Di dalam Islam, suatu pernikahan memiliki Syarat, Rukun dan Sah
Perkawinan yang hal ini sangat jelas di tetapkan dalam syari’at Islam.
A.
Pengertian
Rukun, Syarat dan Sah.
Rukun, yaitu sesuatu yang mesti ada yang
menentukan sah atau tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu
bermaksud dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti membasuh muka untuk wudhu’ dan
takbiratul ihram untuk shalat. Atau adanya calon pengantin laki-laki/perempuan
dalam perkawinan.
‘Syarat, yaitu sesuatu yang mesti ada yang
menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak
termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seprti menutup aurat untuk sholat” atau
menurut islam calon pengantin laki-laki/perempuan itu harus beragama islam.
Sah, yaitu sesuatu pekerjaan (ibadah)
yang memenuhi rukun dan syarat.
B.
Rukun
Perkawinan/pernikahan
Dalam memahami tentang Rukun perkawinan ini ada beberapa buku dan
pendapat yang mengutarakan dan menguraikan dengan susunan yang berbeda tetapi
tetap sama intinya. Pernikahan yang di dalamnya terdapat akad, layaknya
akad-akad lain yang memerlukan adanya persetujuan kedua belah pihak yang
mengadakan akad.
Jumhur ‘Ulama’ sepakat bahwa Rukun perkawinan
terdiri atas :
1.
Adanya calon
suami dan istri yang akan melakukan perkawinan.
2.
Adanya wali
dari pihak calon pengantin wanita.
Akad nikah akan dianggap sah apabila ada seorang wali atau wakilnya
yang akan menikahkannya, berdasarkan sabda Nabi SAW :
اَيُّمَا امْرَأَةٍ نِكَحَتْ بِغَيْرِ اِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَا حُهَا
بَاطِلٌ (اخرجه الاربعة الا للنسائ)
Perempuan mana saja yang menikah tanpa seizin walinya, maka
pernikahannya batal
Dalam
hadis lain Nabi SAW bersabda:
لاَ تُزَوِّجِ الْمَرْاءَةَ وَلَا تُزَوِّجِ الْمَرْأَةُ
نَفْسَهَا ( رواه ابن ماجه و دار قطنى)
Janganlah
seseorang perempuan menikahkan perempuan lainnya, dan janganlah seorang
perempuan menikahkan dirinya sendiri.[1]
3.
Adanya dua
orang saksi.
Pelaksanaan
akad nikah akan sah apabila dua orang saksi yang menyaksiakan akad nikah
tersebut, berdasarkan Hadis Nabi SAW:
لَا نِكَاحَ اِلِّا بِوَلِيِّ وَشَاهِدَى
عَدْلٍ (رواه احمد)
4.
Shighat akad
nikah, yaitu Ijab Qabul yang diucapkan oleh wali atau wakilnya dari pihak
wanita, dan dijawab oleh calon pengantin laki-laki[2].
Maksud
ijab dalam akad nikah seperti ijab dalam berbagai transaksi lain, yaitu
pernyataan yang keluar dari salah satu pihak yang mengadakan akad atau
transaksi, baik berupa kata-kata, tulisan, atau isyarat yang mengungkapkan
adanya keinginan terjadinya akad, baik salah satunya dari pihak suami atau dari
pihak istri. Sedangkan Qabul adalah pernyataan yang datang dari pihak kedua
baik berupa kata-kata, tulisan, atau isyarat yang mengungkapkan persetujuan
ridhanya.[3]
Berdasarkan pengertian di atas, ijab tidak dapat dikhususkan alam
hati sang istri atau wali dan atau wakilnya. Demikian juga dengan qabul.
Jika seorang laki-laki berkata
kepada wali perempuan: “Aku nikahi putrimu atau nikahkan aku dengan putrimu
bernama si fulanah”. Wali menjawab: “Aku nikahkan kamu dengan putriku atau aku
terima atau aku setuju”. Ucapan pertama disebut ijab dan ucapan kedua adalah
qabul. Dengan kata lain, ijab adalah bentuk ungkapan baik yang memberikan arti
akad atau transaksi, dengan catatan jatuh pada urutan pertama. Sedangkan qabul
adalah bentuk ungkapan yang baik untuk menjawab, dengan catatan jatuh pada
urutan kedua dari pihak mana saja dari kedua pihak.
Akad adalah gabungan ijab salah satu dari dua pembicara serta
penerimaan yang lain. Seperti ucapan seorang laki-laki: “Aku nikahkan engkau
dengan putriku” adalah ijab. Sedangkan yang lain berkata: “ Aku terima” adalah
qabul.
Tentang
Jumlah rukun nikah ini, para ulama berbeda pendapat:
Imam
Malik mengatakan bahwa rukun nikah itu ada lima macam, yaitu:
-
Wali dari pihak
perempuan,
-
Mahar
(maskawin)
-
Calon pengantin
laki-laki
-
Calon pengantin
perempuan
-
Sighat akad
nikah
Imam
Syafi’i berkata bahwa rukun nikah itu ada lima macam, yaitu:
-
Calon pengantin
laki-laki,
-
Calon pengantin
perempuan,
-
Wali,
-
Dua orang
saksi,
-
Sighat akad
nikah.
Menurut ulama Hanafiah, rukun nikah
itu hanya ijab dan qabul saja ( yaitu akad yang dilakukan oleh pihak wali
perempuan dan calon pengantin laki-laki). Sedangkan menurut segolongan yang
lain rukun nikah itu ada empat, yaitu:
-
Sighat (ijab
dan qabul)
-
Calon pengantin
perempuan,
-
Calon pengantin
laki-laki,
-
Wali dari pihak
calon pengantin perempuan.
Pendapat yang mengatakan bahwa rukun
nikah itu ada empat, karena calon pengantin laki-laki dan calon pengantin
perempuan digabung menjadi satu rukun.[4]
C.
Syarat Sahnya
Perkawinan.
Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan.
Apabila syarat-syaratnya terpenuhi, maka perkawinan itu sah dan menimbulkan
adanya segala hak dan kewajiban sebagai suami istri.
Sedangkan yang dimaksud dengan syarat perkawinan ialah syarat yang
bertalian dengan rukun-rukun perkawinan, yaitu syarat-syarat bagi calon
mempelai, wali, saksi, dan ijab qabul.
Dalam menjelaskan masalah syarat nikah ini, terdapat juga perbedaan
dalam penyusunan syarat akan tetapi tetap pada inti yang sama. Syari’at islam
menentukan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh calon kedua mempelai yang
sesuai dan berdasarkan ijtihad para ulama.
I Syarat-syarat calon Suami:
1.
Beragama Islam
2.
Bukan mahram
dari calon istri dan jelas halal kawin dengan calon istri
3.
Terang (jelas)
bahwa calon suami itu betul laki-laki
4.
Orangnya
diketahui dan tertentu
5.
Calon mempelai
laki-laki tahu/kenal pada calon istri serta tahu betul calon istrinya halal
baginya.
6.
Calon suami
rela( tidak dipaksa/terpaksa) untuk melakukan perkawinan itu dan atas kemauan
sendiri.
7.
Tidak sedang
melakukan Ihram.
8.
Tidak mempunyai
istri yang haram dimadu dengan calon istri.
9.
Tidak sedang
mempunyai istri empat.
II. Syarat-syarat calon istri:
1.
Beragama Islam atau
ahli kitab.
2.
Tidak ada
halangan syarak, yaitu tidak bersuami, bukan mahram, tidak dalam sedang iddah.
3.
Terang bahwa ia
wanita. Bukan khuntsa (banci)
4.
Wanita itu
tentu orangnya (jelas orangnya)
5.
Tidak dipaksa (
merdeka, atas kemauan sendiri/ikhtiyar.
6.
Tidak sedang
ihram haji atau umrah.[5]
III.
Syarat-syarat Ijab Qabul.
Perkawinan wajib dilakukan dengan ijab dan qabul dengan lisan.
Inilah yang dinamakan akad nikah (ikatan atau perjanjian perkawinan). Bagi
orang bisu sah perkawinan nya dengan isyarat tangan atau kepala yang bisa
dipahami.
Ijab dilakukan oleh pihak wali mempelai perempuan atau walinya,
sedangkan kabul dilakukan oleh mempelai laki-laki atau wakilnya.
Mrnurut pendirian hanafi, boleh juga ijab oleh pihak mempelai
laki-laki atau wakilnya dan kabul oleh
pihak perempuan (wali atau wakilnya) apabila perempuan itu telah baligh dan
berakal, dan boleh sebaliknya.
Ijab dan kabul dilakukan di dalam satu majlis, dan tidak boleh ada
jarak yang lama antara ijab dan qabul yang merusak kesatuan akad dan
kelangsungan akad, dan masing-masing ijab dan qabul dapat di dengar dengan baik
oleh kedua belah pihak dan dua orang saksi.
Imam Hanafi membolehkan ada jarak antara ijab dan qabul asal masih
di dalam satu majelis dan tidak ada hal-hal yang menunjukkan salah satu pihak
berplaing dari maksud akad itu.
Adapun lafadz yang digunakan untuk akad nikah adalah lafaz nikah
atau tazwij, yang terjemahannya adalah kawin dan nikah. Sebab kalimat-kalimat
itu terdapat di dalam Kitabullah dan Sunnah. Demikian menurut asy-Syafi’i dan
Hambali. Sedangkan hanafi membolehkan dengan kalimat lain yang tidak dari
Al-Qur’an, misalnya menggunakan kalimat hibah, sedekah , pemilikan dan
seagainya, dengan alasan, kata-kata ini adalah majas yang biasa juga digunakan
dalam bahasa sastra atau biasa yang artinya perkawinan.
Contoh
kalimat akad nikah adalah sebagai berikut:
اَنْكَحْتُكَ.....بِنْتِ.....بِمَهَرِ اَلْفِ رُوْبِيَّةٍ حَالًا.
Aku
kawinkan engkau dengan.......binti........dengan mas kawin Rp.1.000 tunai
Jawab atau kalimat
kabul yang digunakan wajiblah sesuai dengan ijab.
Akad
nikah itu wajib di hadiri oleh : dua orang saksi yang memenuhi syarat sebagai
saksi, karena saksi merupakan syarat sah perkawinan.
Adapun
dasar dari perkawinan itu wajib dengan akad nikah dan dengan lafadz atau
kalimat tertentu adalah berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW:
Yang artinya:
Takutlah engkau sekalian kepada Allah dalam hal orang-orang
perempuan, sesungguhnya engkau membuat halal kemaluan-kemaluan mereka dengan
kalimat Allah. (HR. Muslim)
IV.
Syarat-syarat Wali.
Perkawinan dilangsungkan oleh wali pihak mempelai perempuan atau
wakilnya dengan calon suami atau wakilnya. Adapun syarat-syaratnya ialah
seorang wali hendaknya:
1.
Laki-laki
2.
muslim
3.
Baligh
4.
Waras akalnya
5.
Adil (tidak
fasik)
6.
Tidak dipaksa
7.
Tidak sedang
berihram.
Dan
hal ini berdasarkan sabda Nabi SAW:
Yang
artinya : “ tidak sah perkawinan tanpa wali” (rowahu homsah)
Dan
: “ perempuan mana saja yang kawin tanpa seizin walinya maka perkawinannya itu
batal (3x). Apabila suami telah melakukan hubungan seksual maka si perempuan
sudah berhak mendapatkan mas kawin lantaran apa yang telah ia buat halal pada
kemaluan perempuan itu. Apabila wali-wali itu enggan maka sultanlah
(pemerintah) yang menjadi wali bagi orang yang tidak ada walinya” ( rowahul
khomsah illa an-Nasa’i)
V.
Syarat-syarat Saksi.
Adaun syarat saksi yang menghadiri akad nikah haruslah dua orang
laki-laki, muslim, baligh, berakal, melihat dan mendengar serta mengerti
(paham) akan maksud akad nikah.[6]
Adapun kewajiban adanya saksi tidak lain, hanyalah untuk
kemaslahatan kedua belah pihak dan
masyarakat. Misalnya, salah seorang mengingkari, hal itu dapat dielakkan oleh
adanya dua orang saksi. Juga misalnya apabila terjadi kecurigaan masyarakat,
maka dua orang saksi dapatlah menjadi pembela terhadap adanya akad perkawinan
dari sepasang suami istri. Disamping itu, menyangkut pula keturunan apakah
benar yang lahir adalah dari perkawinan suami istri tersebut. Dan di sinilah
saksi itu dapat memberikan kesaksiannya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman
Ghazali. Fiqh Munakahat. Jakarta : Kencana Prenada Media, 2008
Abdul
Aziz Muhammad Azam. Fiqh Munakahat, Khitbah, Nikah dan Talak. Jakarta: Sinar
Grafika, 2009
Muhammad
A Tihami. Fiqh Munakahat, Kajian Fiqh Nikah Lengkap. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2009
[1] Abdurrahman Ghazali, Fiqh
Munakahat, Jakarta: Kencana, 2008
[2] Ibid, tentang Rukun
perkwinan
[3] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh
Munakahat, Kihtbah, Naikah, dan Talak, Jakarta : Sinar Grafia 2009.
[4] Abdurrahman Ghazali, Fiqh
Munakahat, Jakarta: Kencana, 2008
[5] Muhammad Abdul Tihami, Fiqh
Munakahat, Kajian Fiqh Nikah Lengkap, Jakarta: Rajawali Press, 2009.
[6] Abdurrahman Ghazali, Fiqh
Munakahat, Jakarta: Kencana, 2008
nice share gan, kerennn infonya, thanks
BalasHapusSouvenir Pernikahan Murah Kediri
terimakasih infonya ya
BalasHapus