Selasa, 08 Mei 2012

Perbankan Syari'ah dan Peradilan Agama di Indonesia


A.     GAMBARAN UMUM PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki beragam suku bangsa, bahasa, dan agama dengan jumlah penduduk 240 juta. Meskipun bukan negara islam, indonesia merupakan negar adengan penduduk muslim terbesar di dunia dengan jumlah penduduk beraga islam sebanyak 88 persen, keristen 5 persen, katholik 3 persen, hindu 2 persen, budha 1 persen, dan lainnya 1 persen. Semakin majunya sistem keuangan dan perbankan serta semakin meningkatnya kesejahteraan, kebutuhan masyarakat, khususnya muslim, menyebabkan semakin besarnya kebutuhan terhadap layanan jasa perbankan yang sesuai dengan prinsip syariah.
1.      STRATEGI PENGEMBANGAN PERBANKAN SYARIAH INDONESIA
Atas dasar dorongan kebutuhan masyarakat terhadap layanan perbankan syariah, bank syariah pertama berdiri pada tahun 1992. Semenjak itu, pemerintah indonesia mulai memperkenalkan dual bankin sistem. Komitmen pemerintah dalam usaha pengembangan perbankan syariah baru mulai terasa sejak tahun 1998 yang memberikan kesempatan luas kepada bank syariah untuk berkembang. Tahun berikutnya, kepada bank indonesia (bank sentral) di beri amanah untuk mengembangkan perbankan syariah di indonesia. Selain menganut strategi market driven dan fair treatment, pengembangan perbankan syariah di lakukan dengan strategi pengembangan bertahap yang berkesinambungan (gradual sustainable approach) yang sesuai dengan prinsip syariah (comply to sharia principle). Tahap pertama di maksudkan untuk meletakkan landasan yang kuat bagi pertumbuhan industri perbankan syariah (2005-2009). Tahap ketiga perbankan syariah diarahkan untuk dapat memenuhi standar kauangan dan mutu pelayanan internasional (2010-2012). Sedangkan tahap keempat mulai terbentuknya integrasi lembaga keuangan syariah (2013-2015). Pada yahun 2015 diharapkan perbankan syariah indonesia telah memiliki bangsa yang signifikan yang ikut ambil bagian dalam mengembangkan ekonomi indonesia yang mensejahterakan masyarakat luas.
2.      KARAKTERISTIK PERBANKAN SYARIAH INDONESIA
Karakteristik perbankan syariah di indonesia dapat di lihat melalui beberapa hal, yaitu : 1) sistem keuangan perbankan yang di anut.  2) aliran pemikiran atau mazhab dan pandangan yang di anut oleh negara atau mayoritas muslimnya. 3) kedudukan bank syariah dalam undang-undang. Dan 4) pendekatan pengembangan perbankan syariah dan produknya yang di pilih.
a.      Sistem Keuangan da Perbankan
Indonesia merupakan negara yang menganut sistem ekonomi kapitalis. Mulai tahun 1992, dengan di keluarkannya undang – undang perbankan No. 7 Tahun 1992, indonesia mulai memperkenalkan sistem keuangan dan perbankan ganda karena bank boleh beroperasi dengan prinsip bagi hasil. Bank syariah pertama berdiri pada tahun itu juga. Di samping itu, asuransi syariah atau takaful mulai mincul pada tahun 1994.
Penerapan sistem keuangan dan perbankan ganda mulai lebih terarah semenjak di keluarkannya undang undang perbankan yang baru No. 10 tahun 1998. Semenjak itu, bermunculan lembaga – lembaga keuangan syariah yang beroperasi berdampingan dengan lembaga keuangan konvensional. Seperti halnya di malaysia, lembaga keuangan syariah di indonesia tumbuh menjadi lembaga keuangan alternatif bagi masyarakat yang menginginkan pelayanan jasa keuangan yang sesuai dengan prinsip syariah, sekaligus menjadi pesaing langsung lembaga keuangan konvensional dalam produk dan jasa yang di tawarkan.
b.      Aliran Pemikiran
Mayoritas penduduk muslim di indonesia menganut mazhab syafi’i, seperti yang di anut muslim dan pemerintah malaysia. Namun demikian, ulama indonesia mengaplikasikan perinsip syariah dalam dunia perbankan dengan hati – hati dan cenderung memiliki pendapat yang sama dengan ulama timur tengah. Oleh karena itu, akad akad yang di gunakan dalam transaksi perbankan syariah merupakan akad – akad yang sudah mendapat kesepakatan dari sebagian besar ulama (jumhur ulama). Dengan prinsip kehati hatian ini, akad akad yang masih menimbulkan kontroversi tidak di gunakan dalam praktik.
Dalam hal utang, ulama indonesia berpendapat sama dengan pendapat ulama timur tengah bahwa utang sama dengan uang, bukan harta benda. Dengan demikian, utang tidak dapat di perjual belikan dengan harga apapun, kecuali dengan harga yang sama. Dalam hal ini ulama indonesia sependapat dengan ulama sudan bahwa akad bai’al-inah dan ba’i al-dayn (jual beli utang dengan diskon) tidak sesuai dengan prinsip syariah sehingga tidak boleh di gunakan dalam transaksi.
c.        Kedudukan Bank Syariah dalam Undang – Undang
Bank syariah di indonesia, baik yang berbentuk bank umum syariah atau BUS (full fledged islamic bank , unit usaha syariah atau UUS, maupun bank perkreditan rakyat syariah atau BPRS, berada di bawah undang – undang perbankan (UUD No. 10 Tahun 1998). Operasi perbankan dengan prinsip syariah sepenuhnya di akomodasi oleh undang – undang. Bank syariah di indonesia dapat melakukan transaksi berdasar titipan, pinjaman, bagi hasil, jual beli, sewa, dan prinsip lain yang di bolehkan syariah. Dengan demikian, bank syariah di indonesia  merupakan bank universal yang dapat berusaha sebagai consumer banking, investmen banking, merchant banking, leasing company, investmen agent, dan sebagai amil zakat infaq dan sadaqah.
Perbedaan operasi BUS dan UUS hampir tidak ada, kecuali dalam hal kebebasan kebijakan manajemen. BUS merupakan badan usaha sendiri yang memiliki independensi kebijakan sehingga memiliki otonomi dalam memilih strategi bisnis dan pengembangannya. Sementara itu UUS, merupakan bagian dari bank konvensional induknya sehingga kurang memiliki kebebasan dalam menentukan kebijakan manajemen.
d.      Kedudukan Dewan Syariah
Otoritas syariah tertinggi di indonesia berada pada dewan syariah nasional – majelis ulama indonesia (DSN – MUI ), yang merupakan lembaga independen dalam mengeluarkan fatwa yang berhubungan dengan semua masalah syariah agama islam, baik masalah ibadah maupun muamalah, termasuk masalah ekonomi, keuangan dan perbankan.
Tugas DSN – MUI di bidang keuangan dan perbankan pada prinsipnya tidak berbeda dengan tugas NSAC malaysia yang merupakan satu – satunya badan otoritas yang memberikan saran kepada institusi terkait (bank indonesia, departemen keuangan , atau bapepam ) berkaitan dengan operasi perbankan syariah atau lembaga keuangan syariah lainnya, mengkoordinasi isu – isu syariah tentang keuangan dan perbankan syariah, dan menganalisis dan mengevaluasi aspek – aspek syariah dari skim atau produk baru yang di ajukan oleh institusi perbankan dan lembaga keuangan syariah lainnya.
Keberadaan DSN – MUI di luar struktur bank sentral membuat otoritas fatwa ini independen, lebih kredibel, dan di akui secara nasional dalam mengeluarkan keputusan dan fatwa yang berkaitan dengan masalah – masalah syariah yang di hadapi oleh perbankan dan lembaga keuangan syariah lainnya, namun demikian, karena beragamnya urusan yang di tangani oleh DSN – MUI dan tidak adanya spesialisasi khusus di bidang ekonomi, kauangan, dan perbankan syariah, tanggapan DSN – MUI terhadap masalah yang di hadapi oelh lembaga keuangan syariah menjadi kurang responsif dan terlambat memenuhi kebutuhan pasar.
e.       Strategi Pengembangan Perbankan Syariah dan Produknya
Dalam hal strategi pengembangan perbankan syariah dan produknya, indonesia memilih pendekatan yang bertahap dan berkesinambungan yang sesuai syariah dan tidak mengadopsi akad – akad kontroversial. Pendekatan yang bertahap dan berkesinambungan memungkinkan perkembangan yang sesuai dengan keadaan dan kesiapan pelaku tanpa paksaan serta membentuk sistem yang kokoh dan tidak rapuh. Sementara itu , pendekatan yang berhati – hati yang sesuai dengan prinsip syariah menjamin produk produk yang di tawarkan terjamin kemurnian syariahnya dan dapat di terima masyarakat luas dan dunia internasional.
Dengan strategi pengembangan yang dipilih, perbankan syariah di indonesia telah tumbuh menjadi salah satu sistem perbankan syariah dalam dual financial sistem yang paling sesuai dengan ketentuan syariah. Selain itu, pengembangan perbankan syariah memiliki dampak positif terhadap pengembangan sektor lain dengan prinsip syariah.
Pada tahun 2000 juga muncul jakarta islamic index (JII ) yang merupakan pengelompokan saham saham 30 emiten yang di pandang paling mendekati kriteria syariah. Seleksi yang di lakukan terhadap saham saham yang dimasukan kedalam JII meliputi seleksi yang bersifat normatif dan finansial. Sementra itu, pasar modal syariah baru berdiri pada 14 maret 2003. Obigasi dan reksadana syariah juga tumbuh dengan pesat.
Dukungan dari aspek hukum dan perundang undangan menjadikan pertumbuhan lembaga keuangan syariah semakin pesat karena telah memiliki landasan dan kepastian hukum yang jelas. Disamping itu, sektor keuangan syariah lain juga berkembang, seperti lembaga pembiayaan syariah.
Perkembangan tidak terbatas pada sektor keuangan syariah, tetapi juga pada sektor riil berbasis syariah, voluntary sector ( zakat, infaq, sadaqah, dan wakaf), dan sektor pendidikan dari tingkat pendidikan dasar sampai tingkat perguruan tingi. Perkembangan sd, smp, dan sma islam terpadu telah meluas hapir di seluruh wilayah indonesia, terutama di kota kota besar dan daerah yang mayoritas berpenduduk muslim. Di tingkat perguruan tinggi bahkan sudah ada universitas yang menawarkan program doktoral bertaraf internasional dengan staf pengajar bertaraf internasional yag datang dari berbagai negara.
Perkembangan sistem yang berbasis syariah di bidang ekonomi, pendidikan, dan lainya di indonesia terus bergulir seperti bola salju yang semakin lama semakin membesar dan berdampak kesemua bidang kehidupan.


Dinamika dan Karakteristik Undang-Undang No.3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

1.      Dinamika Legislasi

Dalam era reformasi hingga saat ini, telah terjadi tiga kali perubahan terhadap pasal-pasal dalam UUD 1945. Salah satu perubahannya terdapat pada Pasal 24 ayat (2) dinyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berada di bawahnya, dalam lingkungan Peradilan Umum, Agama, Militer, Tata Usaha Negara, dan sebuah Mahkamah Konstitusi. Pasal ini sangat jelas mengamanatkan untuk menyatukan semua lembaga peradilan di bawah satu atap Mahkamah Agung.

Perubahan UUD 1945 ini mengharuskan adanya perombakan dan perubahan terhadap Kekuasaan Kehakiman untuk disesuaikan dengan UUD 1945. Perubahan tersebut dimulai dengan diubahnya UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dengan UU No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1970 yang kemudian diganti dengan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman[1]

Pasal 13 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dikatakan bahwa organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan diatur dalam undang-undang sesuai dengan kekhususan peradilan di lingkungan masing-masing. Pasal 14 ayat (1) UU No. 4 tersebut dikatakan, susunan, kekuasaan, dan hukum acara Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 diatur dengan undang-undang tersendiri. Sesuai dengan amanat Pasal 14 ayat (1) UU No. 4 tersebut, dibentuklah UU No. 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum dan UU No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan TUN, dan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Di samping perubahan-perubahan di tingkat konstruksi kekuasaan kehakiman, pada kenyataannya di kehidupan masyarakat, khususnya tingkat kesadaran beragama di kalangan umat Islam semakin meningkat untuk menjalankan ketentuan ajaran Islam dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara, terlebih tuntutan untuk mencari alternatif baru dari kegagalan sistem konvensional kepada sistem nilai yang religius. Salah satunya adalah bidang muamalah. Lembaga-lembaga ekonomi syari’ah tumbuh berkembang mulai dari lembaga perbankan syari’ah, asuransi syari’ah, pasar modal syari’ah, dan pegadaian syari’ah. Perkembanagan ini tentunya juga berdampak pada perkembangan sengketa atau konflik dalam pelaksanaannya. Selama ini apabila terjadi konflik dalam bidang ekonomi syari’ah harus melalui peradilan umum. Menyadari hal ini, dalam Undang-Undang No. 3 tahun 2006 atas perubahan UU No. 7 tahun 1989 maka ruang lingkup Peradilan Agama diperluas, ruang lingkup tugas dan wewenang Pengadilan Agama yaitu :
·         Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang :perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, shadaqah, dan ekonomi syariah;
·         Diberikan tugas dan wewenang penyelesaian sengketa hak milik atau keperdataan lainnya;
·         Diberi tugas dan wewenang memberikan itsbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun hijriyah. Selama ini Pengadilan Agama diminta oleh Menteri Agama untuk memberikan penetapan (itsbat) terhadap orang yang telah melihat atau menyaksikan awal bulan pada setiap memasuki bulan Ramadlan, awal bulan Syawal dan tahun baru Hijriyah dalam rangka Menteri Agama mengeluarkan penetapan secara nasional untuk rukyat Hilal.

Mekanisme pembentukkan Undang-Undang No.3 Tahun 2006 ini yakni diawali dengan DPR RI yang mengajukan Usul Inisiatif RUU tentang Perubahan Atas UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama melalui surat tertanggal 30 Juni 2005 kepada presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama. Pemerintah pun merespon positif atas prakarsa DPR RI tersebut. Begitu juga berbagai fraksi di DPR RI juga memandang perlunya perubahan terhadap undang-undang tersebut, sehingga dalam proses perumusan RUU ini hampir tidak menuai perbedaan mendasar dalam pembahasannya.
Setelah melalui proses pembahasan, DPR RI dan Pemerintah menyetujui bersama pada tanggal 21 Februari 2006. Kemudian pada tanggal 20 Maret 2006 diundangkan menjadi UU No.3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
2.      Karakteristik

Bila dicermati konfigurasi politik ketika terjadinya usul inisiatif atas perubahan UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, maka itu sesuai dengan iklim politik di era reformasi, sehingga hal ini dapat disebut sebagai konfigurasi demokratis dengan beberapa indikator penting yang dilakukan oleh pemerintah dan DPR, antara lain:
1.      Partai politik dari badan perwakilan rakyat berperan aktif dan ikut serta dalam menentukan hukum negara atau politik nasional, khususnya dalam bidang reformasi;
2.      Tumbuhnya supremasi rakyat diletakkan di atas kepentingan penguasa;
3.      Menjunjung tinggi pelaksanaan hukum, termasuk hukum agama yang dijamin dalam UUD 1945;
4.      Peran eksekutif menghormati kehendak rakyat dan melaksanakan kebijakan yang pro rakyat.

Dari segi karakter produk hukumnya, maka UU ini dikategorikan pada produk hukum responsif yang lahir dari konfigurasi politik yang demokratis, karena UU ini dapat mencerminkan aspirasi sebagian besar umat Islam dan rasa keadilan. Selain itu, UU ini merupakan perwujudan pemenuhan atas harapan masyarakat, seperti adanya perluasan absolut kompetensi pengadilan agama di bidang ekonomi syariah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar