Pendahuluan
Hukum adalah produk politik, sehingga ketika membahas politik hukum
cenderung mendiskripsikan pengaruh politik terhadap hukum atau pengaruh sistem
politik terhadap pembangunan hukum. Bellfroid mendefinisikan rechtpolitiek yaitu
proses pembentukan ius contitutum (hukum positif) dari ius
contituendum (hukum yang akan dan harus ditetapkan) untuk memenuhi
kebutuhan perubahan dalam kehidupan masyarakat. Politik hukum terkadang juga
dikaitkan dengan kebijakan publik (public policy) yang menurut Thomas
Dye yaitu: “whatever the government choose to do or not to do”. Politik
hukum juga didefinisikan sebagai pembangunan hukum.
Berlakunya hukum Islam di Indonesia telah mengalami pasang surut seiring
dengan politik hukum yang diterapkan oleh kekuasaan negara. Bahkan di balik
semua itu, berakar pada kekuatan sosial budaya yang berinteraksi dalam proses
pengambilan keputusan politik. Namun demikian, hukum Islam telah menga1ami
perkembangan secara berkesinambungan. baik melalui jalur infrastruktur politik
maupun suprastruktur politik dengan dukungan kekuatan sosial budaya itu.
Cara pandang dan interpretasi yang berbeda dalam keanekaragaman pemahaman
orangIslam terhadap hakikat hukum Islam telah berimplikasi dalam sudut
aplikasinya. M. Atho Mudzhar, misalnya, menjelaskan cara pandang yang
berbeda dalam bidang pemikiran hukum Islam menurutnya dibagi menjadi empat
jenis, yakni kitab-kitab fiqh, keputusan-keputusan Pengadilan agama, peraturan
Perundang-undangan di negeri-negeri muslim dan fatwa-fatwa ulama.
Keempat faktor tersebut diyakini memberi pengaruh cukup besar dalam proses
transformasi hukum Islam di Indonesia. Terlebih lagi hukum Islam sesungguhnya
telah berlaku sejak kedatangan pertama Islam di Indonesia, di mana stigma hukum
yang beriaku dikategorikan menjadi hukum adat, hukum Islam dan hukum Barat.
Sedangkan hukum Islam dilihat dari dua segi. Pertama, hukum Islam yang berlaku
secara yuridis formal, artinya telah dikodifikasikan dalam struktur hukum
nasionaI. Kedua, hukum Islam yang berlaku secara normatif yakni hukum Islam
yang diyakini memiliki sanksi atau padanan hukum bagi masyarakat muslim untuk
melaksanakannya.
Untuk mengembangkan proses transformasi hukum Islam ke dalam supremasi
hukum nasional, diperlukan partisipasi semua pihak dan lembaga terkait, seperti
halnya hubungan hukum Islam dengan badan kekuasaan negara yang mengacu kepada
kebijakan politik hukum yang ditetapkan (adatrechts politiek). Politik
hukum tersebut merupakan produk interaksi kalangan elite politik yang berbasis
kepada berbagai kelompok sosial budaya. Ketika elite politik Islam memiliki
daya tawar yang kuat dalam interaksi politik itu, maka peluang bagi
pengembangan hukum Islam untuk ditransformasikan semakin besar.
Politik hukum masa Orde Baru seperti termaktub dalam Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) yaitu Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN)
sejak 1973, 1978, 1983, 1988 dan 1993. Kurun waktu 1973-1988 pengembangan hukum
nasional diarahkan bagi kodifikasi dan unifikasi hukum sesuai kepentingan
masyarakat. Bentuk hukum tertulis tertentu dikodifikasikan dan diunifikasikan,
terutama hukum yang bersifat ‚netral? yang berfungsi bagi rekayasa sosial.
Demikian halnya bagi orang Islam, unifikasi hukum Islam memperoleh pengakuan
dalam sistem hukum nasional.
Transformasi hukum Islam dalam bentuk perundang-undangan (Takhrij
al-Ahkâm fî al-Nash al-Qânun) merupakan produk interaksi antar elite
politik Islam (para ulama, tokoh ormas, pejabat agama dan cendekiawan muslim)
dengan elite kekuasaan (the rulling elite) yakni kalangan politisi dan pejabat
negara. Sebagai contoh, diundangkannya UU No.1/1974 tentang Perkawinan, peranan
elite Islam cukup dominan dalam melakukan pendekatan dengan kalangan elite di
tingkat legislatif, sehingga RUU Perkawinan No.1/1974 dapat dikodifikasikan.[7]
Adapun prosedur pengambilan keputusan politik di tingkat legislatif dan
eksekutif dalam hal legislasi hukum Islam (legal drafting) hendaknva
mengacu kepada politik hukum yang dianut oleh badan kekuasaan negara secara
kolektif. Suatu undang-undang dapat ditetapkan sebagai peraturan tertulis
yang dikodifikasikan apabila telah melalui proses politik pada badan kekuasaan
negara yaitu legislatif dan eksekutif, serta memenuhi persyaratan dan rancangan
perundang-undangan yang layak.
Pendekatan konsepsional prosedur legislasi hukum Islam sebagaimana
dikemukakan oleh A. Hamid S. Attamimi adalah bahwa pemerintah dan DPR memegang
kekuasaan di dalam pembentukan undang-undang. Disebutkan dalam Pasal 5 ayat (1)
UUD 1945 bahwa‚ Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.? Sedangkan dalam penjelasan mengenai pasal
5 ayat (1) UUD 1945 dinyatakan bahwa ‚kecuali executive power, Presiden
bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat menjalankan legislatif power dalam
negara.[8]
Berdasarkan pandangan tersebut, maka DPR hendaknya memberi persetujuan
kepada tiap-tiap Rancangan Undang-undang yang diajukan oleh Pemerintah. Hal ini
senada dengan penjelasan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945, kendati DPR tidak harus
selalu meyatakan setuju terhadap semua rancangan Undang-undang dari pemerintah.
Keberadaan DPR sesungguhnya harus memberikan suatu consent atau
kesepakatan dalam arti menerima atau menolak rancangan undang-undang.
Dinamika Politik Hukum Islam
di Indonesia
Peralihan kekuasaan dan pemerintahan Orde Lama kepada Orde Baru ditandai
denganturunnya Soekarno dan kursi kepresidenan pasca kudeta G30/S/PKI pada
tahun 1965.[9] Peristiwa politik tersebut
telah berimplikasi kepada munculnya krisis politik yang cukup menegangkan
berupa gerakan massa yang menuntut pembubaran PKI serta tuntutan pembenahan
sistem politik dan pemulihan keamanan negara.[10]
Puncaknya terjadi pada tahun 1966, di mana pada saat itu situasi dan
stabilitas dalam negeri Indonesia semakin carut marut. Pada gilirannya Soekarno
mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) kepada Jenderal Soeharto
yang pada intinya berisi perintah untuk pemulihan kamanan dan ketertihan
nasional, konsolidasi semua aparat militer dan sipil, serta pelaporan atas segala
tugas dan tanggung jawab surat perintah tersebut.[11] Proses politik dalam negeri
saat itu berjalan sangat cepat. Jenderal Soeharto secara langsung maupun tidak
langsung menjadi pemegang kendali atas setiap proses politik. Ia mengambil
langkah-langkah yang diperlukan bagi percepatan dan pemulihan kondisi sosial,
politik dan ekonomi saat itu, hingga digelarnya Sidang Umum MPRS pada bulan
Juni - Juli 1966.
Ketetapan MPRS No, TX/MPRS/1966 menjadi landasan konstitusinal bagi
Supersemar dan sekaligus digelarnya Sidang Umum MPRS tahun 1967 berhasil
melengserkan Soekarno dan kursi kepresidenan berupa pencabutan mandat presiden
oleh MPRS dalam Tap MPRS No. XXXIII/MPRS/1967. Hal ini telah memuluskan jalan
bagi Soeharto untuk naik ke puncak kekuasaan yakni diangkat menjadi presiden
kedua yang ditetapkan dalam ketetapan MPRS No.XLITI/MPRS/1968.[12]
Lahirnya Orde Baru yang didukung oleh kalangan pelajar dan mahasiswa yang
tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan Kesatuan Aksi
Pemuda dan Pelajar Indonesia (KAPPI) yang para anggotanya mayoritas beragama
Islam. Dapat dikatakan, mereka menjadi ujung tombak runtuhnya pemerintahan Orde
Lama. Pada awal Orde Baru banyak dilakukan perubahan terhadap kecenderungan
birokrasi yang tidak bertanggungjawab yang warisan Orde Lama. Dengan memakai
format politik yang berporos pada eratnya hubungan militer dan teknokrat untuk
tujuan melaksanakan pembangunan dan mewujudkan pemerintah yang stabil dan kuat.
Kekuatan militer dan birokrasi merupakan mesin politik untuk menata kehidupan
sosial dan politik masyarakat, sehingga Orde Baru melalui dua komponen tersebut
menjadi kekuatan politik tunggal di Indonesia.
Adapun format politik yang tercipta antara lain : Pertama, peranan
birokrasi sangat kuat karena dijalankan oleh militer setelah ambruknya
demokrasi terpimpin, sehingga ia menjadi satu-satunya pemain utama di pentas
politik nasional. Kedua, upaya membangun sebuah kekuatan organisasi sosial
politik sebagai perpanjangan tangan ABRI dan pemerintah dalam wujud lahirnya
Golkar sebagai mayoritas tunggal organisasi politik di masa Orde Baru. Ketiga,
penjinakan radikalisme dalam politik melalui proses depolitisasi massa, seperti
menerapkan konsep floating mass dan NKK/BKK di lingkungan pendidikan
tinggi. Keempat, lebih menekankan pendekatan keamanan (Security Approach)
dan pendekatan kesejahteraan (Welfare Approuch) dalam pembagunan sosial
politik; Kelima, menggalang dukungan masyarakat melalui organisasi-organisasi
sosial dan kemasyarakatan yang berbasis korporatis.
Persentuhan Islam dan politik pada masa Orde Baru sesungguhnya telah
diawali sejak Orde Baru menerapkan kebijakan modernisasi, di mana stigma
perkembangan pola pikir dan cara pandang bangsa Indonesia serta proses
transformasi kultural dan perubahan sosial lebih banyak mengadopsi apa yang
pernah terjadi di negara-negara Barat. Kiblat pembangunan di Indonesia yang
sebelumnya mengarah ke Eropa Timur berbalik arah ke Eropa Barat dan Amenka.
Banyak didapatkan kalangan cendekiawan dan kalangan intelektual mulai akrab
dengan pemikiran-pemikiran Barat.
Sementara itu, bagi kalangan Islam modernisasi ibarat dilema karena
dihadapkan kepada dua pilihan, yakni apabila mendukung modernisasi ala Orde
Baru berarti sama saja mendukung Barat, sedangkan pada sisi lain, apabila
menolak berarti umat Islam akan kehilangan kesempatan untuk berperan aktif
dalam program pembangunan nasional.[15] Sikap pro-kontra di kalangan
mayoritas umat Islam dalam menanggapi modernisasi melahirkan tiga pola berikut:
Pertama, pola apologi, yakni suatu bentuk sikap penolakan kalangan Islam
terhadap segala nilai-nilai yang berakar pada wacana modernisasi. Bahkan pola
pertama ini berasumsi bahwa modernisasi identik dengan westernisasi dan
sekularisasi; Kedua, pola adaptif, yakni suatu bentuk sikap menerima sebagian
nilai-nilai modernisasi yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam; Ketiga,
pola kreatif, yakni suatu bentuk sikap dialogis yang lebih mengutamakan
pendekatan intelektual dalam menanggapi modernisasi. Dan ketiga pola tersebut,
tampaknya pola ketiga menjadi lebih dominan karena pendekatan intelektual yang
dikembangkan oleh kalangan modernis dipandang lebih representatif untuk
membangun tatanan Islam modern di Indonesia. Hal ini terjadi sebagai antitesa
dari kalangan Islam konservatif yang lebih mengarah kepada upaya ideologisasi
dan depolitisasi Islam secara formal yang mengakibatkan lahirnnya ketegangan
dengan rezim Orde Baru.
Pola pertautan politik yang serba provokatif dianggap bukan jalan terbaik
bagi islamisasi di Indonesia, mengingat penduduk Indonesia tidak seluruhnya
umat Islam yang dapat disatukan dalam bingkai sistem politik keormasan. Pada
gilirannya, lahirlah gagasan Islam kultural sebagai jalan tengah bagi umat
Islam untuk tetap memainkan perannya daam pentas politik nasional Paling tidak,
kebenaran akan pendekatan ini mulai membuahkan hasil berupa terbukanya jalan
bagi umat Islam menuju islamisasi politik Orde Baru di
penghujung tahun 1970-an.
Kebijakan-kebijakan politik Orde Baru yang menempatkan Islam dalam posisi
marjinal di pentas politik nasional pada gilirannya telah melahirkan berbagai
ketegangan antara Islam dan negara. Sejarah telah mencatat hahwa dinamika
hubungan Islam dan negara pada masa Orde Baru mengalami pergeseran yang
bersifat antagonistik, resiprokal kritis sampai akomodatif. Hubungan
antagonistik (1966-1981) mencerminkan pola hubungan yang hegemonik antara Islam
dengan pemerintah Orde Baru. Keadaan negara yang kuat memainkan pengaruh
ideologi politik sampai ke tingkat masyarakat bawah telah berlawanan dengan
sikap reaktif kalangan Islam sehingga melahirkan konflik ideologi dan sekaligus
menempatkan Islam sebagai oposisi. Kemudian pada tahap
hubungan resiprokal kritis (1982- 1985) kaum santri berupaya merefleksikan
kembali cara pandang mereka dan merubah dirinya untuk menampilkan sisi
intelektualitas dalam percaturan politik Indonesia. Pada
tahap ini pilihan-pilihan rasional-pragmatis telah melahirkan saling pengertian
akan kepentingan Islam dan pemerintahan Orde Baru. Dalam kurun waktu 1982-1985
sebagian kalangan Islam mulai menerima asas tunggal dalam landasan ideologi
negara serta ormas dan orpol. Sedangkan hubungan akomodatif (1985-2000)
hubungan Islam dan negara terasa lebih harmonis di mana umat Islam telah masuk
sebagai bagian dan sistem politik elit dan birokrasi, Pola hubungan akomodatif
ini sangat terasa berupa tersalurkannya aspirasi umat Islam untuk membangun
tatanan sosial, politik, ekonomi dan budaya yang berakar pada nilai-nilai luhur
agama (Islam) serta budaya bangsa yang dibingkai dalam falsafah integralistik Pancasila dan UUD 1945.
Tersendat-sendatnya aspirasi umat Islam di dalam mendapatkan hak-hak
perundang-undangan dan hukum tampak ketika dilegislasikannya UU No.1/1974
tentang Perkawinan yang kemudian disusul dengan PP No.9/1975. Selanjutnya
ditetapkan pula ketentuan tentang Wakaf dalam PP No.28/1977. Tidak berhenti
sampai di situ, umat Islam di tingkat legislatif kembali mempersoalkan
faham/aliran kepercayaan dalam UUD 1945 sebagai agama resmi yang diakui negara.
Dan yang paling krusial adalah kehendak umat Islam untuk dilegislasikannya
Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama (RUUPA) bagi penyelenggaraan peradilan
Islam di Indonesia.
Pada pola hubungan resiprokal kritis, umat Islam menyadari perlunya
strategi untuk menempuh jalur struktural-birokrat pada sistem kenegaraan. Pada
tahapan ini, kalangan cendekiawan dan politisi Islam harus berani bersentuhan
langsung dengan pemerintahan Orde Baru. Melalui
pendekatan strukturai-fungsional, umat Islam relatif mengalami kemajuan pesat
berupa masuknya kalangan Islam dalam segala sistem pemerintahan sipil mulai
dari pusat hingga daerah, dan sekaligus memperkokoh kekuasaan Orde Baru dalam
bingkai akumulasi sipil Islam dan militer.
Pada pola akomodatif, sebagai antitesa dan pola hubungan sebelumnya Islam
hampir menguasai seluruh sendi-sendi pemerintahan dan negara. Tercatat realitas
sosial politik umat Islam demikian penting memainkan peranannya di pentas
nasional. Kehadiran ICMI, 8 Desember 1990, diyakini sebagai tonggak baru
menguatnya islamisasi politik di Indonesia, dan semakin tampak ketika
diakomodirnya kepentingan syari’at Islam melalui UU No.7/1989 tentang Peradilan
Agama, sekaligus menempatkan Peradilan Agama sebagai lembaga peradilan negara
yang diatur dalam UU No.14/1970 tentang Pokok Pokok Kekuasaan Kehakiman,
disusul dengan UU No.10/1998 tentang Perbankan (pengganti UU No.7/1992), UU
No.38/ 1999, tentang Zakat, Inpres No.1/1991.tentang Penyebarluasan KHI [21]
Artikulasi dan partisipasi politik kalangan umat Islam demikian tampak mulai
dari pendekatan konflik, pendekatan resiprokal kritis sampai pendekatan
akomodatif. Maka dapat diasumsikan untuk menjadikan Islam sebagai kekuatan
politik hanya dapat ditempuh dengan dua cara yakni secara represif (konflik)
dan akomodatif (struktural-fungsional). Paling tidak ini merupakan sebuah
gambaran terhadap model paradigma hubungan antara Islam dan negara di
Indonesia. Gagasan Transformasi Hukum Islam di Indonesia
Gagasan transformasi hukum Islam dapat dilihat dan segi ilmu negara.
Dijelaskan bahwa bagi negara yang menganut teori kedaulatan rakyat, maka
rakyatlah yang menjadi kebijakan politik tertinggi. Demikian pula negara yang
berdasar atas kedaulatan Tuhan, maka kedaulatan negara/kekuasaan (rechtstaat)
dan negara yang berdasar atas hukum (machtstaat), sangat tergantung
kepada gaya politik hukum kekuasaan negara itu sendiri.
Rousseau misalnya dalam teori kedaulatan rakyatnya mengatakan bahwa tujuan
negara adalah untuk menegakkan hukum dan menjamin kebebasan dan para warga
negaranya. Pendapat Rousseau tersebut mempunyai pengertian bahwa kebebasan
dalam batas-batas perundang-undangan. Sedangkan undang-undang di sini yang
berhak membuatnya adalah rakyat itu sendiri. Atas dasar itu, Rousseau
berpendapat bahwa suatu undang-undang itu harus dibentuk oleh kehendak umum (volunte
generale), di mana seluruh rakyat secara langsung megambil bagian dalam
proses pembentukan undang-undang itu. Dalam konteks
kenegaraan di Indonesia kehendak rakyat secara umum diimplementasikan menjadi
sebuah lembaga tinggi negara yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), serta Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Jadi,
munculnya pemahaman tertulis bahwa eksekutif membuat sebuah rancangan
undang-undang sebelum ditetapkan bagi pemberlakuannya, terlebih dahulu harus
disetujui DPR.
Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus
1945, sebelumnya telah terjadi silang pendapat perihal ideologi yang hendak
dianut oleh Negara Indonesia. Gagasan Prof. Dr. Soepomo tentang falsafah negara
integralistik dalam sidang BPUPKI tanggal 13 Mei 1945 telah membuka wacana
pluralisme masyarakat Indonesia untuk memilih salah satu di antara tiga faham
yang ia ajukan, yaitu; (1) Faham Individualisme: 2) Faham Kolektifisme; dan (3)
Faham Integralistik.[24]
Dalam sejarah Indonesia, para politisi menghendaki faham integralistik sebagai
ideologi negara dan Pancasila dan UUD 1945 kemudian disepakati sebagai landasan
idiil dan landasan struktural Negara Kesatuan Republik Indonesia. Implikasiya
secara hukum setiap bentuk perundang-undangan diharuskan lebih inklusif dan
harus mengakomodasikan kepentingan umum masyarakat Indonesia. Inilah yang pada
gilirannya akan melahirkan konflik ideologis antara Islam dan negara
Undang-undang dinyatakan sebagai peraturan perundang-undangan yang
tertinggi, di dalamnya telah dapat dicantumkan adanya sanksi dan sekaligus
dapat langsung berlaku dan mengikat masyarakat secara umum. Istilah
undang-undang dalam anti formil dan materil merupakan terjemahan dan wet in
formelezin dan wet in materielezin yang dikenal Belanda. Di Belanda
undang-undang dalam anti formil (wet in formelezin) merupakan keputusan
yang dibuat oleh Regering dan Staten Generaal bersama-sama (gejamenlijk)
terlepas apakah isinya peraturan (regeling) atau penetapan (beschikking).
Ini dilihat dari segi pembentukannya atau siapa yang membentuknya.
Sedangkan undang-undang dalam arti materil (wet in materielezin)
adalah setiap keputusan yang mengikat umum (algemeen verbidende voorschnften),
baik yang dibuat oleh lembaga tinggi Regering dan Staten Generaal
bersama-sama, maupun oleh lembaga-lembaga lain yang lebih rendah seperti Regering
Kroon, Minister, Provinde dan Garneente yang
masing-masing membentuk Algemene Maatre gel van Bestuur, Ministeriele
Verordening, Pro vinciale Wetten, Gemeeteljkewetten, serta
peraturan-peraturan lainnya yang mengikat umum (Aloemeeri Verbiridende
Voorschnfteri). Jika pengertian wet diidentikan dengan Presiden dan
DPR, baik secara formil maupun materil kurang tepat. Di Indonesia hanya dikenal
istilah undang-undang saja yang diidentikan dengan wet. Dengan kata
lain, undang-undang di Indonesia yang ditetapkan oleh presiden dan atas
persetujuan DPR disebut setara muatan hukumnva baik secara formil maupun
materil dan berlaku umum.
Hubungannya dengan undang-undang pokok tidak dikenal dalam sistem hukum
Indonesia. Berdasarkan kepada UUD 1945 sebagai konstitusi negara Indonesia.
Pasal 5 ayat (1) telah menggariskan bahwa semua undang-undang di Indonesia
adalah undang-undang pokok yang kedudukannya setara, dan berada di bawah
hierarki norma hukum dan konstitusi UUD 1945. Atas dasar itu, maka dapat
dipahami bahwa Undang-undang Dasar (UUD) jelas berbeda dengan undang-undang.
Hal ini dapat dilihat dalam sistem hukum Indonesia yang diatur dalam ketetapan
MPR No.XX/MPRS/ 1966 sebagai berikut: UUD 1945, Tap MPR, UU, Perpu, PP, Kepres,
Kepmen, Perda Tk. I, Perda Tk. II, dan seterusnya.
Di samping itu, berbagai jenis peraturan perundang-undanan di negara
Indonesia dalam suatu tata susunan hierarki mengakibatkan pula adanya perbedaan
fungsi maupun materi muatan berbagai jenis peraturan perundang-undangan
tersebut. Secara umum fungsi dan undang-undang adalah: Pertama,
menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut tentang ketentuan dalam UUD 1945
secara tegas; Kedua, pengaturan lebih lanjut secara umum mengenai penjelasan
dalam batang tubuh UUD 1945; Ketiga, pengaturan lebih lanjut mengenai Tap MPR;
dan Keempat, pengaturan di bidang materi konstitusi.27 Sedangkan materi muatan
undang-undang telah diperkenalkan oleh A. Hamid Attamimi dengan istilah het
eigenaarding orderwerpder wet yang juga digunakan oleh Thorbecke dalam Aantekening
op de Grondwet yang terjemaahannya sebagai berikut:
Grondwet meminjam pemahaman tentang wet hanyalah dan orang/badan hukum yang
membentuknya. Grondwet membiarkan pertanyaan terbuka mengenai apa yang di
negara kita harus ditetapkan dengan wet dan apa yang boleh ditetapkan
dengan cara lain. Sebagaimana halnya dengan grondwet-grondwet lainnya, Grondwet
(inipun) berdiam diri (untuk) merumuskan materi muatan yang khas bagi wet (het
eigenaarding orderwerp der wet).
Apabila pendapat Thorbecke ini dipersamakan dengan UUD 1945, pandangan ini
ada benarnya, karena UUD 1945 ditentukan mengenai siapa yang berhak membentuk
undang-undang. Dalam pasal 5 ayat (1), yang menentukan adalah presiden memegang
kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR, dan materi muatan
undang-undang sama sekali tidak disebutkan. Kendati demikian, para ahli hukum
menyebutkan bahwa materi muatan undang-undang tidak dapat ditentukan ruang
lingkup materinya mengingat semua undang-undang adalah perwujudan aspirasi
rakyat (kedaulatan rakyat). Atas dasar itu, sesungguhnya semua materi muatan
dapat menjadi undang-undang, kecuali jika undang-undang tidak berkenan mangatur atau menetapkannya.
Bila diteliti lebih seksama kekhasan undang-undang dan peraturan lainnya
adalah undang-undang dibentuk dan ditetapkan oleh presiden dengan persetujuan
DPR. Jadi. muatan materi hukum undang-undang akan menjadi pedoman bagi
peraturan-peraturan lain di bawahnya. Adapun pedoman untuk mengetahui materi
muatan undang-undang dapat ditentukan melalui tiga pedoman, yaitu: Pertama,
dari ketentuan dalam Batang Tuhuh UUD 1945 terdapat sekitar 18 masalah (18
pasal) tentang hak-hak asasi manusia, pembagian kekuasaan negara, dan penetapan
organisasi dan alat kelengkapan negara; Kedua, Berdasar wawasan negara berdasar
atas hukum/rechtstaat) yang dimulai dan kekuasaan absolut negara (polizeistacit),
terus pembentukan negara berdasar atas hukum yang sempit/liberal (rechtstaat
sempit/liberal), berdasar atas hukum formal (rechtstaat formal), dan
negara berdasar atas hukum material/sosial yang modern (rechtstaat
material sosial); dan Ketiga, berdasar pada wawasan pemerintahan sistem
konsitusional, di mana penyelenggaraan kekuasaan negara dan hukum serta yang
lainnya harus mengacu pada norma dasar (ground norm) dan Undang-undang
Dasar. Dengan kata lain, yang dimaksud adalah Pancasila dan UUD 1945.[28]
Dari rumusan-rumusan tersebut, dapat diambil gambaran konseptual bahwa
kodifikasi hukum Islam menjadi sebuah undang-undang (takhrij al-ahkam fi
al-nash al-taqnin) diharuskan mengikuti prosedur konstitusional dan sejalan
dengan norma hukum serta cita hukum di Indonesia. Kodifikasi dan unifikasi
hukum Islam serta penyusunan rancangan perundang-undangan yang baru diarahkan
untuk terjaminnya kepastian hukum (law enforcement) di masyarakat.
Produk Hukum Islam di
Indonesia
Terhitung sejak tahun 1970-an sampai sekarang arah dinamika hukum Islam dan
proses transformasi hukum Islam telah berjalan sinergis searah dengan dinamika
politik di Indonesia. Tiga fase hubungan antara Islam dan negara pada masa Orde
Baru yakni fase antagonistik yang bernuansa konflik, fase resiprokal kritis
yang bernuansa strukturalisasi Islam, dan fase akomodatif yang bernuansa
harmonisasi Islam dan negara, telah membuka kemungkinan pembentukan peraturan
perundangan yang bernuansa hukum Islam.
Konsepsi negara berdasarkan atas hukum (rechtstaat) memiliki muatan
ciri-ciri berikut; 1). Prinsip perlindungan Hak Asasi Manusia; 2). Prinsip
pemisahan/pembagian kekuasaan; 3). Pemenntah berdasar undang-undang; 4).
Prinsip Keadilan; 5). Prinsip kesejahteraan rakyat. Untuk menemukan ini dapat
dilihat dalam naskah Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4. pintu lebar bagi
islamisasi pranata sosial, budaya, politik dan hukum Islam di Indonesia
Berkenaan dengan itu, maka konsep pengembangan hukum Islam yang secara
kuantitatif begitu mempengaruhi tatanan sosial-budaya, politik dan hukum dalam
masyarakat. Kemudian diubah arahnya yakni secar kualifatif diakomodasikan dalam
berbagai perangkat aturan dan perundang-undangan yang dilegislasikan oleh
lembaga pemerintah dan negara. Konkretisasi dari pandangan ini selanjutnya
disebut sebagai usaha transformasi (taqnin) hukum Islam ke dalam bentuk
perundang-undangan.
Di antara produk undang-undang dan peraturan yang bernuansa hukum Islam,
umumnya memiliki tiga bentuk: Pertama, hukum Islam yang secara formil maupun
material menggunakan corak dan pendekatan keislaman; Kedua, hukum Islam dalam
proses taqnin diwujudkan sebagai sumber-sumber materi muatan hukum, di mana
asas-asas dan pninsipnya menjiwai setiap produk peraturan dan
perundang-undangan; Ketiga, hukum Islam yang secara formil dan material
ditransformasikan secara persuasive source dan authority source.
Sampai saat ini, kedudukan hukum Islam dalam sistem hukum di Indonesia
semakin memperoleh pengakuan yuridis. Pengakuan berlakunya hukum Islam dalam
bentuk peraturan dan perundang-undangan yang berimplikasi kepada adanya
pranata-pranata sosial, budaya, politik dan hukum. Salah satunya adalah
diundangkannya Undang Undang No. 1/1974 tentang Perkawinan.
Abdul Ghani Abdullah mengemukakan bahwa berlakunya hukum Islam di Indonesia
telah mendapat tempat konstitusional yang berdasar pada tiga alasan, yaitu:
Pertama, alasan filosofis, ajaran Islam rnerupakan pandangan hidup, cita moral
dan cita hukum mayoritas muslim di Indonesia, dan mi mempunyai peran penting
bagi terciptanya norma fundamental negara Pancasila); Kedua, alasan Sosiologis.
Perkembangan sejarah masyarakat Islam Indonesia menunjukan bahwa cita hukum dan
kesadaran hukum bersendikan ajaran Islam memiliki tingkat aktualitas yang
berkesiambungan; dan Ketiga, alasan Yuridis yang tertuang dalam Pasal 24, 25
dan 29 UUD 1945 memberi tempat bagi keberlakuan hukum Islam secara yuridis
formal.
Implementasi dan tiga alasan di atas, sebagai contoh adalah ditetapkannya
UUPA No.7/1989 yang secara yuridis terkait dengan peraturan dan
perundang-undangan lainnya, seperti UU No.2/1946 Jo, UU No.32/1954, UU Darurat
No.1/1951, UU Pokok Agraria No.5/1960, UU No.14/1970, UU No.1/1974, UU
No.14/1985, Perpu Nol/SD 1946 dan No.5/SD 1946, PP. No.10/1947 Jo. PP.
No.19/1947, PP. No.9/1975, PP. No.28/1977, PP. No.10/1983 Jo, PP. No.45/1990
dan PP. No. 33/1994. Penataan Peradilan Agama terkait pula dengan UU No.2/1986
tentang Peradilan Umum, UU No.5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dan
UU No.7/1989 tantang Dradi1an Agama.[29]
Dalam kenyataan lebih konkret, terdapat beberapa produk peraturan
perundang-undangan yang secara formil maupun material tegas memiliki muatan
yuridis hukum Islam, antara lain:
a. UU RI No. 1/1974 tentang Hukum Perkawinan
b. UU RI No. 7/ 1989 tentang Peradilan Agama
(Kini UU No. 3,72006
c. UU RI No. 7/1992 tentang Perbankan yang
membolehkan menggunakan prinsip bagi hasil
d. UU RI No.10/1998 tentang PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992
TENTANG PERBANKAN yang membolehkan menggunakan Prinsip Syariah.
e. UU RI No. 17/1999 tentang Penyelenggaraan
Ibadah Ají
f. UU RI No.38 TAHUN 1999 TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT
g. UU RI No. 44/1999
tentang Penyelenggaraan Otonomi Khusus Nangroe Aceh Darussalam
h. UU Politik Tahun 1999 yang
mengatur ketentuan partai Islam
i.
UU RI No. 16 TAHUN 2001
TENTANG Y A Y A S A N
j. UU RI No 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF
k. UU RI No 3 TAHUN 2006
TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA
l. UU RI No 19 TAHUN 2008 TENTANG SURAT BERHARGA SYARIAH
NEGARA
m. UU RI No 21 TAHUN 2008
TENTANG PERBANKAN SYARIAH
Di samping tingkatannya yang berupa Undang-undang, juga terdapat
peraturan-peraturan lain yang berada di bawah Undang-undang, antara lain:
a. PP No.9/1975 tentang
Petunjuk Pelaksanaan UU Hukum Perkawinan
b. PP No.28/1977 tentang
Perwakafan Tanah Milik
c. PP No.72/1992 tentang
Penyelenggaraan Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil
d. Inpres No.1/ 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam
e. Inpres No.4/2000 tentang
Penanganan Masalah Otonomi Khusus di NAD
Dari sekian banyak produk perundang-undangan yang memuat materi hukum
Islam, peristiwa paling fenomenal adalah disahkannya UU No.7/1989 tentang
Peradilan Agama. Betapa tidak, Peradilan Agama sesungguhnya telah lama dikenal
sejak masa penjajahan (Mahkamah Syar’iyyah) hingga masa kemerdekaan, mulai Orde
Lama hingga Orde Baru, baru kurun waktu akhir 1980-an UUPA No.7/1980 dapat
disahkan sehagai undang-undang. Padahal UU No.14/1970 dalam Pasal 10-12 dengan
tegas mengakui kedudukan Peradilan Agama berikut eksistensi dan kewenangannya.
Keberadaan UU No.7/1989 tentang Peradilan Agama dan Inpres No.1/1991
tentang Kompilasi Hukum Islam sekaligus merupakan landasan yuridis bagi umat
Islam untuk menyelesaikan masalah-masalah perdata. Padahal perjuangan umat
Islam dalam waktu 45 tahun sejak masa Orde lama dan 15 tahun sejak masa Orde
Baru, adalah perjuangan panjang yang menuntut kesabaran dan kerja keras hingga
disahkannya UU No.7/1989 pada tanggal 29 Desember 1989.
Sejalan dengan perubahan iklim politik dan demokratisasi di awal :ahun
1980-an sampai sekarang, tampak isyarat positif bagi kemajuan pengernbangan
hukum Islam dalam seluruh dimensi kehidupan masyarakat. Pendekatan struktural
dan harmoni dalam proses islamisasi pranata sosial, budaya, politik, ekonomi
dan hukum, semakin membuka pintu lebar-lebar bagi upaya transformasi hukum
Islam dalam sistem hukum nasional. Tinggal bagaimana posisi politik umat Islam
tidak redup dan kehilangan arah, agar ia :etap eksis dan memainkan peran lebih
besar dalam membesarkan dan kemajukan Indonesia baru yang adil dan sejahtera.
Kehadiran ICMI pada awal tahun 1990-an sesungguhnya merupakan rea1itas
sosial dan politik yang tidak dapat dihindari. Di mana peran besar yang
ditampilkan oleh elite politik Islam di lingkungan birokrasi, serta peran
tokoh-tokoh Islam yang aktif dalani berbagai organisasi kemasyarakatan Islam,
dipandang sangat penting terutama dalam merespon kehendak umat Islam secara
kolektif. Dengan kata lain, adanya berbagai produk perundang-undangan dan
peraturan berdasarkan hukum Islam, bukan perkara yang mudah, seperti
membalikkan kedua telapak tangan, tetapi semua itu telah dilakukan melalui
proses politik dalam rentang sejarah yang cukup lama.
Penutup
Hukum Islam di Indonesia telah mengalami perkembangan yang dinamis dan
berkesinambungan, baik melalui saluran infrastruktur politik maupun
suprastruktur seiring dengan realitas, tuntutan dan dukungan, serta kehendak
bagi upaya transformasi hukum Islam ke dalam sistem hukum Nasional. Bukti
sejarah produk hukum Islam sejak masa penjajahan hingga masa kemerdekaan dan
masa reformasi merupakan fakta yang tidak pernah dapat digugat kebenarannya.
Semoga hukum Islam tetap eksis beriringan dengan tegaknya Islam itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah. Abdul Ghani,
‚Peradilan Agama Pasca UU No.7/1989 dan Perkembangan Studi Hukum Islam
di Indonesia? dalam Mimbar Hukum No, 17 Tahun V, Jakarta: Al-Hikmah &
Ditbinpera Islam Depag Tahun, 1994.
Amak F.Z., Proses
Undang-Undang Perkawinan, Bandung: aI-Ma’arif, 1976.
Anwar. M. Syafi’i, Politik
Akomodasi Negara dan Cendekiawan Muslim Orde Baru: Sebuah Retrospeksi dan
Refleksi, Bandung: Mizan, 1995.
-------------, Pemikiran dan
Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik tentang Cendekiawan Muslim Orde
Baru, Jakarta: Paramadina, 1995.
Atamimi. A. Hamid S., Peranan
Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Pen yelenggaraan Pemerintah Negara:
Suatu Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfiingsi Pengaturan dalam
Kurun Watu Pelita 1-Pelita IV, Disertasi Doktor Universitas Indonesia Jakarta:
UI, 1990.
-------------, Materi Muatan
Peraturan Pemerintah Perundang-undangan, dalam Majalah Hukum dan Pembangunan
Jakarta, 1979.
Basri. Cik Hasan, Peradilan
Agama dan Peradilan Islam, dalam Bunga Rampai Peradilan Islam I, Bandung: Ulul
albab Press, 1997.
Castle. Lance, Birokrasi dan
Masyarakat Indonesia, Surakarta: Hapsara, 1983.
Cruch. Harold, The Army and
Politics in Indonesia, Ithaca: Cornell University Press, 1978.
Gaffar. Affan, Politik Indonesia:
Tradisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Harahap. M. Yahya, Informasi
Materi Kompilasi Hukum Islam: Memposisikan Abetraksi Hukum Islam? dalam Mimbar
Hukum No.5 Tahun II Jakarta: Al-Hikmah dan Ditbinhapera Islam, 1992.
Hassan. Fuad, Meramu
Intelegensi dengan Intuisi: Di antara Para Sahabat Pak Harto, Jakarta: PT.
Citra Lamtorogung Persada, 1991.
Joeniarto, Sejarah
Ketatanegaraan Republik Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990).
Huijbers. Theo, Filsafat Hukum
dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Kanisius, 1982.
Mahendra, Yusril Ihza,
Dinamika Tata Negara Indonesia: Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi Dewan
Perwakilan dan Sistem Kepartaian Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Masoed. Mochtar, Ekonomi dan
Struktur Politik Orde Baru 1966-1971, (Jakarta: LP3ES, 1989.
Muzhor. M. Atho, Pengaruh
Faktor Sosial Budaya terhadap Produk Pemikiran Hukum Islam, dalam Jurnal Mimbar
Hukum No. 4 tahun II (Jakarta: A1-Hikmah dan Ditbinbapera Islam, 1991.
Saleh, Hasanudin, HMI dan
Rekayasa Asas Tunggal Pancasila, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Prodjodikoro, Wiryono,
Asas-asas Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Dian Rakyat, 1989.
Fadhie, Teuku Mohammad,
Politik dan Pembaharuan Hukum, dalam Prisma No. 6 tahun II Jakarta: LP3ES,
1973.
Rahardjo. M. Dawam
Intelektual, Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa, Bandung: Mizan, 1993.
Sunny, Isma’il, Tradisi dan
Inovasi Keislaman di Indonesia dalam Bidang Hukum Islam, dikutip dalam Bunga
Rampai Peradilan Islam di Indonesa, Jilid I Bandung: Ulul Albab Press, 1997.
Sukarja, Ahmad, Keberlakuan
Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, dalam Cik Hasan Basri [ed], Bunga
Rampai Peradilan Islam I, Bandung: Ulul Albab Press, 1997.
Soeprapto. Maria Farida
Indrati, Ilmu Perundang-undangan: Dasar-dasar dan Pembentukannya, Yogyakarta:
Kanisius, l998.
Sehino, Ilmu Negara,
Yogyakarta: Liberty, 1980.
Wahyuni, Sri. Politik Hukum Islam di
Indonesia (Studi terhadap Legislasi Kompilasi Hukum Islam), Jurnal Mimbar
Hukum No. 59 Th. XIV, al-Hikmah, 2003
Yami, Mohammad, Naskah
Persiapan UUD 1945 (Jakarta: Reproduksi Setneg, t.t.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar