A.
DEFINISI
WARIS
Dalam kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) kata waris berarti Orang yang berhak menerima Harta pusaka
dari orang yang telah meninggal.[1] Di
dalam bahasa Arab kata waris berasal dari kata
ورث-يرث-ورثا yang artinya adalah Waris. Contoh, ورث اباه yang artinya Mewaris Harta (ayahnya).[2]
Dalam perkembangan sejarah hukum di indonesia, Hukum Waris Islam di indonesia (HWI)
berkembang sangat pesat, di tandai dengan munculnya peraturan dan pendapat dan
pendapat dari beberapa ahli, di antaranya :
1 . Gagasan tentang harta bersama (gono-gini) dan sistem bilateral,
dikemukakan oleh Prof. Dr. Hazairin, SH. Beserta ahli hukum
lainnya.
2. UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang mengatur
kewenangan dan tata cara pemeriksaan perkara-perkaraorang Islam, yaitu :
masalah perkawinan, Warisan, dan Wakaf.
3. Amandemen UU No. 3 tahun 2006 yang memperluas kewenangan
Peradilan Agama memeriksa perkara-perkara : Zakat, Infak, Shadaqah, dan Ekonomi
Syari’ah.
4. Inpres No. 1 tahun 1991 tentang kompilasi Hukum Islam (KHI) yang
mengatur perkawinan, Waris, dan Wakaf.
Undang – Undang dan Inpres tersebut merupakan hukum positif di
indonesia . itu artinya, HWI adalah hukum yang berlaku dan dilaksanakan oleh
negara melalui Peradilan Agama. HWI, yang dinyatakan sebagai hukum positif ini,
belum diatur dalam undang-undang. Namun demikian, para hakim telah mengacu pada
KHI dalam menyelesaikan perkara. Oleh sebab itu, sudah selayaknya KHI segera
diatur dalam undang-undang agar dapat
menjadi aturan yang kuat. Banyak hal baru yang dapat di temukan dalam himpunan
peraturan tersebut : diantaranya tentang peradilan ahli waris, gono gini,
perdamaian dan lain-lain.[3]
Di seluruh Indonesia, mungkin tidak ada masalah hukum yang lebih
membingungkan daripada masalah waris. Masalah yang mudah sekali menimbulkan
kekacauan dan perdebatan seru di kalangan para ahli hukum maupun aktivis
politik. Banyak sekali bahan bacaan dan karangan yang di terbitkan sejak
permulaan abad ini.namun masih belum nampak ada kesimpulan yang menyeluruh dan
belum pernah pula di coba membuat undang-undang yang mengatur masalah waris
untuk seluruh indonesia. Hanya dalam Undang-Undang Agraria tahun 1960, ditemukan beberapa
ketentuan yang menyangkut kewarisan, terutama dalam bentuk bahan penelitian dan
administrasi . persoalan umum yang menyangkut
hukum waris di indonesia, secara khusus menggambarkan kelemahan maupun
kekuatan peradilan Agama Islam. Begitu pula, problema kewarisan ini jelas
sekali menunjuk kan bagaimana hukum, kekuasaan ideologi, pertentangan sosial
maupun pertentangan kelembagaan saling berkait tak terpisahkan.
Di sini tdak cukup tempat untuk menguraikan semua bentuk bentuk dan
sistem kewarisan menurut adat dalam masyarakat indonesia. Buku “Hukum adat di indonesia” dari Ter Haar,
merupakan pengantar yang baik. Cukup kiranya di sebut, bahwa garis besar
susunan keluarga di indonesia terdiri dari bilateral, patrilinial, serta
petrilinial. Dan pola-pola hukum kewarisan pada umumnya mengikuti
susunan-susunan itu. Di dalam pola-pola keseluruhan itu , banyak variasi-variasi setempat. Kalau kondisi
ekonomi dan sosial berubah , praktek dalam hukum waris adat pun berubah dengan
sedikit atau banyak ketegangan.pada tahun-tahun terakhir ini , peradilan sipil
nasional telah mulai memberikan penafsiran lebih bebas terhadap hukum adat
setempat, dengan lebih menonjolkan secara seragam ciri-ciri yang sebagian
menurut konsepsi hukum keluarga di jawa dan untuk sebagian lain standard dari kalangan intelektual kosmopolitan.[4]
Adapun hukum waris islam, dapat di uraikan agak luas, walaupun
serba dangkal. Keuntungan dari Islam ialah bentuknya yang seragam, sederhana
dan langsung. Ada dua kelompok utama yang berhak atas waris. Satu yang di sebut
“Asabah,” semula berasal dari kebiasaan Arab sebelum islam yang terdiri dari
ahli-ahli waristunggal dalam urutan keluarga patrilinial. Mereka tetap
merupakan sisa dari ahli waris bagi keseluruhan harta benda (teoritis) , yang
akan menerima bagian setelah kelompok ahli waris lain mendapat bagiannya yang
sudah ditentukan. Kelompok kedua ini di sebut “ Ashabul fara’id atau
dzawil-furudl,” yaitu mereka-mereka yang oleh nabi Muhammad SAW ditetapkan
berhak pula atas warisan. Suatu hal baru dalam masyarakat (di waktu itu) , dalam kategori kedua ini,
adalah dikukuhkannya hak waris bagi keturunan wanita.[5]
Hubungan darah menjadi ukuran pokok dalam penentuan ahliwaris menurut kategori
pertama, sedangkan hubungan angkat (adopsi) tidak mempunyai hukum apa-apa.[6]
Termasuk di antara ketentuan waris
menurut islam, masalah adopsi ini tidak di pegang teguh di indonesia, di mana
sering terjadi dan bahkan memeberikan akibat hukum yang penuh dengan hak-hak
kewarisan kepada anak angkat.
Rumusan pembagian waris menurut islam, di sebut (FARA’IDL) jelas
dan tepat. Seperdelapan untuk istri, seperenam untuk suami, kakek, ibu, nenek,
saudara perempuan, dan kemanakan perempuan, anak perempuan berhak mendapatkan
separo jika tidak ada laki-laki, sepertiga bila ada anak laki-laki, dan
seterusnya. Semua harta benda waris di gabung dan dinilai uang, sehingga
pembagian masing-masing dapa di lakukan dengan tepat sekali. Oleh karena
ketentuan tentang pembagian waris di sebut dalam Al-Qur’an sendiri, maka
dianggap sangat mewajibkan. Tetapi ketentuan di dalam Al-Qur’an itu tidak mencakup
seluruh masalah hukum Waris dalam Islam. Dan di lengkapi oleh ketentuan yang di
jelas kan oleh nabi Muhammad SAW.
B.
TEORI
HUKUM WARIS ISLAM
Hukum waris Islam dalam bahasa Arab dinamakan ilmu Faraidh, yang
berarti ilmu “pembagian”. Lebih jelasnya, Faraidh adalah : suatu ilmu yang
menerangkan tata cara pembagian harta peninggalan dari seorang yang telah
meninggal kepada para ahli warisnya.
A.
Sumber
Hukum Waris Islam
1.
Al-Qur’an
2.
As-Sunnah
3.
Ijtihad
B.
Asas-asas
Pewarisan dalam Hukum Islam
1.
Bagian
warisan laki-laki dengan perempuan adalah 2 berbanding 1.
2.
Pembagian
harta peninggalan bersifat individual, yaitu mengakui adanya hak milik
perseorangan dan setiap ahli waris berhak atas bagian harta yang telah di
tentukan.
3.
Pembagian
harta peninggalan bersifat bilateral; artinya , pembagian ini berlaku kepada
dua pihak (laki-laki dan perempuan).
4.
Bagian
harta dari masing-masing ahli waris selalu berubah sesuai dengan keberadaan
ahli waris lainya.
C.
Unsur-unsur
Hukum Waris Islam
1.
Rukun
terjadinya warisan:
a.
Pewaris
b.
Ahli
waris
c.
Tirkah
(harta peninggalan)
2.
Syarat-syarat
terjadinya warisan :
a.
Pewaris
benar-benar meninggal
b.
Ahli
waris masih hidup pada waktu pewaris meninggal
c.
Ilmu
pengetahuan tentang Fara’idh atau HWI
(catatan: Nomor 1 dan 2 bersifat kumulatif)
3.
Seba-sebab
terjadinya warisan:
a.
Nikah
b.
Keturunan
c.
Wala’
atau kemerdekaan hamba.
4.
Terhalang
untuk saling mewarisi dapat terjadi karena:
a.
Berbeda
agama.
b.
Membunuh
dan memfitnah
c.
Menjadi
budak orang lain.
( Catatan:
Nomor 3 dan 4 bersifdat alternatif)
5.
Hal-hal
yang berhubungan dengan harta peninggalan:
a.
Kewajiban
yang melekat seperti: zakat, jaminan.
b.
Biaya
penyelenggaraan jenazah.
c.
Membayar
hutang
d.
Membayar
wasiat (maksimum 1/3bagian.)
e.
Pembagian
kepada ahli waris
C.
PERBANDINGAN
HUKUM WARIS ISLAM, BARAT DAN ADAT.
1.
Hukum
Waris Barat
a.
Sumber
hukum: KUHPerdata.[7]
b.
Sistem
kewarisan: bilateral, individual.
c.
Terjadinya
pewarisan karena:
i.
Menurut
UU:
1.
Adanya
hubungan darah
2.
Adanya
perkawinan
ii.
Karena
di tunjuk (testamentair)
d.
Berbeda
agama mendapat warisan.
e.
Sistem
golongan ahli waris: I, II, III, IV.
f.
Ahli
waris mempunyai tanggung jawab kebendaan (utang, pinjaman)
g.
Bagi
laki-laki dan perempuan adalah sama.
h.
Sebagian
ahli waris bagian nya tertentu (pasal 584 KUHPerdata)
i.
Anak/Suami/Istri
(golongan I) menutup orangtua (golongan II).
j.
Anak
angkat mendapat warisan.
k.
Wasiat
dibatasi oleh laki-laki dan wanita (bagian mutlak).
l.
Jenis
harta dalam perkawinan:
i.
Harta
campur
ii.
Harta
pisah
iii.
Perjanjian
kawin ( untung rugi, hasil pendapatan dan lain-lain)
2.
Hukum
Waris Islam
a.
Sumber hukum: Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijtihad
b.
Sistem Kewarisan: bilateral, individual.
c.
Terjadinya perwarisan karena:
i.
Adanya hubungan darah
ii.
Adanya perkawinan
d.
Berbeda
agama tidak mendapat warisan.
e.
Tidak
ada golongan ahli waris tetapi ada sistem hijab.
f.
Ahli
waris hanya bertanggung jawab sampai batas harta peninggalan.
g.
Bagian
anak laki-laki dan anak perempuan adalah 2 berbanding 1.
h.
Bagian
ahli waris tertentu: ½, 1/4, 1/3, 2/3, 1/6/ 1/8.
i.
Anak
(cucu) dan orang tua tidak saling menutup.
j.
Wasiat
maksimum 1/3 dari harta peninggalan (kecuali ahli waris setuju)
k.
Jenis
harta dalam perkawinan:
i.
Harta
bawaan
ii.
Harta
campur
3.
Hukum
Waris Adat
a.
Sumber
hukum:
i.
Adat
atau kebiasaan
ii.
Yurisprudensi
b.
Sistem
kewarisan, bervariasi: bilateral, patrilineal, matrilineal, mayorat.
c.
Terjadinya
perwarisan karena:
i.
Adanya
hubungan darah
ii.
Adanya
perkawinan
iii.
Adanya
pengangkatan anak
d.
Berbeda
agama mendapat warisan
e.
Ahli
waris hanya bertanggung jawab sampai batas harta peninggalan.
f.
Bagian
laki-laki dan bagian perempuan adalah sama.
g.
Tidak
ada bagian tertentu
h.
Anak
angkat dapat warisan
i.
Wasiat
di batasi jangan sampai mengganggu kehidupan anak.
j.
Jenis
harta dalam perkawinan:
i.
Harta
bawaan.
ii.
Harta
gono-gini atau harta pencarian atau harta bersama.
D.
KEISTIMEWAAN
HUKUM WARIS ISLAM
1.
Universal:
dapat diterima setiap lapisan masyarakat.
2.
Ijbari: berlaku menurut ketetapan Allah dan Rasul. Allah Swt. Menjanjikan
syurga untuk orang yang melaksanakan HWI dan mengancam dengan neraka untuk
orang yang tidak melaksanakannya (QS. 4:13-14.)
3.
Bilateral:
ahli waris dari pihak ibu dan bapak.
4.
Hak
berimbang: sesuai dengan hak dan kewajiban.
5.
Individual:
mengakui hak pribadi.
6.
Menghormati
hak orang tua dan istri.
7.
Memiliki
keunggulan komparatif daripada hukum waris barat dan adat. [8]
E.
DAFTAR
PUSTAKA
Arief , S. (2008). Praktik Pembagian Harta Peninggalan berdasarkan
Hukum Waris Islam, Darunnajah Publishing. Jakarta, 289 hal.
Daniel.S. Lev. (1980) .Peradilan Agama di Indonesia. PT, Intermasa,
jakarta
Subekti.R dan Tjitrosudibio (1914) .Burgerlijk Wetboek. PT. Pradnya
paramita, Jakarta.
[1] . Tim penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,.ed.3
. balai pustaka,jakarta, 2001, 1386 hlm.
[2] . Munawwir,ahmad warson. Kamus Al Munawwir, pustaka progressif,
surabaya, 1997, 1634 hlm.
[3] . Saefudin Arif, Praktik Pembagian Harta Peninggalan Berdasarkan Hukum
Waris Islam, Darunnajah publishing, jakarta selatan, 289 hlm.
[4] . Daniel S.lev. ‘’ Mahkamah Agung dan Hukum Waris Adat di
Indonesia’’ PT. Intermasa, jakarta,
1980.
[5] . Tentang kedudukan wanita dalam hukum waris islam, periksa A.A. Fyzet
The Fatamid Law of Inheritance” (Hukum waris Fatimiyah) UNIVERSITY OH
MALAYA LAW REVIEW I (1965/2).
[6] . Tentang asal usul hukum waris islam
yang menyangkut anak angkat , periksa eun Levy, THE SOCIAL STRUCTURE OF
ISLAM ( Susunan sosial dalam islam) Cambridge : University Press, 1962) , pp. 147-149.
[7] Subekti R dan Tjitrosidibio R, “KITAB UNDANG UNDANG HUKUM PERDATA” PT.
ARGA PRINTING, jakarta. 577 Hal.
[8] . arif saefudin, ‘’PRAKTIK PEMBAGIAN HARTA PENINGGALAN BERDASARKAN
HUKUM WARIS ISLAM’’ Darunnajah publishing, jakarta elatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar