Rabu, 02 Mei 2012

Eksekusi Pidana Mati Terhadap Wanita Hamil

Indonesia merupakan salah satu negara yang masih mempertahankan dan mengakui legalitas pidana mati sebagai salah satu cara untuk menghukum pelaku tindak kejahatan, walaupun pro dan kontra mengenai pidana mati sudah lama terjadi di negeri ini. Bahkan keberadaan pidana mati di Indonesia akan terus berlangsung pada waktu yang akan datang karena dalam Rancangan KUHP (Baru), pidana mati masih merupakan salah satu sanksi pidana yang dipertahankan untuk menghukum pelaku kejahatan.
Kedudukan perempuan dalam masyarakat mempunyai peranan yang sama pentingnya dengan kaum laki-laki, hanya, ada hal-hal khusus dalam diri perempuan. Hal-hal tersebut berkaitan dengan sifat dan kodrat pada perempuan sebagai ibu yang akan melahirkan anak.
Kedudukan keduanya di muka hukum pun pada hakekatnya sama, namun perlindungan hukum dan pengayoman terhadap perempuan pelaku tindak pidana khususnya yang sedang hamil dan menyusui, tidak dapat disamaratakan dengan laki-laki
Dr. Rodliyah.MH seorang ahli di bidang Hukum UNIV. Brawijaya mengungkapkan, norma tentang pelaksanaan pidana mati terhadap perempuan hamil dan menyusui, belum diatur dalam KUHP. ‘Hal ini menunjukkan telah terjadi suatu kekosongan hukum dalam KUHP, meskipun diluar KUHP yakni Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 telah mengaturnya, akan tetapi belum mencerminkan rasa keadilan, kemanusiaan, serta perlindungan terhadap anak yang dikandung dan dilahirkannya’, kata dia.
Penelitian Rodliyah ini memiliki tiga tujuan utama yakni mengidentifikasi, memahami dan menganalisis aspek filosofis dan historis pelaksanaan pidana mati di Indonesia; mengidentifikasi, memahami dan menganalisis kekhususan ketentuan pelaksanaan pidana mati terhadap perempuan hamil dan menyusui dalam hukum pidana serta mengidentifikasi, menganalisis dan merumuskan kebijakan legislatif tentang pidana mati terhadap perempuan hamil dan menyusui dalam hukum pidana di masa yang akan datang.

Pidana Mati
Berdasar ketentuan Pasal 10 KUHP, pidana mati menurut Rodliyah masih diterapkan di Indonesia terhadap kejahatan-kejahatan serius seperti makar, narkotika, pembunuhan berencana, korupsi dan terorisme. ’Dari sejarahnya, pidana mati sudah ada sejak berlakunya hukum adat’, katanya. Kemudian pada masa penjajahan Belanda diberlakukan WvSI sejak tahun 1918 meskipun di Belanda sendiri telah dihapus pada tahun 1870. Setelah merdeka, berdasarkan UU RI Nomor 1 Tahun 1946, berlakulah KUHP, sedangkan pelaksanaan pidana mati diatur dalam Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1984 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer.
Berdasar ketentuan internasional antara lain UDHR dan ICCPR, Rodliyah menambahkan, pelaksanaan pidana mati perempuan hamil dan menyusui tidak diterapkan. Sedangkan pada negara-negara retensionis, diberi perlakuan khusus dengan memberikan penundaan dan peniadaan.
Untuk hukum di Indonesia, diterangkannya, pelaksanaan pidana mati perempuan hamil dan menyusui yang diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 2 Pnps/1964, eksekusinya ditunda 40 hari setelah melahirkan. ‘Dengan demikian sangat jelas bahwa ketentuan tentang pelaksanaan pidana mati terhadap perempuan hamil dan menyusui di Indonesia tidak mengacu pada hukum internasional, tenggat waktu pelaksanaannya sangat minim dibandingkan dengan Negara-negara lain dan hukum Islam, sehingga tidak mencerminkan rasa keadilan’, tandasnya.
Karena itu, dalam disertasinya, Rodliyah mengajukan pembaharuan (legal reform) untuk konsep di masa mendatang (ius contituendum) tentang pengaturan norma penundaan pelaksanaan pidana mati terhadap perempuan hamil dan menyusui. Konsep pembaharuan ini didasarkan pada landasan yuridis seperti ketentuan-ketentuan internasional, ketentuan di beberapa Negara, hukum Islam dan RUU KUHP 2008 Pasal 88, teori keadilan menurut John Rewis, hukum feminis, hukum responsif, teori pemidanaan, Hak Asasi Manusia dan filosofi Pancasila. Konsep yang diajukannya dalam rangka pembaharuan hukum pidana dan dicantumkan dalam KUHP dimasa yang akan datang adalah ‘Pelaksanaan pidana mati terhadap perempuan hamil dan menyusui baru dapat dilaksanakan setelah usia anak 12 tahun. Apabila dalam masa penundaan terpidana mati menyadari kesalahan, berkelakuan baik dan bertaubat, maka pidana mati tidak dilaksanakan’.

Perdebatan mengenai pidana mati juga terkait dengan hak hidup yang dalam instrumen hukum internasional maupun dalam UUD 1945 masuk dalam kategori hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (non derogable rights). Namun demikian, instrumen hukum internasional, khususnya ICCPR tidak sama sekali mela­rang pidana mati melainkan membatasi penerapannya.
Hal itu dalam konteks di Indonesia dikukuhkan dalam Pu­tusan MK No 2-3/PUU-V/2007 yang menyatakan bahwa di masa yang akan datang perumusan, penerapan, mau­pun pelaksanaan pidana mati hendaklah memperhatikan empat hal penting. Pertama, pidana mati bukan lagi me­rupakan pidana pokok, melainkan sebagai pidana yang bersifat khusus dan alternatif. Kedua, pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun yang apabila terpidana berkelakuan terpuji dapat diubah dengan pidana penjara seumur hidup atau selama 20 ta­hun. Ketiga, pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum dewasa. Keempat, eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seseorang yang sakit jiwa ditangguhkan sampai perempuan hamil tersebut melahirkan dan terpidana yang sakit jiwa tersebut sem­buh.

b. Pengaturan hukuman mati dalam hukum positif di Indonesia
Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) membedakan dua macam pidana: pidana pokok dan pidana tambahan, yaitu:
a. Pidana pokok:
1. Hukuman mati
2. Hukuman penjara
3. Hukuman kurungan
4. Hukuman denda
b. Pidana tambahan:
1. Pencabutan beberapa hak yang tertentu
2. Perampasan barang yang tertentu
3. Pengumuman keputusan Hakim
Dengan demikian, maka pidana mati di dalam hukum positif di Indonesia merupakan merupakan pidana pokok.
Kejahatan-kejahatan yang diancam dengan hukuman mati di dalam KUHP misalnya ;
1.    Pasal 104 KUHP: Makar membunuh kepala Negara;
2). Pasal 111 ayat (2) KUHP: Mengajak Negara Asing untuk menyerang Indonesia;
3). Pasal 124 ayat (3) KUHP: Memberikan pertolongan kepada musuh pada saat Indonesia dalam keadaan perang;
4). Pasal 140 ayat (4) KUHP: Membunuh kepala Negara sahabat;
5). Pasal 140 ayat (3) dan Pasal 340 KUHP: Pembunuhan yang direncakan lebih dahulu;
6). Pasal 365 ayat (4) KUHP: Pencurian dengan kekerasan oleh dua orang atau lebih bersekutu pada waktu malam hari dengan cara membongkar dan sebagainya, yang mengakibatkan seseorang mengalami luka berat atau mati;
7). Pasal 444 KUHP: Pembajakan di laut, di pesisir, di pantai dan di kali, sehingga mengakibatkan orang mati ;
8). Pasal 124 bis KUHP: Dalam waktu perang menganjurkan huru-hara, pemberontakan dan sebagainya antara pekerja-pekerja dalam perusahaan pertahanan negara ;
9). Pasal 127 dan 129 KUHP: Dalam waktu perang menipu waktu menyampaikan keperluan angkatan perang;
10). Pasal 368 ayat (2) KUHP: Pemerasan dengan pemberatan ;
Sebagai bahan komparatif sekaligus menerawang perkembangan pemikiran dalam pengaturan pidana mati di Indonesia, ada baiknya juga apabila kita menyimak ketentuan naskah Rancangan KUHP baru sebagai Jus Constituendum, antara lain sebagai berikut :
 1). Pidana Mati dilaksanakan oleh regu tembak dengan menembak terpidana sampai mati;
 2). Pelaksanakan pidana mati tidak dilaksanakan di muka umum;
 3). Pidana mati tidak dijatuhkan kepada anak di bawah umur delapan belas tahun;
4). Pelaksanaan Pidana mati terhadap wanita hamil atau orang sakit jiwa ditunda sampai wanita tersebut melahirkan atau orang sakit jiwa tersebut sembuh;
5). Pidana mati baru dapat dilaksanakan setelah ada persetujuan Presiden dan Penolakan Grasi oleh Presiden;
6). Pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan selama sepuluh tahun, jika;
a) Reaksi masyarakat terhadap terpidana mati terlalu besar
b) Terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk memperbaiki
c) Kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana tidak terlalu penting
d) Ada alasan meringankan
7). jika terpidana selama masa percobaan menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dan pidana penjara paling lama dua puluh tahun dengan keputusan menteri kehakiman.
8). jika terpidana selam masa percobaan tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji tidak ada harapan untuk memperbaiki maka terpidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.
9). jika setelah permohonan Grasi ditolak, pelaksanaan pidana mati tidak dilaksanakan selama sepuluh tahun bukan karena terpidana melarikan diri maka terpidana mati tersebut dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dengan Keputusan Menteri Kehakiman. (Bambang Waluyo, 2000, hlm: 14-15)


EKSEKUSI HUKUMAN MATI WANITA HAMIL MENURUT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM.
Hadist tentang hukuman bagi pezina yang hamil
وَعَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ { أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ أَتَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهِيَ حُبْلَى مِنْ الزِّنَا – فَقَالَتْ : يَا نَبِيَّ اللَّهِ ، أَصَبْت حَدًّا ، فَأَقِمْهُ عَلَيَّ ، فَدَعَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلِيَّهَ.
فَقَالَ : أَحْسِنْ إلَيْهَا ، فَإِذَا وَضَعَتْ فَأْتِنِي بِهَا فَفَعَلَ .
فَأَمَرَ بِهَا فَشُكَّتْ عَلَيْهَا ثِيَابُهَا ، ثُمَّ أَمَرَ بِهَا فَرُجِمَتْ .
ثُمَّ صَلَّى عَلَيْهَا ، فَقَالَ عُمَرُ : أَتُصَلِّي عَلَيْهَا يَا نَبِيَّ اللَّهِ وَقَدْ زَنَتْ ؟ فَقَالَ : لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ قُسِّمَتْ بَيْنَ سَبْعِينَ مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ لَوَسِعَتْهُمْ ، وَهَلْ وَجَدْت أَفْضَلَ مِنْ أَنْ جَادَتْ بِنَفْسِهَا لِلَّهِ تَعَالَى } ؟ رَوَاهُ مُسْلِمٌ .

  1. Terjemah dari hadist tentang hukuman bagi pezina yang hamil
Dan dari imran bin hushain, bahwa ada seorang perempuan dari juhainiyah datang ketempat Rasulullah saw dalam keadaan hamil karena zina. Lalu ia berkata, Ya Rasulullah aku telah telah berbuat pelanggaran, maka laksanakanlah hukuman itu atasku. Lalu Nabi saw. Memanggil walinya, seraya bersabda, “Peliharalah perempuan ini dengan baik, dan jika ia telah melahirkan, maka bawalah kemari”. Kemudian walinya itu mengerjakannya. Kemudian oleh Rasulullah saw. Diperintahkan supaya pakaiannya diikat rapat, lalu diperintahkan untuk dirajam, kemudian dishalati. Kemudian Umar menyanggah Rasulullah saw, apakah engkau akan menshalatinya, ya Rasulullah paadahal dia berzina? Jawab Rasulullah, “sungguh-sungguh dia telah bertaubat, yang andaikata taubatnya itu dibagi kepada tujuh puluh orang penduduk madinah, niscaya akan mencukupinya. Taukah engkau orang yang lebih utama selain orang yang memperbaiki dirinya karena Allah?” (HR Muslim).
  1. Penjelasan.
Dari hadist tersebut dijelaskan bahwa perempuan yang datang kepada Rosulullah SAW yang mengakui atas perbuatannya terhadap Rosul dan meminta untuk dihukum. Dalam hal ini Rosulullah memerintahkan merajam pezina hamil haruslah menunggu setelah perempuan tersebut melahirkan, barulah setelah lahir diperbolehkan untuk dilaksanakannya hukuman raja. Dan Rosulullah memerintahkan untuk mensholatinya karena perempuan tersebut mau mengakui perbuatannya dan mau memperbaiki (taubat) karena Allah. Dalam hadist tersebut juga menunjukkan bahwa orang yang akan dihukum itu auratnya harus tetap dipelihara jangan sampai terbuka.
Dalam hadist ini di jelaskan “ketika sudah melahirkan maka bawa dia kemari” hal itu menunjukkan bahwa hukuma rajam dilaksanakan pada saat dia hamil, namun pelaksanaannya setelah dia melahirkan. Pada riwayat lain disebutkan bahwa wanita hamil yang berzina dirajam setelah ia menyusui anaknya. Adapun hadist tersebut memberikan implikasi kewajiban rajam bagi wanita hamil yang melakukan zina. Ulama’ telah sepakat bahwa wanita dirajam dalam keadaan duduk dan laki-laki dalam keadaan berdiri, kecuali Imam Malik.
Dimasa sekarang telah banyak fatwa-fatwa dan hasil-hasil keputusan baru tentang penerapan hukuman mati, terutama pada eksekusi hukuman mati bagi wanita hamil. Seperti halnya pada konferensi hukum islam di Negara-negara Arab.
            Piagam Hak Asasi Manusia Arab, yang diadopsi September 15, 1994, tetapi belum diratifikasi oleh setiap anggota Liga Arab, menyatakan hak untuk hidup dengan cara yang sama sebagai instrumen internasional lainnya. Namun, tiga ketentuan yang berbeda, Pasal 10, 11, dan 12, mengakui legitimasi hukuman mati dalam kasus "pelanggaran serius terhadap hukum umum," melarang hukuman mati untuk kejahatan politik, dan mengecualikan hukuman mati atas kejahatan yang dilakukan di bawah usia delapan belas dan untuk kedua wanita hamil dan ibu menyusui untuk jangka waktu hingga dua tahun setelah melahirkan.
            Piagam Hak Asasi Manusia Arab, yang diadopsi September 15, 1994, tetapi belum diratifikasi oleh setiap anggota Liga Arab, menyatakan hak untuk hidup dengan cara yang sama sebagai instrumen internasional lainnya. Namun, tiga ketentuan yang berbeda, Pasal 10, 11, dan 12, mengakui legitimasi hukuman mati dalam kasus "pelanggaran serius terhadap hukum umum," melarang hukuman mati untuk kejahatan politik, dan mengecualikan hukuman mati atas kejahatan yang dilakukan di bawah usia delapan belas dan untuk kedua wanita hamil dan ibu menyusui untuk jangka waktu hingga dua tahun setelah melahirkan.
Reynaldo Galindo PohI, Pelapor sebelumnya Khusus Komisi Hak Asasi Manusia terhadap Iran, mengamati bahwa "ada kelompok-kelompok Islam-sarjana hukum dan praktisi yang merekomendasikan penghapusan hukuman mati untuk kejahatan-kejahatan politik atas dasar bahwa hal ini bertentangan dengan hukum Islam Mereka menyatakan. bahwa jumlah kejahatan yang diancam dengan kematian adalah terbatas. " Pada Oktober 1995, aktivis hak asasi manusia dari seluruh dunia Arab bertemu di Tunis untuk mempertimbangkan isu hukuman mati. Pertemuan, yang menampilkan spesialis tentang agama, filsafat, dan hukum pidana di negara-negara Arab, adalah sebuah inisiatif bersama dari Institut Arab untuk Hak Asasi Manusia dan Warga negara dan anggota parlemen Liga Penghapusan Hukuman Mati dari "Hands Off Cain," dengan dukungan dari Masyarakat Eropa. Dalam sebuah deklarasi yang diadopsi pada akhir pertemuan, para peserta menegaskan bersama mereka "komitmen terhadap penghapusan hukuman mati sebagai langkah strategis." Mereka juga menyatakan "bahwa dalam latar belakang peradaban dan budaya Arab, tidak ada hambatan yang nyata ada dan menghambat evolusi legislasi sekuler dalam proses pembentukan batas-batas hukuman mati dan menghapuskannya." Pernyataan itu diakhiri dengan sebuah panggilan ke negara-negara Arab untuk mengadopsi Protokol Opsional Kedua Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, yang merupakan komitmen hukum internasional untuk tidak memaksakan hukuman mati.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar