Indonesia merupakan salah satu negara yang masih mempertahankan dan
mengakui legalitas pidana mati sebagai salah satu cara untuk menghukum pelaku
tindak kejahatan, walaupun pro dan kontra mengenai pidana mati sudah lama
terjadi di negeri ini. Bahkan keberadaan pidana mati di Indonesia akan terus
berlangsung pada waktu yang akan datang karena dalam Rancangan KUHP (Baru),
pidana mati masih merupakan salah satu sanksi pidana yang dipertahankan untuk
menghukum pelaku kejahatan.
Kedudukan
perempuan dalam masyarakat mempunyai peranan yang sama pentingnya dengan kaum
laki-laki, hanya, ada hal-hal khusus dalam diri perempuan. Hal-hal tersebut
berkaitan dengan sifat dan kodrat pada perempuan sebagai ibu yang akan
melahirkan anak.
Kedudukan
keduanya di muka hukum pun pada hakekatnya sama, namun perlindungan hukum dan
pengayoman terhadap perempuan pelaku tindak pidana khususnya yang sedang hamil
dan menyusui, tidak dapat disamaratakan dengan laki-laki
Dr. Rodliyah.MH
seorang ahli di bidang Hukum UNIV. Brawijaya mengungkapkan, norma tentang
pelaksanaan pidana mati terhadap perempuan hamil dan menyusui, belum diatur
dalam KUHP. ‘Hal ini menunjukkan telah terjadi suatu kekosongan hukum dalam
KUHP, meskipun diluar KUHP yakni Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 telah
mengaturnya, akan tetapi belum mencerminkan rasa keadilan, kemanusiaan, serta
perlindungan terhadap anak yang dikandung dan dilahirkannya’, kata dia.
Penelitian
Rodliyah ini memiliki tiga tujuan utama yakni mengidentifikasi, memahami dan
menganalisis aspek filosofis dan historis pelaksanaan pidana mati di Indonesia;
mengidentifikasi, memahami dan menganalisis kekhususan ketentuan pelaksanaan
pidana mati terhadap perempuan hamil dan menyusui dalam hukum pidana serta
mengidentifikasi, menganalisis dan merumuskan kebijakan legislatif tentang
pidana mati terhadap perempuan hamil dan menyusui dalam hukum pidana di masa
yang akan datang.
Pidana Mati
Berdasar
ketentuan Pasal 10 KUHP, pidana mati menurut Rodliyah masih diterapkan di
Indonesia terhadap kejahatan-kejahatan serius seperti makar, narkotika,
pembunuhan berencana, korupsi dan terorisme. ’Dari sejarahnya, pidana mati
sudah ada sejak berlakunya hukum adat’, katanya. Kemudian pada masa penjajahan
Belanda diberlakukan WvSI sejak tahun 1918 meskipun di Belanda sendiri telah
dihapus pada tahun 1870. Setelah merdeka, berdasarkan UU RI Nomor 1 Tahun 1946,
berlakulah KUHP, sedangkan pelaksanaan pidana mati diatur dalam Undang-Undang
Nomor 2/Pnps/1984 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati di Lingkungan
Peradilan Umum dan Militer.
Berdasar
ketentuan internasional antara lain UDHR dan ICCPR, Rodliyah menambahkan,
pelaksanaan pidana mati perempuan hamil dan menyusui tidak diterapkan.
Sedangkan pada negara-negara retensionis, diberi perlakuan khusus dengan
memberikan penundaan dan peniadaan.
Untuk hukum di
Indonesia, diterangkannya, pelaksanaan pidana mati perempuan hamil dan menyusui
yang diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 2 Pnps/1964, eksekusinya ditunda
40 hari setelah melahirkan. ‘Dengan demikian sangat jelas bahwa ketentuan
tentang pelaksanaan pidana mati terhadap perempuan hamil dan menyusui di
Indonesia tidak mengacu pada hukum internasional, tenggat waktu pelaksanaannya
sangat minim dibandingkan dengan Negara-negara lain dan hukum Islam, sehingga
tidak mencerminkan rasa keadilan’, tandasnya.
Karena itu, dalam disertasinya, Rodliyah
mengajukan pembaharuan (legal reform) untuk konsep di masa mendatang (ius
contituendum) tentang pengaturan norma penundaan pelaksanaan pidana mati
terhadap perempuan hamil dan menyusui. Konsep pembaharuan ini didasarkan pada
landasan yuridis seperti ketentuan-ketentuan internasional, ketentuan di
beberapa Negara, hukum Islam dan RUU KUHP 2008 Pasal 88, teori keadilan menurut
John Rewis, hukum feminis, hukum responsif, teori pemidanaan, Hak Asasi Manusia
dan filosofi Pancasila. Konsep yang diajukannya dalam rangka pembaharuan hukum
pidana dan dicantumkan dalam KUHP dimasa yang akan datang adalah ‘Pelaksanaan
pidana mati terhadap perempuan hamil dan menyusui baru dapat dilaksanakan
setelah usia anak 12 tahun. Apabila dalam masa penundaan terpidana mati
menyadari kesalahan, berkelakuan baik dan bertaubat, maka pidana mati tidak
dilaksanakan’.
Perdebatan mengenai pidana mati juga terkait dengan hak hidup yang dalam instrumen hukum internasional maupun dalam UUD 1945 masuk dalam kategori hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (non derogable
rights). Namun demikian, instrumen hukum internasional, khususnya ICCPR tidak sama sekali melarang pidana mati melainkan membatasi penerapannya.
Hal itu dalam konteks di Indonesia dikukuhkan
dalam Putusan MK No 2-3/PUU-V/2007 yang
menyatakan bahwa di masa yang akan datang
perumusan, penerapan, maupun
pelaksanaan pidana mati hendaklah memperhatikan empat hal penting. Pertama, pidana mati bukan lagi merupakan pidana pokok, melainkan sebagai
pidana yang bersifat khusus dan alternatif.
Kedua, pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun yang apabila terpidana berkelakuan terpuji dapat
diubah dengan pidana penjara seumur hidup atau selama 20 tahun. Ketiga,
pidana mati tidak dapat
dijatuhkan terhadap anak-anak yang
belum dewasa. Keempat, eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seseorang yang sakit jiwa
ditangguhkan sampai perempuan hamil tersebut melahirkan dan terpidana
yang sakit jiwa tersebut sembuh.
b. Pengaturan hukuman mati dalam hukum
positif di Indonesia
Pasal 10 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) membedakan dua macam pidana: pidana pokok dan pidana
tambahan, yaitu:
a. Pidana pokok:
1. Hukuman mati
2. Hukuman penjara
3. Hukuman kurungan
4. Hukuman denda
b. Pidana tambahan:
1. Pencabutan beberapa hak yang tertentu
2. Perampasan barang yang tertentu
3. Pengumuman keputusan Hakim
Dengan demikian, maka pidana mati di dalam hukum positif di Indonesia merupakan
merupakan pidana pokok.
Kejahatan-kejahatan yang diancam dengan
hukuman mati di dalam KUHP misalnya ;
1. Pasal
104 KUHP: Makar membunuh kepala Negara;
2). Pasal 111 ayat (2) KUHP: Mengajak
Negara Asing untuk menyerang Indonesia;
3). Pasal 124 ayat (3) KUHP: Memberikan
pertolongan kepada musuh pada saat Indonesia dalam keadaan perang;
4). Pasal 140 ayat (4) KUHP: Membunuh
kepala Negara sahabat;
5). Pasal 140 ayat (3) dan Pasal 340
KUHP: Pembunuhan yang direncakan lebih dahulu;
6). Pasal 365 ayat (4) KUHP: Pencurian
dengan kekerasan oleh dua orang atau lebih bersekutu pada waktu malam hari
dengan cara membongkar dan sebagainya, yang mengakibatkan seseorang mengalami
luka berat atau mati;
7). Pasal 444 KUHP: Pembajakan di laut,
di pesisir, di pantai dan di kali, sehingga mengakibatkan orang mati ;
8). Pasal 124 bis KUHP: Dalam waktu perang
menganjurkan huru-hara, pemberontakan dan sebagainya antara pekerja-pekerja
dalam perusahaan pertahanan negara ;
9). Pasal 127 dan 129 KUHP: Dalam waktu perang menipu
waktu menyampaikan keperluan angkatan perang;
10). Pasal 368 ayat (2) KUHP: Pemerasan dengan
pemberatan ;
Sebagai bahan komparatif
sekaligus menerawang perkembangan pemikiran dalam pengaturan pidana mati di
Indonesia, ada baiknya juga apabila kita menyimak ketentuan naskah Rancangan
KUHP baru sebagai Jus Constituendum, antara lain sebagai berikut :
1). Pidana Mati dilaksanakan
oleh regu tembak dengan menembak terpidana sampai mati;
2). Pelaksanakan pidana mati
tidak dilaksanakan di muka umum;
3). Pidana mati tidak
dijatuhkan kepada anak di bawah umur delapan belas tahun;
4). Pelaksanaan Pidana mati terhadap wanita hamil atau
orang sakit jiwa ditunda sampai wanita tersebut melahirkan atau orang sakit
jiwa tersebut sembuh;
5). Pidana mati baru dapat dilaksanakan setelah ada
persetujuan Presiden dan Penolakan Grasi oleh Presiden;
6). Pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan masa
percobaan selama sepuluh tahun, jika;
a) Reaksi masyarakat terhadap terpidana mati terlalu
besar
b) Terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada
harapan untuk memperbaiki
c) Kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana
tidak terlalu penting
d) Ada alasan meringankan
7). jika terpidana selama masa percobaan menunjukkan
sikap dan perbuatan yang terpuji, maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana
seumur hidup dan pidana penjara paling lama dua puluh tahun dengan keputusan
menteri kehakiman.
8). jika terpidana selam masa percobaan tidak
menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji tidak ada harapan untuk
memperbaiki maka terpidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.
9). jika setelah permohonan Grasi
ditolak, pelaksanaan pidana mati tidak dilaksanakan selama sepuluh tahun bukan
karena terpidana melarikan diri maka terpidana mati tersebut dapat diubah
menjadi pidana seumur hidup dengan Keputusan Menteri Kehakiman. (Bambang
Waluyo, 2000, hlm: 14-15)
EKSEKUSI HUKUMAN MATI WANITA HAMIL
MENURUT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM.
Hadist tentang hukuman bagi pezina
yang hamil
وَعَنْ
عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ { أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ
أَتَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهِيَ حُبْلَى مِنْ
الزِّنَا – فَقَالَتْ : يَا نَبِيَّ اللَّهِ ، أَصَبْت حَدًّا ، فَأَقِمْهُ
عَلَيَّ ، فَدَعَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلِيَّهَ.
فَقَالَ
: أَحْسِنْ إلَيْهَا ، فَإِذَا وَضَعَتْ فَأْتِنِي بِهَا فَفَعَلَ .
فَأَمَرَ
بِهَا فَشُكَّتْ عَلَيْهَا ثِيَابُهَا ، ثُمَّ أَمَرَ بِهَا فَرُجِمَتْ .
ثُمَّ
صَلَّى عَلَيْهَا ، فَقَالَ عُمَرُ : أَتُصَلِّي عَلَيْهَا يَا نَبِيَّ اللَّهِ
وَقَدْ زَنَتْ ؟ فَقَالَ : لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ قُسِّمَتْ بَيْنَ
سَبْعِينَ مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ لَوَسِعَتْهُمْ ، وَهَلْ وَجَدْت أَفْضَلَ
مِنْ أَنْ جَادَتْ بِنَفْسِهَا لِلَّهِ تَعَالَى } ؟ رَوَاهُ مُسْلِمٌ .
- Terjemah dari hadist tentang hukuman bagi pezina yang hamil
Dan dari imran bin hushain, bahwa ada seorang perempuan dari
juhainiyah datang ketempat Rasulullah saw dalam keadaan hamil karena zina. Lalu
ia berkata, Ya Rasulullah aku telah telah berbuat pelanggaran, maka
laksanakanlah hukuman itu atasku. Lalu Nabi saw. Memanggil walinya, seraya
bersabda, “Peliharalah perempuan ini dengan baik, dan jika ia telah melahirkan,
maka bawalah kemari”. Kemudian walinya itu mengerjakannya. Kemudian oleh
Rasulullah saw. Diperintahkan supaya pakaiannya diikat rapat, lalu
diperintahkan untuk dirajam, kemudian dishalati. Kemudian Umar menyanggah
Rasulullah saw, apakah engkau akan menshalatinya, ya Rasulullah paadahal dia
berzina? Jawab Rasulullah, “sungguh-sungguh dia telah bertaubat, yang andaikata
taubatnya itu dibagi kepada tujuh puluh orang penduduk madinah, niscaya akan
mencukupinya. Taukah engkau orang yang lebih utama selain orang yang
memperbaiki dirinya karena Allah?” (HR Muslim).
- Penjelasan.
Dari
hadist tersebut dijelaskan bahwa perempuan yang datang kepada Rosulullah SAW
yang mengakui atas perbuatannya terhadap Rosul dan meminta untuk dihukum. Dalam
hal ini Rosulullah memerintahkan merajam pezina hamil haruslah menunggu setelah
perempuan tersebut melahirkan, barulah setelah lahir diperbolehkan untuk
dilaksanakannya hukuman raja. Dan Rosulullah memerintahkan untuk mensholatinya
karena perempuan tersebut mau mengakui perbuatannya dan mau memperbaiki
(taubat) karena Allah. Dalam hadist tersebut juga menunjukkan bahwa orang yang
akan dihukum itu auratnya harus tetap dipelihara jangan sampai terbuka.
Dalam hadist ini di jelaskan “ketika sudah melahirkan maka
bawa dia kemari” hal itu menunjukkan bahwa hukuma rajam dilaksanakan pada saat
dia hamil, namun pelaksanaannya setelah dia melahirkan. Pada riwayat lain
disebutkan bahwa wanita hamil yang berzina dirajam setelah ia menyusui anaknya.
Adapun hadist tersebut memberikan implikasi kewajiban rajam bagi wanita hamil
yang melakukan zina. Ulama’ telah sepakat bahwa wanita dirajam dalam keadaan
duduk dan laki-laki dalam keadaan berdiri, kecuali Imam Malik.
Dimasa sekarang telah banyak fatwa-fatwa dan hasil-hasil
keputusan baru tentang penerapan hukuman mati, terutama pada eksekusi hukuman
mati bagi wanita hamil. Seperti halnya pada konferensi hukum islam di
Negara-negara Arab.
Piagam Hak Asasi
Manusia Arab, yang diadopsi September 15, 1994, tetapi belum diratifikasi oleh
setiap anggota Liga Arab, menyatakan hak untuk hidup dengan cara yang sama
sebagai instrumen internasional lainnya. Namun, tiga ketentuan yang berbeda,
Pasal 10, 11, dan 12, mengakui legitimasi hukuman mati dalam kasus
"pelanggaran serius terhadap hukum umum," melarang hukuman mati untuk
kejahatan politik, dan mengecualikan hukuman mati atas kejahatan yang dilakukan
di bawah usia delapan belas dan untuk kedua wanita hamil dan ibu menyusui untuk
jangka waktu hingga dua tahun setelah melahirkan.
Piagam Hak Asasi
Manusia Arab, yang diadopsi September 15, 1994, tetapi belum diratifikasi oleh
setiap anggota Liga Arab, menyatakan hak untuk hidup dengan cara yang sama
sebagai instrumen internasional lainnya. Namun, tiga ketentuan yang berbeda,
Pasal 10, 11, dan 12, mengakui legitimasi hukuman mati dalam kasus
"pelanggaran serius terhadap hukum umum," melarang hukuman mati untuk
kejahatan politik, dan mengecualikan hukuman mati atas kejahatan yang dilakukan
di bawah usia delapan belas dan untuk kedua wanita hamil dan ibu menyusui untuk
jangka waktu hingga dua tahun setelah melahirkan.
Reynaldo Galindo PohI, Pelapor sebelumnya Khusus Komisi Hak
Asasi Manusia terhadap Iran, mengamati bahwa "ada kelompok-kelompok
Islam-sarjana hukum dan praktisi yang merekomendasikan penghapusan hukuman mati
untuk kejahatan-kejahatan politik atas dasar bahwa hal ini bertentangan dengan
hukum Islam Mereka menyatakan. bahwa jumlah kejahatan yang diancam dengan
kematian adalah terbatas. " Pada Oktober 1995, aktivis hak asasi manusia
dari seluruh dunia Arab bertemu di Tunis untuk mempertimbangkan isu hukuman
mati. Pertemuan, yang menampilkan spesialis tentang agama, filsafat, dan hukum
pidana di negara-negara Arab, adalah sebuah inisiatif bersama dari Institut
Arab untuk Hak Asasi Manusia dan Warga negara dan anggota parlemen Liga
Penghapusan Hukuman Mati dari "Hands Off Cain," dengan dukungan dari
Masyarakat Eropa. Dalam sebuah deklarasi yang diadopsi pada akhir pertemuan,
para peserta menegaskan bersama mereka "komitmen terhadap penghapusan
hukuman mati sebagai langkah strategis." Mereka juga menyatakan
"bahwa dalam latar belakang peradaban dan budaya Arab, tidak ada hambatan
yang nyata ada dan menghambat evolusi legislasi sekuler dalam proses
pembentukan batas-batas hukuman mati dan menghapuskannya." Pernyataan itu
diakhiri dengan sebuah panggilan ke negara-negara Arab untuk mengadopsi
Protokol Opsional Kedua Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik,
yang merupakan komitmen hukum internasional untuk tidak memaksakan hukuman
mati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar