Selasa, 08 Mei 2012

Perbankan Syari'ah dan Peradilan Agama di Indonesia


A.     GAMBARAN UMUM PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki beragam suku bangsa, bahasa, dan agama dengan jumlah penduduk 240 juta. Meskipun bukan negara islam, indonesia merupakan negar adengan penduduk muslim terbesar di dunia dengan jumlah penduduk beraga islam sebanyak 88 persen, keristen 5 persen, katholik 3 persen, hindu 2 persen, budha 1 persen, dan lainnya 1 persen. Semakin majunya sistem keuangan dan perbankan serta semakin meningkatnya kesejahteraan, kebutuhan masyarakat, khususnya muslim, menyebabkan semakin besarnya kebutuhan terhadap layanan jasa perbankan yang sesuai dengan prinsip syariah.
1.      STRATEGI PENGEMBANGAN PERBANKAN SYARIAH INDONESIA
Atas dasar dorongan kebutuhan masyarakat terhadap layanan perbankan syariah, bank syariah pertama berdiri pada tahun 1992. Semenjak itu, pemerintah indonesia mulai memperkenalkan dual bankin sistem. Komitmen pemerintah dalam usaha pengembangan perbankan syariah baru mulai terasa sejak tahun 1998 yang memberikan kesempatan luas kepada bank syariah untuk berkembang. Tahun berikutnya, kepada bank indonesia (bank sentral) di beri amanah untuk mengembangkan perbankan syariah di indonesia. Selain menganut strategi market driven dan fair treatment, pengembangan perbankan syariah di lakukan dengan strategi pengembangan bertahap yang berkesinambungan (gradual sustainable approach) yang sesuai dengan prinsip syariah (comply to sharia principle). Tahap pertama di maksudkan untuk meletakkan landasan yang kuat bagi pertumbuhan industri perbankan syariah (2005-2009). Tahap ketiga perbankan syariah diarahkan untuk dapat memenuhi standar kauangan dan mutu pelayanan internasional (2010-2012). Sedangkan tahap keempat mulai terbentuknya integrasi lembaga keuangan syariah (2013-2015). Pada yahun 2015 diharapkan perbankan syariah indonesia telah memiliki bangsa yang signifikan yang ikut ambil bagian dalam mengembangkan ekonomi indonesia yang mensejahterakan masyarakat luas.
2.      KARAKTERISTIK PERBANKAN SYARIAH INDONESIA
Karakteristik perbankan syariah di indonesia dapat di lihat melalui beberapa hal, yaitu : 1) sistem keuangan perbankan yang di anut.  2) aliran pemikiran atau mazhab dan pandangan yang di anut oleh negara atau mayoritas muslimnya. 3) kedudukan bank syariah dalam undang-undang. Dan 4) pendekatan pengembangan perbankan syariah dan produknya yang di pilih.
a.      Sistem Keuangan da Perbankan
Indonesia merupakan negara yang menganut sistem ekonomi kapitalis. Mulai tahun 1992, dengan di keluarkannya undang – undang perbankan No. 7 Tahun 1992, indonesia mulai memperkenalkan sistem keuangan dan perbankan ganda karena bank boleh beroperasi dengan prinsip bagi hasil. Bank syariah pertama berdiri pada tahun itu juga. Di samping itu, asuransi syariah atau takaful mulai mincul pada tahun 1994.
Penerapan sistem keuangan dan perbankan ganda mulai lebih terarah semenjak di keluarkannya undang undang perbankan yang baru No. 10 tahun 1998. Semenjak itu, bermunculan lembaga – lembaga keuangan syariah yang beroperasi berdampingan dengan lembaga keuangan konvensional. Seperti halnya di malaysia, lembaga keuangan syariah di indonesia tumbuh menjadi lembaga keuangan alternatif bagi masyarakat yang menginginkan pelayanan jasa keuangan yang sesuai dengan prinsip syariah, sekaligus menjadi pesaing langsung lembaga keuangan konvensional dalam produk dan jasa yang di tawarkan.
b.      Aliran Pemikiran
Mayoritas penduduk muslim di indonesia menganut mazhab syafi’i, seperti yang di anut muslim dan pemerintah malaysia. Namun demikian, ulama indonesia mengaplikasikan perinsip syariah dalam dunia perbankan dengan hati – hati dan cenderung memiliki pendapat yang sama dengan ulama timur tengah. Oleh karena itu, akad akad yang di gunakan dalam transaksi perbankan syariah merupakan akad – akad yang sudah mendapat kesepakatan dari sebagian besar ulama (jumhur ulama). Dengan prinsip kehati hatian ini, akad akad yang masih menimbulkan kontroversi tidak di gunakan dalam praktik.
Dalam hal utang, ulama indonesia berpendapat sama dengan pendapat ulama timur tengah bahwa utang sama dengan uang, bukan harta benda. Dengan demikian, utang tidak dapat di perjual belikan dengan harga apapun, kecuali dengan harga yang sama. Dalam hal ini ulama indonesia sependapat dengan ulama sudan bahwa akad bai’al-inah dan ba’i al-dayn (jual beli utang dengan diskon) tidak sesuai dengan prinsip syariah sehingga tidak boleh di gunakan dalam transaksi.
c.        Kedudukan Bank Syariah dalam Undang – Undang
Bank syariah di indonesia, baik yang berbentuk bank umum syariah atau BUS (full fledged islamic bank , unit usaha syariah atau UUS, maupun bank perkreditan rakyat syariah atau BPRS, berada di bawah undang – undang perbankan (UUD No. 10 Tahun 1998). Operasi perbankan dengan prinsip syariah sepenuhnya di akomodasi oleh undang – undang. Bank syariah di indonesia dapat melakukan transaksi berdasar titipan, pinjaman, bagi hasil, jual beli, sewa, dan prinsip lain yang di bolehkan syariah. Dengan demikian, bank syariah di indonesia  merupakan bank universal yang dapat berusaha sebagai consumer banking, investmen banking, merchant banking, leasing company, investmen agent, dan sebagai amil zakat infaq dan sadaqah.
Perbedaan operasi BUS dan UUS hampir tidak ada, kecuali dalam hal kebebasan kebijakan manajemen. BUS merupakan badan usaha sendiri yang memiliki independensi kebijakan sehingga memiliki otonomi dalam memilih strategi bisnis dan pengembangannya. Sementara itu UUS, merupakan bagian dari bank konvensional induknya sehingga kurang memiliki kebebasan dalam menentukan kebijakan manajemen.
d.      Kedudukan Dewan Syariah
Otoritas syariah tertinggi di indonesia berada pada dewan syariah nasional – majelis ulama indonesia (DSN – MUI ), yang merupakan lembaga independen dalam mengeluarkan fatwa yang berhubungan dengan semua masalah syariah agama islam, baik masalah ibadah maupun muamalah, termasuk masalah ekonomi, keuangan dan perbankan.
Tugas DSN – MUI di bidang keuangan dan perbankan pada prinsipnya tidak berbeda dengan tugas NSAC malaysia yang merupakan satu – satunya badan otoritas yang memberikan saran kepada institusi terkait (bank indonesia, departemen keuangan , atau bapepam ) berkaitan dengan operasi perbankan syariah atau lembaga keuangan syariah lainnya, mengkoordinasi isu – isu syariah tentang keuangan dan perbankan syariah, dan menganalisis dan mengevaluasi aspek – aspek syariah dari skim atau produk baru yang di ajukan oleh institusi perbankan dan lembaga keuangan syariah lainnya.
Keberadaan DSN – MUI di luar struktur bank sentral membuat otoritas fatwa ini independen, lebih kredibel, dan di akui secara nasional dalam mengeluarkan keputusan dan fatwa yang berkaitan dengan masalah – masalah syariah yang di hadapi oleh perbankan dan lembaga keuangan syariah lainnya, namun demikian, karena beragamnya urusan yang di tangani oleh DSN – MUI dan tidak adanya spesialisasi khusus di bidang ekonomi, kauangan, dan perbankan syariah, tanggapan DSN – MUI terhadap masalah yang di hadapi oelh lembaga keuangan syariah menjadi kurang responsif dan terlambat memenuhi kebutuhan pasar.
e.       Strategi Pengembangan Perbankan Syariah dan Produknya
Dalam hal strategi pengembangan perbankan syariah dan produknya, indonesia memilih pendekatan yang bertahap dan berkesinambungan yang sesuai syariah dan tidak mengadopsi akad – akad kontroversial. Pendekatan yang bertahap dan berkesinambungan memungkinkan perkembangan yang sesuai dengan keadaan dan kesiapan pelaku tanpa paksaan serta membentuk sistem yang kokoh dan tidak rapuh. Sementara itu , pendekatan yang berhati – hati yang sesuai dengan prinsip syariah menjamin produk produk yang di tawarkan terjamin kemurnian syariahnya dan dapat di terima masyarakat luas dan dunia internasional.
Dengan strategi pengembangan yang dipilih, perbankan syariah di indonesia telah tumbuh menjadi salah satu sistem perbankan syariah dalam dual financial sistem yang paling sesuai dengan ketentuan syariah. Selain itu, pengembangan perbankan syariah memiliki dampak positif terhadap pengembangan sektor lain dengan prinsip syariah.
Pada tahun 2000 juga muncul jakarta islamic index (JII ) yang merupakan pengelompokan saham saham 30 emiten yang di pandang paling mendekati kriteria syariah. Seleksi yang di lakukan terhadap saham saham yang dimasukan kedalam JII meliputi seleksi yang bersifat normatif dan finansial. Sementra itu, pasar modal syariah baru berdiri pada 14 maret 2003. Obigasi dan reksadana syariah juga tumbuh dengan pesat.
Dukungan dari aspek hukum dan perundang undangan menjadikan pertumbuhan lembaga keuangan syariah semakin pesat karena telah memiliki landasan dan kepastian hukum yang jelas. Disamping itu, sektor keuangan syariah lain juga berkembang, seperti lembaga pembiayaan syariah.
Perkembangan tidak terbatas pada sektor keuangan syariah, tetapi juga pada sektor riil berbasis syariah, voluntary sector ( zakat, infaq, sadaqah, dan wakaf), dan sektor pendidikan dari tingkat pendidikan dasar sampai tingkat perguruan tingi. Perkembangan sd, smp, dan sma islam terpadu telah meluas hapir di seluruh wilayah indonesia, terutama di kota kota besar dan daerah yang mayoritas berpenduduk muslim. Di tingkat perguruan tinggi bahkan sudah ada universitas yang menawarkan program doktoral bertaraf internasional dengan staf pengajar bertaraf internasional yag datang dari berbagai negara.
Perkembangan sistem yang berbasis syariah di bidang ekonomi, pendidikan, dan lainya di indonesia terus bergulir seperti bola salju yang semakin lama semakin membesar dan berdampak kesemua bidang kehidupan.


Dinamika dan Karakteristik Undang-Undang No.3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

1.      Dinamika Legislasi

Dalam era reformasi hingga saat ini, telah terjadi tiga kali perubahan terhadap pasal-pasal dalam UUD 1945. Salah satu perubahannya terdapat pada Pasal 24 ayat (2) dinyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berada di bawahnya, dalam lingkungan Peradilan Umum, Agama, Militer, Tata Usaha Negara, dan sebuah Mahkamah Konstitusi. Pasal ini sangat jelas mengamanatkan untuk menyatukan semua lembaga peradilan di bawah satu atap Mahkamah Agung.

Perubahan UUD 1945 ini mengharuskan adanya perombakan dan perubahan terhadap Kekuasaan Kehakiman untuk disesuaikan dengan UUD 1945. Perubahan tersebut dimulai dengan diubahnya UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dengan UU No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1970 yang kemudian diganti dengan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman[1]

Pasal 13 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dikatakan bahwa organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan diatur dalam undang-undang sesuai dengan kekhususan peradilan di lingkungan masing-masing. Pasal 14 ayat (1) UU No. 4 tersebut dikatakan, susunan, kekuasaan, dan hukum acara Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 diatur dengan undang-undang tersendiri. Sesuai dengan amanat Pasal 14 ayat (1) UU No. 4 tersebut, dibentuklah UU No. 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum dan UU No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan TUN, dan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Di samping perubahan-perubahan di tingkat konstruksi kekuasaan kehakiman, pada kenyataannya di kehidupan masyarakat, khususnya tingkat kesadaran beragama di kalangan umat Islam semakin meningkat untuk menjalankan ketentuan ajaran Islam dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara, terlebih tuntutan untuk mencari alternatif baru dari kegagalan sistem konvensional kepada sistem nilai yang religius. Salah satunya adalah bidang muamalah. Lembaga-lembaga ekonomi syari’ah tumbuh berkembang mulai dari lembaga perbankan syari’ah, asuransi syari’ah, pasar modal syari’ah, dan pegadaian syari’ah. Perkembanagan ini tentunya juga berdampak pada perkembangan sengketa atau konflik dalam pelaksanaannya. Selama ini apabila terjadi konflik dalam bidang ekonomi syari’ah harus melalui peradilan umum. Menyadari hal ini, dalam Undang-Undang No. 3 tahun 2006 atas perubahan UU No. 7 tahun 1989 maka ruang lingkup Peradilan Agama diperluas, ruang lingkup tugas dan wewenang Pengadilan Agama yaitu :
·         Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang :perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, shadaqah, dan ekonomi syariah;
·         Diberikan tugas dan wewenang penyelesaian sengketa hak milik atau keperdataan lainnya;
·         Diberi tugas dan wewenang memberikan itsbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun hijriyah. Selama ini Pengadilan Agama diminta oleh Menteri Agama untuk memberikan penetapan (itsbat) terhadap orang yang telah melihat atau menyaksikan awal bulan pada setiap memasuki bulan Ramadlan, awal bulan Syawal dan tahun baru Hijriyah dalam rangka Menteri Agama mengeluarkan penetapan secara nasional untuk rukyat Hilal.

Mekanisme pembentukkan Undang-Undang No.3 Tahun 2006 ini yakni diawali dengan DPR RI yang mengajukan Usul Inisiatif RUU tentang Perubahan Atas UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama melalui surat tertanggal 30 Juni 2005 kepada presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama. Pemerintah pun merespon positif atas prakarsa DPR RI tersebut. Begitu juga berbagai fraksi di DPR RI juga memandang perlunya perubahan terhadap undang-undang tersebut, sehingga dalam proses perumusan RUU ini hampir tidak menuai perbedaan mendasar dalam pembahasannya.
Setelah melalui proses pembahasan, DPR RI dan Pemerintah menyetujui bersama pada tanggal 21 Februari 2006. Kemudian pada tanggal 20 Maret 2006 diundangkan menjadi UU No.3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
2.      Karakteristik

Bila dicermati konfigurasi politik ketika terjadinya usul inisiatif atas perubahan UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, maka itu sesuai dengan iklim politik di era reformasi, sehingga hal ini dapat disebut sebagai konfigurasi demokratis dengan beberapa indikator penting yang dilakukan oleh pemerintah dan DPR, antara lain:
1.      Partai politik dari badan perwakilan rakyat berperan aktif dan ikut serta dalam menentukan hukum negara atau politik nasional, khususnya dalam bidang reformasi;
2.      Tumbuhnya supremasi rakyat diletakkan di atas kepentingan penguasa;
3.      Menjunjung tinggi pelaksanaan hukum, termasuk hukum agama yang dijamin dalam UUD 1945;
4.      Peran eksekutif menghormati kehendak rakyat dan melaksanakan kebijakan yang pro rakyat.

Dari segi karakter produk hukumnya, maka UU ini dikategorikan pada produk hukum responsif yang lahir dari konfigurasi politik yang demokratis, karena UU ini dapat mencerminkan aspirasi sebagian besar umat Islam dan rasa keadilan. Selain itu, UU ini merupakan perwujudan pemenuhan atas harapan masyarakat, seperti adanya perluasan absolut kompetensi pengadilan agama di bidang ekonomi syariah.

Jumat, 04 Mei 2012

wanita


Sebuah Inspirasi ……
Wanita
Ketika tuhan menciptakan wanita, dia lembur pada hari ke-enam.
Malaikat dating dan bertanya, “mengapa begitu lama, Tuhan?”

Tuhan Menjawab :
“Sudahkah engkau lihat semua detail yang saya buat  untuk menciptakan mereka?”
“2 Tangan ini harus bias dibersihkan, tetapi bahannya bukan dari plastic. Setidaknya terdiri dari 200 bagian yang bisa digerakkan dan berfungsi baik untuk segala jenis makanan. Mampu menjaga banyak anak saat yang bersamaan. Punya pelukan yang dapat menyembuhkan  sakit hati dan keterpurukan…, dan semua di lakukan cukup dengan dua tangan ini”.

Malaikat itu takjub.
“hanya dengan dua tangan?.... Mustahil!”
Dan itu medel standart?!
“sudahlah TUHAN, cukup dulu untuk hari ini, besok kita lanjutkan lagi untuk menyempurnakannya”.

Oh.. Tidak, SAYA akan menyelesaikan ciptaan ini, karena ini adalah ciptaan favorit SAYA”.
“O yah…Dia juga akan mampu menyembuhkan dirinya sendiri, dan bisa bekerja 18 jam sehari”.

Malaikat mendekat dan mengamati bentuk wanita ciptahan tuhan itu.
“Tapi ENGKAU membuatnya begitu lembut tuhan ?”

“yah.. SAYA membuatnya lembut. Tapi ENGKAU belum bias bayangkan kekuatan yang SAYA berikan agar mereka dapat mengatasi banyak hal yang luar biasa.”

“Dia bisa berfikir?”, Tanya malaikat.

Tuhan menjawab :
“Tidak hanya berpikir, dia mampu bernegosiasi.”

Malaikat itu menyentuh dagunya…..
“TUHAN, ENGKAU buat ciptaan ini kelihatan lelah & rapuh! Seolah terlalu banyak beban baginya.”

“itu Bukah lelah atau rapuh…. Itu air mata”, koreksi TUHAN
“Untuk apa?”, Tanya malaikat
Tuhan melanjutkan,:
“Air mata adalah salah satu cara dia mengekspresikan kegembiraan, kegalauan, cinta, kesepian, penderitaan dan kebanggaan.”

“luar biasa, ENGKAU jenius TUHAN” kata malaikat.
“ENGKAU memikirkan segala sesuatunya, wanita ciptaan-MU ini akan sungguh menakjubkan!”

Ya mesti…!
Wanita ini akan mempunyai kekuatan mempesona laki-laki. Dia dapat mengatasi beban bahkan melebihi laki-laki.

Dia mampu menyimpan kebahagiaan dan pendapatnya sendiri.
Dia mampu tersenyum bahkan saat hatinya menjerit.
Mampu menyanyi saat menangis, menangis saat terharu, bahkan tertawa saat ketakutan.

Dia berkorban demi orang yang dicintainya.
Mampu berdiri melawan ketidakadilan.
Dia tidak menolak kalau melihat yang lebih baik.
Dia menerjunkan dirinya untuk keluarganya.
Dia membawa temannya yang sakit untuk berobat.
Cintanya tanpa syarat.

Dia menangis saat melihat anaknya adalah pemenang.
Dia girang dan bersorak saat melihat kawannya tertawa.
Dia begitu bahagia mendengar kelahiran.

Hatinya begitu sedih mendengar berita sakit dan kematian.
Tetapi dia selalu punya kekuatan untuk mengatasi hisup.
Dia tahu bahwa sebuah ciuman dan pelukan dapat menyembuhkan luka.

Hanya ada satu hal yang kurang dari wanita :
Dia Lupa betapa Berharganya dia…
 
Interpreted by:
Lins_view inspires Y’all from any sources
Deeply Humble
www.lintong.s5.com

Rabu, 02 Mei 2012

Eksekusi Pidana Mati Terhadap Wanita Hamil

Indonesia merupakan salah satu negara yang masih mempertahankan dan mengakui legalitas pidana mati sebagai salah satu cara untuk menghukum pelaku tindak kejahatan, walaupun pro dan kontra mengenai pidana mati sudah lama terjadi di negeri ini. Bahkan keberadaan pidana mati di Indonesia akan terus berlangsung pada waktu yang akan datang karena dalam Rancangan KUHP (Baru), pidana mati masih merupakan salah satu sanksi pidana yang dipertahankan untuk menghukum pelaku kejahatan.
Kedudukan perempuan dalam masyarakat mempunyai peranan yang sama pentingnya dengan kaum laki-laki, hanya, ada hal-hal khusus dalam diri perempuan. Hal-hal tersebut berkaitan dengan sifat dan kodrat pada perempuan sebagai ibu yang akan melahirkan anak.
Kedudukan keduanya di muka hukum pun pada hakekatnya sama, namun perlindungan hukum dan pengayoman terhadap perempuan pelaku tindak pidana khususnya yang sedang hamil dan menyusui, tidak dapat disamaratakan dengan laki-laki
Dr. Rodliyah.MH seorang ahli di bidang Hukum UNIV. Brawijaya mengungkapkan, norma tentang pelaksanaan pidana mati terhadap perempuan hamil dan menyusui, belum diatur dalam KUHP. ‘Hal ini menunjukkan telah terjadi suatu kekosongan hukum dalam KUHP, meskipun diluar KUHP yakni Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 telah mengaturnya, akan tetapi belum mencerminkan rasa keadilan, kemanusiaan, serta perlindungan terhadap anak yang dikandung dan dilahirkannya’, kata dia.
Penelitian Rodliyah ini memiliki tiga tujuan utama yakni mengidentifikasi, memahami dan menganalisis aspek filosofis dan historis pelaksanaan pidana mati di Indonesia; mengidentifikasi, memahami dan menganalisis kekhususan ketentuan pelaksanaan pidana mati terhadap perempuan hamil dan menyusui dalam hukum pidana serta mengidentifikasi, menganalisis dan merumuskan kebijakan legislatif tentang pidana mati terhadap perempuan hamil dan menyusui dalam hukum pidana di masa yang akan datang.

Pidana Mati
Berdasar ketentuan Pasal 10 KUHP, pidana mati menurut Rodliyah masih diterapkan di Indonesia terhadap kejahatan-kejahatan serius seperti makar, narkotika, pembunuhan berencana, korupsi dan terorisme. ’Dari sejarahnya, pidana mati sudah ada sejak berlakunya hukum adat’, katanya. Kemudian pada masa penjajahan Belanda diberlakukan WvSI sejak tahun 1918 meskipun di Belanda sendiri telah dihapus pada tahun 1870. Setelah merdeka, berdasarkan UU RI Nomor 1 Tahun 1946, berlakulah KUHP, sedangkan pelaksanaan pidana mati diatur dalam Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1984 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer.
Berdasar ketentuan internasional antara lain UDHR dan ICCPR, Rodliyah menambahkan, pelaksanaan pidana mati perempuan hamil dan menyusui tidak diterapkan. Sedangkan pada negara-negara retensionis, diberi perlakuan khusus dengan memberikan penundaan dan peniadaan.
Untuk hukum di Indonesia, diterangkannya, pelaksanaan pidana mati perempuan hamil dan menyusui yang diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 2 Pnps/1964, eksekusinya ditunda 40 hari setelah melahirkan. ‘Dengan demikian sangat jelas bahwa ketentuan tentang pelaksanaan pidana mati terhadap perempuan hamil dan menyusui di Indonesia tidak mengacu pada hukum internasional, tenggat waktu pelaksanaannya sangat minim dibandingkan dengan Negara-negara lain dan hukum Islam, sehingga tidak mencerminkan rasa keadilan’, tandasnya.
Karena itu, dalam disertasinya, Rodliyah mengajukan pembaharuan (legal reform) untuk konsep di masa mendatang (ius contituendum) tentang pengaturan norma penundaan pelaksanaan pidana mati terhadap perempuan hamil dan menyusui. Konsep pembaharuan ini didasarkan pada landasan yuridis seperti ketentuan-ketentuan internasional, ketentuan di beberapa Negara, hukum Islam dan RUU KUHP 2008 Pasal 88, teori keadilan menurut John Rewis, hukum feminis, hukum responsif, teori pemidanaan, Hak Asasi Manusia dan filosofi Pancasila. Konsep yang diajukannya dalam rangka pembaharuan hukum pidana dan dicantumkan dalam KUHP dimasa yang akan datang adalah ‘Pelaksanaan pidana mati terhadap perempuan hamil dan menyusui baru dapat dilaksanakan setelah usia anak 12 tahun. Apabila dalam masa penundaan terpidana mati menyadari kesalahan, berkelakuan baik dan bertaubat, maka pidana mati tidak dilaksanakan’.

Perdebatan mengenai pidana mati juga terkait dengan hak hidup yang dalam instrumen hukum internasional maupun dalam UUD 1945 masuk dalam kategori hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (non derogable rights). Namun demikian, instrumen hukum internasional, khususnya ICCPR tidak sama sekali mela­rang pidana mati melainkan membatasi penerapannya.
Hal itu dalam konteks di Indonesia dikukuhkan dalam Pu­tusan MK No 2-3/PUU-V/2007 yang menyatakan bahwa di masa yang akan datang perumusan, penerapan, mau­pun pelaksanaan pidana mati hendaklah memperhatikan empat hal penting. Pertama, pidana mati bukan lagi me­rupakan pidana pokok, melainkan sebagai pidana yang bersifat khusus dan alternatif. Kedua, pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun yang apabila terpidana berkelakuan terpuji dapat diubah dengan pidana penjara seumur hidup atau selama 20 ta­hun. Ketiga, pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum dewasa. Keempat, eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seseorang yang sakit jiwa ditangguhkan sampai perempuan hamil tersebut melahirkan dan terpidana yang sakit jiwa tersebut sem­buh.

b. Pengaturan hukuman mati dalam hukum positif di Indonesia
Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) membedakan dua macam pidana: pidana pokok dan pidana tambahan, yaitu:
a. Pidana pokok:
1. Hukuman mati
2. Hukuman penjara
3. Hukuman kurungan
4. Hukuman denda
b. Pidana tambahan:
1. Pencabutan beberapa hak yang tertentu
2. Perampasan barang yang tertentu
3. Pengumuman keputusan Hakim
Dengan demikian, maka pidana mati di dalam hukum positif di Indonesia merupakan merupakan pidana pokok.
Kejahatan-kejahatan yang diancam dengan hukuman mati di dalam KUHP misalnya ;
1.    Pasal 104 KUHP: Makar membunuh kepala Negara;
2). Pasal 111 ayat (2) KUHP: Mengajak Negara Asing untuk menyerang Indonesia;
3). Pasal 124 ayat (3) KUHP: Memberikan pertolongan kepada musuh pada saat Indonesia dalam keadaan perang;
4). Pasal 140 ayat (4) KUHP: Membunuh kepala Negara sahabat;
5). Pasal 140 ayat (3) dan Pasal 340 KUHP: Pembunuhan yang direncakan lebih dahulu;
6). Pasal 365 ayat (4) KUHP: Pencurian dengan kekerasan oleh dua orang atau lebih bersekutu pada waktu malam hari dengan cara membongkar dan sebagainya, yang mengakibatkan seseorang mengalami luka berat atau mati;
7). Pasal 444 KUHP: Pembajakan di laut, di pesisir, di pantai dan di kali, sehingga mengakibatkan orang mati ;
8). Pasal 124 bis KUHP: Dalam waktu perang menganjurkan huru-hara, pemberontakan dan sebagainya antara pekerja-pekerja dalam perusahaan pertahanan negara ;
9). Pasal 127 dan 129 KUHP: Dalam waktu perang menipu waktu menyampaikan keperluan angkatan perang;
10). Pasal 368 ayat (2) KUHP: Pemerasan dengan pemberatan ;
Sebagai bahan komparatif sekaligus menerawang perkembangan pemikiran dalam pengaturan pidana mati di Indonesia, ada baiknya juga apabila kita menyimak ketentuan naskah Rancangan KUHP baru sebagai Jus Constituendum, antara lain sebagai berikut :
 1). Pidana Mati dilaksanakan oleh regu tembak dengan menembak terpidana sampai mati;
 2). Pelaksanakan pidana mati tidak dilaksanakan di muka umum;
 3). Pidana mati tidak dijatuhkan kepada anak di bawah umur delapan belas tahun;
4). Pelaksanaan Pidana mati terhadap wanita hamil atau orang sakit jiwa ditunda sampai wanita tersebut melahirkan atau orang sakit jiwa tersebut sembuh;
5). Pidana mati baru dapat dilaksanakan setelah ada persetujuan Presiden dan Penolakan Grasi oleh Presiden;
6). Pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan selama sepuluh tahun, jika;
a) Reaksi masyarakat terhadap terpidana mati terlalu besar
b) Terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk memperbaiki
c) Kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana tidak terlalu penting
d) Ada alasan meringankan
7). jika terpidana selama masa percobaan menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dan pidana penjara paling lama dua puluh tahun dengan keputusan menteri kehakiman.
8). jika terpidana selam masa percobaan tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji tidak ada harapan untuk memperbaiki maka terpidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.
9). jika setelah permohonan Grasi ditolak, pelaksanaan pidana mati tidak dilaksanakan selama sepuluh tahun bukan karena terpidana melarikan diri maka terpidana mati tersebut dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dengan Keputusan Menteri Kehakiman. (Bambang Waluyo, 2000, hlm: 14-15)


EKSEKUSI HUKUMAN MATI WANITA HAMIL MENURUT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM.
Hadist tentang hukuman bagi pezina yang hamil
وَعَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ { أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ أَتَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهِيَ حُبْلَى مِنْ الزِّنَا – فَقَالَتْ : يَا نَبِيَّ اللَّهِ ، أَصَبْت حَدًّا ، فَأَقِمْهُ عَلَيَّ ، فَدَعَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلِيَّهَ.
فَقَالَ : أَحْسِنْ إلَيْهَا ، فَإِذَا وَضَعَتْ فَأْتِنِي بِهَا فَفَعَلَ .
فَأَمَرَ بِهَا فَشُكَّتْ عَلَيْهَا ثِيَابُهَا ، ثُمَّ أَمَرَ بِهَا فَرُجِمَتْ .
ثُمَّ صَلَّى عَلَيْهَا ، فَقَالَ عُمَرُ : أَتُصَلِّي عَلَيْهَا يَا نَبِيَّ اللَّهِ وَقَدْ زَنَتْ ؟ فَقَالَ : لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ قُسِّمَتْ بَيْنَ سَبْعِينَ مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ لَوَسِعَتْهُمْ ، وَهَلْ وَجَدْت أَفْضَلَ مِنْ أَنْ جَادَتْ بِنَفْسِهَا لِلَّهِ تَعَالَى } ؟ رَوَاهُ مُسْلِمٌ .

  1. Terjemah dari hadist tentang hukuman bagi pezina yang hamil
Dan dari imran bin hushain, bahwa ada seorang perempuan dari juhainiyah datang ketempat Rasulullah saw dalam keadaan hamil karena zina. Lalu ia berkata, Ya Rasulullah aku telah telah berbuat pelanggaran, maka laksanakanlah hukuman itu atasku. Lalu Nabi saw. Memanggil walinya, seraya bersabda, “Peliharalah perempuan ini dengan baik, dan jika ia telah melahirkan, maka bawalah kemari”. Kemudian walinya itu mengerjakannya. Kemudian oleh Rasulullah saw. Diperintahkan supaya pakaiannya diikat rapat, lalu diperintahkan untuk dirajam, kemudian dishalati. Kemudian Umar menyanggah Rasulullah saw, apakah engkau akan menshalatinya, ya Rasulullah paadahal dia berzina? Jawab Rasulullah, “sungguh-sungguh dia telah bertaubat, yang andaikata taubatnya itu dibagi kepada tujuh puluh orang penduduk madinah, niscaya akan mencukupinya. Taukah engkau orang yang lebih utama selain orang yang memperbaiki dirinya karena Allah?” (HR Muslim).
  1. Penjelasan.
Dari hadist tersebut dijelaskan bahwa perempuan yang datang kepada Rosulullah SAW yang mengakui atas perbuatannya terhadap Rosul dan meminta untuk dihukum. Dalam hal ini Rosulullah memerintahkan merajam pezina hamil haruslah menunggu setelah perempuan tersebut melahirkan, barulah setelah lahir diperbolehkan untuk dilaksanakannya hukuman raja. Dan Rosulullah memerintahkan untuk mensholatinya karena perempuan tersebut mau mengakui perbuatannya dan mau memperbaiki (taubat) karena Allah. Dalam hadist tersebut juga menunjukkan bahwa orang yang akan dihukum itu auratnya harus tetap dipelihara jangan sampai terbuka.
Dalam hadist ini di jelaskan “ketika sudah melahirkan maka bawa dia kemari” hal itu menunjukkan bahwa hukuma rajam dilaksanakan pada saat dia hamil, namun pelaksanaannya setelah dia melahirkan. Pada riwayat lain disebutkan bahwa wanita hamil yang berzina dirajam setelah ia menyusui anaknya. Adapun hadist tersebut memberikan implikasi kewajiban rajam bagi wanita hamil yang melakukan zina. Ulama’ telah sepakat bahwa wanita dirajam dalam keadaan duduk dan laki-laki dalam keadaan berdiri, kecuali Imam Malik.
Dimasa sekarang telah banyak fatwa-fatwa dan hasil-hasil keputusan baru tentang penerapan hukuman mati, terutama pada eksekusi hukuman mati bagi wanita hamil. Seperti halnya pada konferensi hukum islam di Negara-negara Arab.
            Piagam Hak Asasi Manusia Arab, yang diadopsi September 15, 1994, tetapi belum diratifikasi oleh setiap anggota Liga Arab, menyatakan hak untuk hidup dengan cara yang sama sebagai instrumen internasional lainnya. Namun, tiga ketentuan yang berbeda, Pasal 10, 11, dan 12, mengakui legitimasi hukuman mati dalam kasus "pelanggaran serius terhadap hukum umum," melarang hukuman mati untuk kejahatan politik, dan mengecualikan hukuman mati atas kejahatan yang dilakukan di bawah usia delapan belas dan untuk kedua wanita hamil dan ibu menyusui untuk jangka waktu hingga dua tahun setelah melahirkan.
            Piagam Hak Asasi Manusia Arab, yang diadopsi September 15, 1994, tetapi belum diratifikasi oleh setiap anggota Liga Arab, menyatakan hak untuk hidup dengan cara yang sama sebagai instrumen internasional lainnya. Namun, tiga ketentuan yang berbeda, Pasal 10, 11, dan 12, mengakui legitimasi hukuman mati dalam kasus "pelanggaran serius terhadap hukum umum," melarang hukuman mati untuk kejahatan politik, dan mengecualikan hukuman mati atas kejahatan yang dilakukan di bawah usia delapan belas dan untuk kedua wanita hamil dan ibu menyusui untuk jangka waktu hingga dua tahun setelah melahirkan.
Reynaldo Galindo PohI, Pelapor sebelumnya Khusus Komisi Hak Asasi Manusia terhadap Iran, mengamati bahwa "ada kelompok-kelompok Islam-sarjana hukum dan praktisi yang merekomendasikan penghapusan hukuman mati untuk kejahatan-kejahatan politik atas dasar bahwa hal ini bertentangan dengan hukum Islam Mereka menyatakan. bahwa jumlah kejahatan yang diancam dengan kematian adalah terbatas. " Pada Oktober 1995, aktivis hak asasi manusia dari seluruh dunia Arab bertemu di Tunis untuk mempertimbangkan isu hukuman mati. Pertemuan, yang menampilkan spesialis tentang agama, filsafat, dan hukum pidana di negara-negara Arab, adalah sebuah inisiatif bersama dari Institut Arab untuk Hak Asasi Manusia dan Warga negara dan anggota parlemen Liga Penghapusan Hukuman Mati dari "Hands Off Cain," dengan dukungan dari Masyarakat Eropa. Dalam sebuah deklarasi yang diadopsi pada akhir pertemuan, para peserta menegaskan bersama mereka "komitmen terhadap penghapusan hukuman mati sebagai langkah strategis." Mereka juga menyatakan "bahwa dalam latar belakang peradaban dan budaya Arab, tidak ada hambatan yang nyata ada dan menghambat evolusi legislasi sekuler dalam proses pembentukan batas-batas hukuman mati dan menghapuskannya." Pernyataan itu diakhiri dengan sebuah panggilan ke negara-negara Arab untuk mengadopsi Protokol Opsional Kedua Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, yang merupakan komitmen hukum internasional untuk tidak memaksakan hukuman mati.