Rabu, 02 Mei 2012

Kaidah Fiqh Kulliyah


                                        الحدود تسقط بالشبهات
                                       Hukuman menjadi hilang sebab ada ketidakjelasan
a.       Pengertian kaidah
Berbagai kaidah yang berada dalam konsepsi hukum islam (fiqh) selalu diramu dari sumber yang pasti. Sehingga meniscayakan sebuah hukum yang akan dilaksanakan dalam keputusan dan ketetapan peradilan haruslah berupa sesuatu yang pasti pula. Dengan kata lain, terjadinya ketidakjelasan akan menjadi sebab bagi hilangnya sebuah ketentuan hukum. Ketidakjelasan dalam hal ini bisa terjadi karena berbagai faktor, yaitu ketidakjelasan (selanjutnya disebut syubhat) yang berasal dari [pelaku hukum ataupun bisa berangkat dari sebuah proses kejadian sebagaimana yang akan dijelaskan dalam kaidah ini.
b.      Dasar hukum
ادرؤوا الحدود بالشبهات عن المسلمين ما استطعتم فان وجدتم المسلم مخرجا فخلوا
Hindarilah hukuman-hukuman dari orang-orrang islam semampumu. Apabila engkau menemui jalan keluar (selain had), maka bebaskanlah mereka.
Dalam hadist ini, Nabi saw. secara eksplisit memerintahkan untuk mengupayakan pencarian “jalan keluar” bagi seorang muslim yang terjerat tuntutan hukum (had). Namun perlu dicatat, hal ini terbatas pada jenis hukuman yang berkaitan dengan hak-hak jenis kemanusiaan (huquq al-adamy). Sedangkan untuk hal-hal yang merupakan haqqullah, tidak diperbolehkan menghilangkan had apabila telah terbukti.
Mengenai hail ini dijelaskan dalam redaksi hadist lain:
ادرؤوا الحدود بالشبهات واقيلوا الكرام عترتهم الا في حد  ممن حدودالله
Hindarilah hukuman-hukuman karena (adanya) berbagai ketidakjelasan, dan maafkanlah kesalahan orang-orang mulia, kecuali dalam salah satu diantara had-had Allah
Hadist kedua ini mengecualikan hukuman yang berkaitan dengan hak-hak ketuhanan (huququllah). Dengan demikian, menjadi jelas bahwa hukuman had yang kaitannya dengan hak antar manusia dalam bingkai syariat tergugurkan dengan adanya ketidakjelasan yang dikenal dengan istilah syubhat.
c.       Syubhat yang menggugurkan had
·         Syubhat dalam diri pelaku, seperti seorang yang berhubungan badan dengan wanita yang disangka istrinya sendiri, padahal kenyataanyya bukan.
·         Syubhat dalam diri sasaran (obyek) suatu peristiwa, seperti seorang  yang mengumpuli budak yang dimiliki bersama. Padahal dalam diri budak tersebut terdapat hak milik orang lain. Bukan hanya milik dirinya saja.
·         Syubhat dalam metodologi hukum. Seperti nikah mut’ah yang menurut satu pendapat boleh, tapi ulama ahli sunnah mengharamkannya.

                                الخروج من الخلاف مستحب
                   Keluar (menghindari) perbedaan pendapat itu disunnahkan
Banyak kalangan ulama yang mengakui bahwa kaidah ini tergolong kaidah yang sulit kajiannya. Sebagian ulama ada yang mempertanyakan substansi keutamaan kaidah; apakah memang ada nash yang secara specific menerangkan keutamaan menghindari khilaf. Kejanggalan yang mengemuka ini akhirnya mendapat jawaban dari ibn-al Subuki, yang mengatakan bahwa meski tidak diketemukan nash yang secara tegas menyinggung kesunahan atau keutamaan menghindari khilaf ulam, namun keutamaan menghindari ulama ini, pada dasarnya telah tercakup dalam substansi nash yang substansinya berupa pembebasan diri dari silang pendapat ulama yang bersinggungan dengan masalah keagamaan. Masih dalam pandangan Ibn-al Subki, tindakan menghindari khilaf ulama dengan cara mengakomodasikannya ini termasuk tindakan wira’I yang diperintahkan agama.
1.       Sumber kaidah
Sesuai dengan pernyataan Imam Taj al-Din al-Subuki bahwa landasan kaidah ini dipetik dari penggalan al-Quran dalam surat al-hujurat ayat :12 yang berbunyi sebagaimana berikut:
                 يا أيهاالذين أمنوا اجتنبوا كثيرا من االظن ان بعض الظن اثم                                                             
“hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka. Karena sebagian prasangka itu menjerumusakan kedalam dosa.”
Masih menurut Imam Taj al-Din al-Subuki, secara tersirat dalam ayat diatas Allah swt. Menginformasikan manusia untuk bertindak ekstra hati-hati, dengan senantiasa menjauhi perbuatan yang nyata-nyat positif (tidak berdosa) demi mengantisipasi kemungkinan berbuat dosa. Sikap hati-hati ini coba ditawarkan demi kebaikan manusia, dari pada harus berspekulasi melakukan perbuatan yang ada kemungkinan salah (dosa). Metode yang dijajakan para ulama adalah kehati-hatian  (ihtiyath) dengan mengandaikan sesuatu yang kenyataannya tidak ada seperti sesuatu yang betul-betul wujud. Seperti halnya berprasangkan yang bisa meenimbulkan dosa harus dihindari agar betul-betul bisa dijauhi, karena prasangka potensial menimbulkan dosa.

2.       Contoh masalah fiqh yang terkait
Salah satu contohnya adalah apa yang terjadi pada orang-orang yang tidak pernah tinggal menetap (nomaden). Bagi mereka menyempurnakan shalat lebih utama daripada mengqashar (walaupun mereka dalam pengembaraanyya). Pendapat yang mengemuka ini sebenarnya lebih dikarenakan adanya tujuan menjaga khilaf pendapat yang mengatakan tidak boleh mengqashar sholat dalam keadaan semacam ini. Walaupun pendapat-menyempurnakan shalat lebih utama- ini berisiko meninggalkan sunah mengqashar yang mendapat legitimasi syara’. Karena penyempurnaan shalat yang dilakukannya ini tidak berimbas meninggalkan legitimasi syara’ secara mutlak/menyeluruh, yakni meninggalkan kesunahan mengqashar shalat secara frontal. Bahkan menurut al-Zarkasyi, bisa jadi kasus ini sama sekali tidak terakomodasi syariat yang menerangkan kesunahan mengqashar shalat dalam kondisi yang dialami si nomaden ini, mengingat kejadian ini jarang terjadi kecuali di beberapa tempat. Dengan demikian pendapat yang menyatakan menyempurnakan shalat lebih utama tetap masuk dalam kategori keutamaan khuruj min khilaf, walaupun bertentangan dengan pendapat sunah qashar lebih utama, karena pada dasarnya tidak menimbulkan keharaman, hanya meninggalkan pendapat qashar shalat yang menurut pendapat lain dianggap sunah.
Perlu ditambahkan disini, bahwa menjaga khilaf tetap sunah walaupun dalilnya lemah apabila dalam penjagaan khilaf terdapat nilai kehati-hatian, demikian menurut al-Zarkasyi.
3.       Syarat-syarat khuruj dari khilaf yang disunahkan

·         Penjagaan khilaf tidak beresiko menjerumuskan pada khilaf yang lain
·         Khilaf tidak bertentangan dengan hadist shahih, hasan, atau bahkan dho’if yang menerangkan keutamaan amal.
·         Dalil yang dijakan dasar mujtahid yang berbeda pendapat haruslah dalil yang kuat.



                              الرخص لاتنا ط بالمعاصي

                           Keringanan hukuman tidak digantungkan pada kemaksiatan

a.       Pengertian kaidah

Malakukan rukhshah akan sangat bergantung pada faktor yang mendorong timbulnya keharusan untuk melaksanakannya. Apabila yang melatarbelakanginya adalah perbuatan haram, maka rukhshah tidak dapat diwujudkan. Sebaliknya, jika yang melatarbelakangi bukanlah pekerjaan haram, maka rukhshah dapat dilaksanakan. Demikian al-Suyuti memaknai maksud kaidah diatas. Segala aktivitas yang mengandung unsur kemaksiatan, tidak dapat memperoleh keringanan atau dispensasi hukum dari syariat.

b.      Contoh masalah fiqh yang terkait

Sebagaimana telah dijelaskan dalam kaidah kubra, bahwa rukhshah dalam perjalanan adalah berupa qashar dan jama’ shalat, mengusap sepatu kulit ketika berwudlu (tidak perlu membasuh kaki) selama tiga hari, mendirikan shalat sunnah di atas kendaraan tanpa harus menghadap kiblat, dan meninggalkan shalat jum’at dengan diganti shalat dzuhur, semua rukhshah yang dilakukan ini tidak boleh dilakukan oleh orang yang melakukan perjalana maksiat.


                                    الرضا بالشيء رضا بما يتولد منه
Rela pada sesuatu berarti rela terhadap konsekuensi yang ditimbulkannya

a.       Pengertian kaidah
Manusia harus mempunyai komitmen kuat terhadap apa yang dia putuskan dan ia lakukan. Konsekuensi yang timbul akibat keputusan dan perbuatannya harus diterima, baik sifatnya positif ataupun negatif. Kerelaan dan persetujuan  yang dikehendaki dalam kajian ini mengakomodir segala motif yang memiliki orientasi persetujuan, kerelaan, pengesahan, perizinan, dan lain sebagainya.

b.      Cakupan kaidah
Seorang calon suami yang rela akan aib yang di derita oleh calon istri, walaupun dikemudian hari aib yang dideritanya semakin parah. sebab apa yang menimpa istrinya sudah diterima dengan lapang dada sejak semula. Hal yang sama berlaku sebaliknya; sang istri tidak dapat mengajukan thalaq gara-gara ayb yang diderita sang suami semakin parah. Dengan catatan, ayb dimaksud memang sudah direlakan saat pertama kali mereka mengikat tali pernikahan.
Contoh lain, pada suatu kesempatan, seorang atasan member instruksi pada bawahannya: “potonglah tanganku ini!” dan sang bawahan mematuhi perintahnya. Jika dikemudian hari, infeksi akibat pemotongan tangan itu menjalar ke anggota tubuh yang lain hingga menyebabkan kematian, maka hal itu diliuar tanggung jawab bawahannya. Sebab apa yang menimpa sang atasan hanya merupakan efek dari perbuatan yang telah sesuai perintahnya sendiri.
Tapi ada beberapa kasus yang termasuk pengecualian kaidah ini, diantaranya jika ada seorang guru yang menghukum (ta’zir) murid yang melakukan pelanggaran, dan telah mendapat izin dari sang wali. Jika ta’zir itu sangat berat, hingga menimbulkan dampak yang dapat diduga sebelumnya, yakni meninggal dunia, maka ta’zir tersebut harus dipertanggung jawabkan. Perlu dicatat, ta’zir adalah hal yang direstuai oleh syariat. Tapi, dalam kasus ini, sang guru harus tetap bertanggung jawab , karena seberapapun izin yang diperoleh seorang guru; dari wali murid maupun dari syariat, tetaplah terbatas pada ketentuan menjaga keselamatan dampak yang mungkin timbul.
Dar kasus di atas, bias dipahami bahwa kaidah ini tidak dapat diberlakukan dalam aktivitas yang disyaratkan untuk menjaga keselamatan  dari akibat yang mungkin ditimbulkan. Dalam arti, jika terjadi efek yang merupakan dampak dari perbuatan yang seharusnya dapat dihindari, maka kerelaan, izin, atau legalitas yang diberikan tidak begitu saja menjadikan ditilelirnya akibat yang ditimbulkan.


                            ما كان اكثر فعلا كان اكثر فضلا
Yang lebih banyak aktifitasnya lebih banyak pula pahalanya
a.       Pengertian kaidah
Aspek-aspek tertentu yang berdasarkan hitungan jumlah kuantitatif juga direkrut oleh hukum yudisial islam, melalui kaidah ini, sehingga sebuah pekerjaan yang tindakannya lebih banyak dinilai lebih utama daripada sesuatu yang kuantitasnya lebih sedikit. Artinya, kaidah diatas menyatakan bahwa semakin banyak tindakan pekerjaan itu kita kerjakan, semakin tinggi pula nilai keutamaannya.
b.      Dasar kaidah
Kaidah ini dirumuskan berdasarkan hadist riwayat imam Muslim dari sayyidah Aisyah ra:

قال رسول الله : اجرك على قدر نصبك

                                       Besarnya pahalamu tergantung pada usahamu.”

c.       Aplikasi kaidah
Orang yang melakukan ibadah dan merasakan adanya beban yang lebih berat, maka secara otomatis akan mendapatkan nilai lebih. seperti halnya orang yang melakukan tiga rakaat shalat witir dengan cara dipisah ( dua kali salam), akan lebih baik daripada mengerjakannya dengan cara disambung (satu kali salam). Hal ini terjadi karena shalat witir dengan cara dipisah didalamnya terkandung unsur-unsur niat, takbirotul ihrom, dan salam, yang notabene nya lebih banyak dibanding dengan shalat witir dengan cara di sambung.
d.      Pengecualian
Al-Jarhazi mencatat lebih dari sepuluh permasalahan yang dikecualikan dari kaidah ini. Dalam contoh dibawah ini, terdapat amal yang jika disimpulkan semuanya adalah amal yang ringan namun mempunyai pahala yang besar, beberapa diantaranya adalah:
·         Mengerjakan shalat dengan qashar lebih utama dibanding mengerjakan secara sempurna (tanpa di qashar) bagi orang yang melakukan perjalanan selama tiga hari atau lebih.
·         Satu rakaat shalat witir lebih baik dibandingkan dengan shalat malam lainnya, walaupun shalat witir secara kuantitas lebih sedikit.
·         Shalat shubuh, walaupun hanya 2 rakaat, tetapi shalat shubuh ini sangat besar pahalanya. Alasan yang melatarbelakangi keutamaan shalat shubuh adalah-walaupun shalat ini rakaat nya paling sedikit dibandingkan dengan shalat-shalat yang lain-nnamun mempunyai nilai lebih, yakni rasa berat untuk melakukannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar