A.
LATAR
BELAKANG DAN SEJARAH MUNCULNYA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28
TAHUN 1977 TENTANG PERWAKAFAN TANAH MILIK
Kajian wakaf sebagai lembaga yang diatur oleh negara merujuk kepada
peraturan perundang-undangan yang
berlaku di negara itu. Di Indonesia,
perwakafan telah diatur dalam peraturan perundang-undangan sejak tahun 1905. Sebelum Lahirnya Undang-Undang No.41 Tahun
2004 Hukum dan Perundang-undangan perwakafan di indonesia sampai sa’at ini
belum meliputi seluruh bentuk perwakafan. Selama ini, baru terdapat peraturan
pemerintah tentang perwakafan tanah milik yang merupakan kelanjutan dari
Undang-Undang Pokok Agraria, Khususnya pasal 49(1).
Sejak Islam datang ke indonesia, wakaf telah dilaksanakan
berdasarkan faham yang dianut oleh masyarakat islam sesuai dengan faham Syafi’iyyah dan adat
kebiasaan.Baru pada tahun 1905 dikeluarkan sirkulir oleh pemerintah Hindia
Belanda yang termuat dalam BS No.6196 tanggal 31 juni. BS tersebut pun baru
mengatur perwakafan mesjid dan rumah suci. BS tesebut, antara lain,
mengatakan bahwa bagi mereka yang ingin
melaksanakan wakaf diharuskan terlebih dahulu meminta izin kepada Bupati. Akan
tetapi peraturan ini dianggap oleh masyarakat Islam sebagai alat untuk membatasi
ibadah mereka. BS itu pun memerintahkan bupati supaya mendaftarkan tanah-tanah
wakaf dan mesjid-mesjid.
Tanggal 4 juni 1931 dikeluarkan kembali BS No.12573 yang bukan saja
mengatur mesjid, melainkan juga secara tegas menyebut wakaf Bedehuizen Mooskien
en Wakaps. Sirkulir ini mengatur tanah wakaf. BS tersebut menyatakan bahwa
tanah yang akan dibangun mesjid di atasnya harus terlebih dahulu dimintakan
izin oleh si wakif dari penguasa. Dalam hal ini pemerintah Hindia Belanda.
Permintaan izin tersebut dimaksud agar tanah yang di bangun mesjid di atasnya
itu di kemudian hari tidak terganggu atau tergusur untuyk pembangunan kota.
Dengan demikian, prosedur perizinan wakaf sebagaimana diatur dalam ini menyebutkan bahwa apabila izin
pembangunan tanah wakaf dipandang oleh bupati akan mengganggu ketertiban, maka
bupati dapat menentukan tempat lain untuk pembangunan Mesjid itu. BS ini pun
mengalami nasib yang sama seperti BS sebelumnya, karena masyarakat islam masih
menganggapnya sebagai upaya pembatasan ibadah mereka.
Menyusul BS diatas, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan lagi BS
tanggal 24 Desember 1934 bernomor 13390.BS ini bukan saja mengatur wakaf tanah
dan pembangunan mesjid, melainkan juga mengatur perizinan solat Jum’at (vrijdagediesten
en wakaps). BS terakhir ini pun tidak mendapat sambutan masyarakat islam.
Tanah wakaf tetap tidak terdaftar, kecuali sebagian kecil saja. Walaupun BS ini
tidak lagi mengharuskan si wakif untuk meminta izin kepada pemerintah, tetapi
mereka harus melaporkannya kepada kantor notaris untuk meminta akta notaris.
Tahun 1935 kembali pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan BS
No.113480 yang memerintahkan bupati untuk mendaftarkan tanah wakaf, dan orang
yang akan mewakafkan tananhnya harus lebih dahulu melaporkannya kepada bupati.
Bupati kemudian melaporkannya kepada Kadaster, Kadaster melaporkannya kepada
bagian pajak agar membebaskan beban pajak atas tanah yang di wakafkan itu. BS
ini tidak lagi mengharuskan permintaan izin perwakafan dari si wakif kepada
pemerintah, melainkan mencukupkan dengan keharusan memberikan pemberitahuan kepada Bupati
melalui kepala desa dan camat, kecuali bila bupati memandang bahwa perwakafan
tanah dan pembangunan mesjid di atasnya akan mengganggu ketertiban dan
kepentingan umum , ia berhak menentukan lain.[1]
Main idea BS tahun1935 ini kiranya hampir sama dengan apa yang terkandung
dalam PP.No.28/1977. BS ini sekali lagi tidak mendapat sambutan masyarakat
islam secara menggembirakan . apalagi BS ini tidak disertai dengan sanksi hukum
bagi pelanggarnya. Padahal, konon kabarnya, BS ini dibuat dengan sesuai
keyakinan masyarakat islam pada zamannya bahwa wakaf itu harus mu”abbad (kekal)
sehingga pemerintah memandang perlu mengeluarkan peraturan yang menjamin
terlaksananya keyakinan tersebut dan lembaga wakif tidak terganggu bila ada
kepentingan umum lainya, seperti pelebaran jalan dan perluasan perkotaan, atau kepentingan umum lainnya.
Lahirnya Undang Undang pokok Agraria di zaman kemerdekaan, yaitu
Nomor 5 tahun 1960 yang merupakan unifikasi hukum tanah di seluruh indonesia
(Daerah istimewa yogyakarta baru melaksanakannya tahun 1984) memperkokoh dasar
hukum perwakafan, khususnya perwakafan tanah milik. Pasal 14 (1) huruf b, undang-undang tersebiut
menyatakan:
Pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia, membuat suatu rencana
umum mengenai peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya:......b. untuk keperluan perbiadatan
dan keperluan keperluan lainnya, sesuai dengan Ketuhanan Yang Maha Esa.[2]
UUPA pasal 49 menyangkut hak-hak tanah untuk keperluan suci dan
sosial yang berbunyi:
(1)
Hak
milik tanah badan-badan keuangan dan sosial sepanjang dipergunakan untuk usaha
dalam bidang keagamaan dan sosial diikuti dan dilindungi. Badan-badan tersebut
dijamin pula akan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya dalam
bidang keagamaan dan sosial.
(2)
Untuk
keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya sebagai di maksud pasal 14
dapat diberikan tanah yang dikuasai
langsung oleh negara dengan hak pakai.
(3)
Perwakafan
tanah milik dilindungi dan diatur dengan peraturan pemerintah.
Tindak lanjut
dari pasala 14 dan 49 di atas dikeluarkanlah Peraturan Menteri Dalam Negri
nomor 6 tahun 1977 tentang tata pendaftaran tanah mengenai perwakafan tanah
milik. Peraturan Menteri dalam Negeri tersebut di buat sebagai pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 10/1961 tentang
pendaftaran tanah dan Peraturan Pemerintah Nomor 28/1977 tentang Perwakafan
Tanah Milik. Peraturan Pelaksanaan PP No. 28/1977 dibuat oleh Menteri Agama,
dengan keluarnya peraturan Menteri Agama Nomor 1 tahun 1978 yang sesuai dengan
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 1977 diatas.
Setelah
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 tahun 1978 dikeluarkan, untuk
pelaksanaannya lebih lanjut dikeluarkanlah intruksi Bersama Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri tentang pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun
1977 yang masing-masing bernomor 1 tahun 1978. Intruksi Bersama tersebut di
susul dengan Intruksi Menteri Agama Nomor 3 tahun 1979 tentang petunjuk
pelaksanaan keputusan Menteri Agama Nomor 73/1978 tentang pendelegasian
wewenang kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi/setingkat untuk mengangkat/memberhentikan setiap Kepala
kantor Urusan Agama Kecamatan sebagai Pejabat pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW).
Intruksi Mnteri agama Nomor 3 tahun 1979 di atas, antara lain , memuat :
Pengangkatan PPAIW, Pendelegasian wewenang Kepala Kantor Wilayah Departemen
Agama Kepada kepala bidang Urusan Agama Islam serta mengintruksikan Kepala
Kantor Wilayah Departemen Agama untuk melaporkan pelaksanaan intruksi tersebut
kepada Dirjen Bimas Islam dan urusan Haji.
B.
MOTIF
DAN DASAR HUKUM PERWAKAFAN TANAH MILIK,
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun
1977.
Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 rupanya dibuat berdasarkan
tiga motif utama, yaitu:
1.
Motif
Keagamaan sebagaimana
tercermin da;lam konsidernnya yang menyatakan bahwa “wakaf sebagai lembaga
keagamaan yang sifatnya sebagai sarana keagamaan”. Dalam hal ini adalah motif
agama islam. Kalau UUPA berlandaskan tujuan untuk mencapai “sosialisme
Indonesia”, maka PP ini bertrujuan : Tercapainya kesejahteraan spiritual dan
material menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila”. Dengan kata
lain ,” sosialisme Indonesia” diartikan sesuai dengan tujuan di atas.
2.
Peraturan
Perwakafan sebelumnya tidak memadai bagi penerbitan hukum perwakafan secara
tuntas, bahkan menimbulkan berbagai masalah, seperti tidak adanya data tentang
perwakafan.
3.
Adanya
landasan Hukum yang kokoh dengan diundangkannya UUPA No. 1960, khususnya pasal
14 (1) huruf b, dan pasal 49 (3) sebagaimana di jelaskan diatas.
Landasan Hukum Pengundangan PP.No
28/1997
Landasan Hukum Lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977
tentang perwakafan Tanah Milik itu ialah:
1.
Pasal
5 ayat (2) Undan Undang Dasar 1945
2.
Ketetapan
MPR Nomor IV/MPR/1973 tentang GBHN;
3.
UU.
Nomor 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (lembaran Negara tahun
1960 Nomor 104; tambahan Lembaran Negara Nomor 2043);
4.
Peraturan
Pemerintah Nomor 10/1961 Nomor 28; tambahan lembaran negara nomor 2171.[3]
Penjelasan Umum PP.Nomor 28/1977
Ada beberapa poin penting yang perlu di perhatikan dalam penjelasan
umum Peraturan Pemerintah Nomor 28/1977.
1.
Salah
satu masalah di bidang keagamaan yang, menyangkut pelaksanaan tugas-tugas
keagrariaan adalah perwakafan tanah
milik. masalah perwakafan tanah milik
ini sangat penting di tinjau dari sudut pandang Undang-Undang nomor 5
tahun 1960.
2.
Bahwa
pada waktu yang lampau pengaturan tentang perwakafan tanah milik tidak diatur
secara tuntas dalam bentuk peraturan perundang-undangan sehingga memudahkan
terjadinya penyimpangan dari hakikat tujuan wakaf itu sendiri, terutama disebabkan
karena banyaknya ragam perwakafan , seperti wakaf keluarga,wakaf umum, dll.
Tidak adanya keharusan mendaftarkan tanah milik yang diwakafkan telaah
mengakibatkan , bukan saja tidak tercatatnya tanah wakaf, melainkan juga
beralihnya status wakaf menjadi milik perorangan yang di wariskan turun
temurun.
3.
Kejadian-keejadian
seperti tersebut di atas telah menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat
Islam yang menjurus kepada sikap anti pati terhadap pelaksanaan wakaf. Hal
tersebut juga bertentangan dengan, dan menghambat pelaksanaan TAP MPR Nomor
IV/MPR/1973 yang isinya, antara lain menyatakan bahwa pemerintah berusaha
menggalangkan semngat dan bimbingan kewajiban ke arah beragama.
4.
Penjelasan
PP tersebut menyatakan bahwa yang terkandung di dalamnya hanyalah bentuk
khairi, dan bentuk wakafnya hanyalah wakaf tanah milik. Benda-benda wakaf
lainnya belum diatur.
Kepengurusan wakaf juga diatur dalam PP ini sebagaimana ia mengatur
tata cara untuk mendapatkan kepastian hukum hak atas tanah yang di wakafkan.
PROSES PENYUSUNAN UU No.41 TAHUN 2004
A.
DASAR
PEMIKIRAN TERBENTUKNYA UNDANG-UNDANG NO.41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF
1. Bergulirnya Wacana Wakaf Tunai (uang).[4]
perbincangan tentang wakaf tunai mulai menegmuka dalam beberapa
tehun terakhir. Hal ini terjadi seiring berkembangnya sistem perekonomian dan pembangunan yang
memunculkan inovasi-inovasi baru. Wakaf tunai sebagai instrument finansial, keuangan
sosaial dan perbangkan sosial yang dipelopori oleh Prof.M.A.Mannan (2002),
pakar ekonomi asal bangladesh. Wakaf tunai yang di gagas oleh Mannan merupakan
suatu produk baru dalam sejarah perekonomian Islam.
Munculnya gagasan wakaf tunai ini mengejutkan banyak kalangan,
khususnya para ahli dan praktisi ekonomi islam. Karena wakaf tunai berlawanan
dengan persepsi umat islam yang terbentuk bertahun-tahun lamnya, bahwa wakaf
itu terbentuk dari benda- benda tak bergerak. Wakaf tunai bukan merupakan aset
tetap yang berbentuk benda tak bergerak seperti tanah, melainkan aset lancar. Diakomosirnnya wakaf tunai dalam
konsep wakaf sebagai hasil interpretasi radikal yang mengubah definisi atau
pengertian mengnai wakaf. Tafsiran baru ini dimungkinkan karena berkembangnya
teori-teori ekonomi.
Dalam konteks Indonesia, wakaf tunai yang di gagas oleh Mannan
direspon secara positif oleh beberapa lembaga sosial keagamaan seperti Dompet
Dhuafa Republika(DDR), Pos Keadilan Peduli Ummat (PKPU), UII Yogyakarta dan
beberapa lembaga lain. Dompet Dhuafa misalnya , dari hasil pengumpulan wakaf
tunai dialokasikan untuk pembuatan rumah sakit (ambulan keliling) bagi kaum
lemah berupa layanan kesehatan Cuma-Cuma (LKC) dan mendirikan sekolah Smart
exelencia. Meskipun beberapa pola pengelolaan wakaf tunai yang di jalankan oleh
lembaga-lembaga nazhir(LSM) profesional tersebut belum sesuai dengan semangat
pemberdayaan wakaf sebagaimana yang
diajarkan Nabi, tapi paling tidak, wakaf tunai sudah mewacana dalam variable
aksi penanganan kesejahteraan sosial.
Menurut Mannan, wakaf tunai mendapat perhatian serius karena
memiliki akar yang panjang dalam sejarah Islam. Sebagai Instrumen keuangan ,
wakaf tunai merupakan produk baru dalam sejarah perbangkan islam. Pemanfa’atan
wakaf tunai dapat dibedakan menjadi dua, yakni pengadaan barang privat dan
barang sosial. Karena itu, wakaf tunai membuka peluang yang unik bagi
penciptaan investasi di bidang keagamaan, pendidikanm dan pelayanan sosial.
Tabungan dari warga yang berpenghasilan tinggi dapat di manfa’atkan melalui
penukaran sertifikat wakaf tunai. Sedangkan pendapatan yang di peroleh dari
pengelolaan wakaf tunai dapat dibelanjakan untuk berbagai tujuan, misalnya
untuk pemeliharaan harta-harta wakaf.
2. FATWA MAJLIS ULAMA INDONESIA (MUI)
Menanggapi
berbagai wacana tentang wakaf tunai dan surat dari Direktur Pengembangan Zakat
dan Wakaf Departemen Agama bernomor: Dt.1.III/5/BA.03.2/2772/2002 tertanggal 26
april 2002 yang berisi tentang permohonan fatwa tentang wakaf uang, Majlis
Ulama’ Indonesia (MUI) merespon dengan mengeluarkan fatwa tentang Wakaf Uang
tertanggal 28 Shafar 1423/11 mei 2002 M yang di tandatangani oleh KH. Ma’ruf
Amin sebagai Ketua Komisi Fatwa dan Drs.Hasanuddin , M.ag. sebagai sekretaris
komisi. Fatwa MUI tersebut merupakan upaya MUI dalam memberikan pengertian dan
pemahaman kepada ummat Islam bahwa wakaf uang dapat menjadi alternatif untuk
berwakaf. Lebih-lebih uang merupakan Variable penting dalam pembangunan ekonomi
masyarakat.
3. IDE PENINGKATAN ORGANISASI ZAKAT DAN WAKAF
Setelah
keluarnya fatwa MUI tersebut, pengembangan wakaf semakin mendapatkan
legitimasi, paling tidak pada tataran landasan hukum keagamaan. Meskipun
sebagian kalngan ulama fiqh tidak sependapat dengan bolehnya wakaf uang, tapi
dengan adanya fatwa MUI tersebut bisa dijadikan sandaran yang cukup kuat bagi ide
pemberdayaan wakaf tunai.
Direktorat
Pengembangan zakat dan Wakaf Departemen Agama sebagai satu-satunya pilar
penting dalam lingkaran arus birokrasi pemerintahan yang memiliki tugas pokok
pengembangan dan pemberdayaan zakat dan wakaf merasa perlu menyusun sebuah ide
peningkatan organisasi zakat dan wakaf. Oleh karena itu, ide-ide pengembangan
organisasi zakat dan wakaf digulirkan dalam rangka merespon wacana wakaf tunai,
yang berarti akan memunculkan peluang yang luar biasa terhadap potensi wakaf
secara umum. Langkah pertama yang di usulkan adalah pembentukan Badan Wakaf
Indonesia.
4. IZIN PRAKARSA PENYUSUNAN RUU WAKAF
Usul
pembentukan Badan Wakaf Indonesia (BWI) dari Menteri Agama Kepada Presiden
Berbuah usulan dari sekretariat Negara
agar Departemen Agama RI mengirim surat izin prakarsa untuk menyususn draft
rancangan Undang-Undang (RUU) tentang wakaf.
Langkah yang
kemudian disiapkan oleh Direktorat Pengembangan
Zakat dan Wakaf cq. Menteri Agama adalah mengirim surat bernomor: MA/451/2002
tanggal 27 desember 2002 kepada menteri Kehakiman dan HAM perihal Fizin
prakarsa RUU perwakafan.
5. PERSETUJUAN PRAKARSA PENYUSUNAN RUU WAKAF
Pada
tanggal 7 Maret 2003, Sekretariat Negara RI menyampaikan surat kepada Menteri
Agama RI dengan Nomor. B.61 yang bersifat segera, perihal Persetujuan Prakarsa
Penyusunan RUU tentang wakaf (surat Menteri Nomor.MA/25/2003 tanggal 24 januari
2003). Dalam surat tersebut, pihak Sekretaris Negara yang ditandatangani
Bambang Kesowo sangat mengharapkan agar dalam penyusunan Rancangan
Undang-Undang Wakaf suapaya selalu di koordinasikan dengan Departemen /Instansi
terkait sesuai dengan keputusan Presiden Nomor:188 tahun 1998 tentang Cara
mempersiapkan Rancangan Undang-Undang.
Dengan
keluarnya surat persetujuan Presiden dalam rencana Penyusunan Rancangan
Undang-Undang tentang wakaf dimaksud telah memberikan angin segar bagi upaya
yang di lakukian oleh Departemen Agama bersama Departemen Kehakiman dan HAM
dalam menyususn RUU tentang Wakaf.
Sehingga secara resmi, upaya Penyusunan RUU wakaf telah mendapat izin dari
Presiden RI, Megawati Soekarnoputri, dan langkah berikutnya akan di bentuk Tim
Penyusunan RUU Wakaf yang terdiri dari berbagai instansi terkait.
B.
PENYUSUNAN
DRAFT AWAL RUU WAKAF
Hal-hal yang
perlu diatur dalam RUU Wakaf
1.
Tujuan
dan Fungsi wakaf
Wakaf
yang sering kita jumpai di masyarakat pada umumnya adalah wakaf tanah milik
untuk kepentingan sarana ibadah seperti masjid, Musolla, atau sekolah dan
lembaga-lembaga keagamaan Islam lainnya. Wakaf produktif di tanah air kita
masih sedikit sekali jumlahnya. Jarang tanah wakaf yang di dayagunakan untuk
kepentingan komersial, misalnya di
bangun real estate, pertokoan, dan sebagainya (wakaf produktif)
Sejalan dengan
perubahan struktur masyarakat modern yang banyak bertumpu pada sektor kegiatan
industri dan jasa, maka potensi wakaf yang memiliki nilai nekonomi perlu di
kembangkan sehingga menghasilkan
manfa’at secara nyata bagi ummat. Untuk itu perlu dinyatakan dalam
undang-undang, bahwa selain untuk kepentingan ibadah wakaf dapat dikelola dan
diberdayakan untuk kepentingan komersial yang memberikan kesejahteraan bagi
masyarakat sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah islam.
2.
Wakif
Dalam Kompilasi
Hukum Islam disebutkan bahwa wakif adalah orang atau orang-orang ataupun badan
hukum yang mewakafkan benda miliknya. Perlunya batasan pengertian tersebut
disempurnakan / dikembangkan dalam undang-undang wakaf itu.
3.
Benda
yang dapat diwakafkan
4.
Nazhir
5.
Jenis
wakaf
Menurut hukum
fiqh yang masyhur dan sesuai dengan
pendapat mayoritas mazhab (Syafi’i, Maliki,Hambali) bahwa wakaf berlaku
untuk selamanya sesuai dengan makna hakiki wakaf itu sendiri sebagai amal
jariah yang pahalanya terus mengalir meskipun pewakaf telah meninggal dunia.
6.
Organisasi
pengelola wakaf
7.
Pengelolaan
wakaf uang dll.
8.
Pemberdayaan
dan pengembangan wakaf
9.
Penyelesaian
perselisihan wakaf
10.
Pembebasan
pajak atas benda wakaf
11.
Pejabat
KUA sebagai Pejabat Pembuat akta Ikrar Wakaf
C.
PENYEMPURNAAN
DRAFT RUU WAKAF
D.
PENGAJUAN
RUU WAKAF KE PRESIDEN RI
E.
PROSES
PEMBAHASAN DAN PENGESAHAN RUU WAKAF
Tahapan terakhir dari keseluruhan proses pembentukan Undang-Undang
tentang wakaf adalah tahap pengundngannya ke dalam suatu penerbitan sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, yaitu kedalam lembaran
Negara. Undang-undang ini di sahkan oleh presiden pertama yang dipilih rakyat
secara langsung, Dr.H.Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 27 Oktober 2004,
seminggu setelah Presiden di lantik oleh MPR, yaitu 20 Oktober 2004. Pada
tanggal itu juga (27 Oktober 2004), UU ini di undangkan oleh Menteri Sekretaris
Negara Republik Indonesia, Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra dan di catat dalam
lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 no 159.
ATURAN-ATURAN POKOK DARI PENYEMPURNAAN UNDANG-UNDANG WAKAF[5]
Pertama, sertifikasi tanah wakaf
Kedua, pertukaran benda wakaf.
Ketiga, pola seleksi yang dilakukan oleh para nazhir wakaf atas
pertimbangan manfa’at.
Keempat, sistem ikrar yang dilakukan oleh para calon wakif
diarahkan kepada bentuk ikrar wakaf untuk umum,tanpa penyebutan yang bersifat
khusus seperti yang selama ini terjadi.
Kelima, perluasan benda yang di wakafkan (mauquf bih)
Keenam, persyaratan Nazhir(pengelola harta wakaf)
Ketujuh, Pemberdayaan, pengembangan dan pembinaan harta wakaf.
PENUTUP
Demikian lah semua proses perkembangan hukum tentang wakaf di
indonesia, yang bermula dari kulturalisasi masyarakat hingga menjadi publik,
yang saetiap sa’at akan berkembang sesuai perkembangan zaman. Adanya UUD No 41
tahun 2004 melambangkan sebuah konsep hukum yang lebih sempurna dibandingkan
peraturan yang lama.
DAFTAR PUSTAKA
Praja S, Juhaya, PERWAKAFAN DI INDONESIA, sejarah, pemikiran, Hukum
dan perkembangannya,.JPS.,bandung, 1995
PARADIGMA BARU WAKAF DI INDONESIA, Dir Perkembangan wakaf
,DEP.AGAMA. jakarta 2006
PROSES LAHIRNYA UUD NO 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF, Dir
Perkembangan wakaf ,DEP.AGAMA. jakarta 2006
PERATURAN PERUNDANGAN PERWAKAFAN, Dir Perkembangan wakaf
,DEP.AGAMA. jakarta 2006
[1] Praja.s juhaya, PERWAKAFAN DI INDONESIA, JSP, Bandung .1995
[2] . DIRJEN Bimbingan Masyarakat islam, PERATURAN PERUNDANGAN PERWAKAFAN,
DEPAG RI, Jakarta. 2006
[3] Praja.s juhaya, PERWAKAFAN DI INDONESIA, JSP, Bandung .1995 hal.,33
[4] DIR Pemberdayaan Wakaf, PROSES LAHIRNYA UUD NO 41 TAHUN 2004 TENTANG
WAKAF, DEPAG, jakarta,. 2006
[5] DIR Pemberdayaan Wakaf,
PARADIGMA BARU WAKAF DI INDONESIA, DEPAG, Jakarta,. 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar