Selasa, 01 Mei 2012

Politik Hukum Islam di Indonesia


 oleh: Ahmad Badru Tamam
A.  Pengantar
Sudah sejak lama para pemimpin dan aktivis Islam di negeri ini berusaha menemukan jalan keluar dari persoalan yang membelit sebagian besar umatnya, yakni kemiskinan dan keterbelakangan. Mereka sadar bahwa perbaikan kondisi yang memprihatinkan itu memerlukan perjuangan politik yang berarti berurusan dengan upaya memperoleh kekuasaan. Namun, ketika para pemimpin dan aktivis Islam tersebut meniti perjuangan politik, timbul perlawanan dari kelompok lain di luar Islam. Tidak hanya itu, di internal para aktivis Islam sendiri terjadi perbedaan strategi yang tidak jarang mengarah pada sebuah pertentangan. Kelompok pertama yang mengusung “islamisasi negara demi masyarakat”, dan kelompok kedua yang berslogan “islamisasi masyarakat dalam negara nasional.”[3]
Kelompok yang mengusung “islamisasi negara demi masyarakat” tergambar dalam sikap para aktivitis Islam yang berpandangan bahwa kehidupan masyarakat Indonesia merdeka harus mencerminkan hukum Islam. Untuk mencapai tujuan itu, ada yang memakai cara konfrontatif, seperti memperjuangkan hukum Islam dalam konstitusi Negara, usaha penguasaan terhadap DPR, dan bahkan dengan memakai cara-cara fisik. Tetapi ada pula yang melakukannya melalui jalur yang bersifat akademis, seperti berdiskusi dan membentuk kelompok-kelompok intelektual muslim. Sedangkan kelompok kedua yang mengusung “islamisasi masyarakat dalam negara nasional” lebih fokus pada pemberdayaan masyarakat, yaitu menciptakan masyarakat Indonesia mampu mengembangkan diri secara otonom.[4]
Perjuangan sebagian umat Islam dalam memberlakukan hukum Islam di Indonesia sudah berlangsung sejak zaman kolonial. Talik ulur tentang itu semakin menguat sejak pra-kemerdekaan, bahkan hingga kini. Berangkat dari asumsi bahwa politik determinan atas hukum, serta pasang surut antara konfigurasi politik yang demokratis dan otoriter sangat mempengaruhi terhadap karakter produk hukum yang dihasilkan, maka makalah ini berusaha untuk mengkaji konfigurasi politik hukum Islam di Indonesia dan sekaligus untuk mengetahui model politik hukum Islam seperti apa yang berkembang di Indonesia.

B.  Pengertian Politik Hukum Islam
Menurut Mahfud MD., di dalam studi mengenai hubungan antara politik dan hukum terdapat tiga asumsi yang mendasarinya, yaitu: (1) Hukum determinan (menentukan) atas politik, dalam arti hukum harus menjadi arah dan pengendali semua kegiatan politik. (2) Politik determinan atas hukum, dalam arti bahwa dalam kenyataannya, baik produk normatif maupun implementasi penegakan hukum itu, sangat dipengaruhi dan menjadi dipendent variable atas politik. (3) Politik dan hukum terjalin dalam hubungan yang saling bergantung, seperti bunyi adagium, “politik tanpa hukum menimbulkan kesewenang-wenangan (anarkis), hukum tanpa politik akan jadi lumpuh.”[5]
Berangkat dari studi mengenai hubungan antara politik dan hukum di atas kemudian lahir sebuah teori “politik hukum”. Politik hukum adalah legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah Indonesia yang meliputi: pertama, pembangunan yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan. Kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum.[6] Jadi politik hukum adalah bagaimana hukum akan atau seharusnya dibuat dan ditentukan arahnya dalam kondisi politik nasional serta bagaimana hukum difungsikan.
Dalam Islam istilah politik hukum disebut dengan as-Siyasah as-Syar’iyyah yang merupakan aplikasi dari al-maslahah al-mursalah, yaitu mengatur kesejahteraan manusia dengan hukum yang ketentuan-ketentuannya tidak termuat dalam syara’. Sebagian ulama mendefinisikan politik hukum Islam sebagai perluasan peran penguasa untuk merealisasikan kemaslahatan manusia sepanjang hal-hal tersebut tidak bertentangan dengan dasar-dasar agama.[7]

C.  Pemikiran Politik Hukum Islam di Indonesia
Negara dan agama, di negara sekulerpun, tidak dapat dipisahkan begitu saja, karena para pengelola negara adalah manusia biasa yang juga terikat dengan berbagai macam norma yang hidup dalam masyarakat, termasuk norma agama. Misalnya, meskipun negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Perancis dan Belanda adalah negara yang memaklumkan diri sebagai negara sekuler, tetapi banyak kasus menunjukkan bahwa keterlibatannya dalam urusan keagamaan terus berlangsung sepanjang entitas agama dan negara itu ada. Bukti empiris keterkaitan agama dan negara dalam konteks Indonesia dapat dilihat misalnya dalam perjuangan sebagian umat Islam untuk memberlakukan Islam sebagai dasar negara.[8]
Menurut Mahfud MD, secara yuridis-konstitusional negara Indonesia bukanlah negara agama dan bukan pula negara sekuler. Menurutnya Indonesia adalah religious nation state atau negara kebangsaan yang beragama. Indonesia adalah negara yang menjadikan ajaran agama sebagai dasar moral, sekaligus sebagai sumber hukum materiil dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu dengan jelas dikatakan bahwa salah satu dasar negara Indonesia adalah “Ketuhanan Yang Maha Esa”.[9]
Abdul Ghani Abdullah mengemukakan bahwa berlakunya hukum Islam di Indonesia telah mendapat tempat konstitusional yang berdasar pada tiga alasan, yaitu: Pertama, alasan filosofis bahwa ajaran Islam rnerupakan pandangan hidup, cita moral dan cita hukum mayoritas muslim di Indonesia, dan ini mempunyai peran penting bagi terciptanya norma fundamental negara Pancasila. Kedua, alasan sosiologis bahwa perkembangan sejarah masyarakat Islam Indonesia menunjukan bahwa cita hukum dan kesadaran hukum bersendikan ajaran Islam memiliki tingkat aktualitas yang berkesinambungan, dan Ketiga, alasan yuridis yang tertuang dalam pasal 24, 25 dan 29 UUD 1945 memberi tempat bagi keberlakuan hukum Islam secara yuridis formal.[10]
Mengenai kedudukan hukum Islam dalam tata hukum negara Indonesia, sistem hukum di Indonesia bersifat majemuk, ini sebagai akibat dari perkembangan sejarahnya. Disebut demikian karena hingga saat ini di Indonesia berlaku tiga sistem hukum sekaligus, yakni sistem hukum adat, sistem hukum Islam, dan sistem hukum barat.
Namun tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa hukum Islam di Indonesia adalah “hukum yang hidup” (the living law), kendati secara resmi dalam aspek-aspek pengaturan tertentu, ia tidak atau belum dijadikan kaidah hukum positif oleh negara. Banyaknya pertanyaaan dan permaslahan mengenai hukum dalam masyarakat yang diajukan kepada para ulama, media massa, dan organisasi sosial keagamaan Islam, haruslah dilihat sebagai sebagai salah satu isyarat bahwa hukum Islam adalah hukum yang hidup dalam masyarakat.[11]
Untuk mewujudkan anggapan tersebut maka dibutuhkan aktualisasi hukum Islam itu sendiri, agar tetap urgen menjadi bagian dari proses pembangunan hukum nasional. Aktualisai hukum Islam dapat dibedakan menjadi dua bentuk: pertama, upaya pemberlakuan hukum Islam dengan pembentukan peraturan hukum tertentu yang berlaku khusus bagi umat Islam. Kedua, upaya menjadikan hukum Islam sebagai sumber hukum bagi penyusunan hukum nasional.[12] Adapun prosedur legislasi hukum Islam harus mengacu kepada politik hukum yang dianut oleh badan kekuasaan negara secara kolektif. Suatu undang-undang dapat ditetapkan sebagai peraturan tertulis yang dikodifikasikan apabila telah melalui proses politik pada badan kekuasaan negara yaitu legislatif dan eksekutif, serta memenuhi persyaratan dan rancangan perundang-undangan yang layak.

D.  Dinamika Politik Hukum Islam di Indonesia
Persentuhan Islam dan politik di Indonesia mulai tampak ke permukaan pada awal kemerdekaan Indonesia, tepatnya ketika bangsa ini meraih kemerdekaannya tahun 1945. Seperti yang tercatat dalam sejarah, pada masa itu terjadi perdebatan yang sangat sengit terkait dua hal, yaitu mengenai dasar Negara dan dimasukkan atau tidaknya tujuh kata pada sila pertama pancasila (peristiwa ini kemudian disebut dengan piagam Jakarta). karena itu, menurut Menteri Agama Era Orde Baru, Jenderal Alamsyah Ratu Perwiranegara, pancasila adalah hadiah terbesar yang diberikan oleh umat Islam kepada Republik Indonesia.[13]
Peralihan kekuasaan dari pemerintahan Orde Lama kepada Orde Baru berimplikasi kepada munculnya krisis politik yang cukup menegangkan berupa gerakan massa yang menuntut pembubaran PKI serta tuntutan pembenahan sistem politik dan pemulihan keamanan negara. Puncaknya terjadi pada tahun 1966, yaitu dengan dikeluarkannya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang kemudian berakhir dengan pencabutan mandat presiden Soekarno oleh MPRS dan pengangkatan Soeharto sebagai Presiden kedua Republik Indonesia.
Konflik Islam dan politik muncul kembali ketika Orde Baru menerapkan kebijakan modernisasi, di mana stigma perkembangan pola pikir dan cara pandang bangsa Indonesia serta proses transformasi kultural dan perubahan sosial lebih banyak mengadopsi dari negara-negara Barat. Kiblat pembangunan Indonesia yang sebelumnya mengarah ke Eropa Timur berbalik arah ke Eropa Barat dan Amerika. Imbasnya, banyak kemudian terdapat kalangan cendekiawan dan intelektual mulai akrab dengan pemikiran-pemikiran Barat.
Sementara itu, bagi kalangan Islam, modernisasi ibarat dilema karena dihadapkan kepada dua pilihan, yakni apabila mendukung modernisasi ala Orde Baru yang berarti sama saja mendukung Barat, di sisi lain, apabila menolak berarti umat Islam akan kehilangan kesempatan untuk berperan aktif dalam pembangunan nasional. Dilema tersebut melahirkan tiga pola berikut: Pertama, pola apologi, yakni suatu bentuk sikap penolakan kalangan Islam terhadap segala nilai-nilai yang berakar pada wacana modernisasi. Bahkan pola pertama ini berasumsi bahwa modernisasi identik dengan westernisasi dan sekularisasi. Kedua, pola adaptif, yakni suatu bentuk sikap menerima sebagian nilai-nilai modernisasi yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Ketiga, pola kreatif, yakni suatu bentuk sikap dialogis yang lebih mengutamakan pendekatan intelektual dalam menanggapi modernisasi. Dari ketiga pola tersebut, tampaknya pola ketiga menjadi lebih dominan karena pendekatan intelektual yang dikembangkan oleh kalangan modernis dipandang lebih representatif untuk membangun tatanan Islam modern di Indonesia.[14]
Pola pertautan politik yang serba provokatif dianggap bukan jalan terbaik bagi islamisasi di Indonesia, mengingat penduduk Indonesia tidak seluruhnya umat Islam yang dapat disatukan dalam bingkai sistem politik keormasan. Pada gilirannya, lahirlah gagasan Islam kultural sebagai jalan tengah bagi umat Islam untuk tetap memainkan perannya dalam pentas politik nasional. Paling tidak, kebenaran akan pendekatan ini mulai membuahkan hasil berupa terbukanya jalan bagi umat Islam menuju islamisasi politik Orde Baru di penghujung tahun 70-an.[15]
Kebijakan-kebijakan politik Orde Baru yang menempatkan Islam dalam posisi marjinal di pentas politik nasional pada gilirannya telah melahirkan berbagai ketegangan antara Islam dan negara. Sejarah telah mencatat hahwa dinamika hubungan Islam dan negara pada masa Orde Baru mengalami pergeseran yang bersifat antagonistik, resiprokal kritis (timbal balik yang kritis) sampai akomodatif. Hubungan antagonistik (1966-1981) mencerminkan pola hubungan yang hegemonik antara Islam dengan pemerintah Orde Baru. Keadaan negara yang kuat memainkan pengaruh ideologi politik sampai ke tingkat masyarakat bawah telah berlawanan dengan sikap reaktif kalangan Islam sehingga melahirkan konflik ideologi dan sekaligus menempatkan Islam sebagai oposisi.[16]
Pada tahap hubungan resiprokal kritis (1982- 1985), kaum santri berupaya merefleksikan kembali cara pandang mereka dan merubah dirinya untuk menampilkan sisi intelektualitas dalam percaturan politik Indonesia. Pada tahap ini pilihan-pilihan rasional-pragmatis telah melahirkan saling pengertian akan kepentingan Islam dan pemerintah. Dalam kurun waktu 1982-1985 sebagian kalangan Islam mulai menerima asas tunggal sebagai landasan ideologi.[17]
Pada tahap hubungan akomodatif (1985-2000), hubungan Islam dan negara terasa lebih harmonis di mana umat Islam telah masuk sebagai bagian dan sistem politik elit dan birokrasi. Pola hubungan akomodatif ini sangat terasa berupa tersalurkannya aspirasi umat Islam untuk membangun tatanan sosial, politik, ekonomi dan budaya yang berakar pada nilai-nilai luhur Islam serta budaya bangsa yang dibingkai dalam falsafah integralistik Pancasila dan UUD 1945.[18]
Namun demikian, khusus dalam sudut pandang perkembangan hukum Islam di Indonesia, kesempatan umat Islam untuk mendapatkan hak-haknya pada pola hubungan antagonistik lebih tampak. Posisi umat Islam yang begitu lemah, seperti ketika merumuskan UU No.1/1974, aliran kepercayaan dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4), isu ekstrim kanan, isu suku, agama dan ras (SARA), isu kristenisasi dan kebijakan ekonomi kapitalistik. Protes umat Islam atas UU Perkawinan No.1/1974 yang disusul dengan PP No.9/1975, dianggap sebagai usaha Orde Baru untuk menggeser Hukum Islam dan akar tatanan sosial masyarakat Islam di Indonesia.[19]
Dapat dikatakan bahwa hubungan Islam dan negara pada tahap antagonistik lebih banyak peristiwa yang memunculkan pola hubungan yang tidak harmonis berupa konflik ideologis. Jika sebelumnya pada masa Orde Lama, Islam lebih nampak mengkristal dalam bingkai organisasi politik Masyumi, tegas berhadapan dengan ideologi nasionalis sekuler (PNI Soekarnois) dan ekstrim kiri PKI. Selanjutnya pada masa Orde Baru Islam terbelah dan terpecah-pecah dari bingkai Masyumi. Hal ini terjadi karena kebijakan ketat pemerintah Orde Baru dalam merespon munculnya kembali kuatnya ideologi Islam politik.
Tersendat-sendatnya aspirasi umat Islam di dalam mendapatkan hak-hak perundang-undangan dan hukum tampak ketika dilegislasikannya UU No.1/1974 yang kemudian disusul dengan PP No.9/1975. Selanjutnya ditetapkan pula ketentuan tentang Wakaf dalam PP No.28/1977. Tidak berhenti sampai di situ, umat Islam di tingkat legislatif kembali mempersoalkan faham dan aliran kepercayaan dalam UUD 1945 sebagai agama resmi yang diakui negara. Dan yang paling krusial adalah kehendak umat Islam untuk dilegislasikannya Rancangan Undang-undang Peradilan Agama (RUU PA) bagi penyelenggaraan peradilan Islam di Indonesia.[20]
Kemudian pada pola hubungan resiprokal kritis, umat Islam menyadari perlunya strategi untuk menempuh jalur struktural-birokrat pada sistem kenegaraan. Pada tahapan ini, kalangan cendekiawan dan politisi Islam harus berani bersentuhan langsung dengan pemerintahan Orde Baru.[21] Melalui pendekatan strukturai-fungsional, umat Islam relatif mengalami kemajuan pesat berupa masuknya kalangan Islam dalam segala sistem pemerintahan sipil mulai dari pusat hingga daerah, dan sekaligus memperkokoh kekuasaan Orde Baru dalam bingkai akumulasi sipil, Islam, dan militer.
Pada pola akomodatif, sebagai antitesa dan pola hubungan sebelumnya Islam hampir menguasai seluruh sendi-sendi pemerintahan dan negara. Tercatat realitas sosial politik umat Islam demikian penting memainkan peranannya di pentas nasional. Kehadiran ICMI, 8 Desember 1990, diyakini sebagai tonggak baru menguatnya islamisasi politik di Indonesia, dan semakin tampak ketika diakomodirnya kepentingan syari’at Islam melalui UUPA No.7/1989 sekaligus menempatkan Peradilan Agama sebagai lembaga peradilan negara yang diatur dalarn UU Pokok Kekuasaan Kehakiman No.14/1970, disusul dengan UU Perbankan No.10/1998 (pengganti UU No.7/1992), UU Zakat No.38/ 1999, KHI Inpres No.1/1991.[22]
Partisipasi politik kalangan umat Islam demikian tampak mulai dari pendekatan konflik, pendekatan resiprokal kritis sampai pendekatan akomodatif. Maka dapat diasumsikan untuk menjadikan Islam sebagai kakuatan politik hanya dapat ditempuh dengan dua cara yakni secara represif (konflik) dan akomodatif (struktural-fungsional). Paling tidak ini merupakan sebuah gambaran terhadap model paradigma hubungan antara Islam dan negara di Indonesia.
Untuk mengembangkan proses transformasi hukum Islam ke dalam supremasi hukum nasional, diperlukan partisipasi semua pihak dan lembaga terkait, seperti halnya hubungan hukum Islam dengan badan kekuasaan negara yang mengacu kepada kebijakan politik hukum yang ditetapkan. Politik hukum tersebut merupakan produk interaksi kalangan elite politik yang berbasis kepada berbagai kelompok sosial budaya. Ketika elite politik Islam memiliki daya tawar yang kuat dalam interaksi politik itu, maka peluang bagi pengembangan hukum Islam untuk ditransformasikan semakin besar.

E.  Gagasan positivisasiHukum Islam di Indonesia
Sebagaimana negara berkembang lainnya, Indonesia selalu berusaha menjalankan pembangunan hukum nasional, yang meski dalam prakteknya sarat dengan nuansa dan pengaruh politik penguasa. Ketika berbicara mengenai pembangunan di bidang hukum, maka orientasinya adalah pada kodifikasi dan unifikasi hukum nasional.
Sebagai upaya untuk mencapai produk hukum yang lebih responsive, agaknya demokratisasi di bidang politik adalah suatu hal yang harus dilakukan terlebih dahulu. Ketika kompetisi yang demokratis itu terjadi, maka usaha konsepsional menjadi bagian strategi yang tidak dapat diabaikan begitu saja, untuk menjadikan hukum Islam sebagai sumber hukum nasional, maka diperlukan system kerja positivisasi hukum Islam yang dapat diterima secara keilmuan dan melalui proses demokratisasi dan bukan indoktrinasi.[23]
Ketika berbicara mengenai positivisasi hukum Islam, maka sasarannya adalah menjadikan hukum Islam sebagai sumber pembuatan undang-undang, dalam pengertian yang lebih luas, termasuk di dalamnya keputusan hakim, kebiasaan, dan doktrin. Salah satu yang dihadapi bangsa Indonesia dalam mengembangkan sistem hukum nasional adalah pluralisme hukum, terutama antara hukum nasional dan hukum agama, khususnya hukum Islam sebagai bagian dari ajaran agama Islam yang dianut oleh mayorits warga negara Indonesia. Oleh karena itu, kedua sistem hukum tersebut harus diselaraskan, karena jika tidak, maka akan terjadi pertentangan dan konflik.[24]
Terhitung sejak tahun 1970-an sampai sekarang arah dinamika hukum Islam dan proses transformasi hukum Islam telah berjalan sinergis searah dengan dinamika politik di Indonesia. Tiga fase hubungan antara Islam dan negara pada masa Orde Baru yakni fase antagonistik yang bernuansa konflik, fase resiprokal kritis yang bernuansa strukturalisasi Islam, dan fase akomodatif yang bernuansa harmonisasi Islam dan negara, telah membuka pintu lebar bagi islamisasi pranata sosial, budaya, politik dan hukum Islam di Indonesia.
Dalam bentuk yang lebih kongkrit, terdapat beberapa produk peraturan dan perundang-undangan yang secara formil maupun material tegas memiliki muatan yuridis hukum Islam, antara lain: UU No.22/1946 Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk, UU Darurat No.11/1957 tentang Susunan Kekuasaan dan Pengadilan Sipil, UU No.14/1970 tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No.1/1974 tentang Hukum Perkawinan, UU No.7/ 1989 tentang Peradilan Agarna (Kini UU No. 3/2006) , UU No.7/1992 tentang Perbankan Syari’ah (Kini UU No. 10/1998), UU No.17/1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, UU No.38/ 1000 tentang Pangelolaan Zakat, Infak dan Shadaqah, UU No.4/1999 tentang Penyelenggaraan Otonomi Khusus Nangroe Aceh Darussalam, UU Politik 1999 yang mengatur ketentuan partai Islam, dan UU No.41/2004 tentang Wakaf.
Di samping tingkatannya yang berupa Undang-undang, juga terdapat peraturan-peraturan lain yang berada di bawah Undang-undang, antara lain: PP. No.1/SD/1946 tentang membentuk Departemen Agama, PP No.9/1975 tentang Petunjuk Pelaksanaan UU Hukum Perkawinan, PP No.28/1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, PP No.72/1992 tentang Penyelenggaraan Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil, Inpres No.1/ 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, dan Inpres No.4/2000 tentang Penanganan Masalah Otonomi Khusus di Nangroe Aceh Darussalam
Dari sekian banyak produk perundang-undangan yang memuat materi hukum Islam, peristiwa paling fenomenal adalah disahkannya UU No.7/1989 tentang Peradilan Agama. Betapa tidak, Peradilan Agama sesungguhnya telah lama dikenal sejak masa penjajahan (Mahkamah Syar’iyyah) hingga masa kemerdekaan, mulai Orde Lama hingga Orde Baru, baru kurun waktu akhir 1980-an UUPA No.7/1980 dapat disahkan sehagai undang-undang. Padahal UU No.14/1970 dalam pasal 10-12 dengan tegas mengakui kedudukan Peradilan Agama berikut eksistensi dan kewenangannya.
Keberadaan UU No.7/1989 tentang Peradilan Agama dan Inpres No.1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam sekaligus merupakan landasan yuridis bagi umat Islam untuk menyelesaikan masalah-masalah perdata. Padahal perjuangan umat Islam dalam waktu ± 45 tahun sejak masa Orde lama dan ± 15 tahun sejak masa Orde Baru, adalah perjuangan panjang yang menuntut kesabaran dan kerja keras hingga disahkannya UU No.7/1989 pada tanggal 29 Desember 1989.
Sejalan dengan perubahan iklim politik dan demokratisasi di awal tahun 1980-an sampai sekarang, tampak isyarat positif bagi kemajuan pengembangan hukum Islam dalam seluruh dimensi kehidupan masyarakat. Pendekatan struktural dan harmoni dalam proses islamisasi pranata sosial, budaya, politik, ekonomi dan hukum, semakin membuka pintu lebar-lebar bagi upaya transformasi hukum Islam dalam sistem hukum nasional. Tinggal bagaimana posisi politik umat Islam tidak redup dan kehilangan arah, agar ia tetap eksis dan memainkan peran lebih besar dalam membesarkan dan kemajukan Indonesia baru yang adil dan sejahtera.

F.   Penutup
Menyimak perjalanan sejarah transformasi hukurn Islam di Indonesia, memang sangat sarat dengan berbagai dimensi historis, filosofis, politik, sosiologis dan yuridis. Dalam kenyataannya, hukum Islam di Indonesia telah mengalami pasang surut seiring degan politik hukum yang diterapkan oleh kekuasaan negara. Ini semua, berakar pada kekuatan sosial budaya mayoritas umat Islam di Indonesia telah berinteraksi dalam proses pengambilan keputusan politik, sehingga melahirkan berbagai kebijakan politik bagi kepentingan masyarakat Islam tersebut.
Dari alur pembahasan yang telah dipaparkan dalam makalah ini, jika dihubungkan dengan teori politik hukum yang dirumuskan oleh Mahfud MD. maka nampaknya penulis cenderung berkesimpulan bahwa yang terjadi Indonesia adalah politik determinan atas hukum. Situasi dan kebijakan politik yang sedang berlangsung sangat mempengaruhi sikap yang harus diambil oleh umat Islam, dan tentunya hal itu sangat berpengaruh pada produk-produk hukum yang dihasilkan.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahab Khallaf, Politik Hukum Islam, alih bahasa Zainudin Adnan, cet. ke-2, Yogyakarta: Tiata Wacana, 2005.
Abdullah, Abdul Ghani, “Peradilan Agama Pasca UU No.7/1989 dan Perkembangan Studi Hukum Islam di Indonesia” dalam Mimbar Hukum No. 1 Th. V (1994).
Anwar, M. Syafi’i, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia; Sebuah Kajian Politik tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, Jakarta: Paramadina, 1995.
--------, Politik Akomodasi Negara dan Cendekiawan Muslim Orde Baru: Sebuah Retrospeksi dan Refleksi, Bandung: Mizan, 1995.
Azizy, A. Qodri, Eklektisisme Hukum Nasional, Kompetisi antara Hukum Islam dan Hukum Umum, cet. ke-1, Yogyakarta: Gama Media, 2002
Mahfud MD., Moh., “Perjuangan Politik Hukum Islam di Indonesia”, makalah disampaikan pada seminar yang diadakan oleh Jurusan Jinayah Siyasah Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 25 November 2006.
--------, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Yogyakarta: Gama Media, 1999.
--------, Politik Hukum di Indonesia, cet. ke-1, Jakarta: LP3ES, 1998.
Mas’oed, Mochtar, “Cerita Tentang Dua Strategi”, pengantar dalam Aminudin, Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia Sebelum dan Sesudah Runtuhnya Rezim Soeharto, cet. ke-1, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Munawar, Said Agil al-, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, cet. ke-1, Jakarta: Paramadina, 2004.
Rahardjo, M. Dawam, Intelektual, Intelegensia dan Perilaku PolitikBangsa, Bandung: Mizan, 1993.
Saifuddin, Endang, Piaagam Jakarta 22 Juni 1945; Sebuah Konsensus Nasiional tentang Dasar Negara Republik Indonesia(1945-1949), cet. ke-1, Jakarta: Gema Insani Press, 1997.
Saleh, Hasanudin M., HMI dan Rekayasa Asas Tunggal Pancasila, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Sukarja, Ahmad, “Keberlakuan Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia” dalam Cik Hasan Bisri (ed.), Bunga Rampai Peradilan Islam di Indonesia, jilid I, Bandung: Ulul Albab Press, 1997.
Warnoto, Politik Hukum Islam di Indonesia, cet. ke-1, Yogyakarta: Fakultas Syariah Press UIN Sunan kalijaga, 2008.



[1] Dipresentasikan dalam kuliah sejarah sosial pemikiran hukum Islam, Konsentrasi Hukum Keluarga, Program Studi Hukum Islam, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga 2011.
[2] Penulis adalah mahasiswa program Magister Konsentrasi Hukum Keluarga Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, angkatan 2010.
[3] Mochtar Mas’oed, “Cerita Tentang Dua Strategi”, pengantar dalam Aminudin, Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia Sebelum dan Sesudah Runtuhnya Rezim Soeharto, cet. ke-1 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), bagian pengantar, hlm. ix-x.
[4]Ibid., hlm. x-xi.
[5] Moh. Mahfud, MD., Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia (Yogyakarta: Gama Media, 1999), hlm. xi-xii.
[6] Moh. Mahfud, MD., Politik Hukum di Indonesia, cet. ke-1 (Jakarta: LP3ES, 1998), hlm. 9.
[7] Abdul Wahab Khallaf, Politik Hukum Islam, alih bahasa Zainudin Adnan, cet. ke-2 (Yogyakarta: Tiata Wacana, 2005), hlm. v-vii.
[8] Moh. Mahfud MD., “Perjuangan Politik Hukum Islam di Indonesia”, makalah disampaikan pada seminar yang diadakan oleh Jurusan Jinayah Siyasah Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 25 November 2006, hlm. 11.
[9]Ibid, hlm. 8.
[10] Abdul Ghani Abdullah, “Peradilan Agama Pasca UU No.7/1989 dan Perkembangan Studi Hukum Islam di Indonesia” dalam Mimbar Hukum No. 1 Th. V (1994), hIm. 94-106.
[11] Said Agil Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, cet. ke-1 (Jakarta: Paramadina, 2004), hlm. 29.
[12] Warnoto, Politik Hukum Islam di Indonesia, cet. ke-1 (Yogyakarta: Fakultas Syariah Press UIN Sunan kalijaga, 2008), hlm. 23.
[13] Tujuh kata tersebut adalah “dengan menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Mengenai piagam Jakarta lebih lanjut baca: Endang Saifuddin, Piaagam Jakarta 22 Juni 1945; Sebuah Konsensus Nasiional tentang Dasar Negara Republik Indonesia(1945-1949), cet. ke-1 (Jakarta: Gema Insani Press, 1997).
[14] M. Dawam Rahardjo, Intelektual, Intelegensia dan Perilaku PolitikBangsa (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 381-382.
[15] M. Syafi’i Anwar, Politik Akomodasi Negara dan Cendekiawan Muslim Orde Baru: Sebuah Retrospeksi dan Refleksi  (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 32-235.
[16]M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia; Sebuah Kajian Politik tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 9.
[17]Ibid., hlm. 238-239.
[18]Ibid.
[19] Hasanudin M. Saleh, HMI dan Rekayasa Asas Tunggal Pancasila (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 88-90.
[20]  Ahmad Sukarja, “Keberlakuan Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia” dalam Cik Hasan Bisri (ed.), Bunga Rampai Peradilan Islam di Indonesia, jilid I(Bandung: Ulul Albab Press, 1997), hlm. 24-25.
[21] M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam di Indonesia, hlm. 241.
[22] Cik Hasan Bisri, “Peradilan Agama dan Peradilan Islam”, dalam Cik Hasan Bisri (ed.), Bunga Rampai Peradilan Islam I, hlm. 116-117.
[23] A. Qodri Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional, Kompetisi antara Hukum Islam dan Hukum Umum, cet. ke-1 (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hlm. 173.


2 komentar:

  1. penulis aslinya Ahmad Badrut Tamam atau Didi Kusnadi? Coba cek artikel ini sangat mirip...beberapa kalimat terkesan 'copy and paste: http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/WACANA%20HUKUM%20ISLAM/HUKUM%20ISLAM%20DI%20INDONESIA.pdf

    BalasHapus