlis. Fiqh Muamalat, AMZAH, Jakarta .2010,. hal. 325
[7] . ibid., hal. 321
[8] . ibid ., hal. 531

Tidak ada komentar:

Posting Komentar