Selasa, 01 Mei 2012

DINAMIKA LEGISLASI HUKUM ISLAM DI MASA ORDE BARU

A.    Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan
Indonesia merupakan negara yang jumlah mayoritas penduduknya beragama Islam, namun konstitusi negaranya tidak menyatakan diri sebagai negara Islam tetapi sebagai negara yang mengakui otoritas agama dalam membangun karakter bangsa. Sehingga Indonesia mengakomodir hukum-hukum agama sebagai sumber legislasi nasional, selain Hukum Adat, dan Hukum Barat.
Indonesia bila merujuk identifikasi tipologi pembaharuan hukum Islam merupakan tipologi yang ketiga, sebab menempuh jalan kompromi antara syariah dan hukum sekuler. Hukum keluarga di Indonesia dalam upaya perumusannya selain mengacu pada kitab-kitab fikih klasik, fikih modern, himpunan fatwa, keputusan pengadilan (yurisprudensi), juga ditempuh wawancara kepada seluruh ulama Indonesia. Pengambilan terhadap Hukum Barat sekuler memang tidak secara langsung dapat dibuktikan, tetapi karena di Indonesia berjalan cukup lama Hukum Perdata (Burgelijk Wetbook) yang diterjemahkan menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Hukum Acara Perdata (Reglemen Indonesia yang diperpaharui) warisan Belanda, dan hukum-hukum lain, berdasarkan asas konkordansi, adanya pengaruh hukum Barat yang tidak bisa dinafikan begitu saja. Seperti halnya bidang pencatatan dalam perkawinan, kewarisan, perwakafan, wasiat dan sebagainya.
Persoalan pencatatan dalam fikih klasik bukan menjadi sesuatu yang signifikan bila dibandingkan dengan tolok ukur kehidupan modern saat ini, akan tetapi bila idea moral mengacu kepada semangat al Qur’an sangat jelas sekali bahwa al Quran secara langsung memerintahkan perlunya sistem administrasi yang rapi dalam urusan hutang piutang maupun transaksi perjanjian, sehingga masalah yang berhubungan dengan perbuatan hukum seseorang seperti perkawinan, kewarisan, perwakafan yang mempunyai akibat hukum lebih kompleks, pencatatan mempunyai peran yang lebih penting.
Kelahiran Undang-undang perkawinan telah mengalami rentetan sejarah yang cukup panjang. Bermula dari kesadaran kaum perempuan Islam akan hak-haknya yang merasa dikebiri oleh dominasi pemahaman fikih klasik atau konvensional yang telah mendapat pengakuan hukum,[1] kemudian mereka merefleksikan hal tersebut dalam pertemuan-pertemuan yang kelak menjadi embrio lahirnya Undang-Undang Perkawinan. Arso Sosroatmojo mencatat bahwa pada rentang waktu 1928 kongres perempuan Indonesia telah mengadakan forum yang membahas tentang keburukan-keburukan yang terjadi dalam perkawinan di kalangan umat Islam.[2] Kemudian hal tersebut juga pernah dibicarakan pada dewan rakyat (volksraad).
Kemudian pada akhir tahun 1950 dengan suratkeputusan Menteri Agama No. B/2/4299 tertanggal 1 Oktober 1950 dibentuklan Panitia Penyelidik Peraturan dan Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk bagi umat Islam.[3] Sementara itu berbagai organisasi terus menerus mendesak kepada Pemerintah dan DPR agar supaya secepat mungkin merampungkan penggarapan mengenai Rancangan Undang-undang (RUU) yang masuk DPR. Organisasi-organisasi tersebut antara lain Musyawarah Pekerja Sosial (1960), Musyawarah Kesejahteraan Keluarga (1960), Konperensi Badan Penasihat Perkawinan, Perselisihan dan Perceraian (BP4) Pusat dan Seminar Hukum oleh Persatuan Sarjana Hukum Indonesia (PERSAHI, 1963).
Umat Islam waktu itu mendesak DPR agar secepatnya mengundangkan RUU tentang Pokok-Pokok Perkawinan bagi umat Islam, namun usaha tersebut menurut Arso Sosroatmodjo tidak berhasil. Kemudian setelah usaha umat Islam untuk memperjuangkan RUU tentang Pokok-Pokok Perkawinan Umat Islam tersebut tidak berhasil, kemudian DPR hasil pemilihan umum tahun 1971 mengembalikan RUU tersebut ke pemerintah. Segala upaya telah dikerahkan untuk menghasilkan undang-undang perkawinan yang sesuai untuk umat Islam. Arso mencatat bahwa pada rentang waktu tahun 1972/1973 berbagai organisasi gabungan terus memperjuangkan lahirnya undang-undang tersebut.
Simposium Ikatan Sarjana Wanita Indonesia (ISWI) pada tanggal 1972  menyarankan agar supaya PP ISWI memperjuangkan tentang Undang-Undang Perkawinan. Kemudian Badan Musyawarah Organisasi-Organisasi Wanita Islam Indonesia pada tanggal 22 Februari 1972 salah satunya menghasilkan keputusan untuk mendesak pemerintah agar mengajukan kembali RUU tentang Pokok-Pokok Perkawinan Umat Islam dan RUU tentang Ketentuan Pokok-Pokok Perkawinan.[4] Selanjutnya organisasi Mahasiswa yang ikut ambil bagian dalam perjuangan RUU Perkawinan Umat Islam yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang telah mengadakan diskusi panel pada tanggal 11 Februari 1973.
Akhirnya, setelah bekerja keras, pemerintah dapat menyiapkan sebuah RUU baru, dan tanggal 31 Juli 1973 dengan No. R. 02/PU/VII/1973, pemerintah menyampaikan RUU tentang Perkawinan yang baru kepada DPR, yang terdiri dari 15 (limabelas) bab dan 73 (tujuh puluh tiga) pasal.[5] RUU ini mempunyai tiga tujuan. Pertama, memberikan kepastian hukum bagi masalah-masalah perkawinan, sebab sebelum adanya undang-undang, perkawinan hanya bersifat judge made law. Kedua, untuk melindungi hak-hak kaum wanita, dan sekaligus memenuhi keinginan dan harapan kaum wanita. Ketiga, menciptakan Undang-undang yang sesuai dengan tuntutan zaman.[6]
Keterangan Pemerintah tentang Rancangan Undang-undang tersebut disampaikan oleh Menteri Kehakiman pada tanggal 30 Agustus 1973. Pemandangan umum serta keterangan Pemerintah diberikan oleh wakil-wakil Fraksi pada tanggal 17 dan 18 September 1973, yakni dari Fraksi ABRI, Karya Pembangunan, PDI dan Persatuan Pembangunan. Di samping itu, banyak masyarakat yang menyampaikan saran dan usul kepada DPR. Usul tersebut disampaikan berdasarkan adanya anggapan bahwa ada beberapa pasal dalam RUU tentang perkawinan yang diajukan ke DPRRIitu tidak sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesiayang agamis dan bertentangan dengan norma agama yang dianut.
Menurut Hasan Kamal, setidaknya tedapat 11 pasal yang bertentangan dengan ajaran Islam (fiqih munakahat), yaitu Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 ayat (2), Pasal 7 ayat (1), Pasal 8 huruf c, Pasal 10 ayat (2), Pasal 11 ayat (2), Pasal 12, Pasal 13 ayat (1) dan (2), Pasal 37, Pasal 46 ayat (c) dan (d), Pasal 62 ayat (2) dan (6).
Kemudian pada tanggal 17-18 September diadakan forum pandangan umum oleh wakil-wakil fraksi atas RUU tentang Perkawinan. Jawaban dari pemerintah diberikan Menteri Agama pada tanggal 27 September 1973.( Adapun fraksi-fraksi yang terlibat yaitu Fraksi ABRI, Karya Pembangunan, PDI dan Fraksi Persatuan Pembangunan)  Pada intinya pemerintah mengajak DPR untuk secara bersama bisa memecahkan kebuntuan terkait dengan RUU Perkawinan tersebut.[7]
Secara bersamaan, untuk memecahkan kebuntuan antara pemerintah dan DPR diadakan lobi-lobi antara fraksi-fraksi dengan pemerintah. Antara fraksi ABRI dan Fraksi PPP dicapai suatu kesepakatan antara lain:
  1. Hukum agama Islam dalam perkawinan tidak akan dikurangi atau ditambah.
  2. Sebagai konsekuensi dari poin pertama itu, maka hal-hal yang telah ada dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1964 dan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tetap dijamin kelangsungannya dan tidak akan diadakan perubahan.
  3. Hal-hal yang bertentangan dengan agama Islam dan tidak mungkin disesuaikan dengan undang-undang perkawinan yang sedang dibahas di DPR segera akan dihilangkan.
Adapun hasil akhir undang-undang perkawinan yang disahkan DPR terdiri dari 14 (empat belas) bab yang dibagi dalam 67 (enam puluh tujuh) pasal, seperti dicatat sebelumnya.[17] Sedang rancangan semula yang diajukan pemerintah ke DPR yaitu terdiri dari 73 pasal.
  1. Prinsip dan Asas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Segala peraturan perundang-undangan secara normatifitas pada biasanya disandarkan kepada kaidah atau asas hukum tertentu. Begitu juga dengan Undang-Undang Perkawinan, secara kesuluruhan memiliki asas hukum tersendiri yang tidak dimiliki oleh undang-undang pada umumnya. Asas hukum dalam suatu norma hukum mengandaikan adanya suatu tujuan yang akan diciptakan oleh pembuat hukum atau undang-undang tersebut.
Dalam hukum positif adakalanya bahwa asas-asas hukum suatu norma hukum disebutkan secara eksplisit, namun adakalanya tidak disebutkan. Menurut hemat penyusun ketentuan Pasal 30-34 tentang hak dan kewajiban suami isteri dalam UU Nomor 1 Tahun 1974, termasuk norma hukum yang secara eksplisit menyebutkan asas hukumnya.
Mengenai prinsip dan asas hukum, tidak semua ahli hukum menggunakan dua kata tersebut untuk satu maksud atau tujuan. Misalnya tidak menggunakan kata prinsip untuk maksud menjelaskan azas. Namun pada biasanya kebanyakan ahli hukum menggunakan dua kata tersebut secara bergantian untuk menjelaskan azas. Dalam skripsi ini asas hukum yang sudah ada dimaksudkan untuk menentukan tujuan ketentuan-ketentuan yang titeliti (Pasal 30-34 Undang-Perkawinan).
Namun secara keseluruhan, di bawah ini dikemukakan asas hukum Undang-Undang Perkawinan menurut C.S.T. Cansil:
  1. Tujuan Perkawinan
Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material.
  1. Sahnya Perkawinan
Perkawinan dianggap sah kalau dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, dan selanjutnya dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tata cara pencatatan perkawinan sama dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting kehidupan seseorang lainnya. Seperti kelahiran, kematian dan lain-lain.
  1. Asas Monogami
Undang-undang perkawinan menganut asas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang isteri. Meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, akan tetapi hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan.
  1. Prinsip Perkawinan
Menurut C.S.T. Cansil undang-undang perkawinan menganut prinsip, bahwa calon suami isteri harus masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Oleh karena itu tidak dibenarkan adanya perkawinan antara calon suami isteri yang masih di bawah umur. Di samping itu menurut Cansil perkawinan berhubungan dengan kependudukan. Menurutnya perkawinan di bawah umur bagi seorang wanita akan mengakibatkan laju kelahiran meningkat.
  1. Mempersukar Terjadinya Perceraian
Berjalan linier dengan tujuan perkawinan, maka undang-undang perkawinan menganut asas untuk mempersukar terjadinya perceraian. Perceraian dibenarkan oleh karena alasan-alasan yang dibenarkan oleh undang-undang serta dilakukan di depan sidang pengadilan.
  1. Hak dan Kedudukan Isteri
Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian menurut Cansil segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami dan isteri.
Berbeda dengan C.S.T. Cansil, Abdul Manan menjelaskan bahwa asas-asas perkawinan yang dimuat dalam Undang-undang Perkawinan yaitu ada 6 (enam). Keenam asas tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Asas Sukarela
  2. Asas Partisipasi Keluarga
  3. Perceraian Dipersulit
  4. Poligami Dibatasi dengan Ketat
  5. Kematangan Calon Mempelai
  6. Memperbaiki Derajat Kaum Wanita
Sedangkan menurut Yahya Harahap, prinsip-prinsip perkawinan yang terkandung dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974 adalah sebagai berikut:
  1. Menampung segala kenyataan-kenyataan yang hidup dalam masyarakat bangsaIndonesiadewasa ini.
  2. Sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman.
  3. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga bahagia yang kekal.
  4. Kesadaran akan hukum agama dan keyakinan masing-masing warga Negara bangsaIndonesiayaitu prekawinan harus dilakukan berdasarkan hukum agama dan kepercayaan masing-masing.
  5. Undang-undang menganut azas monogamy akan tetapi tetap terbuka peluang untuk melakukan poligami selama hukum agamanya mengizinkannya.
  6. Perkawinan dan pembentukan keluarga dilakukan oleh pribadi-pribadi yang telah matang jiwa dan raganya.
  7. Kedudukan suami isteri dalam kehidupan keluarga adalah seimbang, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan bermasyarakat.
  1. Hak dan Kewajiban Suami Isteri Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Wacana kesetaraan antara laki-laki dan perempuan yang paling tegas bisa dilihat dalam Pasal 30-34 yang mengatur tentang hak dan kewajiban suami isteri dalam keluarga. Pasal inilah yang banyak mendapat sorotan tajam dari banyak kalangan dan organisasi. Pasal ini pula yang menjadi model dan percontohan pasal-pasal yang lainnya tentang relasi setara suami isteri. Banyak analis tentang kesetaraan yang membahas kesetaraan antara laki-laki dan perempuan berangkat dari ketentuan dalam pasal tersebut.
Secara khusus ketentuan yang mengatur tentang hak dan kewajiban suami isteri dalam Undang-undang Perkawinan terdapat dalam Bab VI mulai pasal 30 sampai Pasal 34. Namun secara umum, pasal yang berkaitan dengan hak dan kewajiban suami isteri tersebar di banyak pasal, seperti Pasal 23 khususnya huruf (b), Pasal 24, 26 khususnya ayat (2). Secara keseluruhan dalam pasal-pasal ini diatur tentang hak mengajukan gugatan pembatalan perkawinan bagi pihak suami atau isteri.
Kemudian dalam Pasal  27 ayat (1) dan ayat (2) diatur tentang bolehnya mengajukan permohonan pembatalan perkawinan bagi suami dan isteri. Sedangkan dalam Pasal 29 ayat (1) dijelaskan perihal hak masing-masing untuk mengadakan perjanjian tertulis. Selanjutnya dalam Pasal 36 ayat (1) dan (2) dijelaskan bahwa suami dan isteri berhak untuk melalukan perbuatan hukum terhadap harta bersama miliknya.
Mengenai hak suami untuk menyangkal atas anak yang dilahirkan isterinya, terdapat dalam ketentuan Pasal 44 ayat (1). Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa suami berhak untuk menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya bilamana ia dapat membuktikan isterinya telah berzina dan anak itu akibat dari perzinahan tersebut.
Dapat dikatakan di sini bahwa ketentuan pasal-pasal yang mengatur tentang hak dak kewajiban antara suami isteri dalam keluarga maupun akibat dari adanya perkawinan tidak hanya terdapat pada Pasal 30-34, akan tetapi masih banyak dan tersebar di beberapa pasal, baik dalam pasal yang membahas tentang hak dan kewajiban sendiri, harta, anak, maupun dalam tema-tema yang lain.
Sementara itu ketentuan mengenai hak dan kewajiban suami isteri dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan sebaga berikut:
Pasal 30
Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat
Pasal 31
(1)    Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
(2)    Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum
(3)    Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga
Pasal 32
(1)   Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap
(2)   Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami isteri bersama.
Pasal 33
Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.
Pasal 34
(1)   Suami wajib melindungi isterinya dan memberi segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
(2)   Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
(3)   Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan.
Manurut Amiur Nuruddin bahwa undang-undang nomor 1 tahun 1974 memberikan ketentuan yang cukup jelas tentang hak dan kewajiban suami isteri dalam keluarga. Bahkan undang-undang tersebut menurut Yahya Harahap khususnya pada Pasal 31 ayat (1) merupakan spirit of the age dan merupakan hal yang wajar mendudukkan suasana harmonis dalam kehidupan keluarga.[36]
Dari ketentuan Pasal 30-34 Undang-undang Perkawinan di atas itu juga diperoleh ketentuan sebagai berikut:
  1. Hak dan kewajiban bersama antara suami dan isteri yang meliputi:
    1. Suami dan isteri bertanggungjawab untuk menegakkan kehidupan rumah tangga.
    2. Suami dan isteri memiliki kedudukan yang seimbang dalam rumah tangga dan dalam kehidupan bermasyarakat.
    3. Suami dan isteri memiliki hak yang sama untuk melakukan perbuatan hukum.
    4. Menyediakan tempat tinggal tetap.
    5. Saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.
  1. Kewajiban suami adalah memimpin rumah tangga.
Suami wajib melindungi isterinya dan memberi segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
  1. Sedangkan kewajiban isteri adalah mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya.
B.     Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989/ UU No 3 tahun 2006 Tentang Peradilan Agama
  1. Dinamika Legislasi
Dalam era reformasi hingga saat ini, telah terjadi tiga kali perubahan terhadap pasal-pasal dalam UUD 1945. Salah satu perubahannya terdapat pada Pasal 24 ayat (2) dinyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berada di bawahnya, dalam lingkungan Peradilan Umum, Agama, Militer, Tata Usaha Negara, dan sebuah Mahkamah Konstitusi. Pasal ini sangat jelas mengamanatkan untuk menyatukan semua lembaga peradilan di bawah satu atap Mahkamah Agung.
Perubahan UUD 1945 ini mengharuskan adanya perombakan dan perubahan terhadap Kekuasaan Kehakiman untuk disesuaikan dengan UUD 1945. Perubahan tersebut dimulai dengan diubahnya UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dengan UU No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1970 yang kemudian diganti dengan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Pasal 13 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dikatakan bahwa organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan diatur dalam undang-undang sesuai dengan kekhususan peradilan di lingkungan masing-masing. Pasal 14 ayat (1) UU No. 4 tersebut dikatakan, susunan, kekuasaan, dan hukum acara Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 diatur dengan undang-undang tersendiri. Sesuai dengan amanat Pasal 14 ayat (1) UU No. 4 tersebut, dibentuklah UU No. 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum dan UU No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan TUN, dan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Di samping perubahan-perubahan di tingkat konstruksi kekuasaan kehakiman, pada kenyataannya di kehidupan masyarakat, khususnya tingkat kesadaran beragama di kalangan umat Islam semakin meningkat untuk menjalankan ketentuan ajaran Islam dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara, terlebih tuntutan untuk mencari alternatif baru dari kegagalan sistem konvensional kepada sistem nilai yang religius. Salah satunya adalah bidang muamalah. Lembaga-lembaga ekonomi syari’ah tumbuh berkembang mulai dari lembaga perbankan syari’ah, asuransi syari’ah, pasar modal syari’ah, dan pegadaian syari’ah. Perkembanagan ini tentunya juga berdampak pada perkembangan sengketa atau konflik dalam pelaksanaannya. Selama ini apabila terjadi konflik dalam bidang ekonomi syari’ah harus melalui peradilan umum. Menyadari hal ini, dalam Undang-Undang No. 3 tahun 2006 atas perubahan UU No. 7 tahun 1989 maka ruang lingkup Peradilan Agama diperluas, ruang lingkup tugas dan wewenang Pengadilan Agama yaitu :
  • Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang :perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, shadaqah, dan ekonomi syariah;
  • Diberikan tugas dan wewenang penyelesaian sengketa hak milik atau keperdataan lainnya;
  • Diberi tugas dan wewenang memberikan itsbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun hijriyah. Selama ini Pengadilan Agama diminta oleh Menteri Agama untuk memberikan penetapan (itsbat) terhadap orang yang telah melihat atau menyaksikan awal bulan pada setiap memasuki bulan Ramadlan, awal bulan Syawal dan tahun baru Hijriyah dalam rangka Menteri Agama mengeluarkan penetapan secara nasional untuk rukyat Hilal.
Mekanisme pembentukkan Undang-Undang No.3 Tahun 2006 ini yakni diawali dengan DPR RI yang mengajukan Usul Inisiatif RUU tentang Perubahan Atas UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama melalui surat tertanggal 30 Juni 2005 kepada presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama. Pemerintah pun merespon positif atas prakarsa DPR RI tersebut. Begitu juga berbagai fraksi di DPR RI juga memandang perlunya perubahan terhadap undang-undang tersebut, sehingga dalam proses perumusan RUU ini hampir tidak menuai perbedaan mendasar dalam pembahasannya.
Setelah melalui proses pembahasan, DPR RI dan Pemerintah menyetujui bersama pada tanggal 21 Februari 2006. Kemudian pada tanggal 20 Maret 2006 diundangkan menjadi UU No.3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

  1. Karakteristik
Bila dicermati konfigurasi politik ketika terjadinya usul inisiatif atas perubahan UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, maka itu sesuai dengan iklim politik di era reformasi, sehingga hal ini dapat disebut sebagai konfigurasi demokratis dengan beberapa indikator penting yang dilakukan oleh pemerintah dan DPR, antara lain:
  1. Partai politik dari badan perwakilan rakyat berperan aktif dan ikut serta dalam menentukan hukum negara atau politik nasional, khususnya dalam bidang reformasi;
  2. Tumbuhnya supremasi rakyat diletakkan di atas kepentingan penguasa;
  3. Menjunjung tinggi pelaksanaan hukum, termasuk hukum agama yang dijamin dalam UUD 1945;
  4. Peran eksekutif menghormati kehendak rakyat dan melaksanakan kebijakan yang pro rakyat.
Dari segi karakter produk hukumnya, maka UU ini dikategorikan pada produk hukum responsif yang lahir dari konfigurasi politik yang demokratis, karena UU ini dapat mencerminkan aspirasi sebagian besar umat Islam dan rasa keadilan. Selain itu, UU ini merupakan perwujudan pemenuhan atas harapan masyarakat, seperti adanya perluasan absolut kompetensi pengadilan agama di bidang ekonomi syariah.
C.     INTRUKSI PRESIDEN No. 1 Tahun 1999 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI)
 Kompilasi adalah merupakan sebuah kumpulan dari berbagai pendirian dan pendapat hukum yang berkembang dalam dunia pemikiran yang sudah terseleksi dengan baik. Dengan menetapkan materinya dalam kompilasi, kita sudah menetapkan pilihan bahwa materi hukum tersebut itulah yang sudah dianggap terbaik. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia mengatur berbagai persoalan yang juga diatur oleh berbagai peraturan hukum yang bersifat umum. Kompilasi Hukum Islam Indonesia adalah juga Hukum Islam selain sebagai Hukum Islam. Oleh karena itu, masih menuntut pemahaman yang sejalan dengan konsep-konsep hukum Islam yang universal.
Sejumlah kajian dan penelitian menjelaskan bahwa Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengandung dalam dirinya berbagai potensi kritik. Kritik umumnya diarahkan selain pada eksistensi KHI juga pada substansi hukumnya yang dipandang tidak lagi memadai dalam menyelesaikan pelbagai problem keumatan yang cukup kompleks. Ini karena konstruksi KHI sejak awal kelahirannya telah membawa pelbagai kelemahan.
Hasil-hasil penelitian baik berupa tesis maupun disertasi menyatakan bahwa KHI memiliki kelemahan pokok justru pada rumusan visi dan misinya. Terang benderang, beberapa pasal di dalam KHI secara prinsipil berseberangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam yang universal, seperti prinsip persamaan (al-musâwah), persaudaraan (al-ikhâ`), dan keadilan (al-`adl), serta gagasan dasar bagi pembentukan masyarakat madani, seperti pluralisme, kesetaraan gender, HAM, demokrasi, dan egalitarianisme.
Di samping itu juga disinyalir oleh para pakar hukum, di dalam KHI terdapat sejumlah ketentuan yang tidak lagi sesuai dengan hukum-hukum nasional dan konvensi internasional yang telah disepakati bersama. Belum lagi kalau ditelaah dari sudut metodologi, corak hukum KHI masih mengesankan replika hukum dari produk fikih jerih payah ulama zaman lampau di seberang sana. Konstruksi hukum KHI belum dikerangkakan sepenuhnya dalam sudut pandang masyarakat Islam Indonesia, melainkan lebih mencerminkan penyesuaian-penyesuaian dari fikih Timur Tengah dan dunia Arab lainnya.
KHI yang diharapkan adalah seperangkat ketentuan hukum Islam yang senantiasa menjadi rujukan dasar bagi terciptanya masyarakat berkeadilan, yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan, menghargai hak-hak kaum perempuan, meratanya nuansa kerahmatan dan kebijaksanaan, serta terwujudnya kemaslahatan bagi seluruh umat manusia. Semua ketentuan tersebut hendak digali dan dirumuskan dari sumber-sumber Islam yang otoritatif, al-Qur’ân dan al-Sunnah, melalui pengkajian terhadap kebutuhan, pengalaman, dan ketentuan-ketentuan yang hidup dalam masyarakat Indonesia, khazanah intelektual klasik Islam, dan pengalaman peradaban masyarakat Muslim dan Barat di belahan dunia yang lain.
Perumusan Kompilasi Hukum Islam secara substansial dilakukan dengan mengacu kepada sumber hukum Islam, yakni al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, dan secara hirarki mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Di samping itu, para perumus KHI memperhatikan perkembangan yang berlaku secara global serta memperhatikan tatanan hukum Barat tertulis (terutama hukum Eropa Kontinental) dan tatanan hukum adat, yang memiliki titik temu dengan tatanan hukum Islam. Berkenaan dengan hal itu, dalam beberapa hal, maka terjadi adaptasi dan modifikasi tatanan hukum lainnya itu ke dalam KHI. Dengan demikian, KHI merupakan suatu perwujudan hukum Islam yang khas di Indonesia.
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menganut berbagai sistem hukum, yaitu sistem hukum adat, sistem hukum Islam, dan sistem hukum eks barat. Ketiga sistem hukum dimaksud, berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia sebelum Indonesia merdeka. Namun demikian, sesudah Indonesia merdeka ketiga sistem dimaksud, akan menjadi bahan baku dalam pembentukan sistem hukum nasional di Indonesia[8][14]. Negara Indonesia merupakan negara yang plural (majemuk). Kemajemukan Indonesia ini ditandai dengan adanya berbagai agama yang dianut oleh penduduk, suku bangsa, golongan, dan ras.
Hukum Islam adalah hukum yang dibangun berdasarkan pemahaman manusia atas nash al-Qur’an maupun As-Sunnah untuk mengatur kehidupan manusia yang berlaku secara universal-relevan pada setiap zaman (waktu) dan Makan (ruang) manusia. Keuniversalan hukum Islam ini sebagai kelanjutan langsung dari hakekat Islam sebagai agama universal, yakni agama yang substansi – substansi ajaran-Nya tidak dibatasi oleh ruang dan waktu manusia, melainkan berlaku bagi semua orang Islam di mana pun, kapan pun, dan kebangsaan apa pun
T.M. Hasbi Ash-Shidieqy mengutip pendapat Syeikh Mahmud Syaltut, bahwa syari’at atau hukum islam adalah hukum-hukum dan tata aturan yang ditetapkan Allah buat hamba-Nya untuk diikuti dan dilaksanakan dalam hubungannya dengan Allah dan hubungan manusia sesamanya yang bersumber dari Al-Qur’an dan Rasul-Nya, Ijma’ sahabat dan Ijtihad dengan perantara qias, qarienah, tanda-tanda dan dalil-dalil.
Penetapan hukum Islam mempunyai herarki, yaitu yang paling utama merujuk Al-Qur’an, kemudian Sunnah, Ijma dan Qiyas. Dalam konteks hukum modern pun herarki yang paling puncak adalah berdasarkan ketuhanan. Hal ini diungkapkan oleh Thomas Aquinas, Thomas Aquinas menentukan posisi hukum kodrat dalam struktur hirarki hukum. Pertama, Puncak dari herarki adalah hukum abadi, yaitu pengaturan rasional atas segala sesuatu di mana Tuhan yang menjadi penguasa alam semesta. Kedua, di bawah hukum abadi adalah hukum kodrat, tidak lain adalah partisipasi makhluk rasional di dalam hukum abadi. Ketiga, di bawah kodrat adalah hukum positif atau hukum buatan manusia.
Pengembangan hukum Islam, disamping dilandasi oleh epistemologisnya yang kokoh juga perlu memformulasikan dan merekonstruksi basis teorinya. Basis teori hukum Islam sebagaimana dibahas oleh para ahli teori hukum islam terdahulu, bahwa salah satu persyaratan penting mujtahid dalam melakukan ijtihadnya adalah keharusan mengetahui tujuan ditetapkannya hukum dalam Islam. Pernyataan ini untuk pertama kalinya dikemukakan oleh Abd al-Malik al-Juwani, dilanjutkan oleh Abu Hamid al-Gazali, diteruskan oleh Izzuddin ibn Abd al-Salam.
Basis teori ini secara sistematis dan rinci dikembangkan oleh Abu Ishaq al-Syatibi dan dileberalisasikan oleh Najamuddin at-Tufi. Kajian utama dalam teori maqasid al-syari’ah adalah mengenai tujuan hukum islam yang diwujudkan dalam bentuk kemaslahatan umat manusia baik di dunia maupun di akhirat[9][15]. Oleh karena itu, formulasi dan rekonstruksi peraturan perundang-undangan, tawaran teoritis dan metode ijtihad apapun dalam menyelesaikan persoalan-persoalan hukum islam harus mengacu pada terwujudnya kemaslahatan tersebut. Tentu yang dimaksud dengan persoalan hukum dalam hubungan ini adalah persoalan-persoalan hukum kontemporer yang menyangkut bidang mu’amalah.
Penerapan hukum Islam di Indonesia, dalam proses pengambilan keputusan di pengadilan itu selalu menjadi masalah. Selain itu, dari aspek kemajemukan masyarakat bangsa, hukum yang berlaku juga sebaiknya menganut sistem hukum nasional yang bersifat majemuk (pluralistic). Secara teoritik orang selalu mengaitkan berlakunya hukum dengan kekuasaan terutama sekali kekuasaan negara. Indonesia bukannya sebuah negara Islam tetapi sebuah negara nasional yang tidak memberi tempat pada umat Islam untuk melaksanakan hukum Islam, tetapi juga pada umat-umat agama yang lain.
Hukum Islam menempati posisi sangat strategis bukan saja bagi umat islam indonesia tetapi bagi dunai Islam pada umumnya dan sekaligus juga menempati posisi strategis dalam sistem hukum Indonesia, untuk dapat berlakunya hukum Islam di Indonesia dalam bingkai sistem hukum nasional diperlukan hukum yang jelas dan dilaksnakan baik oleh para aparat penegak hukum ataupun oleh masyarakat. Untuk itu munculah gagasan dasar Kompilasi Hukum Islam (bingkai sistem hukum nasional) untuk menjembatani penerapan hukum Islam di Indonesia.
Penerapan hukum Islam di Indonesia masih menjadi pro dan kontra di masyarakat. Pasca-orde baru, polemik seputar posisi syari’alt Islam dalam bingkai hukum negara modern lebih diwarnai dua pendekatan ekstrem. Di satu sisi, mereka yang menghendaki penerapan total syari’at lewat jalur negara.
Untuk mendeskripsikan polemik tentang penerapan hukum Islam di indonesia dalam bingkai hukum negara modern bisa digambarkan dengan Perspektif Etika Politik dan Pemerintahan. Penerapan hukum islam (kompilasi Hukum Islam) dalam perspektif etika politik dan pemerintahan dilihat dari tiga aspek : Aspek Regulasi, Aspek Institusi (organisasi), dan Aspek Penegakan hukum (Law Enforcement).

Penetapan kebijakan hukum di Indonesia, pemerintahan telah menjadikan hukum Islam sebagai bagian dari hukum nasional. Tetapi persoalan kemudian muncul, yaitu bagaimana kita memahami serta melaksanakan hukum Islam dalam konteks hukum nasional atau memasukkan hukum Islam sebagai bagian dari hukum nasional. Permasalahan ini menyebabkan polarisasi tentang proses legislasi hukum Islam ada dua pendapat. Pendapat pertama, bahwa antara agama dan negara perlu ada pemishan secara tegas. Pendapat kedua, bahwa hukum Islam menjadi bagian dari hukum nasional baik simbol maupun substansi[10][16]. Akhir-akhir ini yang kemudian berhasil memunculkan UU tentang Perbankan Syari’ah.
Untuk melihat gambaran umum hukum islam sebagai bagian hukum nasional, dengan mengikuti proses perumusan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Untuk mendeskripsikan proses perumusan kompilasi hukum Islam, tidak terlepas pada latar belakang Kompilasi Hukum Islam, Landasan Yuridis dan Landasan Fungsional.
1.       Latar Belakang Kompilasi Hukum Islam.
Ide kompilasi hukum muncul sesudah beberapa tahun Mahkamah Agung membina bidang tekhnis yustisial Peradilan Agama. Tugas pembinaan dimaksud, didasari oleh Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pasal 11 ayat (1) undang-undang tersebut menyatakan bahwa organisasi, administrasi, dan keuangan pengadilan dilakukan oleh departemen masing-masing, sedangkan pembinaan teknis yustisial dilakukan oleh mahkamah Agung. Meskipun undang-undang tersebut ditetapkan tahun 1970, tetapi pelaksanaannya di lingkungan peradilan agama pada tahun 1983, yaitu sesudah pendatangan Suras Keputusan Bersama (SKB) Ketua Mahkamah Agung dengan menteri Agama RI No. 01, 02, 03, dan 04/SK/1-1983 dan No.1,2,3, dan 4 tahun 1983.
Keempat SKB dimaksud, adalah jalan pintas sambil menunggu keluarnya Undang-Undang tentang Susunan, Kekuasaan dan Acara pada Peradilan Agama yang menjadi peraturan pelaksanaan Undang-Undang No. 14 tahun 1970 bagi lingkungan Peradilan Agama yang pada saat itu masih sedang dalam proses penyusunan yang intensif (sekarang Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004). Sehinga sesuai dengan fungsi Mahkamah Agung RI terhadap jalannya peradilan di semua lingkungan peradilan agama perlu mengadakan Kompilasi Hukum Islam yang selama ini menjadikan hukum positif di Pengadilan Agama.
2. Landasan Yuridis.
Landasan yuridis mengenai perlunya hakim memperhatikan kesadaran hukum masyarakat adalah Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Pasal 28 ayat 1 yang berbunyi: ” Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Selain itu, Fikih Islam mengungkapkan kaidah:” Hukum Islam dapat berubah karena perubahan waktu, tempat, dan keadaan”. Keadaan masyarakat itu selalu berkembang karena menggunakan metode yang sangat memperhatikan rasa keadilan masyarakat. Diantara metode itu ialah maslahat mursalah, istihsan, istishab, dan urf.
3. Landasan fungsional.
Kompilasi Hukum Islam adalah fikih Indonesia karena ia disusun dengan memperhatikan kondisi kebutuhan hukum umat Islam Indonesia. Fikih Indonesia dimaksud adalah fikih yang telah dicetuskan oleh Hazairin dan T.M. Hasbi Ash-Shiddiqi. Fikih sebelumnya mempunyai tipe fikih lokal semacam fikih Hijazy, fikih Mishry, fikih Hindy, fikih lain-lain yang sangat mempehatikan kebutuhan dan kesadaran hukum masyarakat setempat. Ia mengarah kepada unifikasi mazhab dalam hukum islam. Oleh karena itu, di dalam sistem hukum di Indonesia ini merupakan bentuk terdekat dengan kodifikasi hukum yang menjadi arah pembangunan hukum nasional di Indonesia.








Daftar Pustaka
Arso Sosroatmodjo dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia (Jakarta: Bulan Bintang, 1978)
C.S.T. Cansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, cet. II (Jakarta: Balai Pustaka, 1989)
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dan Fikih, UU No1/1974 Sampai KHI), cet. I (Jakarta: Kencana, 2004)
Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia (dari Otoriter Konservatif menuju Konfigurasi Demokrasi-Responsif), Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000


[1] Tentang hal tersebut dijelaskan bahwa sebelum undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974 lahir, Muslim Indonesia menggunakan hukum Islam yang telah diresepsi ke dalam hukum Adat. Hukum islam yang telah diresepsi ke dalam hukum adat tersebut mendapat pengakuan dari Indische Staats Regeling (ISR) yang berlaku untuk tiga golongan. Padal Pasal 163 dijelaskan tentang perbedaan tiga golongan penduduk yang ditunjuk dalam ketentuan Pasal 163 tersebut. yaitu; a. Golongan Eropa (termasuk Jepang); b. Golongan pribumi (orang Indonesia) dan; c. Golongan Timur Asing. Dalam hal ini dikecualikan orang yang beragama Kristen. Bagi golongan pribumi yang beragama Islam berlaku hukum agama yang telah diresepsi ke dalam hukum adat. Pada umumnya bagi oaring-orang Indonesia asli yang beragama Islam jika melaksanakan perkawinan berlaku ijab Kabul antara mempelai pria dengan wali dari mempelai wanita, sebagaimana diatur dalam hukum Islam. Hal ini telah merupakan budaya hukum orang Indonesia yang beragama Islam hingga sekarang. Lihat Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agam, cet. I  (Bandung: Mandar Maju, 1990), hlm.4-5, bandingkan dengan C.S.T. Cansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, cet. II (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm. 224-225

[2] Keburukan-keburukan yang dimaksudkan yaitu antara lain: perkawinan kanak-kanak (anak di bawh umur), kawin paksa, poligami, talak sewenang-wenang dan lain-lain. Sementara menurut Khoiruddin Nasution respon perempuan Indonesia terhadap praktek perkawinan hukum Islam khususnya mengenai ketentuan hak dan kewajiban suami isteri disebabkan oleh ketentuan yang mengatur bahwa; a. suami berhak menahan isteri untuk tetap di rumah; b. bahwa isteri wajib patuh kepada suami; c. bahwa suami berhak memberikan pelajaran kepada isteri; d. bahwa isteri wajib memenuhi kebutuhan seks suami. Bandingkan antara Arso Sosroatmodjo dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hlm. 9 dan Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi Suami dan Isteri (Hukum Perkawinan I) Dilengkapi Dengan Perbandingan UU Negara Muslim (Yogyakarta: Academia+Tazzafa, 2004), hlm. 285
[3] . Kepanitiaan itu diketuai oleh Mr. Teuku Muhammad Hasan, setelah mengalami beberapa perubahan personalia, maka pada tanggal 1 April 1961 dibentuklah panitia baru yang diketuai oleh Mr. H. Moh. Noer Poerwosoetjipto. Arso Sosroatmojo dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, hlm. 9
[4] Tuntutan yang kedua dari Organisasi Islam Wanita Indonesia adalah menyarankan kepada segeap anggota DPR RI hasil Pemilu agar menempuh segala cara yang dimungkinkan oleh peraturan tata tertib DPR RI untuk melahirkan kedua RUU perkawinan yang diajukan pemerintah. Lihat Ibid., hlm. 24
[5] Bab-bab tersebut meliputi: Bab I tentang Dasar Perkawinan; Bab II tentang Syarat-syarat Perkawinan; Bab III tentang Pertunangan; Bab IV tentang Tatacara Perkawinan; Bab V tentang Batalnya Perkawinan; bab VI tentang Perjanjian Perkawinan; Bab VII tentang Hak dan Kewajiban suami isteri; Bab VIII tentang Harta benda dalam Perkawinan; Bab IX tentang Putusnya Perkawinan dan Akibatnya; Bab X tentang Kedudukan Anak; Bab XI tentang Hak dan Kewajiban antara Anak dan Orangtua; Bab XII tentang Perwalian; Bab XIII tentang Ketentuan-ketentuan Lain; Bab XIV tentang Ketentuan Peralihan; dan Bab XV tentang Keterangan Penutup.
[6] Tentang tujuan memenuhi harapan kaum wanita misalnya dapat tergambar dari Pidato Kenegaraan Presiden Suharto pada tanggal 16 Agustus 1973, di mana disinggung tentang munculnya desakan kaum wanita dan organisasi-organisasinya agar negara memiliki undang-undang yang mengatur tentang perkawinan. Dan tentang kemauan Indonesia untuk membuat undang-undang yang sesuai dengan tuntutan zaman hal itu telah dipenuhi oleh undang-undang perkawinan yang diundangkan pada 2 januari 1971. Kemodernan undang-undang tersebut diakui oleh Hilman, yakni sistem kekeluargaan yang bersifat keorangtuaan (parental) dan menyisihkan sisitem kekeluargaan patrilineal dan matrilineal. Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia…, hlm. 111

[7] Pemerintah meminta DPR untuk memusyawarahkan hal-hal yang belum kita temukan kesepakatan melalui musyawarah untuk mufakat. Apalagi hal-hal tersebut dianggap sangat erat hubungannya dengan keimanan dan ibadah, dimusyawarahkan untuk dapat dijadikan rumusan yang disepakati. Melihat keinginan dan kesediaan para anggota Dewan untuk memusyawarahkan rancanagan undang-undang tentang perkawinan ini dengan baik, kita samua yakin, Dewan bersama-sama Pemerintah akan mampu mengatasi segala perbedaan yang ada, dan akan menghasilkan Undang-undang Perkawinan Nasional yang dicita-citakan semua pihak.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar