Dalam perkara pidana,
penyelidikan dan penyidikan merupakan tindakan pertama untuk memproses perbuatan
pidana[1]
A. PENYELIDIKAN
KUHAP memberi definisi penyelidikan yaitu serangkaian tindakan
penyelidikan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai
tindak pidana guna menentukan dapat atau tindakannya dilakukan penyidikan
menurut cara yang diatur menurut undang-undang ini. Apakah maksudnya ini sama dengan reserse? Didalam organisasi
kepolisian justru istilah reserse ini dipakai. Tugasnya terutama tentang
penerimaan laporan dan pengaturan serta menyetop orang yang dicurigai untuk
diperiksa. Jadi , berarti penyelidikan ini tindakan untuk mendahului
penyidikan. Kalau dihubungkan dengan teori Hukum acara pidana seperti
dikemukakan olehVan Bemmelen dimuka (Bab I), maka penyelidikan ini maksudnya
ialah tahap pertama dalam tujuh tahap Hukum acara pidana, yang berarti mencari kebenaran.
B. PENYIDIKAN
Penyidikan
suatu istilah yang dimaksudkan sejajar dengan pengertian osporing (Belanda) dan investigation
(Inggris) atau penyiasatan atau
siasat Malaysia. KUHAP member
definisi penyidikan sebagai berikit:
‘’ Serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana
yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.’’
Dalam bahasa Belanda ini sama dengan osporing.
Menurut de Pinto, menyidik (osporing)
berarti ‘’pemeriksaan’’ permulaan oleh pejabat-pejabatyang untuk itu ditunjuk
oleh undang-undang segera setelah mereka
dengan jalan apa pun mendengar kabar yang sekedar beralasan, bahwa ada terjadi
sesuatu pelanggaran hukum.
Pengetahuan dan
pengertian penyidikan perlu dinyatakan dengan pasti dan jrlas, karena hal itu
langsung menyinggung dan membatasi hak-hak asasi manusia. Bagian-bagian hukum
acara pidana yana menyangkut penyidikan adalah :
1.
Ketentuan
tentang alat-alat penyidik.
2.
Ketentuan
tentang diketahui terjadinya delik.
3.
Pemeriksaan di
tempat kejadian.
4.
Pemanggilan
tersangka atau terdakwa.
5.
Penahanan
sementara.
6.
Penggeladahan.
7.
Pemeriksaan
atau interogasi.
8.
Berita acara
(penggeladahan, interogasi dan pemeriksaan di tempat).
9.
Penyitaan.
10.
Penyidikan
11.
Pelimpahan
perkara kepada penuntut umum dan pengembaliannya kepada penyidik untuk disempurnakan.
Yang tersebut pada butir 1 telah diuraikan di bab 5. Begitu pula
tentang penahanan, dan penggeledahan akan diuraikan di bab tersendiri. Jadi, di
sini akan di uraikan pertama tentang di ketahui terjadinya delik. [2]
C. PENANGKAPAN
Pasal
1 butir 20 KUHAP member definisi
penangkapan sebagai berikut: penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa
pengekangan kebebasan sementara waktu tersangka atau terdakwa apabila terdapat
cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan
dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.[3]
Kalau definisi ini dibandigkan
dengan bunyi pasal 16 yang mengatur tentang penangkapan, maka nyata tidak
cocok. Pasal 16 mengatakan:
1.
Untuk
kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik berwenang melakukan
penangkapan.
2.
Untuk
kepentingan penyidikan, penyidik, dan penyidik pembantu berwenang melakukan
penangkapan.
D. PENAHANAN
Penahanan
merupakan salah satu bentuk perampasan kemerdekaan bergerak seseorang. Jadi
terdapat disini pertentangan antara dua asas, yaitu hak bergerak seseorang yang
merupakan hak asasi manusia yang harus di hormati disitu pihak dan kepentingan
ketertiban umum dilain pihak yang harus diperhatikan untuk orang banyak atau
masyarakat dari perbuatan jahat tersangka.
Disinilah letak keistimewaannya Hukum acara pidana itu. Ia mempunyai
ketentuan-ketentuan yang menyingkirkan asas-asas yang diakui secara universal
yaitu hak-hak asasi manusia khususnya hak kebebasan untuk seseorang. Ketentuan
demikian terutama mengenai penahanan disamping yang lain seperti p;;embatasan
hak milik karena penyitaan, pembukaan rahasia surat (terutama dalam delik
korupsi dan subversi) dan lain-lain.
Oleh karena itu, penahanan seharusnya dilakukan jika perlu sekali.
Kekeliruan dalam penahanan dapat mengakibatkan hal-hal fatal bagi penahanan.
Dalam KUHAP diatur tentang ganti
rugi dalam pasal 95 disamping kemungkinan digugat pada praperadilan. Ganti rugi
dalam masalah salah menahan juga telah menjadi ketentuan universal.
Ketentuan tentang sahnya penahanan dicantumkan
dalam Pasal 21 ayat (4), sedangkan perlunya penahanan dalam ayat (1) pasal itu.
Di dalam Ned. Sv. Yang baru kedua ketentuan tersebut di atur dalam pasal yang
sama juga yaitu Pasal 64 ayat (1) mengatur tentang perlunya penahanan sedangkan
ayat (2) tentang sahnya penahanan. Hal ini berbeda, dengan HIR, di mana sahnya
penahanan di atur dalam Pasal 62 ayat (2), sedangkan perlunya penahana di atur
dalam Pasal 75 dan 83 c HIR.
Berbeda dengan ketentuan lama (yang sama dengan HIR dan KUHAP), maka Ned. Sv. yang baru
menentukan bahwa perlunya penahanan itu jika dikhawatirkan tersangka akan
melarikan diri dan kedua ialah ada alasan kuat bahwa keamanan masyarakat
menuntut agar diadakan penahanan segera. Persyaratan yang terakhir ini berbeda
dengan persyaratan dalam HIR (yang hampir sama dengan KUHAP). Dalam KUHAP
selain syarat ‘’adanya keadaan yang
menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri’’,
juga ‘’merusak atau menghilangkan barang
bukti dan atau mengulangi tindak pidana’’.
Menahan seseorang
berarti orang itu diduga keras telah melakukan salah satu delik tercantum dalam
Pasal 21 ayat (4) KUHAP. Menjadi pertanyaan sekarang ialah, apakah
penahanan dapat dilakukan demi untuk kepentingan keamanan tersangka sendiri.
Dalam praktek,
memang banyak terjadi yang demikian. Penulis dengar dari jaksa-jaksa yang
pernah bertugas di Aceh, bahwa di sana delik-delik yang menyangkut kesusilaan
sering tersangkanya di tahan misalnya mukah (overpel), padahal ancaman pidana
dalam pasal itu di bawah lima tahun dan Pasal 284 KUHP itu tidak disebut dalam
Pasal 62 ayat (2) HIR (sekarang Pasal 21 ayat (4) KUHAP). Jika tersangka di
luar tahanan dikhawatirkan keselamatan jiwanya.
Daftar Pustaka
Daftar Pustaka
Andi. Hamzah, HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA, Sapta Artha Jaya. Jakarta, 1996
Suharto, PANDUAN PRAKTIS BILA ANDA MENGHADAPI PERKARA PIDANA, Prestasi
Pustaka. Jakarta, 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar