Rabu, 02 Mei 2012

Kaidah Fiqih Kedua


اَلْيَقِيْنُ لَا يُزَالُ بِا لشَّكِّ
“Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan adanya keraguan”
PENGERTIAN KAIDAH
Dalam bahasa Arab, khusus seputar makna kata yakin ( selanjutnya di indonesia-kan menjadi yakin) cukup semarak dibicarakan, terutama dalam kajian Ilmu Fiqh, Ushul Fiqh, maupun Kaidah Fiqh. Dari segi bahasa, Abu zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi dalam kitabnya: Syarh Shahih Muslim hal 91 menyatakan bahwa,  yakin secara sederhana dimaknai sebagai ketetapan hati (Thuma’ninah al-qalb) atas suatu kenyataan atau realitas tertentu. Umpamanya seseorang memiliki ketetapan hati bahwa hari ini adalah hari Senin, maka dia telah yakin (ayqana) bahwa hari ini adalah hari Senin. Lebih jauh, al-Ghazali mendasarkan bahwa yakin adalah “kemantapan hati untuk membenarkan sebuah objek hukum, dimana hati juga mampu memastikan  bahwa kemantapan itu adalah hal yang benar.
Sementara yakin dalam konteks kaidah ini mempunyai makna lebih luas daripada pengertian yakin secara etimologis. Sebab yang dimaksud disini juga memasukkan zhan (praduga kuat), dimana zhan sendiri belum mencapai derajat yakin. Namun para fuqaha terbiasa menggunakan al-‘ilmu (tahu) dan yakin untuk menunjuk makna zhan, dan sebaliknya.  Dalam hal ini, al-Nawawi menjelaskan pada Dirasah wa Tahqiq dalam Kitab al-Qawa’id karangan Taqiyyudin Abu Bakar dan dalam kitab al-Majmu’ Syarh Muhadzdzab karangan Abu Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi bahwa, bila ada orang yang dipercaya (tsiqah) memberitahu bahwa air yang kita pakai berwudhu terkenan najis, maka pengetahuan kita yang berdasarkan berita tadi telah dikatagorikan yakin. Padahal sebenarnya kemantapan hati kita baru mencapai taraf zhan (asumsi atau persepsi kuat), karena kita tidak melihat langsung najis yang menimpa air yang kita gunakan berwudhu itu. Karenannya, fuqaha seringkali menamai zhan seperti itu dengan kalimat yakin atau al-ilmu (tahu). Konsekuensinya, kita wajib men-sucikan kembali anggota badan yang terkena air najis tersebut sekaligus wajib mengulangi shalat.[1]
Adapun yang di maksud dengan al-syak disini adalah:
هُوَ مَا كَانَ مُتَرَدِّدًا بَيْنَ الثُّبُوْتِ وَ عَدَمِهِ مَعَ تَسَاوِى طَرَفَىِ الصَوَابِ وَالْخَطَاءِ دُوْنَ تَرْجِيْحِ اَحَدِهِمَا عَلَى الْاَخَرِ
“suatu pertentangan antara kepastian dengan ketidakpastian tentang kebenaran dan kesalahan dengan kekuatan yang sama, dalam arti tidak dapat ditarjihkan salah satunya.[2]
            syak  secara literal bisa diartikan sebagai keraguan atau kebimbangan.[3] Secara lebih sepesifik, ahli fiqh memaknai syak  sebagai keraguan dan kebimbangan akan terjadinya sesuatu atau tidak terjadinya. Yang agak berbeda adalah makna syak yang diajukan ahli ushul fiqh, yakni keseimbangan hati dalam menyikapi sesuatu. Dalam pengertian ini, hati kita tidak lebih cenderung kepada salah salah satu dari dua kemungkinan yang ada. Mislanya seseorang yang ragu, apakah temannya yang sedang ditunggu akan datang atau tidak, tampa melebihkan kemungkinan  antara datangdan tidak tersebut.[4]
Dengan pemahaman ini, ushuliyyin sering melontarkan kritik epistemologis (teori ilmu pengetahuan) kepada para fuqaha seputar rumusan kaidah ini. Sebab menurut ushuliyyin, apabila seseorang telah dihinggapi keraguan dalam hatinya, maka keyakinan yang sebelumnya telah bulat pasti akan hilang, atau minimal terganggu dan tidak utuh lagi. Sedangkan kaidah ini mengklaim bahwa keyakinan tidak dapat dilangkan oleh keraguan. Ini jelas sesuatu yang mengada-ngada dan absurd (irrasional), demikian landasan ushuliyyin.
Menanggapi kritik ini, fuqaha menegaskan bahwa yang dimaksud ‘tidak hilang’ (la yuzalu) bukan berarti keyakinan itu sendiri yang sirna, sebab hal itu mustahil terjadi, melainkan hukum yang telah terbangun berdasarkan keyakinan itulah yang tidak akan hilang.  Hal ini berdasarkan argumen pokok, bahwa pada dasarnya keyakinan memiliki nilai hukum lebih kuat daripada keraguan. Sebab, ketika ketika dalam hati telah terbangun suatu keyakinan, maka dia tidak dapat digoyahkan oleh situasi, kondisi, atau faktor eksternal apapun. Artinya, dalam keyakinan terdapat hukum pasti yang tidak akan tergoyahkan oleh hal-hal yang baru timbul, kecuali oleh keyakinan yang lain.
Terlepas dari kontradiksi di atas, al-Nawawi menegaskan bahwa syak dalam istilah fuqaha di definisikan sebagai keraguan antara wujud dan tidaknya sesuatu. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan istilah syak atau ragu  dalam masalah air, kemudian soal hadats, najasah, shalat, puasa , talak dan itq (memerdekakan budak) semuanya mengandung pengertian kebimbangan antara ada dan tidak ada, antara wujud dan tidak wujud, antar dikerjakan dan tidak dikerjakan. Keraguan dalam kasus ini bisa bersifat sama kuat atau seimbang antara keberadaan dan ketidakberadaannya, dan bisa pula ada yang lebih tinggi salah satu kadarnya.[5]
Ada kekcualian dari kaidah tersebut di atas, misalnya, wanita yang sedang menstruasi yang meragukan, apakah sedah berhenti atau belum. Maka ia wajib mandi besar untuk shalat. Contoh lain, apabila orang ragu, apakah yang keluar itu mani atau madzi. Maka ia wajib mandi besar. Padahal ia ragu, yang keluar itu mani yang mewajibkan mandi atau madzi yang tidak mewajibkan mandi. Contoh lain, baju seseorang terkena najis, tetapi ia tidak tahu bagian mana yang terkana najis. Maka ia wajib mencuci baju seluruhnya[6]
Mazhab Hanafi mengecualikan dari kaidah tersebut dengan menyebut 7 macam contoh. Sedangkan mazhab Syafi’i menyebut 11 macam contoh.
Sedangkan materi-materi fikih yang terkandung dalam kaidah al-yaqin la yuzal bi al-syak, tidak kurang dari 314 masalah fikih
Menurut Ahmad bin Muhammad dalam Ghamzu ‘Uyun al Basha’ir hasyiah ‘ala Asybah li Ibn Nujaim, Secara lebih sistematis, sebagian ulama memilah ‘kondisi hati’ dalam lima bagian berikut:
1.      Yakin, yakni keteguhan hati yang bersandar pada dalil qath’iy (petunjuk pasti).(100:0)
2.      I’tiqad, yaitu keteguhan hati yang tidak bersandar pada dalil qath’iy.
3.      Zhan, yakni persepsi atau asumsi hati terhadap dua hal berbeda, dimana salah satunya lebih kuat. ( >50:>50)
4.      Syak. Yaitu sebentuk prasangka terhadap dua hal tampa mengunggulkan salah satu diantara keduanya.(50:50)
5.      Wahm,  atau kemungkinan yang lebih lemah dari dua hal yang diasumsikan. (<50:>50)
            Jadi kaidah ini mendasarkan bahwa hukum yang sudah berlandaskan keyakinan tidak dapat di pengaruhi oleh keraguan yang timbul kemudian. Rasa ragu yang merupakan unsur eksternal dan muncul setelah nkeyakinan tidak akan menghilangkan hukum yakin yang telah ada sebelumnya. Seseorang yang sebelumnya telah yakin bahwa dia berada dalam kondisi suci- dengan berwudhu misalnya- tidak akan hilang hukum kesuciannya disebabkan munculnya keraguan setelah itu. Karena sebelum keraguan itu timbul, dia telah meyakini kebsahan tharah yang telah dilakukan.[7]
Dan yang dimaksud yakin dalam kaidah ini adalah tercapainya kemantapan hati pada satu objek hukum yang telah dikerjakan. Baik kemantapan itu sudah mencapai kadar pengetahuan yang mantap atau persepri kuat (zhan). Jadi bukanlah sebuah kemantapan hati yang disertai dengan keraguan saat melaksanakan pekerjaan, karena hal itu tidak termasuk kategori yakin.
LANDASAN YURIDIS/ SUMBER PENGAMBILANNYA
a.      Al-Quran
Pondasi terbangunnya kaidah ini adalah firman Allah swt. Dalam QS. Yunus ayat 36 yang berbunyi :
“dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan.”
Ayat ini pada mulanya menyoroti karakter orang-orang musyrik yang sringkali berpegang pada prasangka-prasangka yang tidak bisa di buktikan kebenarannya. Terhadap tuhan yang mesti di sembah pun mereka masih cenderung berimajinasi pada benda-benda mati yang dalm persepsi mereka dapat memberi jaminan keselamatan dan kelangsungan hidup . dengan ayat ini, Allah swt memberi penegasan  akan hal yang mesti dijadikan pijakan berfikir dan bertindak, yakni dengan jelas-jelas dapat menunjukkkan pada kebenaran , bukan yang masih diragukan. Karena walau bagaimanapun, hal yang masih dalam keraguan atau masih menjadi tanda tanya tidak dapat disejajarkan dengan keyakinan.[8]  Dari penegasan ini akan memunculkan keniscayaan bahwa apabila  terjadi keragu-raguan yang berpotensi untuk mempengaruhi hal-hal yang telah diyakini sebelumnya, sudah barang tentu tidak dapat mempengaruhi keyakinan yang sudah ada, selama belum ada elemen-elemen fundamental yang dapat menunjukkkan bukti valid bahwa keyakinan itu tidak sesuai  kenyataan al-yaqinu la yuzalu bi al-syak.
b.      Hadits
Hadits Nabi Muhammad saw. Yang menjadi pondasi kaidah ini antara lain :
Pertama, hadits riwayat Imam Muslim r.a :
اِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِيْ بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخْرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لَا ؟ فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعْ صَوْتًا أَوْ يَجِدْ رِيْحًا.
apabila salah seorang diantara kalian merasakan ‘sesuatu’ di dalam perutnya, kemudian dia ragu, apakah telah keluar sesuatu (dari perutnya) atau tidak, maka janganlah dia keluar dari masjid (membatalkan shalatnya), sampai dia mendengar suara atau mencium bau” (H.R. Muslim)
Menurut al-Nawawi, hadis ini merupakan salah satu landasan dasar yurisprudensi Islam yang kemudian dijadikan fundamen terbangunnya kaidah-kaidah fiqh. Dari hadis ini pula terbangun konsep serta metodologi-analitis mengenai status objek, yakni dengan cara melihat status hukum asalnya yang tidak akan berubah hingga ada unsur eksternal yang valid dan mampu mempengaruhi keasliannya. Secara eksplisit, hadis ini memang berbicara dalam konteks seseorang yang ragu apakah telah merasakan keluarnya angin (kentut) atau tidak. Dalam hal ini, Nabi menegaskan, keraguan yang baru timbul itu tidak dapat mempengaruhi status wudhunya. Kecuali jika memang telah benar-benar mendengar bunyi atau mencium bau angin tersebut. Proses mendengar maupun mencium bau ini, bisa dijadikan sebuah indikasi kuat bahwa wudhunya telah batal.[9]
Kedua, Hadits  riwayat  Bukhari-Muslim r.a.:
شُكِيَ اِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّ جُلُ يُخًيَّلُ اِلَيْهِ أَنَّهُ يَجِدُ الشَّيْءَ فِي الصَّلَاةِ, قَا َل " لَايَنْصَرِفُ حَتَّي يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ رِيْحًا"
Nabi saw. diberi kabar mengenai seorang yang merasakan angin (yang keluar dari perut) dalam shalatnya. Beliau bersabda” janganlah dia berhenti shalat sampai ia mendengar suara atau mencium bau”
Hadis kedua ini merupakan lanjutan dari hadis pertama, sekaligus penegasan akan substansi yang terkandung di dalamnya. Yakni menegaskan: Pertama, keraguan yang berupa perasaan keluarnya angin tidak dapat merubah  status hukum yang telah diyakini sebelumnya, yakni kondisi suci dalam shalat. Kedua, keyakinan yang ada hanya dapat ‘dikalahkan’ oleh keyakinan yang lain, berupa kepastian batalnya shalat disebabkan keluranya angin yang bisa dipastikan dengan mendengar suara atau mencium baunya.[10]
Ketiga, hadis riwayat Muslim r.a.:
اِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِيْ صَلَاتِهِ فَلَمْ يَدْرِكَمْ صَلَّى  ثَلَاثًا أَ مْ أَرْبَعًا؟ فَلْيَطْرَحْ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَا ا سْتَيْقَنَ , ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ  أَنْ سَلَّمَ , فَاءِنْ كَانَ صَلَّى خَمْسًا شَفَعْنَ لَهُ صَلَاتُهُ , وَ اِنْ كَا نَ صَلَّى اِتْمَامًالِأَرْبَعِ كَانَتَأ تَرْغِيْمًا لِلَّشيْطَاِن.
“apabila salah seorang diantara kalian ragu dalam shalatnya, apakah dia telah mencapai tiga atau empat rakaat? Maka hendaklah dia membuang jauh-jauh keraguan itu dan berpeganglah pada keyakinannya, kemudian sujud (sujud sahwi)-lah dua kali sebelum salam. Jika (kenyataannya) dia shalat sampai lima raka’at, maka shalatnya akan akan genaplah shalatnya. Namun bila –ternyata- empat rakaat, maka dua sujudnya akan membuat malu setan”
Secara subtantif, hadis ini sebenarnya sama dengan dua haids sebelumnya, walaupun objeknya berbeda. Hadis ini berbicara mengenai keraguan yang terjadi pada jumlah bilangan rakaat. Apabila dalam shalat timbul keraguan mengenai jumlah bilangan raka’at, maka yang di jadikan pedoman adalah bilangan minimal. Sebab bilangan inilah yang di yakini.[11] Karena apabila yang dipilih adalah bilangan yang lebih besar , maka ada kemungkinan akan salah perhitungan. Tapi jika jumlah minimal yang menjadi pilihan sebagai landasan untuk meneruskan shalat, kemungkinan salahnya tipis.
Keempat, hadis riwayat al-Turmuzi r.a.:
اِذَا سَهَا أَحَدُكُمْ فِى صَلَاتِهِ فَلَمْ يَدْرِ وَا حِدَةً صَلَّى أَمْ اِثْنَتَيْنِ فَلْيَبْنِ عَلَى وَاحِدَةٍ, فَاِنْ لًمْ يَتَيَقَّنْ صَلَّى اِثْنَيْنِ أَمْ ثَلَاثًا فَلْيَبْنِ عَلَى اِثْنَيْنِ, فَاِنْ لَمْ يَدْرِ ثَلَاثًا صَلَّى أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَبْنِ عَلَى ثَلَاٍث, وَلْيَسْجُدْ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ.
 “ketika salah satu diantara kamu sekalian lupa di dalam shalat, apakah sudah mencapai satu atau dua rakaat? Maka hendaklah dia meyakini sebagai rakaat pertama. Apabila kalian tidak yakin apakah shalat dua rakaat atau tiga? Maka hendaklah meyakinkan pada rakaat yang kedua. Apabila tidak tahu apakah tiga atau empat, maka hendaklah melanjutkan  rakaat yang ketiga. Dan hendaklah melakukan dua sujud (sahwi) sebelum salam”
Dalam hadis ini lebih menekankan maksud dari ma istayqana. Apabila ragu antara satu dan dua, maka yang di pilih adalah satu. Demikian pula apabila keraguan yang terjadi antara dua dan tiga, maka yang dipilih adalah dua dan seterusnya. Artinya bahwa, apabila terjadi keraguan dalam hal bilangan-semisal jumlah rakaat- maka yang dijadikan pegangan (alpmu’tabar) adalah bilangan yang lebih sedikit.
Dari semua hadis diatas, dapat dipeti satu pesan esensial bahwa hukum segala sesuatu harus dilihat dari kondisi asal yang meyakinkan. Jika kondisi semula adalah batal, maka faktor external yang muncul kemudian tidak akan dapat mempengaruhi status hukum batal itu, sehingga hukumnya hukumnya tetap batal. Demikian pula apabila kondisi asalnya adalah sah, maka hukum selanjutnya tetap sah, dengan catatan tidak ada bukti yang meyakinkan yang mampu merubahnya. Dari sinilah terbangun kaidah “al-yaqinu la yuzali bi al-syak”.
MASALAH FIQH YANG TERKAIT DENGAN KAIDAH
Banyak sekali persoalan-persoalan hukum yang dicakup kaidah ini, diantaranya adalah keyakinan akan sahnya thaharah (bersuci). Seseorang yang sebelumnya telah yakin bahwa dia  berada dalam kondisi suci (dengan berwudhu) tidak akan hilang hukum thaharahnya disebabkan keraguan yang muncul kemudian. Karena sebelum keraguan itu timbul, dia telah meyakini keabsahan thaharahnya. Begitupun dalam mu’amalah, seseorang yang berhutang kepada temannya, kemudian dia ragu apakah nilai hutangnya sebanyak sepuluh ribu atau sebelas ribu? Maka dia diharuskan membayar sebelas ribu. Maka dia telah membayarnya dengan tepat. Namun jika hanya sepuluh ribu, berarti dia telah berbuat kebaikan dengan bersedekah melalui kelebihan nilai nominalnya yang dibayarkan[12].
Sebaliknya, bila keraguannya adalah tentang apakah dia telah melunasi hutangnya atau belum, maka hutangnya masih dianggap belum bayar. Adapun permasalahn lainnya adalah bila tali perkawinan  anatar suami istri terlah nyata-nyata sah, tapi suatu ketika timbul keraguan apakah sang suami telah menjatuhklan talak atau tidak? Maka hukum nikahnya tetap dianggap sah, karena hukum asal berupa ikatan tali pernikahan diantara keduanya telah sah sejak semula.
Kasus lain dalam fiqh siyasah tentang pemilihan Kepala Daerah. Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) menyatakan bahwa kelompok A yang menang dan kelompok B yang kalah. Kemudian kelompok B mengajukan gugatan bahwa seharusnya kelompok A yang kalah dan kelompok B yang menang. Alasannya karena adanya kecurangan. Maka dalam hal ini, yang meyakinkan adalah bahwa telah terjadi pemilihan umum dan kelompok A yang menang. Kecuali apabila kelompok B memberikan bukti-bukti yang sah meyakinkan pula bahwa kelompoknya yang menang.
Contoh lain dalam Fiqh jinayah, apabila seseorang menyangka kepada orang lain melakukan kejahatan, maka sangkaan tersebut tidak dapat diterima. Kecuali ada bukti yang sah dan meyakinkan bahwa orang tersebut telah melakukan kejahatan.[13]
Kaidah ini sama dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocent) dalam hukum barat. Selain itu, secara moral, seorang muslim harus memiliki husnu zhan ( berrprasangka baik) sebelum ada bukti yang meyakinkan bahwa dia tidak baik.[14]
Ada kekcualian dari kaidah tersebut di atas, misalnya, wanita yang sedang menstruasi yang meragukan, apakah sedah berhenti atau belum. Maka ia wajib mandi besar untuk shalat. Contoh lain, apabila orang ragu, apakah yang keluar itu mani atau madzi. Maka ia wajib mandi besar. Padahal ia ragu, yang keluar itu mani yang mewajibkan mandi atau madzi yang tidak mewajibkan mandi. Contoh lain, baju seseorang terkena najis, tetapi ia tidak tahu bagian mana yang terkana najis. Maka ia wajib mencuci baju seluruhnya[15] .
Sesungguhnya contoh-contoh diatas menunjukkan kepada ihtiyath dalam melakukan ibadah, tidak langsung merupakan kekecualian. Mazhab Hanafi mengecualikan dari kaidah tersebut dengan menyebut 7 macam contoh. Sedangkan mazhab Syafi’i menyebut 11 macam contoh.
Sedangkan materi-materi fikih yang terkandung dalam kaidah al-yaqin la yuzal bi al-syak, tidak kurang dari 314 masalah fikih[16]
Mazhab yang tidak mau menggunakan hal-hal yang meragukan adalah madzhab Maliki dan sebagian ulama syafi’iyah, karena mereka menerapkan konsep ihtiyath-nya. Memang dalam ibadah memerlukan kepastian dan kepuasan batin, sedangkan kepastian dan kepuasan batin hanya bisa dicapai dengan ihtiyath (kehati-hatian).
Ulama Malikiyah beralasan dengan, “bahwa seseorang yang tidak bisa lepas dari tuntutan ibadah kecuali dengan melaksanakannya secara benar dan meyakinkan, seperti: shalat yang sah hanya bisa dilaksanakan dengan didahului oleh wudhu yang sah, bukan dengan wudhu yang meragukan tentang apakah sudah batal atau belumnya wudhu tadi”.
Ulama Hanafiyah menjawab hal ini dengan  jawaban, “shalat itu merupakan tujuan (maqashid), sedangkan wudhu merupakan wasilah (syarat sah shalat), bersikap ihtiyath didalam memelihara maqashid lebih utama daripada ihtiyath di dalam wasail, karena wasail tingkatanya lebih rendah daripada maqashid (media lebih rendah daripada tujuan).
Sedangkan Ibnu Hazm dari Mazhab al-Zahiri menanggapi soal ihtiyath dari mazhab Maliki dengan kata-kata: “Semua ihtiyath yang menyebabkan kepada tambahan atau pengurangan  atau penggantian didalam agama yang tidak diizinkan Allah, bukanlah ihtiyath dan bukan pula kebaikan”.[17]
Tentang syak, Ibnu Qayyim al-Jauziyah mengemukakan : “perlu diketahui bahwa di dalam syari’ah tidak ada sama sekali yang meragukan. Sesungguhnya syak (keraguan) itu datang kepada mukallaf (subyek hukum) karena kontradiksinya dua indikator atau lebih, maka masalahnya menjadi meragukan baginya(mukallaf). Mungkin bagi orang lain(mukallaf lain) masalah tersebut tidaklah meragukan. Oleh karena itu, syak bukanlah sifat yang tetap pada masalah tersebut, tetapi sifat yang datang kemudian ketika masalah tersebut dihubungkan kepada hukum mukallaf”.
Alasan mendasar mengapa kebimbangan tidak bisa menghilangkan keyakinan adalah karena posisi keraguan  (syak) dianggap lebih lemah daripada keyakinan. Keyakinan hanya bisa hilang bila telah ada sebab-sebab pasti yang mampu menghilangkan nilai-nilai dasar keyakinan, yang dalam bahasa fuqaha disebut al-sabab al-muzil (sebab yang mampu menghilangkan). Ringkasnya, keyakinan  hanya bisa dihilangkan hukumnya oleh keyakinan lain yang setara dengannya.
QA’IDAH-QA’IDAH FURU’
Dari kaidah asasi al-yaqin la yual bi al-syak ini kemudian muncul kaidah-kaidah yang lebih sempit ryang lingkupnya atau yang furu’. Yakni :
Sub Kaidah Pertama:
اَلْيَقِيْنُ يُزَالُ بِالْيَقِيْنِ مِثْلِهِ
“Keyakinan bisa hilang karena adanya bukti lain yang meyakinkan pula”
Kaidah ini menjelaskan bahwa kyakinan tentang hukum yang pertama akan terhapus dengan keyakinan tentang hukum yang muncul sesudahnya atau yang kedua. Contohnya kita yakin sudah berwudhu’, tetapi kemudian kita yakin pula telah buang air kecil, maka wudhu kita menjadi batal.
Kita berpraduga tidak bersalah kepada seseorang tetapi kemudian ternyata orang tersebut tertangkap tangan sedang melakukan kejahatan, maka orang tersebut adalah bersalah dan harus dihukum.
Contoh yang lain, si budi berutang kepada si ega, tetapi kemudian ada bukti bahwa si budi telah membayar utangnya kepada si ega, misalnya ada kuitansi yang di tandatangani si ega yang menyatakan bahwa utang si budi sudah lunas. Maka si budi yang tadinya berutang sekarang sudah bebas dari utangnya.[18]

Sub Kaidah Kedua:
اَلْأَصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَانَ
Huukum Asal Adalah Ketetapan yang Telah Dimiliki Sebelumnya
Kaidah ini menyatakan bahwa suatu perkara yang telah berada pada satu kondisi tertentu di masa sebelumnya, akan tetap seperti kondisi semula selama tidak ada dalil yang menunjukkan terhadap hukum lain. Alas an utama mengapa hukum yang pertma dijadikan pijakan karena dasar segala sesuatu adalah tidak berubah atau tetap seperti sediakala (baqa’). Sementara kemungkinan untuk merubah dari kondisi semula adalah sesuatu yang baru dan bersifat spekulatif, sehingga tidak dapat dijadikan sebagai pijakan hukum. Contohnya, sesorang yang ragu apakah sudah berhadats atau belum, maka yang dijadikan ukuran adalah kondisi yang sebelumnya. Apabila pada kondisi sebelumnya ia belum berwudhu, maka ia dihukumi berhadats. Tetapi bila sebelumnya ia sudah pernah wudhu, maka ia tetap dihukumi suci.
Dalam ushul fiqh, substansi kaidah ini dikenal dengan istilah istishhab, yang secara etimologis  berarti ‘menetapi’ dan ‘tidak berpisah’. Sedangkan dalam terminologi ushul fiqh, pemaknaanya disesuaikan dengan topic bahasan. Dalam kajian tentang lafaz yang ‘am dan khash, misalnya, istishhab dimaknai sebagai menjaga ke-umum-an (universalisme) kata hingganada dalil yang meng-khusus-kannya. Sementara dalam istilah fiqh, istishhab dimaknai sebagai “tetapnya hukum atas keberadaan  atau ketidak beradaannya” dalam artian, jika sebelumnya sudah ‘ada’, maka selanjutnya tetap di hukum ‘ada’. Begitupun jika sebelumnya ‘tidak ada’, maka pada masa selanjutnya ‘tidak ada’.[19]
Sub Kaidah Ketiga
اَلْأَ صْلُ عَدَمُ الْفِعْلِ
Hukum asal adalah tiadanya pekerjaan
Pada sub kaidah ini dijelaskan bahwa, pada dasarnya setiap orang mukallaf dinilai belum melakukan sebuah pekerjaan, sebelum pekerjaan tersebut sudah benar-benar wujud secara nyata dan di yakini keberadaannya. Sperti seseorang yang merasakan keraguan dalam shalat shubuh, apakah ia telah mengerjakan qunut atau tidak, maka ia dianjurkan melakukan sujud sahwi, karena hukum asalnya dia tidak mengerjakan qunut.
Adapun kaidah yang senada dengan kaidah ini adalah:
اَلْأَ صْلُ اَلْعَدَمُ
“Hukum asal adalah ketiadaan”
Lebih jelas lagi dengan kaidah:
اَلْأَصْلُ فِي الصِفَاتِ اَلْعَرِضَةِ الْعَدَمُ
“hukum asal pada sifat-sifat yang datang kemudian adalah tidak ada”
Contohnya : Apabila terjadi persengketaan antara penjual dan pembeli tentang aib (cacat) barang yang dijual belikan, maka yang di anggap adalah perkataan si penjual, karena pada asalnya cacat itu tidak ada. Ada pula ulama yang menyatakan, karena hukum asalnya adalah akad jual beli telah terjadi. Sudah tentu ada kekecualian, yaitu apabila si pembeli bisa memberikan bukti yang meyakinkan bahwa cacat barang itu telah ada ketika barang tersebut masih ada di tangan penjual.
Sub Kaidah ke empat
أَنَّ مَا ثَبَتَ بِيَقِيْنٍ لَا يُرْتَفَعُ اِلاَّ بِيَقِيْنٍ
“apa yang ditetapkan atas dasar keyakinan tidak bisa hilang kecuali dengan keyakinan lagi”
Contohnya adalah: Thawaf ditetapkan dengan dasar dalil yang meyakinkan yaitu harus tujuh putaran. Kemudian dalam thawaf, seseorang ragu apakah yang dilakukannya putaran keenam atau kelima, maka yang meyakinkan adalah jumlah yang kelima, karena putaran yang kelima itulah yang meyakinkan.[20]
Jadi dalam hal yang berhubungan dengan bilangan, apabila seseorang  itu ragu, maka bilangan yang terkecil itulah yang meyakinkan.
Sub Kaidah ke Lima
اَلْأَصْلُ بَرَاءَةُ الذِّمَّةِ
“hukum asal adalah bebasnya seseorang dari tanggung jawab”
Pada dasarnya manusia dilahirkan dalam keadaan bebas dari tuntutan, baik yang berhubungan dengan hak Allah maupun dengan hak Adami. Setelah dia lahir muncullah hak dan kewajiban pada dirinya. Secara bahasa zimmah  memeiliki bebrapa arti, perjanjian,jaminan, perlindungan dan sumpah. Namun dalam kaidah ini, dzimmahi di artikan sebagai tanggung jawab manusia terhadap suatu barang, atau tanggung jawab berupa hak individu dengan hak individu lainnya.
Anak kecil  lepas dari tanggung jawab melakukan kewajiban sampai datangnya waktu baligh. Tidak ada hak dan kewajiban anatara pria dan wanita yang bersifat pernikahan sampai terbukti adanya  akad nikah yang sah. Makan dan minum asalnya dibolehkan sampai datangnya dalil yang melarang makan makanan dan minum minuman yang diharamkan.
Dalam fiqih siyasah, seseorang bebas dari tanggung jawab jabatan tertentu sampai ada keputusan yang mengangkatnya dalam jabatan tersebut. Seseorang bebas dari tanggung jawab sebagai seorang dosen, sampai dia diangkat dan berfungsi sebagai dosen.
Seperti dari sebuah riwayat hadis bahwa, tuntutan seorang pendakwa (mudda’i) terhadap terdakwa (mudda’a ‘alayh) tidak di benarkan selama mudda’i tidak mampu menunjukkan bukti dan menghadirkan saksi. Karena itu, jika bukti dan saksi tidak ada, maka pihak yang dibenarkan ucapannya adalah mudda’a ‘alayh beserta sumpahnya. Sebab jika menilik hukum asal, mudda’a ‘alayh adalah pihak yang bebas dari tanggungan apapun.[21]
Sub Kaidah Keenam
اَلْأَصْلُ اِضَافَةُ الْحَادِثْ اِلَى أَقْرَبِ أَ وْقَاتِهِ
“hukum asal adalah penyandaran suatu peristiwa kepada waktu yang lebih dekat kejadiannya”
Apabila terjadi keraguan karena perbedaan waktu dalam suatu peristiwa, maka hukum yang di tetapkan adalah menurut waktu yang paling dekat kepada peristiwa tersebut, karena waktu yang paling dekat yang menjadikan peristiwa itu terjadi. Kecuali ada bukti lain yang meyakinkan bahwa peristiwa tersebut terjadi pada waktu yang lebih jauh.
Contohnya: seorang wanita yang sedang mengandung, ada yang memukul perutnya, kemudian keluarlah bayi dalam keadaan hidup dan sehat. Selang beberapa bulan, bayi itu meninggal. Maka, meninggalanya si bayi tidak disandarkan  kepada pemukulan yang terjadi pada waktu yang telah lama, tetapi disebabkan hal lain yang merupakan waktu yang paling dekat kepada kematiannya.
Sub Kaidah Ketujuh
اَلْأَصْلُ فِي الأَشْيَاءِ الاِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلُّ الدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمِ
“hukum asal segala sesuatu adalah kebolehan sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya”
Contohnya apabila ada binatang yang belum ada dalil yang tegas tentang keharamannya, maka hukumnya boleh dimakan.
Kaidah ini ketika dirujukkan kepada Al-Quran, terdapat banyak sekali kesesuaiannya seperti dalam QS. Al-Jatstsiyah ayat 12, al-An’am ayat 146, al-A’raaf ayat 30.
Sub Kaidah Kedelapan
اَلْأَصْلُ فِي الْكَلَامِ الْحَقِيْقَةُ
“hukum asal dari suatu kalimat adalah arti yang sebenarnya”
Apabila seseorang berkata: “Saya mau mewakafkan harta saya kepada anak kyai Ahmad. Maka anak dalam kalimat tersebut adalah anak yang sesungguhnya. Bukan anak pungut dan bukan pula cucu. Demikian pula kata-kata hibah, jual-beli, sewa menyewa, gadai, dan lain-lain di dalam akad, harus diartikan dahulu dengan arti kata yang sebenarnya, bukan dalam arti kiasannya.
DAFTAR PUSTAKA
Aziz Abdul, Qawa’id fiqhiyyah. Amzah. Jakarta. 2009
Abdul Haq, Ahmad. FORMULASI NALAR FIQH, Telaah kaidah fiqh Konspetual. Khalista. Surabaya. 2009
Djazuli Ahmad, Kaidah-Kaidah FIKIH, Kencana. Jakarta. 2010
Asyumi A Rahman. Qaidah-qaidah fiqh, cet I, Jakarta: Bulan Bintang, 1976.











[1] . Abdul Haq, Ahmad. FORMULASI NALAR FIQH, Telaah kaidah fiqh Konspetual. Khalista. Surabaya. 2009

[2] . Asyumi A Rahman. Qaidah-qaidah fiqh, cet I, Jakarta: Bulan Bintang, 1976.
[3]  Keraguan yang dimaksud di sini adalah keraguan secara mutlak tampa batasan apapun.
[4] . Abdul Haq, Ahmad. FORMULASI NALAR FIQH, Telaah kaidah fiqh Konspetual. Khalista. Surabaya. 2009

[5]  Ibid.
[6] . Djazuli Ahmad, Kaidah-Kaidah FIKIH, Kencana. Jakarta. 2010

[7] . Abdul Haq, Ahmad. FORMULASI NALAR FIQH, Telaah kaidah fiqh Konspetual. Khalista. Surabaya. 2009

[8]. Muhammad bin Jarir bin Yazid al-Thabary: Tafsir al-Thabary, Dar al-Fikr
[9] . Abdul Haq, Ahmad. FORMULASI NALAR FIQH, Telaah kaidah fiqh Konspetual. Khalista. Surabaya. 2009
[10] . Ibid.
[11]  Artinya jika seseorang ragu apakah ia telah melakukan dua atau tiga rakaat, maka bilangan minimal adalah kemungkinan ‘teraman’ untuk dipilih
[12] . Abdul Haq, Ahmad. FORMULASI NALAR FIQH, Telaah kaidah fiqh Konspetual. Khalista. Surabaya. 2009

[13] . Djazuli Ahmad, Kaidah-Kaidah FIKIH, Kencana. Jakarta. 2010

[14]  A. Djazuli, fiqh Jinayah, Jakarta: Raja Grafindo, 2000, cet.III, hlm.249.
[15]. Djazuli Ahmad, Kaidah-Kaidah FIKIH, Kencana. Jakarta. 2010
[16] Hasbi al-Shiddieqi, Mabahits fi al-Qawa’id al-fiqhiyah, jogjakarta.
[17] . Djazuli Ahmad, Kaidah-Kaidah FIKIH, Kencana. Jakarta. 2010
[18] . Ibid
[19] . Abdul Haq, Ahmad. FORMULASI NALAR FIQH, Telaah kaidah fiqh Konspetual. Khalista. Surabaya. 2009

[20] . Djazuli Ahmad, Kaidah-Kaidah FIKIH, Kencana. Jakarta. 2010

[21] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar