oleh: Ahmad Badru Tamam
A. Pengantar
Sudah sejak lama para pemimpin dan aktivis Islam di negeri ini berusaha
menemukan jalan keluar dari persoalan yang membelit sebagian besar umatnya,
yakni kemiskinan dan keterbelakangan. Mereka sadar bahwa perbaikan kondisi yang
memprihatinkan itu memerlukan perjuangan politik yang berarti berurusan dengan
upaya memperoleh kekuasaan. Namun, ketika para pemimpin dan aktivis Islam
tersebut meniti perjuangan politik, timbul perlawanan dari kelompok lain di
luar Islam. Tidak hanya itu, di internal para aktivis Islam sendiri terjadi
perbedaan strategi yang tidak jarang mengarah pada sebuah pertentangan.
Kelompok pertama yang mengusung “islamisasi negara demi masyarakat”, dan
kelompok kedua yang berslogan “islamisasi masyarakat dalam negara nasional.”[3]
Kelompok yang mengusung “islamisasi negara demi masyarakat” tergambar dalam
sikap para aktivitis Islam yang berpandangan bahwa kehidupan masyarakat
Indonesia merdeka harus mencerminkan hukum Islam. Untuk mencapai tujuan itu,
ada yang memakai cara konfrontatif, seperti memperjuangkan hukum Islam dalam
konstitusi Negara, usaha penguasaan terhadap DPR, dan bahkan dengan memakai
cara-cara fisik. Tetapi ada pula yang melakukannya melalui jalur yang bersifat
akademis, seperti berdiskusi dan membentuk kelompok-kelompok intelektual
muslim. Sedangkan kelompok kedua yang mengusung “islamisasi masyarakat dalam
negara nasional” lebih fokus pada pemberdayaan masyarakat, yaitu menciptakan
masyarakat Indonesia mampu mengembangkan diri secara otonom.[4]
Perjuangan sebagian umat Islam dalam memberlakukan hukum Islam di Indonesia
sudah berlangsung sejak zaman kolonial. Talik ulur tentang itu semakin menguat
sejak pra-kemerdekaan, bahkan hingga kini. Berangkat dari asumsi bahwa politik
determinan atas hukum, serta pasang surut antara konfigurasi politik yang
demokratis dan otoriter sangat mempengaruhi terhadap karakter produk hukum yang
dihasilkan, maka makalah ini berusaha untuk mengkaji konfigurasi politik hukum
Islam di Indonesia dan sekaligus untuk mengetahui model politik hukum Islam
seperti apa yang berkembang di Indonesia.
B. Pengertian
Politik Hukum Islam
Menurut Mahfud MD., di dalam studi mengenai hubungan antara politik dan
hukum terdapat tiga asumsi yang mendasarinya, yaitu: (1) Hukum determinan
(menentukan) atas politik, dalam arti hukum harus menjadi arah dan
pengendali semua kegiatan politik. (2) Politik determinan atas hukum,
dalam arti bahwa dalam kenyataannya, baik produk normatif maupun implementasi
penegakan hukum itu, sangat dipengaruhi dan menjadi dipendent variable
atas politik. (3) Politik dan hukum terjalin dalam hubungan yang saling
bergantung, seperti bunyi adagium, “politik tanpa hukum menimbulkan
kesewenang-wenangan (anarkis), hukum tanpa politik akan jadi lumpuh.”[5]
Berangkat dari studi mengenai hubungan antara politik dan hukum di atas
kemudian lahir sebuah teori “politik hukum”. Politik hukum adalah legal
policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah
Indonesia yang meliputi: pertama, pembangunan yang berintikan pembuatan
dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan. Kedua,
pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga
dan pembinaan para penegak hukum.[6]
Jadi politik hukum adalah bagaimana hukum akan atau seharusnya dibuat dan
ditentukan arahnya dalam kondisi politik nasional serta bagaimana hukum
difungsikan.
Dalam Islam istilah politik hukum disebut dengan as-Siyasah
as-Syar’iyyah yang merupakan aplikasi dari al-maslahah al-mursalah,
yaitu mengatur kesejahteraan manusia dengan hukum yang ketentuan-ketentuannya
tidak termuat dalam syara’. Sebagian ulama mendefinisikan politik hukum Islam
sebagai perluasan peran penguasa untuk merealisasikan kemaslahatan manusia
sepanjang hal-hal tersebut tidak bertentangan dengan dasar-dasar agama.[7]
C. Pemikiran
Politik Hukum Islam di Indonesia
Negara dan agama, di negara sekulerpun, tidak dapat dipisahkan begitu saja,
karena para pengelola negara adalah manusia biasa yang juga terikat dengan
berbagai macam norma yang hidup dalam masyarakat, termasuk norma agama.
Misalnya, meskipun negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman,
Perancis dan Belanda adalah negara yang memaklumkan diri sebagai negara
sekuler, tetapi banyak kasus menunjukkan bahwa keterlibatannya dalam urusan
keagamaan terus berlangsung sepanjang entitas agama dan negara itu ada. Bukti
empiris keterkaitan agama dan negara dalam konteks Indonesia dapat dilihat
misalnya dalam perjuangan sebagian umat Islam untuk memberlakukan Islam sebagai
dasar negara.[8]
Menurut Mahfud MD, secara yuridis-konstitusional negara Indonesia bukanlah
negara agama dan bukan pula negara sekuler. Menurutnya Indonesia adalah religious
nation state atau negara kebangsaan yang beragama. Indonesia adalah negara
yang menjadikan ajaran agama sebagai dasar moral, sekaligus sebagai sumber
hukum materiil dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena
itu dengan jelas dikatakan bahwa salah satu dasar negara Indonesia adalah “Ketuhanan
Yang Maha Esa”.[9]
Abdul Ghani Abdullah mengemukakan bahwa berlakunya hukum Islam di Indonesia
telah mendapat tempat konstitusional yang berdasar pada tiga alasan, yaitu: Pertama,
alasan filosofis bahwa ajaran Islam rnerupakan pandangan hidup, cita moral dan
cita hukum mayoritas muslim di Indonesia, dan ini mempunyai peran penting bagi
terciptanya norma fundamental negara Pancasila. Kedua, alasan sosiologis
bahwa perkembangan sejarah masyarakat Islam Indonesia menunjukan bahwa cita
hukum dan kesadaran hukum bersendikan ajaran Islam memiliki tingkat aktualitas
yang berkesinambungan, dan Ketiga, alasan yuridis yang tertuang dalam
pasal 24, 25 dan 29 UUD 1945 memberi tempat bagi keberlakuan hukum Islam secara
yuridis formal.[10]
Mengenai kedudukan hukum Islam dalam tata hukum negara Indonesia, sistem
hukum di Indonesia bersifat majemuk, ini sebagai akibat dari perkembangan
sejarahnya. Disebut demikian karena hingga saat ini di Indonesia berlaku tiga
sistem hukum sekaligus, yakni sistem hukum adat, sistem hukum Islam, dan sistem
hukum barat.
Namun tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa hukum Islam di Indonesia
adalah “hukum yang hidup” (the living law), kendati secara resmi dalam
aspek-aspek pengaturan tertentu, ia tidak atau belum dijadikan kaidah hukum
positif oleh negara. Banyaknya pertanyaaan dan permaslahan mengenai hukum dalam
masyarakat yang diajukan kepada para ulama, media massa, dan organisasi sosial
keagamaan Islam, haruslah dilihat sebagai sebagai salah satu isyarat bahwa
hukum Islam adalah hukum yang hidup dalam masyarakat.[11]
Untuk mewujudkan anggapan tersebut maka dibutuhkan aktualisasi hukum Islam
itu sendiri, agar tetap urgen menjadi bagian dari proses pembangunan hukum
nasional. Aktualisai hukum Islam dapat dibedakan menjadi dua bentuk: pertama,
upaya pemberlakuan hukum Islam dengan pembentukan peraturan hukum tertentu
yang berlaku khusus bagi umat Islam. Kedua, upaya menjadikan hukum Islam
sebagai sumber hukum bagi penyusunan hukum nasional.[12]
Adapun prosedur legislasi hukum Islam harus mengacu kepada politik hukum yang
dianut oleh badan kekuasaan negara secara kolektif. Suatu undang-undang dapat
ditetapkan sebagai peraturan tertulis yang dikodifikasikan apabila telah
melalui proses politik pada badan kekuasaan negara yaitu legislatif dan
eksekutif, serta memenuhi persyaratan dan rancangan perundang-undangan yang
layak.
D. Dinamika
Politik Hukum Islam di Indonesia
Persentuhan Islam dan politik di Indonesia mulai tampak ke permukaan pada
awal kemerdekaan Indonesia, tepatnya ketika bangsa ini meraih kemerdekaannya
tahun 1945. Seperti yang tercatat dalam sejarah, pada masa itu terjadi
perdebatan yang sangat sengit terkait dua hal, yaitu mengenai dasar Negara dan
dimasukkan atau tidaknya tujuh kata pada sila pertama pancasila (peristiwa ini
kemudian disebut dengan piagam Jakarta). karena itu, menurut Menteri Agama Era
Orde Baru, Jenderal Alamsyah Ratu Perwiranegara, pancasila adalah hadiah
terbesar yang diberikan oleh umat Islam kepada Republik Indonesia.[13]
Peralihan kekuasaan dari pemerintahan Orde Lama kepada Orde Baru berimplikasi
kepada munculnya krisis politik yang cukup menegangkan berupa gerakan massa
yang menuntut pembubaran PKI serta tuntutan pembenahan sistem politik dan
pemulihan keamanan negara. Puncaknya terjadi pada tahun 1966, yaitu dengan
dikeluarkannya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang kemudian berakhir
dengan pencabutan mandat presiden Soekarno oleh MPRS dan pengangkatan Soeharto
sebagai Presiden kedua Republik Indonesia.
Konflik Islam dan politik muncul kembali ketika Orde Baru menerapkan
kebijakan modernisasi, di mana stigma perkembangan pola pikir dan cara pandang
bangsa Indonesia serta proses transformasi kultural dan perubahan sosial lebih
banyak mengadopsi dari negara-negara Barat. Kiblat pembangunan Indonesia yang
sebelumnya mengarah ke Eropa Timur berbalik arah ke Eropa Barat dan Amerika.
Imbasnya, banyak kemudian terdapat kalangan cendekiawan dan intelektual mulai
akrab dengan pemikiran-pemikiran Barat.
Sementara itu, bagi kalangan Islam, modernisasi ibarat dilema karena
dihadapkan kepada dua pilihan, yakni apabila mendukung modernisasi ala Orde
Baru yang berarti sama saja mendukung Barat, di sisi lain, apabila menolak
berarti umat Islam akan kehilangan kesempatan untuk berperan aktif dalam
pembangunan nasional. Dilema tersebut melahirkan tiga pola berikut: Pertama,
pola apologi, yakni suatu bentuk sikap penolakan kalangan Islam terhadap segala
nilai-nilai yang berakar pada wacana modernisasi. Bahkan pola pertama ini
berasumsi bahwa modernisasi identik dengan westernisasi dan sekularisasi. Kedua,
pola adaptif, yakni suatu bentuk sikap menerima sebagian nilai-nilai
modernisasi yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Ketiga, pola
kreatif, yakni suatu bentuk sikap dialogis yang lebih mengutamakan pendekatan
intelektual dalam menanggapi modernisasi. Dari ketiga pola tersebut, tampaknya
pola ketiga menjadi lebih dominan karena pendekatan intelektual yang
dikembangkan oleh kalangan modernis dipandang lebih representatif untuk
membangun tatanan Islam modern di Indonesia.[14]
Pola pertautan politik yang serba provokatif dianggap bukan jalan terbaik
bagi islamisasi di Indonesia, mengingat penduduk Indonesia tidak seluruhnya
umat Islam yang dapat disatukan dalam bingkai sistem politik keormasan. Pada
gilirannya, lahirlah gagasan Islam kultural sebagai jalan tengah bagi umat
Islam untuk tetap memainkan perannya dalam pentas politik nasional. Paling
tidak, kebenaran akan pendekatan ini mulai membuahkan hasil berupa terbukanya
jalan bagi umat Islam menuju islamisasi politik Orde Baru di penghujung tahun
70-an.[15]
Kebijakan-kebijakan politik Orde Baru yang menempatkan Islam dalam posisi
marjinal di pentas politik nasional pada gilirannya telah melahirkan berbagai
ketegangan antara Islam dan negara. Sejarah telah mencatat hahwa dinamika
hubungan Islam dan negara pada masa Orde Baru mengalami pergeseran yang
bersifat antagonistik, resiprokal kritis (timbal balik yang kritis) sampai
akomodatif. Hubungan antagonistik (1966-1981) mencerminkan pola hubungan yang
hegemonik antara Islam dengan pemerintah Orde Baru. Keadaan negara yang kuat
memainkan pengaruh ideologi politik sampai ke tingkat masyarakat bawah telah
berlawanan dengan sikap reaktif kalangan Islam sehingga melahirkan konflik
ideologi dan sekaligus menempatkan Islam sebagai oposisi.[16]
Pada tahap hubungan resiprokal kritis (1982- 1985), kaum santri berupaya
merefleksikan kembali cara pandang mereka dan merubah dirinya untuk menampilkan
sisi intelektualitas dalam percaturan politik Indonesia. Pada tahap ini
pilihan-pilihan rasional-pragmatis telah melahirkan saling pengertian akan
kepentingan Islam dan pemerintah. Dalam kurun waktu 1982-1985 sebagian kalangan
Islam mulai menerima asas tunggal sebagai landasan ideologi.[17]
Pada tahap hubungan akomodatif (1985-2000), hubungan Islam dan negara
terasa lebih harmonis di mana umat Islam telah masuk sebagai bagian dan sistem
politik elit dan birokrasi. Pola hubungan akomodatif ini sangat terasa berupa
tersalurkannya aspirasi umat Islam untuk membangun tatanan sosial, politik,
ekonomi dan budaya yang berakar pada nilai-nilai luhur Islam serta budaya
bangsa yang dibingkai dalam falsafah integralistik Pancasila dan UUD 1945.[18]
Namun demikian, khusus dalam sudut pandang perkembangan hukum Islam di
Indonesia, kesempatan umat Islam untuk mendapatkan hak-haknya pada pola
hubungan antagonistik lebih tampak. Posisi umat Islam yang begitu lemah,
seperti ketika merumuskan UU No.1/1974, aliran kepercayaan dalam Pedoman Penghayatan
dan Pengamalan Pancasila (P-4), isu ekstrim kanan, isu suku, agama dan ras
(SARA), isu kristenisasi dan kebijakan ekonomi kapitalistik. Protes umat Islam
atas UU Perkawinan No.1/1974 yang disusul dengan PP No.9/1975, dianggap sebagai
usaha Orde Baru untuk menggeser Hukum Islam dan akar tatanan sosial masyarakat
Islam di Indonesia.[19]
Dapat dikatakan bahwa hubungan Islam dan negara pada tahap antagonistik
lebih banyak peristiwa yang memunculkan pola hubungan yang tidak harmonis
berupa konflik ideologis. Jika sebelumnya pada masa Orde Lama, Islam lebih
nampak mengkristal dalam bingkai organisasi politik Masyumi, tegas berhadapan
dengan ideologi nasionalis sekuler (PNI Soekarnois) dan ekstrim kiri PKI.
Selanjutnya pada masa Orde Baru Islam terbelah dan terpecah-pecah dari bingkai
Masyumi. Hal ini terjadi karena kebijakan ketat pemerintah Orde Baru dalam
merespon munculnya kembali kuatnya ideologi Islam politik.
Tersendat-sendatnya aspirasi umat Islam di dalam mendapatkan hak-hak
perundang-undangan dan hukum tampak ketika dilegislasikannya UU No.1/1974 yang
kemudian disusul dengan PP No.9/1975. Selanjutnya ditetapkan pula ketentuan
tentang Wakaf dalam PP No.28/1977. Tidak berhenti sampai di situ, umat Islam di
tingkat legislatif kembali mempersoalkan faham dan aliran kepercayaan dalam UUD
1945 sebagai agama resmi yang diakui negara. Dan yang paling krusial adalah
kehendak umat Islam untuk dilegislasikannya Rancangan Undang-undang Peradilan
Agama (RUU PA) bagi penyelenggaraan peradilan Islam di Indonesia.[20]
Kemudian pada pola hubungan resiprokal kritis, umat Islam menyadari
perlunya strategi untuk menempuh jalur struktural-birokrat pada sistem
kenegaraan. Pada tahapan ini, kalangan cendekiawan dan politisi Islam harus
berani bersentuhan langsung dengan pemerintahan Orde Baru.[21]
Melalui pendekatan strukturai-fungsional, umat Islam relatif mengalami kemajuan
pesat berupa masuknya kalangan Islam dalam segala sistem pemerintahan sipil
mulai dari pusat hingga daerah, dan sekaligus memperkokoh kekuasaan Orde Baru
dalam bingkai akumulasi sipil, Islam, dan militer.
Pada pola akomodatif, sebagai antitesa dan pola hubungan sebelumnya Islam
hampir menguasai seluruh sendi-sendi pemerintahan dan negara. Tercatat realitas
sosial politik umat Islam demikian penting memainkan peranannya di pentas
nasional. Kehadiran ICMI, 8 Desember 1990, diyakini sebagai tonggak baru
menguatnya islamisasi politik di Indonesia, dan semakin tampak ketika
diakomodirnya kepentingan syari’at Islam melalui UUPA No.7/1989 sekaligus
menempatkan Peradilan Agama sebagai lembaga peradilan negara yang diatur dalarn
UU Pokok Kekuasaan Kehakiman No.14/1970, disusul dengan UU Perbankan No.10/1998
(pengganti UU No.7/1992), UU Zakat No.38/ 1999, KHI Inpres No.1/1991.[22]
Partisipasi politik kalangan umat Islam demikian tampak mulai dari
pendekatan konflik, pendekatan resiprokal kritis sampai pendekatan akomodatif.
Maka dapat diasumsikan untuk menjadikan Islam sebagai kakuatan politik hanya
dapat ditempuh dengan dua cara yakni secara represif (konflik) dan akomodatif (struktural-fungsional).
Paling tidak ini merupakan sebuah gambaran terhadap model paradigma hubungan
antara Islam dan negara di Indonesia.
Untuk mengembangkan proses transformasi hukum Islam ke dalam supremasi
hukum nasional, diperlukan partisipasi semua pihak dan lembaga terkait, seperti
halnya hubungan hukum Islam dengan badan kekuasaan negara yang mengacu kepada
kebijakan politik hukum yang ditetapkan. Politik hukum tersebut merupakan
produk interaksi kalangan elite politik yang berbasis kepada berbagai kelompok
sosial budaya. Ketika elite politik Islam memiliki daya tawar yang kuat dalam
interaksi politik itu, maka peluang bagi pengembangan hukum Islam untuk
ditransformasikan semakin besar.
E. Gagasan
positivisasiHukum Islam di Indonesia
Sebagaimana negara berkembang lainnya, Indonesia selalu berusaha
menjalankan pembangunan hukum nasional, yang meski dalam prakteknya sarat
dengan nuansa dan pengaruh politik penguasa. Ketika berbicara mengenai
pembangunan di bidang hukum, maka orientasinya adalah pada kodifikasi dan
unifikasi hukum nasional.
Sebagai upaya untuk mencapai produk hukum yang lebih responsive, agaknya
demokratisasi di bidang politik adalah suatu hal yang harus dilakukan terlebih
dahulu. Ketika kompetisi yang demokratis itu terjadi, maka usaha konsepsional
menjadi bagian strategi yang tidak dapat diabaikan begitu saja, untuk
menjadikan hukum Islam sebagai sumber hukum nasional, maka diperlukan system
kerja positivisasi hukum Islam yang dapat diterima secara keilmuan dan melalui
proses demokratisasi dan bukan indoktrinasi.[23]
Ketika berbicara mengenai positivisasi hukum Islam, maka sasarannya adalah
menjadikan hukum Islam sebagai sumber pembuatan undang-undang, dalam pengertian
yang lebih luas, termasuk di dalamnya keputusan hakim, kebiasaan, dan doktrin.
Salah satu yang dihadapi bangsa Indonesia dalam mengembangkan sistem hukum
nasional adalah pluralisme hukum, terutama antara hukum nasional dan hukum
agama, khususnya hukum Islam sebagai bagian dari ajaran agama Islam yang dianut
oleh mayorits warga negara Indonesia. Oleh karena itu, kedua sistem hukum
tersebut harus diselaraskan, karena jika tidak, maka akan terjadi pertentangan
dan konflik.[24]
Terhitung sejak tahun 1970-an sampai sekarang arah dinamika hukum Islam dan
proses transformasi hukum Islam telah berjalan sinergis searah dengan dinamika
politik di Indonesia. Tiga fase hubungan antara Islam dan negara pada masa Orde
Baru yakni fase antagonistik yang bernuansa konflik, fase resiprokal kritis
yang bernuansa strukturalisasi Islam, dan fase akomodatif yang bernuansa
harmonisasi Islam dan negara, telah membuka pintu lebar bagi islamisasi pranata
sosial, budaya, politik dan hukum Islam di Indonesia.
Dalam bentuk yang lebih kongkrit, terdapat beberapa produk peraturan dan
perundang-undangan yang secara formil maupun material tegas memiliki muatan
yuridis hukum Islam, antara lain: UU No.22/1946 Pencatatan Nikah, Talak, dan
Rujuk, UU Darurat No.11/1957 tentang Susunan Kekuasaan dan Pengadilan Sipil, UU
No.14/1970 tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No.1/1974 tentang Hukum Perkawinan,
UU No.7/ 1989 tentang Peradilan Agarna (Kini UU No. 3/2006) , UU No.7/1992
tentang Perbankan Syari’ah (Kini UU No. 10/1998), UU No.17/1999 tentang
Penyelenggaraan Ibadah Haji, UU No.38/ 1000 tentang Pangelolaan Zakat, Infak
dan Shadaqah, UU No.4/1999 tentang Penyelenggaraan Otonomi Khusus Nangroe Aceh
Darussalam, UU Politik 1999 yang mengatur ketentuan partai Islam, dan UU No.41/2004
tentang Wakaf.
Di samping tingkatannya yang berupa Undang-undang, juga terdapat
peraturan-peraturan lain yang berada di bawah Undang-undang, antara lain: PP.
No.1/SD/1946 tentang membentuk Departemen Agama, PP No.9/1975 tentang Petunjuk
Pelaksanaan UU Hukum Perkawinan, PP No.28/1977 tentang Perwakafan Tanah Milik,
PP No.72/1992 tentang Penyelenggaraan Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil,
Inpres No.1/ 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, dan Inpres No.4/2000 tentang
Penanganan Masalah Otonomi Khusus di Nangroe Aceh Darussalam
Dari sekian banyak produk perundang-undangan yang memuat materi hukum
Islam, peristiwa paling fenomenal adalah disahkannya UU No.7/1989 tentang
Peradilan Agama. Betapa tidak, Peradilan Agama sesungguhnya telah lama dikenal
sejak masa penjajahan (Mahkamah Syar’iyyah) hingga masa kemerdekaan,
mulai Orde Lama hingga Orde Baru, baru kurun waktu akhir 1980-an UUPA No.7/1980
dapat disahkan sehagai undang-undang. Padahal UU No.14/1970 dalam pasal 10-12
dengan tegas mengakui kedudukan Peradilan Agama berikut eksistensi dan
kewenangannya.
Keberadaan UU No.7/1989 tentang Peradilan Agama dan Inpres No.1/1991
tentang Kompilasi Hukum Islam sekaligus merupakan landasan yuridis bagi umat
Islam untuk menyelesaikan masalah-masalah perdata. Padahal perjuangan umat
Islam dalam waktu ± 45 tahun sejak masa Orde lama dan ± 15 tahun sejak masa
Orde Baru, adalah perjuangan panjang yang menuntut kesabaran dan kerja keras
hingga disahkannya UU No.7/1989 pada tanggal 29 Desember 1989.
Sejalan dengan perubahan iklim politik dan demokratisasi di awal tahun
1980-an sampai sekarang, tampak isyarat positif bagi kemajuan pengembangan
hukum Islam dalam seluruh dimensi kehidupan masyarakat. Pendekatan struktural
dan harmoni dalam proses islamisasi pranata sosial, budaya, politik, ekonomi
dan hukum, semakin membuka pintu lebar-lebar bagi upaya transformasi hukum
Islam dalam sistem hukum nasional. Tinggal bagaimana posisi politik umat Islam
tidak redup dan kehilangan arah, agar ia tetap eksis dan memainkan peran lebih
besar dalam membesarkan dan kemajukan Indonesia baru yang adil dan sejahtera.
F. Penutup
Menyimak perjalanan sejarah transformasi hukurn Islam di Indonesia, memang
sangat sarat dengan berbagai dimensi historis, filosofis, politik, sosiologis
dan yuridis. Dalam kenyataannya, hukum Islam di Indonesia telah mengalami
pasang surut seiring degan politik hukum yang diterapkan oleh kekuasaan negara.
Ini semua, berakar pada kekuatan sosial budaya mayoritas umat Islam di
Indonesia telah berinteraksi dalam proses pengambilan keputusan politik,
sehingga melahirkan berbagai kebijakan politik bagi kepentingan masyarakat
Islam tersebut.
Dari alur pembahasan yang telah dipaparkan dalam makalah ini, jika
dihubungkan dengan teori politik hukum yang dirumuskan oleh Mahfud MD. maka
nampaknya penulis cenderung berkesimpulan bahwa yang terjadi Indonesia adalah politik
determinan atas hukum. Situasi dan kebijakan politik yang sedang
berlangsung sangat mempengaruhi sikap yang harus diambil oleh umat Islam, dan
tentunya hal itu sangat berpengaruh pada produk-produk hukum yang dihasilkan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahab Khallaf, Politik
Hukum Islam, alih bahasa Zainudin Adnan, cet. ke-2, Yogyakarta: Tiata
Wacana, 2005.
Abdullah, Abdul Ghani, “Peradilan
Agama Pasca UU No.7/1989 dan Perkembangan Studi Hukum Islam di Indonesia” dalam
Mimbar Hukum No. 1 Th. V (1994).
Anwar, M. Syafi’i, Pemikiran dan
Aksi Islam Indonesia; Sebuah Kajian Politik tentang Cendekiawan Muslim Orde
Baru, Jakarta: Paramadina, 1995.
--------, Politik Akomodasi
Negara dan Cendekiawan Muslim Orde Baru: Sebuah Retrospeksi dan Refleksi, Bandung:
Mizan, 1995.
Azizy, A. Qodri, Eklektisisme
Hukum Nasional, Kompetisi antara Hukum Islam dan Hukum Umum, cet. ke-1,
Yogyakarta: Gama Media, 2002
Mahfud MD., Moh., “Perjuangan
Politik Hukum Islam di Indonesia”, makalah disampaikan pada seminar yang
diadakan oleh Jurusan Jinayah Siyasah Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 25 November 2006.
--------, Pergulatan Politik dan
Hukum di Indonesia, Yogyakarta: Gama Media, 1999.
--------, Politik Hukum di
Indonesia, cet. ke-1, Jakarta: LP3ES, 1998.
Mas’oed, Mochtar, “Cerita Tentang
Dua Strategi”, pengantar dalam Aminudin, Kekuatan Islam dan Pergulatan
Kekuasaan di Indonesia Sebelum dan Sesudah Runtuhnya Rezim Soeharto, cet.
ke-1, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Munawar, Said Agil al-, Hukum
Islam dan Pluralitas Sosial, cet. ke-1, Jakarta: Paramadina, 2004.
Rahardjo, M. Dawam, Intelektual,
Intelegensia dan Perilaku PolitikBangsa, Bandung: Mizan, 1993.
Saifuddin, Endang, Piaagam
Jakarta 22 Juni 1945; Sebuah Konsensus Nasiional tentang Dasar Negara Republik
Indonesia(1945-1949), cet. ke-1, Jakarta: Gema Insani Press, 1997.
Saleh, Hasanudin M., HMI dan
Rekayasa Asas Tunggal Pancasila, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Sukarja, Ahmad, “Keberlakuan Hukum
Islam dalam Tata Hukum Indonesia” dalam Cik Hasan Bisri (ed.), Bunga Rampai
Peradilan Islam di Indonesia, jilid I, Bandung: Ulul Albab Press,
1997.
Warnoto, Politik Hukum Islam di
Indonesia, cet. ke-1, Yogyakarta: Fakultas Syariah Press UIN Sunan
kalijaga, 2008.
[1] Dipresentasikan dalam kuliah sejarah sosial pemikiran hukum Islam,
Konsentrasi Hukum Keluarga, Program Studi Hukum Islam, Pascasarjana UIN Sunan
Kalijaga 2011.
[2] Penulis adalah mahasiswa program Magister Konsentrasi Hukum Keluarga
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, angkatan 2010.
[3] Mochtar Mas’oed, “Cerita Tentang Dua Strategi”, pengantar dalam Aminudin, Kekuatan
Islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia Sebelum dan Sesudah Runtuhnya Rezim
Soeharto, cet. ke-1 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), bagian pengantar,
hlm. ix-x.
[5] Moh. Mahfud, MD., Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia
(Yogyakarta: Gama Media, 1999), hlm. xi-xii.
[7] Abdul Wahab Khallaf, Politik Hukum Islam, alih bahasa Zainudin
Adnan, cet. ke-2 (Yogyakarta: Tiata Wacana, 2005), hlm. v-vii.
[8] Moh. Mahfud MD., “Perjuangan Politik Hukum Islam di Indonesia”, makalah
disampaikan pada seminar yang diadakan oleh Jurusan Jinayah Siyasah Fakultas
Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 25 November 2006, hlm. 11.
[10] Abdul Ghani Abdullah, “Peradilan Agama Pasca UU No.7/1989 dan Perkembangan
Studi Hukum Islam di Indonesia” dalam Mimbar Hukum No. 1 Th. V (1994),
hIm. 94-106.
[11] Said Agil Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, cet. ke-1
(Jakarta: Paramadina, 2004), hlm. 29.
[12] Warnoto, Politik Hukum Islam di Indonesia, cet. ke-1 (Yogyakarta:
Fakultas Syariah Press UIN Sunan kalijaga, 2008), hlm. 23.
[13] Tujuh kata tersebut adalah “dengan menjalankan syari’at Islam bagi
pemeluk-pemeluknya”. Mengenai piagam Jakarta lebih lanjut baca: Endang
Saifuddin, Piaagam Jakarta 22 Juni 1945; Sebuah Konsensus Nasiional tentang
Dasar Negara Republik Indonesia(1945-1949), cet. ke-1 (Jakarta: Gema Insani
Press, 1997).
[14] M. Dawam Rahardjo, Intelektual, Intelegensia dan Perilaku PolitikBangsa
(Bandung: Mizan, 1993), hlm. 381-382.
[15] M. Syafi’i Anwar, Politik Akomodasi Negara dan Cendekiawan Muslim Orde
Baru: Sebuah Retrospeksi dan Refleksi (Bandung: Mizan, 1995), hlm.
32-235.
[16]M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia; Sebuah Kajian
Politik tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru (Jakarta: Paramadina, 1995),
hlm. 9.
[19] Hasanudin M. Saleh, HMI dan Rekayasa Asas Tunggal Pancasila (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 88-90.
[20] Ahmad Sukarja, “Keberlakuan Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia”
dalam Cik Hasan Bisri (ed.), Bunga Rampai Peradilan Islam di Indonesia, jilid
I(Bandung: Ulul Albab Press, 1997), hlm. 24-25.
[22] Cik Hasan Bisri, “Peradilan Agama dan Peradilan Islam”, dalam Cik Hasan
Bisri (ed.), Bunga Rampai Peradilan Islam I, hlm. 116-117.
[23] A. Qodri Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional, Kompetisi antara Hukum
Islam dan Hukum Umum, cet. ke-1 (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hlm. 173.
penulis aslinya Ahmad Badrut Tamam atau Didi Kusnadi? Coba cek artikel ini sangat mirip...beberapa kalimat terkesan 'copy and paste: http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/WACANA%20HUKUM%20ISLAM/HUKUM%20ISLAM%20DI%20INDONESIA.pdf
BalasHapusdiats kan udah ditulis siapa penulisnya
Hapus