Rabu, 02 Mei 2012

PENYELIDIKAN,PENYIDIKAN,PENANGKAPAN DAN PENAHANAN

Dalam perkara pidana, penyelidikan dan penyidikan merupakan tindakan pertama untuk memproses perbuatan pidana[1]
A. PENYELIDIKAN
KUHAP memberi definisi penyelidikan yaitu serangkaian tindakan penyelidikan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tindakannya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur menurut undang-undang ini. Apakah maksudnya ini sama dengan reserse? Didalam organisasi kepolisian justru istilah reserse ini dipakai. Tugasnya terutama tentang penerimaan laporan dan pengaturan serta menyetop orang yang dicurigai untuk diperiksa. Jadi , berarti penyelidikan ini tindakan untuk mendahului penyidikan. Kalau dihubungkan dengan teori Hukum acara pidana seperti dikemukakan olehVan Bemmelen dimuka (Bab I), maka penyelidikan ini maksudnya ialah tahap pertama dalam tujuh tahap Hukum acara pidana, yang berarti mencari kebenaran.

B.    PENYIDIKAN
       Penyidikan suatu istilah yang dimaksudkan sejajar dengan pengertian osporing (Belanda) dan investigation (Inggris) atau penyiasatan atau siasat Malaysia. KUHAP member definisi penyidikan sebagai berikit:
      ‘’ Serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.’’
         Dalam bahasa Belanda ini sama dengan osporing. Menurut de Pinto, menyidik (osporing) berarti ‘’pemeriksaan’’ permulaan oleh pejabat-pejabatyang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah  mereka dengan jalan apa pun mendengar kabar yang sekedar beralasan, bahwa ada terjadi sesuatu pelanggaran hukum.
        Pengetahuan dan pengertian penyidikan perlu dinyatakan dengan pasti dan jrlas, karena hal itu langsung menyinggung dan membatasi hak-hak asasi manusia. Bagian-bagian hukum acara pidana yana menyangkut penyidikan adalah :
1.      Ketentuan tentang alat-alat penyidik.
2.      Ketentuan tentang diketahui terjadinya delik.
3.      Pemeriksaan di tempat kejadian.
4.      Pemanggilan tersangka atau terdakwa.
5.      Penahanan sementara.
6.      Penggeladahan.
7.      Pemeriksaan atau interogasi.
8.      Berita acara (penggeladahan, interogasi dan pemeriksaan di tempat).
9.      Penyitaan.
10.  Penyidikan
11.  Pelimpahan perkara kepada penuntut umum dan pengembaliannya  kepada penyidik untuk disempurnakan.

Yang tersebut pada butir 1 telah diuraikan di bab 5. Begitu pula tentang penahanan, dan penggeledahan akan diuraikan di bab tersendiri. Jadi, di sini akan di uraikan pertama tentang di ketahui terjadinya delik. [2]

C. PENANGKAPAN
  Pasal 1 butir 20 KUHAP member definisi penangkapan sebagai berikut: penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan kebebasan sementara waktu tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.[3]
  Kalau definisi ini dibandigkan dengan bunyi pasal 16 yang mengatur tentang penangkapan, maka nyata tidak cocok. Pasal 16 mengatakan:
1.      Untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik berwenang melakukan penangkapan.
2.      Untuk kepentingan penyidikan, penyidik, dan penyidik pembantu berwenang melakukan penangkapan.




  D. PENAHANAN
                        Penahanan merupakan salah satu bentuk perampasan kemerdekaan bergerak seseorang. Jadi terdapat disini pertentangan antara dua asas, yaitu hak bergerak seseorang yang merupakan hak asasi manusia yang harus di hormati disitu pihak dan kepentingan ketertiban umum dilain pihak yang harus diperhatikan untuk orang banyak atau masyarakat dari perbuatan jahat tersangka.
                               Disinilah letak keistimewaannya Hukum acara pidana itu. Ia mempunyai ketentuan-ketentuan yang menyingkirkan asas-asas yang diakui secara universal yaitu hak-hak asasi manusia khususnya hak kebebasan untuk seseorang. Ketentuan demikian terutama mengenai penahanan disamping yang lain seperti p;;embatasan hak milik karena penyitaan, pembukaan rahasia surat (terutama dalam delik korupsi dan subversi) dan lain-lain.
                             Oleh karena itu, penahanan seharusnya dilakukan jika perlu sekali. Kekeliruan dalam penahanan dapat mengakibatkan hal-hal fatal bagi penahanan. Dalam KUHAP diatur tentang ganti rugi dalam pasal 95 disamping kemungkinan digugat pada praperadilan. Ganti rugi dalam masalah salah menahan juga telah menjadi ketentuan universal.
                         Ketentuan tentang sahnya penahanan dicantumkan dalam Pasal 21 ayat (4), sedangkan perlunya penahanan dalam ayat (1) pasal itu. Di dalam Ned. Sv. Yang baru kedua ketentuan tersebut di atur dalam pasal yang sama juga yaitu Pasal 64 ayat (1) mengatur tentang perlunya penahanan sedangkan ayat (2) tentang sahnya penahanan. Hal ini berbeda, dengan HIR, di mana sahnya penahanan di atur dalam Pasal 62 ayat (2), sedangkan perlunya penahana di atur dalam Pasal 75 dan 83 c HIR.
            Berbeda dengan ketentuan lama (yang sama dengan HIR dan KUHAP), maka Ned. Sv. yang baru menentukan bahwa perlunya penahanan itu jika dikhawatirkan tersangka akan melarikan diri dan kedua ialah ada alasan kuat bahwa keamanan masyarakat menuntut agar diadakan penahanan segera. Persyaratan yang terakhir ini berbeda dengan persyaratan dalam HIR (yang hampir sama dengan KUHAP). Dalam KUHAP selain syarat  ‘’adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri’’, juga  ‘’merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana’’.
            Menahan seseorang berarti orang itu diduga keras telah melakukan salah satu delik tercantum dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP.  Menjadi pertanyaan sekarang ialah, apakah penahanan dapat dilakukan demi untuk kepentingan keamanan tersangka sendiri.
            Dalam praktek, memang banyak terjadi yang demikian. Penulis dengar dari jaksa-jaksa yang pernah bertugas di Aceh, bahwa di sana delik-delik yang menyangkut kesusilaan sering tersangkanya di tahan misalnya mukah (overpel), padahal ancaman pidana dalam pasal itu di bawah lima tahun dan Pasal 284 KUHP  itu tidak disebut dalam Pasal 62 ayat (2) HIR (sekarang Pasal 21 ayat (4) KUHAP).  Jika tersangka di luar tahanan dikhawatirkan keselamatan jiwanya.
 Daftar Pustaka
Andi. Hamzah, HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA, Sapta Artha Jaya. Jakarta, 1996
Suharto, PANDUAN PRAKTIS BILA ANDA MENGHADAPI PERKARA PIDANA, Prestasi Pustaka. Jakarta, 2010


[1] . Suharto, PANDUAN PRAKTIS BILA ANDA MENGHADAPI PERKARA PIDANA, Prestasi Pustaka. Jakarta, 2010 . hal, 67.

[2] . Andi. Hamzah, HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA, Sapta Artha Jaya. Jakarta, 1996. hal, 123.

[3]. Andi. Hamzah, HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA, Sapta Artha Jaya. Jakarta, 1996. hal, 131.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar