اَلْيَقِيْنُ لَا يُزَالُ بِا لشَّكِّ
“Keyakinan tidak bisa dihilangkan
dengan adanya keraguan”
PENGERTIAN KAIDAH
Dalam bahasa Arab, khusus seputar makna kata yakin ( selanjutnya di indonesia-kan
menjadi yakin) cukup semarak dibicarakan, terutama dalam kajian Ilmu Fiqh,
Ushul Fiqh, maupun Kaidah Fiqh. Dari segi bahasa, Abu zakariya Yahya bin Syaraf
al-Nawawi dalam kitabnya: Syarh Shahih
Muslim hal 91 menyatakan bahwa,
yakin secara sederhana dimaknai sebagai ketetapan hati (Thuma’ninah al-qalb) atas suatu
kenyataan atau realitas tertentu. Umpamanya seseorang memiliki ketetapan hati
bahwa hari ini adalah hari Senin, maka dia telah yakin (ayqana) bahwa hari ini adalah hari Senin. Lebih jauh, al-Ghazali
mendasarkan bahwa yakin adalah “kemantapan hati untuk membenarkan sebuah objek
hukum, dimana hati juga mampu memastikan
bahwa kemantapan itu adalah hal yang benar.
Sementara yakin
dalam konteks kaidah ini mempunyai makna lebih luas daripada pengertian yakin
secara etimologis. Sebab yang dimaksud disini juga memasukkan zhan (praduga kuat), dimana zhan sendiri belum mencapai derajat
yakin. Namun para fuqaha terbiasa menggunakan al-‘ilmu (tahu) dan yakin untuk menunjuk
makna zhan, dan sebaliknya. Dalam hal ini, al-Nawawi menjelaskan pada Dirasah wa Tahqiq dalam Kitab al-Qawa’id karangan Taqiyyudin Abu Bakar
dan dalam kitab al-Majmu’ Syarh
Muhadzdzab karangan Abu Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi bahwa, bila ada
orang yang dipercaya (tsiqah)
memberitahu bahwa air yang kita pakai berwudhu terkenan najis, maka pengetahuan
kita yang berdasarkan berita tadi telah dikatagorikan yakin. Padahal sebenarnya
kemantapan hati kita baru mencapai taraf zhan
(asumsi atau persepsi kuat), karena kita tidak melihat langsung najis yang
menimpa air yang kita gunakan berwudhu itu. Karenannya, fuqaha seringkali
menamai zhan seperti itu dengan kalimat yakin atau al-ilmu (tahu). Konsekuensinya, kita wajib men-sucikan kembali anggota
badan yang terkena air najis tersebut sekaligus wajib mengulangi shalat.[1]
Adapun
yang di maksud dengan al-syak disini adalah:
هُوَ مَا كَانَ مُتَرَدِّدًا بَيْنَ
الثُّبُوْتِ وَ عَدَمِهِ مَعَ تَسَاوِى طَرَفَىِ الصَوَابِ وَالْخَطَاءِ دُوْنَ تَرْجِيْحِ
اَحَدِهِمَا عَلَى الْاَخَرِ
“suatu pertentangan antara kepastian
dengan ketidakpastian tentang kebenaran dan kesalahan dengan kekuatan yang
sama, dalam arti tidak dapat ditarjihkan salah satunya.[2]
syak
secara literal bisa diartikan
sebagai keraguan atau kebimbangan.[3] Secara
lebih sepesifik, ahli fiqh memaknai syak sebagai keraguan dan kebimbangan akan
terjadinya sesuatu atau tidak terjadinya. Yang agak berbeda adalah makna syak yang diajukan ahli ushul fiqh,
yakni keseimbangan hati dalam menyikapi sesuatu. Dalam pengertian ini, hati
kita tidak lebih cenderung kepada salah salah satu dari dua kemungkinan yang
ada. Mislanya seseorang yang ragu, apakah temannya yang sedang ditunggu akan
datang atau tidak, tampa melebihkan kemungkinan
antara datangdan tidak tersebut.[4]
Dengan pemahaman
ini, ushuliyyin sering melontarkan kritik epistemologis (teori ilmu
pengetahuan) kepada para fuqaha seputar rumusan kaidah ini. Sebab menurut
ushuliyyin, apabila seseorang telah dihinggapi keraguan dalam hatinya, maka
keyakinan yang sebelumnya telah bulat pasti akan hilang, atau minimal terganggu
dan tidak utuh lagi. Sedangkan kaidah ini mengklaim bahwa keyakinan tidak dapat
dilangkan oleh keraguan. Ini jelas sesuatu yang mengada-ngada dan absurd (irrasional), demikian landasan
ushuliyyin.
Menanggapi kritik
ini, fuqaha menegaskan bahwa yang dimaksud ‘tidak hilang’ (la yuzalu) bukan berarti keyakinan itu sendiri yang sirna, sebab
hal itu mustahil terjadi, melainkan hukum yang telah terbangun berdasarkan
keyakinan itulah yang tidak akan hilang. Hal ini berdasarkan argumen pokok, bahwa pada
dasarnya keyakinan memiliki nilai hukum lebih kuat daripada keraguan. Sebab,
ketika ketika dalam hati telah terbangun suatu keyakinan, maka dia tidak dapat
digoyahkan oleh situasi, kondisi, atau faktor eksternal apapun. Artinya, dalam
keyakinan terdapat hukum pasti yang tidak akan tergoyahkan oleh hal-hal yang
baru timbul, kecuali oleh keyakinan yang lain.
Terlepas dari
kontradiksi di atas, al-Nawawi menegaskan bahwa syak dalam istilah fuqaha di definisikan sebagai keraguan antara
wujud dan tidaknya sesuatu. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan istilah syak atau ragu dalam masalah air, kemudian soal hadats, najasah, shalat, puasa , talak dan itq (memerdekakan budak)
semuanya mengandung pengertian kebimbangan antara ada dan tidak ada, antara
wujud dan tidak wujud, antar dikerjakan dan tidak dikerjakan. Keraguan dalam
kasus ini bisa bersifat sama kuat atau seimbang antara keberadaan dan
ketidakberadaannya, dan bisa pula ada yang lebih tinggi salah satu kadarnya.[5]
Ada kekcualian dari
kaidah tersebut di atas, misalnya, wanita yang sedang menstruasi yang
meragukan, apakah sedah berhenti atau belum. Maka ia wajib mandi besar untuk
shalat. Contoh lain, apabila orang ragu, apakah yang keluar itu mani atau
madzi. Maka ia wajib mandi besar. Padahal ia ragu, yang keluar itu mani
yang mewajibkan mandi atau madzi yang tidak mewajibkan mandi. Contoh lain, baju
seseorang terkena najis, tetapi ia tidak tahu bagian mana yang terkana najis.
Maka ia wajib mencuci baju seluruhnya[6]
Mazhab Hanafi
mengecualikan dari kaidah tersebut dengan menyebut 7 macam contoh. Sedangkan
mazhab Syafi’i menyebut 11 macam contoh.
Sedangkan materi-materi fikih yang terkandung dalam
kaidah al-yaqin la yuzal bi al-syak, tidak kurang dari 314 masalah fikih
Menurut Ahmad bin
Muhammad dalam Ghamzu ‘Uyun al Basha’ir
hasyiah ‘ala Asybah li Ibn Nujaim, Secara lebih sistematis, sebagian ulama
memilah ‘kondisi hati’ dalam lima bagian berikut:
1.
Yakin,
yakni keteguhan hati yang bersandar pada dalil
qath’iy (petunjuk pasti).(100:0)
2.
I’tiqad, yaitu
keteguhan hati yang tidak bersandar pada dalil
qath’iy.
3.
Zhan, yakni
persepsi atau asumsi hati terhadap dua hal berbeda, dimana salah satunya lebih
kuat. ( >50:>50)
4.
Syak. Yaitu
sebentuk prasangka terhadap dua hal tampa mengunggulkan salah satu diantara
keduanya.(50:50)
5.
Wahm, atau kemungkinan yang lebih lemah dari dua hal
yang diasumsikan. (<50:>50)
Jadi kaidah ini mendasarkan bahwa
hukum yang sudah berlandaskan keyakinan tidak dapat di pengaruhi oleh keraguan
yang timbul kemudian. Rasa ragu yang merupakan unsur eksternal dan muncul
setelah nkeyakinan tidak akan menghilangkan hukum yakin yang telah ada
sebelumnya. Seseorang yang sebelumnya telah yakin bahwa dia berada dalam
kondisi suci- dengan berwudhu misalnya- tidak akan hilang hukum kesuciannya
disebabkan munculnya keraguan setelah itu. Karena sebelum keraguan itu timbul,
dia telah meyakini kebsahan tharah yang telah dilakukan.[7]
Dan yang dimaksud
yakin dalam kaidah ini adalah tercapainya kemantapan hati pada satu objek hukum
yang telah dikerjakan. Baik kemantapan itu sudah mencapai kadar pengetahuan
yang mantap atau persepri kuat (zhan).
Jadi bukanlah sebuah kemantapan hati yang disertai dengan keraguan saat
melaksanakan pekerjaan, karena hal itu tidak termasuk kategori yakin.
LANDASAN YURIDIS/ SUMBER PENGAMBILANNYA
a. Al-Quran
Pondasi terbangunnya kaidah ini adalah firman Allah swt.
Dalam QS. Yunus ayat 36 yang berbunyi :
“dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya
persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan.”
Ayat ini pada
mulanya menyoroti karakter orang-orang musyrik yang sringkali berpegang pada
prasangka-prasangka yang tidak bisa di buktikan kebenarannya. Terhadap tuhan
yang mesti di sembah pun mereka masih cenderung berimajinasi pada benda-benda
mati yang dalm persepsi mereka dapat memberi jaminan keselamatan dan
kelangsungan hidup . dengan ayat ini, Allah swt memberi penegasan akan hal yang mesti dijadikan pijakan
berfikir dan bertindak, yakni dengan jelas-jelas dapat menunjukkkan pada
kebenaran , bukan yang masih diragukan. Karena walau bagaimanapun, hal yang
masih dalam keraguan atau masih menjadi tanda tanya tidak dapat disejajarkan
dengan keyakinan.[8]
Dari penegasan ini akan memunculkan
keniscayaan bahwa apabila terjadi
keragu-raguan yang berpotensi untuk mempengaruhi hal-hal yang telah diyakini
sebelumnya, sudah barang tentu tidak dapat mempengaruhi keyakinan yang sudah
ada, selama belum ada elemen-elemen fundamental yang dapat menunjukkkan bukti
valid bahwa keyakinan itu tidak sesuai
kenyataan al-yaqinu la yuzalu bi
al-syak.
b. Hadits
Hadits Nabi Muhammad saw. Yang menjadi pondasi kaidah ini
antara lain :
Pertama, hadits riwayat Imam
Muslim r.a :
اِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِيْ بَطْنِهِ
شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخْرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لَا ؟ فَلَا يَخْرُجَنَّ
مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعْ صَوْتًا أَوْ يَجِدْ رِيْحًا.
“apabila
salah seorang diantara kalian merasakan ‘sesuatu’ di dalam perutnya, kemudian
dia ragu, apakah telah keluar sesuatu (dari perutnya) atau tidak, maka
janganlah dia keluar dari masjid (membatalkan shalatnya), sampai dia mendengar
suara atau mencium bau” (H.R.
Muslim)
Menurut al-Nawawi,
hadis ini merupakan salah satu landasan dasar yurisprudensi Islam yang kemudian
dijadikan fundamen terbangunnya kaidah-kaidah fiqh. Dari hadis ini pula
terbangun konsep serta metodologi-analitis mengenai status objek, yakni dengan
cara melihat status hukum asalnya yang tidak akan berubah hingga ada unsur
eksternal yang valid dan mampu mempengaruhi keasliannya. Secara eksplisit,
hadis ini memang berbicara dalam konteks seseorang yang ragu apakah telah
merasakan keluarnya angin (kentut) atau tidak. Dalam hal ini, Nabi menegaskan,
keraguan yang baru timbul itu tidak dapat mempengaruhi status wudhunya. Kecuali
jika memang telah benar-benar mendengar bunyi atau mencium bau angin tersebut.
Proses mendengar maupun mencium bau ini, bisa dijadikan sebuah indikasi kuat
bahwa wudhunya telah batal.[9]
Kedua,
Hadits riwayat
Bukhari-Muslim r.a.:
شُكِيَ اِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّ جُلُ يُخًيَّلُ اِلَيْهِ أَنَّهُ يَجِدُ الشَّيْءَ
فِي الصَّلَاةِ, قَا َل " لَايَنْصَرِفُ حَتَّي يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ رِيْحًا"
Nabi
saw. diberi kabar mengenai seorang yang merasakan angin (yang keluar dari
perut) dalam shalatnya. Beliau bersabda” janganlah dia berhenti shalat sampai
ia mendengar suara atau mencium bau”
Hadis kedua ini
merupakan lanjutan dari hadis pertama, sekaligus penegasan akan substansi yang
terkandung di dalamnya. Yakni menegaskan: Pertama,
keraguan yang berupa perasaan keluarnya angin tidak dapat merubah status hukum yang telah diyakini sebelumnya,
yakni kondisi suci dalam shalat. Kedua,
keyakinan yang ada hanya dapat ‘dikalahkan’ oleh keyakinan yang lain, berupa
kepastian batalnya shalat disebabkan keluranya angin yang bisa dipastikan
dengan mendengar suara atau mencium baunya.[10]
Ketiga, hadis riwayat Muslim r.a.:
اِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِيْ صَلَاتِهِ
فَلَمْ يَدْرِكَمْ صَلَّى ثَلَاثًا أَ مْ
أَرْبَعًا؟ فَلْيَطْرَحْ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَا ا سْتَيْقَنَ , ثُمَّ يَسْجُدُ
سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ سَلَّمَ , فَاءِنْ
كَانَ صَلَّى خَمْسًا شَفَعْنَ لَهُ صَلَاتُهُ , وَ اِنْ كَا نَ صَلَّى اِتْمَامًالِأَرْبَعِ
كَانَتَأ تَرْغِيْمًا لِلَّشيْطَاِن.
“apabila salah seorang diantara
kalian ragu dalam shalatnya, apakah dia telah mencapai tiga atau empat rakaat?
Maka hendaklah dia membuang jauh-jauh keraguan itu dan berpeganglah pada
keyakinannya, kemudian sujud (sujud sahwi)-lah dua kali sebelum salam. Jika
(kenyataannya) dia shalat sampai lima raka’at, maka shalatnya akan akan
genaplah shalatnya. Namun bila –ternyata- empat rakaat, maka dua sujudnya akan
membuat malu setan”
Secara subtantif,
hadis ini sebenarnya sama dengan dua haids sebelumnya, walaupun objeknya
berbeda. Hadis ini berbicara mengenai keraguan yang terjadi pada jumlah
bilangan rakaat. Apabila dalam shalat timbul keraguan mengenai jumlah bilangan
raka’at, maka yang di jadikan pedoman adalah bilangan minimal. Sebab bilangan
inilah yang di yakini.[11]
Karena apabila yang dipilih adalah bilangan yang lebih besar , maka ada
kemungkinan akan salah perhitungan. Tapi jika jumlah minimal yang menjadi
pilihan sebagai landasan untuk meneruskan shalat, kemungkinan salahnya tipis.
Keempat, hadis riwayat
al-Turmuzi r.a.:
اِذَا سَهَا أَحَدُكُمْ فِى صَلَاتِهِ
فَلَمْ يَدْرِ وَا حِدَةً صَلَّى أَمْ اِثْنَتَيْنِ فَلْيَبْنِ عَلَى وَاحِدَةٍ, فَاِنْ
لًمْ يَتَيَقَّنْ صَلَّى اِثْنَيْنِ أَمْ ثَلَاثًا فَلْيَبْنِ عَلَى اِثْنَيْنِ, فَاِنْ
لَمْ يَدْرِ ثَلَاثًا صَلَّى أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَبْنِ عَلَى ثَلَاٍث, وَلْيَسْجُدْ
سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ.
“ketika salah satu diantara kamu sekalian lupa di dalam
shalat, apakah sudah mencapai satu atau dua rakaat? Maka hendaklah dia meyakini
sebagai rakaat pertama. Apabila kalian tidak yakin apakah shalat dua rakaat
atau tiga? Maka hendaklah meyakinkan pada rakaat yang kedua. Apabila tidak tahu
apakah tiga atau empat, maka hendaklah melanjutkan rakaat yang ketiga. Dan hendaklah melakukan
dua sujud (sahwi) sebelum salam”
Dalam hadis ini lebih menekankan maksud dari ma istayqana. Apabila ragu antara satu
dan dua, maka yang di pilih adalah satu. Demikian pula apabila keraguan yang
terjadi antara dua dan tiga, maka yang dipilih adalah dua dan seterusnya.
Artinya bahwa, apabila terjadi keraguan dalam hal bilangan-semisal jumlah
rakaat- maka yang dijadikan pegangan (alpmu’tabar)
adalah bilangan yang lebih sedikit.
Dari semua hadis diatas, dapat dipeti satu pesan esensial
bahwa hukum segala sesuatu harus dilihat dari kondisi asal yang meyakinkan.
Jika kondisi semula adalah batal, maka faktor external yang muncul kemudian
tidak akan dapat mempengaruhi status hukum batal itu, sehingga hukumnya
hukumnya tetap batal. Demikian pula apabila kondisi asalnya adalah sah, maka
hukum selanjutnya tetap sah, dengan catatan tidak ada bukti yang meyakinkan
yang mampu merubahnya. Dari sinilah terbangun kaidah “al-yaqinu la yuzali bi al-syak”.
MASALAH FIQH YANG TERKAIT DENGAN KAIDAH
Banyak sekali persoalan-persoalan hukum yang dicakup
kaidah ini, diantaranya adalah keyakinan akan sahnya thaharah (bersuci). Seseorang yang sebelumnya telah yakin bahwa
dia berada dalam kondisi suci (dengan
berwudhu) tidak akan hilang hukum thaharahnya
disebabkan keraguan yang muncul kemudian. Karena sebelum keraguan itu timbul,
dia telah meyakini keabsahan thaharahnya.
Begitupun dalam mu’amalah, seseorang
yang berhutang kepada temannya, kemudian dia ragu apakah nilai hutangnya
sebanyak sepuluh ribu atau sebelas ribu? Maka dia diharuskan membayar sebelas
ribu. Maka dia telah membayarnya dengan tepat. Namun jika hanya sepuluh ribu,
berarti dia telah berbuat kebaikan dengan bersedekah melalui kelebihan nilai
nominalnya yang dibayarkan[12].
Sebaliknya, bila keraguannya adalah tentang apakah dia
telah melunasi hutangnya atau belum, maka hutangnya masih dianggap belum bayar.
Adapun permasalahn lainnya adalah bila tali perkawinan anatar suami istri terlah nyata-nyata sah,
tapi suatu ketika timbul keraguan apakah sang suami telah menjatuhklan talak
atau tidak? Maka hukum nikahnya tetap dianggap sah, karena hukum asal berupa
ikatan tali pernikahan diantara keduanya telah sah sejak semula.
Kasus
lain dalam fiqh siyasah tentang pemilihan Kepala Daerah. Komisi Pemilihan Umum
Daerah (KPUD) menyatakan bahwa kelompok A yang menang dan kelompok B yang
kalah. Kemudian kelompok B mengajukan gugatan bahwa seharusnya kelompok A yang
kalah dan kelompok B yang menang. Alasannya karena adanya kecurangan. Maka
dalam hal ini, yang meyakinkan adalah bahwa telah terjadi pemilihan umum dan
kelompok A yang menang. Kecuali apabila kelompok B memberikan bukti-bukti yang
sah meyakinkan pula bahwa kelompoknya yang menang.
Contoh
lain dalam Fiqh jinayah, apabila seseorang menyangka kepada orang lain
melakukan kejahatan, maka sangkaan tersebut tidak dapat diterima. Kecuali ada
bukti yang sah dan meyakinkan bahwa orang tersebut telah melakukan kejahatan.[13]
Kaidah
ini sama dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocent)
dalam hukum barat. Selain itu, secara moral, seorang muslim harus memiliki husnu
zhan ( berrprasangka baik) sebelum ada bukti yang meyakinkan bahwa dia
tidak baik.[14]
Ada kekcualian dari
kaidah tersebut di atas, misalnya, wanita yang sedang menstruasi yang
meragukan, apakah sedah berhenti atau belum. Maka ia wajib mandi besar untuk
shalat. Contoh lain, apabila orang ragu, apakah yang keluar itu mani atau
madzi. Maka ia wajib mandi besar. Padahal ia ragu, yang keluar itu mani
yang mewajibkan mandi atau madzi yang tidak mewajibkan mandi. Contoh lain, baju
seseorang terkena najis, tetapi ia tidak tahu bagian mana yang terkana najis.
Maka ia wajib mencuci baju seluruhnya[15] .
Sesungguhnya
contoh-contoh diatas menunjukkan kepada ihtiyath dalam melakukan ibadah,
tidak langsung merupakan kekecualian. Mazhab Hanafi mengecualikan dari kaidah
tersebut dengan menyebut 7 macam contoh. Sedangkan mazhab Syafi’i menyebut 11
macam contoh.
Sedangkan
materi-materi fikih yang terkandung dalam kaidah al-yaqin la yuzal bi
al-syak, tidak kurang dari 314 masalah fikih[16]
Mazhab yang tidak
mau menggunakan hal-hal yang meragukan adalah madzhab Maliki dan sebagian ulama
syafi’iyah, karena mereka menerapkan konsep ihtiyath-nya. Memang dalam
ibadah memerlukan kepastian dan kepuasan batin, sedangkan kepastian dan
kepuasan batin hanya bisa dicapai dengan ihtiyath (kehati-hatian).
Ulama Malikiyah
beralasan dengan, “bahwa seseorang yang tidak bisa lepas dari tuntutan ibadah
kecuali dengan melaksanakannya secara benar dan meyakinkan, seperti: shalat
yang sah hanya bisa dilaksanakan dengan didahului oleh wudhu yang sah, bukan
dengan wudhu yang meragukan tentang apakah sudah batal atau belumnya wudhu tadi”.
Ulama Hanafiyah
menjawab hal ini dengan jawaban, “shalat
itu merupakan tujuan (maqashid), sedangkan wudhu merupakan wasilah
(syarat sah shalat), bersikap ihtiyath didalam memelihara maqashid
lebih utama daripada ihtiyath di dalam wasail, karena wasail
tingkatanya lebih rendah daripada maqashid (media lebih rendah daripada
tujuan).
Sedangkan Ibnu Hazm
dari Mazhab al-Zahiri menanggapi soal ihtiyath dari mazhab Maliki dengan
kata-kata: “Semua ihtiyath yang menyebabkan kepada tambahan atau
pengurangan atau penggantian didalam
agama yang tidak diizinkan Allah, bukanlah ihtiyath dan bukan pula
kebaikan”.[17]
Tentang syak,
Ibnu Qayyim al-Jauziyah mengemukakan : “perlu diketahui bahwa di dalam syari’ah
tidak ada sama sekali yang meragukan. Sesungguhnya syak (keraguan) itu
datang kepada mukallaf (subyek hukum) karena kontradiksinya dua indikator atau
lebih, maka masalahnya menjadi meragukan baginya(mukallaf). Mungkin bagi orang
lain(mukallaf lain) masalah tersebut tidaklah meragukan. Oleh karena itu, syak
bukanlah sifat yang tetap pada masalah tersebut, tetapi sifat yang datang
kemudian ketika masalah tersebut dihubungkan kepada hukum mukallaf”.
Alasan mendasar mengapa kebimbangan tidak bisa
menghilangkan keyakinan adalah karena posisi keraguan (syak) dianggap lebih lemah daripada
keyakinan. Keyakinan hanya bisa hilang bila telah ada sebab-sebab pasti yang mampu
menghilangkan nilai-nilai dasar keyakinan, yang dalam bahasa fuqaha disebut al-sabab al-muzil (sebab yang mampu
menghilangkan). Ringkasnya, keyakinan
hanya bisa dihilangkan hukumnya oleh keyakinan lain yang setara
dengannya.
QA’IDAH-QA’IDAH FURU’
Dari kaidah asasi al-yaqin la yual bi al-syak ini
kemudian muncul kaidah-kaidah yang lebih sempit ryang lingkupnya atau yang furu’.
Yakni :
Sub Kaidah Pertama:
اَلْيَقِيْنُ
يُزَالُ بِالْيَقِيْنِ مِثْلِهِ
“Keyakinan
bisa hilang karena adanya bukti lain yang meyakinkan pula”
Kaidah ini menjelaskan bahwa kyakinan tentang hukum yang
pertama akan terhapus dengan keyakinan tentang hukum yang muncul sesudahnya
atau yang kedua. Contohnya kita yakin sudah berwudhu’, tetapi kemudian kita
yakin pula telah buang air kecil, maka wudhu kita menjadi batal.
Kita berpraduga tidak bersalah kepada seseorang tetapi
kemudian ternyata orang tersebut tertangkap tangan sedang melakukan kejahatan,
maka orang tersebut adalah bersalah dan harus dihukum.
Contoh yang lain, si budi berutang kepada si ega, tetapi
kemudian ada bukti bahwa si budi telah membayar utangnya kepada si ega,
misalnya ada kuitansi yang di tandatangani si ega yang menyatakan bahwa utang
si budi sudah lunas. Maka si budi yang tadinya berutang sekarang sudah bebas
dari utangnya.[18]
Sub Kaidah Kedua:
اَلْأَصْلُ
بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَانَ
Huukum Asal Adalah Ketetapan yang Telah Dimiliki
Sebelumnya
Kaidah ini menyatakan bahwa suatu perkara yang telah
berada pada satu kondisi tertentu di masa sebelumnya, akan tetap seperti
kondisi semula selama tidak ada dalil yang menunjukkan terhadap hukum lain. Alas
an utama mengapa hukum yang pertma dijadikan pijakan karena dasar segala
sesuatu adalah tidak berubah atau tetap seperti sediakala (baqa’).
Sementara kemungkinan untuk merubah dari kondisi semula adalah sesuatu yang
baru dan bersifat spekulatif, sehingga tidak dapat dijadikan sebagai pijakan
hukum. Contohnya, sesorang yang ragu apakah sudah berhadats atau belum, maka
yang dijadikan ukuran adalah kondisi yang sebelumnya. Apabila pada kondisi
sebelumnya ia belum berwudhu, maka ia dihukumi berhadats. Tetapi bila
sebelumnya ia sudah pernah wudhu, maka ia tetap dihukumi suci.
Dalam
ushul fiqh, substansi kaidah ini dikenal dengan istilah istishhab, yang
secara etimologis berarti ‘menetapi’ dan
‘tidak berpisah’. Sedangkan dalam terminologi ushul fiqh, pemaknaanya
disesuaikan dengan topic bahasan. Dalam kajian tentang lafaz yang ‘am
dan khash, misalnya, istishhab dimaknai sebagai menjaga
ke-umum-an (universalisme) kata hingganada dalil yang meng-khusus-kannya.
Sementara dalam istilah fiqh, istishhab dimaknai sebagai “tetapnya hukum
atas keberadaan atau ketidak
beradaannya” dalam artian, jika sebelumnya sudah ‘ada’, maka selanjutnya tetap
di hukum ‘ada’. Begitupun jika sebelumnya ‘tidak ada’, maka pada masa
selanjutnya ‘tidak ada’.[19]
Sub
Kaidah Ketiga
اَلْأَ
صْلُ عَدَمُ الْفِعْلِ
Hukum asal adalah tiadanya pekerjaan
Pada sub kaidah ini dijelaskan bahwa, pada dasarnya
setiap orang mukallaf dinilai belum melakukan sebuah pekerjaan, sebelum
pekerjaan tersebut sudah benar-benar wujud secara nyata dan di yakini
keberadaannya. Sperti seseorang yang merasakan keraguan dalam shalat shubuh,
apakah ia telah mengerjakan qunut atau tidak, maka ia dianjurkan melakukan
sujud sahwi, karena hukum asalnya dia tidak mengerjakan qunut.
Adapun kaidah yang senada dengan kaidah ini adalah:
اَلْأَ
صْلُ اَلْعَدَمُ
“Hukum asal adalah ketiadaan”
Lebih jelas lagi dengan kaidah:
اَلْأَصْلُ
فِي الصِفَاتِ اَلْعَرِضَةِ الْعَدَمُ
“hukum asal pada sifat-sifat yang datang kemudian adalah
tidak ada”
Contohnya : Apabila terjadi persengketaan antara penjual
dan pembeli tentang aib (cacat) barang yang dijual belikan, maka yang di anggap
adalah perkataan si penjual, karena pada asalnya cacat itu tidak ada. Ada pula
ulama yang menyatakan, karena hukum asalnya adalah akad jual beli telah
terjadi. Sudah tentu ada kekecualian, yaitu apabila si pembeli bisa memberikan
bukti yang meyakinkan bahwa cacat barang itu telah ada ketika barang tersebut
masih ada di tangan penjual.
Sub Kaidah ke empat
أَنَّ
مَا ثَبَتَ بِيَقِيْنٍ لَا يُرْتَفَعُ اِلاَّ بِيَقِيْنٍ
“apa
yang ditetapkan atas dasar keyakinan tidak bisa hilang kecuali dengan keyakinan
lagi”
Contohnya adalah: Thawaf ditetapkan dengan dasar dalil
yang meyakinkan yaitu harus tujuh putaran. Kemudian dalam thawaf, seseorang
ragu apakah yang dilakukannya putaran keenam atau kelima, maka yang meyakinkan
adalah jumlah yang kelima, karena putaran yang kelima itulah yang meyakinkan.[20]
Jadi dalam hal yang berhubungan dengan bilangan, apabila
seseorang itu ragu, maka bilangan yang
terkecil itulah yang meyakinkan.
Sub Kaidah ke Lima
اَلْأَصْلُ
بَرَاءَةُ الذِّمَّةِ
“hukum
asal adalah bebasnya seseorang dari tanggung jawab”
Pada dasarnya manusia dilahirkan dalam keadaan bebas dari
tuntutan, baik yang berhubungan dengan hak Allah maupun dengan hak Adami.
Setelah dia lahir muncullah hak dan kewajiban pada dirinya. Secara bahasa zimmah
memeiliki bebrapa arti,
perjanjian,jaminan, perlindungan dan sumpah. Namun dalam kaidah ini, dzimmahi
di artikan sebagai tanggung jawab manusia terhadap suatu barang, atau
tanggung jawab berupa hak individu dengan hak individu lainnya.
Anak kecil lepas
dari tanggung jawab melakukan kewajiban sampai datangnya waktu baligh. Tidak
ada hak dan kewajiban anatara pria dan wanita yang bersifat pernikahan sampai
terbukti adanya akad nikah yang sah.
Makan dan minum asalnya dibolehkan sampai datangnya dalil yang melarang makan
makanan dan minum minuman yang diharamkan.
Dalam fiqih siyasah, seseorang bebas dari tanggung jawab
jabatan tertentu sampai ada keputusan yang mengangkatnya dalam jabatan
tersebut. Seseorang bebas dari tanggung jawab sebagai seorang dosen, sampai dia
diangkat dan berfungsi sebagai dosen.
Seperti dari sebuah riwayat hadis bahwa, tuntutan seorang
pendakwa (mudda’i) terhadap terdakwa (mudda’a ‘alayh) tidak di
benarkan selama mudda’i tidak mampu menunjukkan bukti dan menghadirkan
saksi. Karena itu, jika bukti dan saksi tidak ada, maka pihak yang dibenarkan
ucapannya adalah mudda’a ‘alayh beserta sumpahnya. Sebab jika menilik
hukum asal, mudda’a ‘alayh adalah pihak yang bebas dari tanggungan
apapun.[21]
Sub Kaidah Keenam
اَلْأَصْلُ
اِضَافَةُ الْحَادِثْ اِلَى أَقْرَبِ أَ وْقَاتِهِ
“hukum
asal adalah penyandaran suatu peristiwa kepada waktu yang lebih dekat
kejadiannya”
Apabila terjadi keraguan karena perbedaan waktu dalam
suatu peristiwa, maka hukum yang di tetapkan adalah menurut waktu yang paling
dekat kepada peristiwa tersebut, karena waktu yang paling dekat yang menjadikan
peristiwa itu terjadi. Kecuali ada bukti lain yang meyakinkan bahwa peristiwa
tersebut terjadi pada waktu yang lebih jauh.
Contohnya: seorang wanita yang sedang mengandung, ada
yang memukul perutnya, kemudian keluarlah bayi dalam keadaan hidup dan sehat. Selang
beberapa bulan, bayi itu meninggal. Maka, meninggalanya si bayi tidak
disandarkan kepada pemukulan yang
terjadi pada waktu yang telah lama, tetapi disebabkan hal lain yang merupakan waktu
yang paling dekat kepada kematiannya.
Sub Kaidah Ketujuh
اَلْأَصْلُ
فِي الأَشْيَاءِ الاِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلُّ الدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمِ
“hukum asal segala sesuatu adalah kebolehan sampai ada dalil
yang menunjukkan keharamannya”
Contohnya
apabila ada binatang yang belum ada dalil yang tegas tentang keharamannya, maka
hukumnya boleh dimakan.
Kaidah ini ketika dirujukkan kepada Al-Quran,
terdapat banyak sekali kesesuaiannya seperti dalam QS. Al-Jatstsiyah ayat 12,
al-An’am ayat 146, al-A’raaf
ayat 30.
Sub Kaidah Kedelapan
اَلْأَصْلُ فِي الْكَلَامِ الْحَقِيْقَةُ
“hukum asal dari suatu kalimat adalah arti
yang sebenarnya”
Apabila seseorang berkata: “Saya mau
mewakafkan harta saya kepada anak kyai Ahmad. Maka anak dalam kalimat tersebut
adalah anak yang sesungguhnya. Bukan anak pungut dan bukan pula cucu. Demikian
pula kata-kata hibah, jual-beli, sewa menyewa, gadai, dan lain-lain di dalam
akad, harus diartikan dahulu dengan arti kata yang sebenarnya, bukan dalam arti
kiasannya.
DAFTAR PUSTAKA
Aziz Abdul, Qawa’id fiqhiyyah. Amzah. Jakarta. 2009
Abdul Haq, Ahmad. FORMULASI NALAR FIQH, Telaah kaidah fiqh Konspetual.
Khalista. Surabaya. 2009
Djazuli Ahmad, Kaidah-Kaidah FIKIH, Kencana. Jakarta. 2010
Asyumi A Rahman. Qaidah-qaidah fiqh, cet I,
Jakarta: Bulan Bintang, 1976.
[1]
. Abdul Haq, Ahmad. FORMULASI NALAR FIQH, Telaah kaidah
fiqh Konspetual. Khalista. Surabaya. 2009
[4] . Abdul Haq, Ahmad. FORMULASI
NALAR FIQH, Telaah kaidah fiqh Konspetual. Khalista. Surabaya. 2009
[7]
. Abdul Haq,
Ahmad. FORMULASI NALAR FIQH, Telaah kaidah fiqh Konspetual. Khalista. Surabaya.
2009
[9]
. Abdul Haq, Ahmad. FORMULASI NALAR FIQH, Telaah kaidah
fiqh Konspetual. Khalista. Surabaya. 2009
[10] . Ibid.
[11] Artinya jika seseorang ragu apakah ia telah melakukan dua atau tiga rakaat,
maka bilangan minimal adalah kemungkinan ‘teraman’ untuk dipilih
[12]
. Abdul Haq, Ahmad. FORMULASI NALAR FIQH, Telaah kaidah
fiqh Konspetual. Khalista. Surabaya. 2009
[14] A.
Djazuli, fiqh Jinayah, Jakarta: Raja Grafindo, 2000, cet.III, hlm.249.
[16] Hasbi al-Shiddieqi, Mabahits fi
al-Qawa’id al-fiqhiyah, jogjakarta.
[18] . Ibid
[19]
. Abdul Haq, Ahmad. FORMULASI NALAR FIQH, Telaah kaidah
fiqh Konspetual. Khalista. Surabaya. 2009
[21] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar