الحدود
تسقط بالشبهات
Hukuman
menjadi hilang sebab ada ketidakjelasan
a.
Pengertian
kaidah
Berbagai kaidah yang berada dalam konsepsi hukum
islam (fiqh) selalu diramu dari sumber yang pasti. Sehingga meniscayakan sebuah
hukum yang akan dilaksanakan dalam keputusan dan ketetapan peradilan haruslah
berupa sesuatu yang pasti pula. Dengan kata lain, terjadinya ketidakjelasan
akan menjadi sebab bagi hilangnya sebuah ketentuan hukum. Ketidakjelasan dalam
hal ini bisa terjadi karena berbagai faktor, yaitu ketidakjelasan (selanjutnya
disebut syubhat) yang berasal dari [pelaku hukum ataupun bisa berangkat dari
sebuah proses kejadian sebagaimana yang akan dijelaskan dalam kaidah ini.
b.
Dasar
hukum
ادرؤوا الحدود بالشبهات عن المسلمين ما استطعتم
فان وجدتم المسلم مخرجا فخلوا
Hindarilah hukuman-hukuman dari
orang-orrang islam semampumu. Apabila engkau menemui jalan keluar (selain had),
maka bebaskanlah mereka.
Dalam hadist ini, Nabi saw. secara eksplisit
memerintahkan untuk mengupayakan pencarian “jalan keluar” bagi seorang muslim
yang terjerat tuntutan hukum (had). Namun perlu dicatat, hal ini terbatas pada
jenis hukuman yang berkaitan dengan hak-hak jenis kemanusiaan (huquq al-adamy).
Sedangkan untuk hal-hal yang merupakan haqqullah, tidak diperbolehkan
menghilangkan had apabila telah terbukti.
Mengenai hail ini dijelaskan dalam redaksi hadist
lain:
ادرؤوا الحدود بالشبهات واقيلوا الكرام عترتهم
الا في حد ممن حدودالله
Hindarilah hukuman-hukuman karena (adanya)
berbagai ketidakjelasan, dan maafkanlah kesalahan orang-orang mulia, kecuali
dalam salah satu diantara had-had Allah
Hadist kedua ini mengecualikan hukuman yang
berkaitan dengan hak-hak ketuhanan (huququllah). Dengan demikian, menjadi jelas
bahwa hukuman had yang kaitannya dengan hak antar manusia dalam bingkai syariat
tergugurkan dengan adanya ketidakjelasan yang dikenal dengan istilah syubhat.
c.
Syubhat
yang menggugurkan had
·
Syubhat
dalam diri pelaku, seperti seorang yang berhubungan badan dengan wanita yang
disangka istrinya sendiri, padahal kenyataanyya bukan.
·
Syubhat
dalam diri sasaran (obyek) suatu peristiwa, seperti seorang yang mengumpuli budak yang dimiliki bersama.
Padahal dalam diri budak tersebut terdapat hak milik orang lain. Bukan hanya
milik dirinya saja.
·
Syubhat
dalam metodologi hukum. Seperti nikah mut’ah yang menurut satu pendapat boleh,
tapi ulama ahli sunnah mengharamkannya.
الخروج من الخلاف مستحب
Keluar
(menghindari) perbedaan pendapat itu disunnahkan
Banyak kalangan
ulama yang mengakui bahwa kaidah ini tergolong kaidah yang sulit kajiannya.
Sebagian ulama ada yang mempertanyakan substansi keutamaan kaidah; apakah
memang ada nash yang secara specific menerangkan keutamaan menghindari khilaf.
Kejanggalan yang mengemuka ini akhirnya mendapat jawaban dari ibn-al Subuki,
yang mengatakan bahwa meski tidak diketemukan nash yang secara tegas
menyinggung kesunahan atau keutamaan menghindari khilaf ulam, namun keutamaan
menghindari ulama ini, pada dasarnya telah tercakup dalam substansi nash yang
substansinya berupa pembebasan diri dari silang pendapat ulama yang
bersinggungan dengan masalah keagamaan. Masih dalam pandangan Ibn-al Subki,
tindakan menghindari khilaf ulama dengan cara mengakomodasikannya ini termasuk
tindakan wira’I yang diperintahkan agama.
1. Sumber
kaidah
Sesuai dengan
pernyataan Imam Taj al-Din al-Subuki bahwa landasan kaidah ini dipetik dari
penggalan al-Quran dalam surat al-hujurat ayat :12 yang berbunyi sebagaimana
berikut:
يا أيهاالذين أمنوا اجتنبوا كثيرا من االظن
ان بعض الظن اثم
“hai orang-orang yang beriman, jauhilah
kebanyakan prasangka. Karena sebagian prasangka itu menjerumusakan kedalam
dosa.”
Masih menurut Imam Taj al-Din al-Subuki, secara
tersirat dalam ayat diatas Allah swt. Menginformasikan manusia untuk bertindak
ekstra hati-hati, dengan senantiasa menjauhi perbuatan yang nyata-nyat positif
(tidak berdosa) demi mengantisipasi kemungkinan berbuat dosa. Sikap hati-hati
ini coba ditawarkan demi kebaikan manusia, dari pada harus berspekulasi
melakukan perbuatan yang ada kemungkinan salah (dosa). Metode yang dijajakan
para ulama adalah kehati-hatian
(ihtiyath) dengan mengandaikan sesuatu yang kenyataannya tidak ada
seperti sesuatu yang betul-betul wujud. Seperti halnya berprasangkan yang bisa
meenimbulkan dosa harus dihindari agar betul-betul bisa dijauhi, karena
prasangka potensial menimbulkan dosa.
2.
Contoh masalah fiqh yang terkait
Salah satu contohnya adalah apa yang terjadi pada
orang-orang yang tidak pernah tinggal menetap (nomaden). Bagi mereka
menyempurnakan shalat lebih utama daripada mengqashar (walaupun mereka dalam
pengembaraanyya). Pendapat yang mengemuka ini sebenarnya lebih dikarenakan
adanya tujuan menjaga khilaf pendapat yang mengatakan tidak boleh mengqashar
sholat dalam keadaan semacam ini. Walaupun pendapat-menyempurnakan shalat lebih
utama- ini berisiko meninggalkan sunah mengqashar yang mendapat legitimasi
syara’. Karena penyempurnaan shalat yang dilakukannya ini tidak berimbas
meninggalkan legitimasi syara’ secara mutlak/menyeluruh, yakni meninggalkan
kesunahan mengqashar shalat secara frontal. Bahkan menurut al-Zarkasyi, bisa
jadi kasus ini sama sekali tidak terakomodasi syariat yang menerangkan
kesunahan mengqashar shalat dalam kondisi yang dialami si nomaden ini,
mengingat kejadian ini jarang terjadi kecuali di beberapa tempat. Dengan
demikian pendapat yang menyatakan menyempurnakan shalat lebih utama tetap masuk
dalam kategori keutamaan khuruj min khilaf, walaupun bertentangan dengan
pendapat sunah qashar lebih utama, karena pada dasarnya tidak menimbulkan
keharaman, hanya meninggalkan pendapat qashar shalat yang menurut pendapat lain
dianggap sunah.
Perlu ditambahkan disini, bahwa menjaga khilaf
tetap sunah walaupun dalilnya lemah apabila dalam penjagaan khilaf terdapat
nilai kehati-hatian, demikian menurut al-Zarkasyi.
3.
Syarat-syarat khuruj dari khilaf yang disunahkan
·
Penjagaan
khilaf tidak beresiko menjerumuskan pada khilaf yang lain
·
Khilaf
tidak bertentangan dengan hadist shahih, hasan, atau bahkan dho’if yang
menerangkan keutamaan amal.
·
Dalil
yang dijakan dasar mujtahid yang berbeda pendapat haruslah dalil yang kuat.
الرخص لاتنا ط
بالمعاصي
Keringanan
hukuman tidak digantungkan pada kemaksiatan
a.
Pengertian
kaidah
Malakukan rukhshah akan sangat bergantung
pada faktor yang mendorong timbulnya keharusan untuk melaksanakannya. Apabila
yang melatarbelakanginya adalah perbuatan haram, maka rukhshah tidak dapat
diwujudkan. Sebaliknya, jika yang melatarbelakangi bukanlah pekerjaan haram,
maka rukhshah dapat dilaksanakan. Demikian al-Suyuti memaknai maksud kaidah
diatas. Segala aktivitas yang mengandung unsur kemaksiatan, tidak dapat
memperoleh keringanan atau dispensasi hukum dari syariat.
b.
Contoh
masalah fiqh yang terkait
Sebagaimana telah dijelaskan dalam kaidah kubra, bahwa rukhshah dalam
perjalanan adalah berupa qashar dan jama’ shalat, mengusap sepatu kulit ketika
berwudlu (tidak perlu membasuh kaki) selama tiga hari, mendirikan shalat sunnah
di atas kendaraan tanpa harus menghadap kiblat, dan meninggalkan shalat jum’at
dengan diganti shalat dzuhur, semua rukhshah yang dilakukan ini tidak boleh
dilakukan oleh orang yang melakukan perjalana maksiat.
الرضا
بالشيء رضا بما يتولد منه
Rela
pada sesuatu berarti rela terhadap konsekuensi yang ditimbulkannya
a.
Pengertian
kaidah
Manusia harus mempunyai komitmen kuat terhadap apa yang dia putuskan dan ia
lakukan. Konsekuensi yang timbul akibat keputusan dan perbuatannya harus
diterima, baik sifatnya positif ataupun negatif. Kerelaan dan persetujuan yang dikehendaki dalam kajian ini
mengakomodir segala motif yang memiliki orientasi persetujuan, kerelaan,
pengesahan, perizinan, dan lain sebagainya.
b.
Cakupan
kaidah
Seorang calon suami yang rela akan aib
yang di derita oleh calon istri, walaupun dikemudian hari aib yang dideritanya
semakin parah. sebab apa yang menimpa istrinya sudah diterima dengan
lapang dada sejak semula. Hal yang sama berlaku sebaliknya; sang istri tidak
dapat mengajukan thalaq gara-gara ayb yang diderita sang suami semakin parah.
Dengan catatan, ayb dimaksud memang sudah direlakan saat pertama kali mereka
mengikat tali pernikahan.
Contoh
lain, pada suatu kesempatan, seorang atasan member instruksi pada bawahannya:
“potonglah tanganku ini!” dan sang bawahan mematuhi perintahnya. Jika
dikemudian hari, infeksi akibat pemotongan tangan itu menjalar ke anggota tubuh
yang lain hingga menyebabkan kematian, maka hal itu diliuar tanggung jawab
bawahannya. Sebab apa yang menimpa sang atasan hanya merupakan efek dari
perbuatan yang telah sesuai perintahnya sendiri.
Tapi
ada beberapa kasus yang termasuk pengecualian kaidah ini, diantaranya jika ada
seorang guru yang menghukum (ta’zir) murid yang melakukan pelanggaran, dan
telah mendapat izin dari sang wali. Jika ta’zir itu sangat berat, hingga
menimbulkan dampak yang dapat diduga sebelumnya, yakni meninggal dunia, maka
ta’zir tersebut harus dipertanggung jawabkan. Perlu dicatat, ta’zir adalah hal
yang direstuai oleh syariat. Tapi, dalam kasus ini, sang guru harus tetap
bertanggung jawab , karena seberapapun izin yang diperoleh seorang guru; dari
wali murid maupun dari syariat, tetaplah terbatas pada ketentuan menjaga
keselamatan dampak yang mungkin timbul.
Dar
kasus di atas, bias dipahami bahwa kaidah ini tidak dapat diberlakukan dalam
aktivitas yang disyaratkan untuk menjaga keselamatan dari akibat yang mungkin ditimbulkan. Dalam
arti, jika terjadi efek yang merupakan dampak dari perbuatan yang seharusnya
dapat dihindari, maka kerelaan, izin, atau legalitas yang diberikan tidak
begitu saja menjadikan ditilelirnya akibat yang ditimbulkan.
ما كان اكثر فعلا
كان اكثر فضلا
Yang
lebih banyak aktifitasnya lebih banyak pula pahalanya
a.
Pengertian
kaidah
Aspek-aspek tertentu yang
berdasarkan hitungan jumlah kuantitatif juga direkrut oleh hukum yudisial
islam, melalui kaidah ini, sehingga sebuah pekerjaan yang tindakannya lebih
banyak dinilai lebih utama daripada sesuatu yang kuantitasnya lebih sedikit.
Artinya, kaidah diatas menyatakan bahwa semakin banyak tindakan pekerjaan itu
kita kerjakan, semakin tinggi pula nilai keutamaannya.
b.
Dasar
kaidah
Kaidah ini dirumuskan berdasarkan hadist
riwayat imam Muslim dari sayyidah Aisyah ra:
قال رسول الله : اجرك على قدر نصبك
Besarnya
pahalamu tergantung pada usahamu.”
c.
Aplikasi
kaidah
Orang yang melakukan ibadah
dan merasakan adanya beban yang lebih berat, maka secara otomatis akan
mendapatkan nilai lebih. seperti halnya orang yang melakukan tiga rakaat shalat
witir dengan cara dipisah ( dua kali salam), akan lebih baik daripada
mengerjakannya dengan cara disambung (satu kali salam). Hal ini terjadi karena
shalat witir dengan cara dipisah didalamnya terkandung unsur-unsur niat,
takbirotul ihrom, dan salam, yang notabene nya lebih banyak dibanding dengan
shalat witir dengan cara di sambung.
d.
Pengecualian
Al-Jarhazi mencatat lebih dari sepuluh
permasalahan yang dikecualikan dari kaidah ini. Dalam contoh dibawah ini,
terdapat amal yang jika disimpulkan semuanya adalah amal yang ringan namun
mempunyai pahala yang besar, beberapa diantaranya adalah:
·
Mengerjakan
shalat dengan qashar lebih utama dibanding mengerjakan secara sempurna (tanpa
di qashar) bagi orang yang melakukan perjalanan selama tiga hari atau lebih.
·
Satu
rakaat shalat witir lebih baik dibandingkan dengan shalat malam lainnya,
walaupun shalat witir secara kuantitas lebih sedikit.
·
Shalat
shubuh, walaupun hanya 2 rakaat, tetapi shalat shubuh ini sangat besar
pahalanya. Alasan yang melatarbelakangi keutamaan shalat shubuh adalah-walaupun
shalat ini rakaat nya paling sedikit dibandingkan dengan shalat-shalat yang
lain-nnamun mempunyai nilai lebih, yakni rasa berat untuk melakukannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar