Rabu, 02 Mei 2012

HUKUM WARIS


A.    DEFINISI WARIS
Dalam  kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata waris berarti Orang yang berhak menerima Harta pusaka dari orang yang telah meninggal.[1] Di dalam bahasa Arab kata waris berasal dari kata   ورث-يرث-ورثا yang artinya adalah Waris. Contoh,  ورث اباه yang artinya Mewaris Harta (ayahnya).[2]
Dalam perkembangan sejarah hukum di indonesia,  Hukum Waris Islam di indonesia (HWI) berkembang sangat pesat, di tandai dengan munculnya peraturan dan pendapat dan pendapat dari beberapa ahli, di antaranya :
1 . Gagasan tentang harta bersama (gono-gini) dan sistem bilateral, dikemukakan     oleh  Prof. Dr. Hazairin, SH. Beserta ahli hukum lainnya.
2. UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang mengatur kewenangan dan tata cara pemeriksaan perkara-perkaraorang Islam, yaitu : masalah perkawinan, Warisan, dan Wakaf.
3. Amandemen UU No. 3 tahun 2006 yang memperluas kewenangan Peradilan Agama memeriksa perkara-perkara : Zakat, Infak, Shadaqah, dan Ekonomi Syari’ah.
4. Inpres No. 1 tahun 1991 tentang kompilasi Hukum Islam (KHI) yang mengatur perkawinan, Waris, dan Wakaf.
Undang – Undang dan Inpres tersebut merupakan hukum positif di indonesia . itu artinya, HWI adalah hukum yang berlaku dan dilaksanakan oleh negara melalui Peradilan Agama. HWI, yang dinyatakan sebagai hukum positif ini, belum diatur dalam undang-undang. Namun demikian, para hakim telah mengacu pada KHI dalam menyelesaikan perkara. Oleh sebab itu, sudah selayaknya KHI segera diatur dalam undang-undang  agar dapat menjadi aturan yang kuat. Banyak hal baru yang dapat di temukan dalam himpunan peraturan tersebut : diantaranya tentang peradilan ahli waris, gono gini, perdamaian dan lain-lain.[3]
Di seluruh Indonesia, mungkin tidak ada masalah hukum yang lebih membingungkan daripada masalah waris. Masalah yang mudah sekali menimbulkan kekacauan dan perdebatan seru di kalangan para ahli hukum maupun aktivis politik. Banyak sekali bahan bacaan dan karangan yang di terbitkan sejak permulaan abad ini.namun masih belum nampak ada kesimpulan yang menyeluruh dan belum pernah pula di coba membuat undang-undang yang mengatur masalah waris untuk seluruh indonesia. Hanya dalam Undang-Undang  Agraria tahun 1960, ditemukan beberapa ketentuan yang menyangkut kewarisan, terutama dalam bentuk bahan penelitian dan administrasi . persoalan umum yang menyangkut  hukum waris di indonesia, secara khusus menggambarkan kelemahan maupun kekuatan peradilan Agama Islam. Begitu pula, problema kewarisan ini jelas sekali menunjuk kan bagaimana hukum, kekuasaan ideologi, pertentangan sosial maupun pertentangan kelembagaan saling berkait tak terpisahkan.
Di sini tdak cukup tempat untuk menguraikan semua bentuk bentuk dan sistem kewarisan menurut adat dalam masyarakat indonesia. Buku  “Hukum adat di indonesia” dari Ter Haar, merupakan pengantar yang baik. Cukup kiranya di sebut, bahwa garis besar susunan keluarga di indonesia terdiri dari bilateral, patrilinial, serta petrilinial. Dan pola-pola hukum kewarisan pada umumnya mengikuti susunan-susunan itu. Di dalam pola-pola keseluruhan itu , banyak  variasi-variasi setempat. Kalau kondisi ekonomi dan sosial berubah , praktek dalam hukum waris adat pun berubah dengan sedikit atau banyak ketegangan.pada tahun-tahun terakhir ini , peradilan sipil nasional telah mulai memberikan penafsiran lebih bebas terhadap hukum adat setempat, dengan lebih menonjolkan secara seragam ciri-ciri yang sebagian menurut konsepsi hukum keluarga di jawa dan untuk sebagian lain standard  dari kalangan intelektual kosmopolitan.[4]
Adapun hukum waris islam, dapat di uraikan agak luas, walaupun serba dangkal. Keuntungan dari Islam ialah bentuknya yang seragam, sederhana dan langsung. Ada dua kelompok utama yang berhak atas waris. Satu yang di sebut “Asabah,” semula berasal dari kebiasaan Arab sebelum islam yang terdiri dari ahli-ahli waristunggal dalam urutan keluarga patrilinial. Mereka tetap merupakan sisa dari ahli waris bagi keseluruhan harta benda (teoritis) , yang akan menerima bagian setelah kelompok ahli waris lain mendapat bagiannya yang sudah ditentukan. Kelompok kedua ini di sebut “ Ashabul fara’id atau dzawil-furudl,” yaitu mereka-mereka yang oleh nabi Muhammad SAW ditetapkan berhak pula atas warisan. Suatu hal baru dalam masyarakat  (di waktu itu) , dalam kategori kedua ini, adalah dikukuhkannya hak waris bagi keturunan wanita.[5] Hubungan darah menjadi ukuran pokok dalam penentuan ahliwaris menurut kategori pertama, sedangkan hubungan angkat (adopsi) tidak mempunyai hukum apa-apa.[6] Termasuk di antara ketentuan  waris menurut islam, masalah adopsi ini tidak di pegang teguh di indonesia, di mana sering terjadi dan bahkan memeberikan akibat hukum yang penuh dengan hak-hak kewarisan kepada anak angkat.
Rumusan pembagian waris menurut islam, di sebut (FARA’IDL) jelas dan tepat. Seperdelapan untuk istri, seperenam untuk suami, kakek, ibu, nenek, saudara perempuan, dan kemanakan perempuan, anak perempuan berhak mendapatkan separo jika tidak ada laki-laki, sepertiga bila ada anak laki-laki, dan seterusnya. Semua harta benda waris di gabung dan dinilai uang, sehingga pembagian masing-masing dapa di lakukan dengan tepat sekali. Oleh karena ketentuan tentang pembagian waris di sebut dalam Al-Qur’an sendiri, maka dianggap sangat mewajibkan. Tetapi ketentuan di dalam Al-Qur’an itu tidak mencakup seluruh masalah hukum Waris dalam Islam. Dan di lengkapi oleh ketentuan yang di jelas kan oleh nabi Muhammad SAW.
B.     TEORI HUKUM WARIS ISLAM
Hukum waris Islam dalam bahasa Arab dinamakan ilmu Faraidh, yang berarti ilmu “pembagian”. Lebih jelasnya, Faraidh adalah : suatu ilmu yang menerangkan tata cara pembagian harta peninggalan dari seorang yang telah meninggal kepada para ahli warisnya.

A.    Sumber Hukum Waris Islam
1.      Al-Qur’an
2.      As-Sunnah
3.      Ijtihad
B.     Asas-asas Pewarisan dalam Hukum Islam
1.      Bagian warisan laki-laki dengan perempuan adalah 2 berbanding 1.
2.      Pembagian harta peninggalan bersifat individual, yaitu mengakui adanya hak milik perseorangan dan setiap ahli waris berhak atas bagian harta yang telah di tentukan.
3.      Pembagian harta peninggalan bersifat bilateral; artinya , pembagian ini berlaku kepada dua pihak (laki-laki dan perempuan).
4.      Bagian harta dari masing-masing ahli waris selalu berubah sesuai dengan keberadaan ahli waris lainya.
C.     Unsur-unsur Hukum Waris Islam
1.      Rukun terjadinya warisan:
a.       Pewaris
b.      Ahli waris
c.       Tirkah (harta peninggalan)
2.      Syarat-syarat terjadinya warisan :
a.       Pewaris benar-benar meninggal
b.      Ahli waris masih hidup pada waktu pewaris meninggal
c.       Ilmu pengetahuan tentang Fara’idh atau HWI
(catatan:  Nomor 1 dan 2 bersifat kumulatif)
3.      Seba-sebab terjadinya warisan:
a.       Nikah
b.      Keturunan
c.       Wala’ atau kemerdekaan hamba.
4.      Terhalang untuk saling mewarisi dapat terjadi karena:
a.       Berbeda agama.
b.      Membunuh dan memfitnah
c.       Menjadi budak orang lain.
( Catatan: Nomor 3 dan 4 bersifdat alternatif)
5.      Hal-hal yang berhubungan dengan harta peninggalan:
a.       Kewajiban yang melekat seperti: zakat, jaminan.
b.      Biaya penyelenggaraan jenazah.
c.       Membayar hutang
d.      Membayar wasiat (maksimum 1/3bagian.)
e.       Pembagian kepada ahli waris

C.    PERBANDINGAN HUKUM WARIS ISLAM, BARAT DAN ADAT.

1.      Hukum Waris Barat
a.       Sumber hukum: KUHPerdata.[7]
b.      Sistem kewarisan: bilateral, individual.
c.       Terjadinya pewarisan karena:
i.                    Menurut UU:
1.      Adanya hubungan darah
2.      Adanya perkawinan
ii.                  Karena di tunjuk (testamentair)
d.      Berbeda agama mendapat warisan.
e.       Sistem golongan ahli waris: I, II, III, IV.
f.       Ahli waris mempunyai tanggung jawab kebendaan (utang, pinjaman)
g.      Bagi laki-laki dan perempuan adalah sama.
h.      Sebagian ahli waris bagian nya tertentu (pasal 584 KUHPerdata)
i.        Anak/Suami/Istri (golongan I) menutup orangtua (golongan II).
j.        Anak angkat mendapat warisan.
k.      Wasiat dibatasi oleh laki-laki dan wanita (bagian mutlak).
l.        Jenis harta dalam perkawinan:
i.                    Harta campur
ii.                  Harta pisah
iii.                Perjanjian kawin ( untung rugi, hasil pendapatan dan lain-lain)

2.      Hukum Waris Islam
                  a.  Sumber hukum: Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijtihad
                  b.  Sistem Kewarisan: bilateral, individual.
                  c.  Terjadinya perwarisan karena:
                        i. Adanya hubungan darah
                        ii. Adanya perkawinan
d.      Berbeda agama tidak mendapat warisan.
e.       Tidak ada golongan ahli waris tetapi ada sistem hijab.
f.       Ahli waris hanya bertanggung jawab sampai batas harta peninggalan.
g.      Bagian anak laki-laki dan anak perempuan adalah 2 berbanding 1.
h.      Bagian ahli waris tertentu: ½, 1/4, 1/3, 2/3, 1/6/ 1/8.
i.        Anak (cucu) dan orang tua tidak saling menutup.
j.        Wasiat maksimum 1/3 dari harta peninggalan (kecuali ahli waris setuju)
k.      Jenis harta dalam perkawinan:
i.                    Harta bawaan
ii.                  Harta campur

3.      Hukum Waris Adat

a.       Sumber hukum:
i.                    Adat atau kebiasaan
ii.                  Yurisprudensi
b.      Sistem kewarisan, bervariasi: bilateral, patrilineal, matrilineal, mayorat.
c.       Terjadinya perwarisan karena:
i.                    Adanya hubungan darah
ii.                  Adanya perkawinan
iii.                Adanya pengangkatan anak
d.      Berbeda agama mendapat warisan
e.       Ahli waris hanya bertanggung jawab sampai batas harta peninggalan.
f.       Bagian laki-laki dan bagian perempuan adalah sama.
g.      Tidak ada bagian tertentu
h.      Anak angkat dapat warisan
i.        Wasiat di batasi jangan sampai mengganggu kehidupan anak.


j.        Jenis harta dalam perkawinan:

i.                    Harta bawaan.
ii.                  Harta gono-gini atau harta pencarian atau harta bersama.


D.    KEISTIMEWAAN HUKUM WARIS ISLAM

1.      Universal: dapat diterima setiap lapisan masyarakat.
2.      Ijbari: berlaku menurut ketetapan Allah dan Rasul. Allah Swt. Menjanjikan syurga untuk orang yang melaksanakan HWI dan mengancam dengan neraka untuk orang yang tidak melaksanakannya (QS. 4:13-14.)
3.      Bilateral: ahli waris dari pihak ibu dan bapak.
4.      Hak berimbang: sesuai dengan hak dan kewajiban.
5.      Individual: mengakui hak pribadi.
6.      Menghormati hak orang tua dan istri.
7.      Memiliki keunggulan komparatif daripada hukum waris barat dan adat. [8]

E.     DAFTAR PUSTAKA

Arief , S. (2008). Praktik Pembagian Harta Peninggalan berdasarkan Hukum Waris Islam, Darunnajah Publishing. Jakarta, 289 hal.
Daniel.S. Lev. (1980) .Peradilan Agama di Indonesia. PT, Intermasa, jakarta
Subekti.R dan Tjitrosudibio (1914) .Burgerlijk Wetboek. PT. Pradnya paramita, Jakarta.



[1] . Tim penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,.ed.3 . balai pustaka,jakarta, 2001, 1386 hlm.
[2] . Munawwir,ahmad warson. Kamus Al Munawwir, pustaka progressif, surabaya, 1997, 1634 hlm.
[3] . Saefudin Arif, Praktik Pembagian Harta Peninggalan Berdasarkan Hukum Waris Islam, Darunnajah publishing, jakarta selatan, 289 hlm.
[4] . Daniel S.lev. ‘’ Mahkamah Agung dan Hukum Waris Adat di Indonesia’’  PT. Intermasa, jakarta, 1980.
[5] . Tentang kedudukan wanita dalam hukum waris islam, periksa  A.A. Fyzet  The Fatamid Law of Inheritance” (Hukum waris Fatimiyah) UNIVERSITY OH MALAYA LAW REVIEW I (1965/2).
[6] . Tentang asal usul hukum waris islam  yang menyangkut anak angkat , periksa eun Levy, THE SOCIAL STRUCTURE OF ISLAM ( Susunan sosial dalam islam) Cambridge : University Press,  1962) , pp. 147-149.
[7] Subekti R dan Tjitrosidibio R, “KITAB UNDANG UNDANG HUKUM PERDATA” PT. ARGA PRINTING, jakarta. 577 Hal.
[8] . arif saefudin, ‘’PRAKTIK PEMBAGIAN HARTA PENINGGALAN BERDASARKAN HUKUM WARIS ISLAM’’ Darunnajah publishing, jakarta elatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar