Rabu, 02 Mei 2012

MASYARAKAT ARAB PRA ISLAM DAN KAITANYA DENGAN PEMBENTUKAN HUKUM ISLAM


A.    Kondisi  Sosial  Bangsa  Arab  Sebelum  Islam
Secara  geografis, negara Arab digambarkan  seperti empat  persgi panjang  (bujur
sangkar)  yang  berakhir  di  Asia  Selatan. Negara  Arab  di kelilingi  berbagai  negara; sebelah  utara oleh  syiria, sebelah  timur oleh Nejd, sebelah selatan oleh yaman, dan sebelah  barat oleh laut Erit.[1] Philip K. Hitty juga mendeskripsikan luas negara Arab adalah seperempat negara-negara Eropa dan sepertiga negara Amerika Syarikat. Negara Arab berada di semenanjung Asia bagian barat daya. Luas Semenanjung Arab adalah yang paling besar di dunia kira-kira 1.027.000m2mil.[2]
Bangsa Arab  Kuno  terbagi menjadi dua, yaitu orang-orang kota (ahl al-hadarah/town people) dan orang-orang padang pasir (ahl al-badiyah/the desert dellers). Orang Arab Kuno dimulai pada masa-masa kuno sampai pada masa orang-orang Arab modern.[3] Lebih lanjut,Ahnad HAsori[4] menjelaskan bahwa penduduk Arab Kuno adalah penduduk fakir miskin yang hidup di pinggiran desa terpencil. Mereka senang berperang, Membunuh, dan kehidupanya bergantung pada bercocok tanam dan turunnya hujan. Mereka juga berpegang pada aturan kabilah atau suku dalam kehidupan sosial. Adapun penduduk Arab Kota (madani) adalah orang-orang yang melakukan perdagangan dan sibuk dengan bepergian. Mereka juga berpegang teguh pada aturan kabilah atau suku.

Adapun Karakteristik  orang Arab adalah bangga dan sensitif. Bangga karna bangsa Arab memiliki sastra arab yang terkenal, kejayaan sejarah Arab, dan mahkota bumi pada masa klasik dan bahasa Arab sebagai bahasa ibu yang terbaik di antara bahasa-bahasa lain di dunia.[5]
Beberapa sifat lain bangsa Arab pra Islam adalah:
1.      Secara fisik, mereka lebih sempurna dibandingkan orang-orang Eropa dalam berbagai organ tubuh.
2.      Kurang bagus dalam pengorganisasian  kekuatan dan lemah dalam penyatuan aksi.
3.      Faktor keturunan, keaktifan, dan keberanian lebih kuat dan berpengaruh.
4.      Mempunyai struktur kesukuan yang diatur oleh kepala suku (clan).
5.      Tidak memiliki hukum yang reguler, Kekuatan pribadi, dan pendapat suku lebih kuat dan diperhatikan.
6.      Posisi wanita tidak lebih baik daripada binatang, Wanita di anggap barang dan hewan ternak, tidak mempunyai hak. Setelah menikah, suami menjadi raja dan penguasa.[6]
Dalam bidang  hukum, Musthafa Sa’id Al-Khinn sebagaimana dikutip oleh Jaih mibarok[7] menyebutkan bahwa bangsa Arab pra-islam menjadikan adat sebagai hukum dengan berbagai bentuknya. Mereka mengenal beberapa macam perkawinan, di antaranya:
1.      Istibdha, yaitu seorang suami meminta kepada istrinya untuk berjimak dengan laki-laki yang di pandang mulia atau memiliki kelebihan tertentu, seperti keberanian dan kecerdasan. Selama istri ‘bergaul’ dengan laki-laki tersebut, suami menahan diri dengan tidak berjimak dengan istrinya sebelum terbukti bahwa istrinya hamil. Tujuan perkawinan semacam ini adalah agar istrinya melahirkan anak yang memiliki sifat yang dimiliki oleh laki-laki yang menyetubuhinya, yang tidak dimiliki oleh suaminya. Misalnya, seorang suami merelakan istrinya berjimak dengan raja sampai terbukti hamil agar memperoleh anak yang berasal dari orang yangterhormat.
2.      Poliandri, yaitu beberapa laki-laki berjimak dengan seorang perempuan. Setelah hamil dan melahirkan anak, perempuan tersebut memanggil semua laki-laki yang pernah menyetubuhinya untuk berkumpul di rumahnya. Setelah semuanya hadir, perempuan itu memberitahukan bahwa ia telah di karuniai anak hasil hubungan dengan mereka, lalu menunjuk salah seorang dari semua laki-laki yang pernah menyetubuhinya untuk menjadi bapak dari anak yang di lahirkan nya. Laki-laki yang ditunjuk tidak boleh menolak.
3.      Maqthu’, yaitu seorang laki-laki menikahi ibu tirinya setelah bapak nya meninggal dunia. Jika anak ingin mengawini ibu tirinya,  ia melemparkan kain kepada ibu tirinya sebagai tanda bahwa ia menginginkan nya, sementara ibu tirinya tidak mempunyai kewenangan untuk menolak. Jika anak laki-laki tersebut masih kecil, ibu tiri di haruskan menunggu sampai anak itu dewasa. Setelah dewasa, anak tersebut berhak memilih untuk menjadikannya sebagai istri atau melepaskannya.
4.      Badal, yaitu tukar-menukar istri tampa bercerai terlebih dahulu dengan tujuan memuaskan hubungan seks dan terhindar dari rasa bosan.
5.      Sighar, yaitu seorang wali menikahkan anak atau saudara perempuan nya kepada seorang laki-laki tampa mahar. (Musthafa Sa’id Al-Khinn, 1984 : 18-19)
Selain beberapa tipe perkawinan di atas, Fyzee Al-Gumma[8], menjelaskan beberapa perkawinan lain yang terjadi pada bangsa Arab sebelum datang nya islam, sebagai berikut:
1.      Bentuk perkawinan yang di beri sanksi oleh islam, yakni seseorang meminta kepada orang lain untuk menikahi saudara perempuan atau budak dengan bayaran tertentu (mirip kawin kontrak)
2.      Protitusi  sudah dikenal. Biasanya dilakukan kepada para pendatang (tamu) di tenda-tenda dengan cara mwngibarkan bendera sebagai tanda memanggil. Jika wanitanya hamil, ia akan memilih diantara laki-laki yang mengencaninya sebagai bapak dari anaknya yang di kandung.
3.      Mut’ah adalah praktik yang umum di lakukan oleh bangsa Arab sebelum Islam. Meskipun pada awalnya Nabi Muhammad SAW. Mengizinkan, tetapi selanjut nya beliau melarangnya. Hanya kelompok Syi’ah itsna’a ‘ashari yang mengizinkan perkawinan tersebut.
Analisis Anderson, menambahkan pula bahwa di Arab pada zaman pra islam, Tampaknya telah ada berbagai corak perkawinan, boleh jadi mulai perkawinan petrilineal dan patrilokal sampai perkawinan matrilineal dan matrilokal, termasuk perkawinan sementara waktu untuk bersenang-senag (mut’ah).[9] 
Dalam kasus lain, Anderson  menguraikan bahwa negara Arab sebelum islam, sebagaimana orang  Baduy di Arab sekarang, terorganisasikan berdasarkan kesukuan  dan bersifat patrirkhal. Di luar suku tidak ada jaminan keamanan, selain hukum pertumpahan darah yang tidak tertulis. Berdasarkan Hukum ini, seorang harus di bela oleh sanak keluarganya dari pihak laki-laki, bila dia dibunuh oleh salah seorang anggota suku lain; sedangkan sanak keluarga dari pihak laki-laki si pembunuh, jika mereka tidak menghendaki pertumpahan darah lebih lanjut, harus menyediakan tebusan darah berupa sejumlah uang imbalan untuk diberikan kapada ‘Ahli Waris  si korban’. Oleh karna itu, wajarlah bila keturuna dari pihak laki-laki secara hukum berhak mewarisi harta milik seseorang pada saat ia meninggal, sedangkan para wanita, sanak keluarga jauh, dan anak-anak yang belum dewasa tidak memiliki hak seperti itu. Namun demikian, tampaknya perbuatan perjanjian wasiat pun bisa dilakukan, setidak-tidaknya di mekkah...[10]
Uraian singkat di atas menunjuk kan bahwa kondisi sosial Arab seblum islam cenderung primitif. Meminjam istilah Goldzier, Arab sebelum islam cenderung ‘barbarism’, bukan ‘jahiliyah’ (bodoh,dungu, dan tidak tahu).[11] Jahiliyah adalah orang yang menyembah berhala, memakan mayat binatang, melakukan amoral, meninggalkan keluarga,dan melanggar perjanjian  perkawinan dengan sistem mencari keuntungan yang di lakukan kepada orang yang lemah.[12]
B.     Implikasi Adat Bangsa Arab pra Islam sebagai Sumber Hukum Islam
Dalam paradigma masyarakat, Islam dianggap sebagai agama yang lahir dengan membawa risalah baru.  Dalam hal ini, Islam dianggap sebagai sebuah agama yang muncul untuk  merubah seluruh sistem kebudayaan, khususnya Arab pra-Islam. Dalam konsep yang ada, masa pra-Islam seringkali dianggap sebagai masa kebodohan (jahiliyyah). Bila jahiliyah terkait dengan sistem etika sosialnya yang tidak manusiawi, mungkin bisa dianggap benar. Akan tetapi bila jahiliyyah ditujukan untuk seluruh sistem budaya yang berkembang di masyarakat Arab, maka hal tersebut tidak bisa dibenarkan. Thaha Husain menolak anggapan bahwa pra-Islam dianggap sebagai masa jahiliyah dengan asumsi, pertama, al-Qur’an menantang bangsa Arab dengan retorika untuk mendatangkan surat yang sepadan dan menyamai al-Qur’an.[13] Tantangan ini tentunya tidak ditujukan kepada orang lemah. Dengan demikian tantangan al-Qur’an mengindikasikan bahwa masyarakat Arab telah berada pada tingkat kemajuan fantastik dalam stilistika, epistemik, dan peradaban, sebagai sebuah sisi yang menjadi tema tantangan al-Qur’an. Kedua, dalam faktanya, Islam banyak mewarisi
peninggalan-peninggalan bangsa Arab serta mengadopsi sistem (pranata) yang berkembang dikalangan mereka.[14]

Dari fakta yang ada, banyak budaya yang ada di masa pra-Islam diadopsi dan dipraktekkan oleh nabi Muhammad. Hal ini mengindikasikan bahwa Islam lahir tidak dalam rangka menghilangkan seluruh kebudayaan yang berkembang dan dijalankan oleh masyarakat Arab pra-Islam. Nabi Muhammad banyak menciptakan aturan-aturan yang melegalkan hukum
adat masyarakat Arab, sehingga memberi tempat bagi praktek hukum Adat di dalam sistem hukum Islam.[15] Sebagai bukti dari hal tersebut adalah adanya
konsep sunah taqririyyah[16] Nabi Muhammad. Hal ini mengindikasikan bahwa Nabi tidak melakukan tindakan-tindakan perubahan terhadap hukum yang berlaku di masyarakat Arab, sepanjang hukum tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran fundamental Islam.
Seperti Dalam hal ibadah, Islam menjalankan ibadah haji dan umrah sebagaimana telah dipraktekkan dalam masyarakat Arab jauh sebelum Islam datang. Masyarakat Arab menjalankan ritual-ritual tersebut sebagaimana dijalankan oleh umat Islam sekarang ini, yaitu: talbiyyah, ihram, wukuf dan lain sebagainya. Setelah kedatangan Islam, kemudian praktek tersebut diteruskan dengan penggunaan istilah yang sama. Akan tetapi Islam kemudian membersihkan ibadah ini dari perilaku syirik, seperti ungkapanungkapan talbiyyah mereka yang masih bernuansa syirik. Di samping itu Islam juga melarang bertawaf secara telanjang.[17]


            Selain dalam hal ibadah, hukum Islam juga mengadopsi budaya yang lain, misalnya sistem qisas dan diyat. Kedua hal tersebut merupakan praktek budaya masyarakat pra-Islam kemudian diadopsi dalam hukum pidana Islam[18]Demikian juga terkait dengan beberapa sistem transaksi yang berkembang di masyarakat pra-Islam juga diadopsi dalam sistem hukum Islam.[19]
Pada masa sahabat Nabi, hukum-hukum yang dibangun oleh para sahabat juga senantiasa memperhitungkan budaya yang berkembang di masyarakat. Apalagi setelah masa penaklukan dimana kekuasaan dan pengaruh Islam semakin berkembang luas. Khalifah Umar misalnya, mengadopsi sistem diwan dari tradisi masyarakat Persia. Selain itu, Umar juga mengadopsi sistem pelayanan pos yang merupakan tradisi masyarakat Sasanid dan kerajaan Byzantium[20] yang bernama Diwan al-barid,yang berasal dari bahasa latin, ‘‘veredus atau yunani, beredos. ...’’.adat lain yang berasal dari daerah non-islam yang di serap kedalam budaya Islam adalah ‘usyur’. Sebagai bentuk pajak-pajak tradisional yang dikenakan kepada para pedagang di daerah non-islam, ‘usyur ini di terima oleh Umar setelah mendapat  informasi dari Abu Musa Al-Asy’ari tentang praktik-praktik lembaga pajak ini di daerah-daerah lain.
Begitu juga, para Khalifah mempertahankan adat-adat non islam dan juga mengadopsi serta mengembangkan  beberapa adatasing yang berguna, misalnya dalam hal timbangan dan ukuran, untuk jenis padi-padian( gandum dan gerst/gandum yang di pakai untuk membuat bir) tetap di pandang sebagai ‘kaili’ ( yang di ukur berdasarkan kapasitasnya ), sementara emas dan perak di golongkan  sebagai ‘wazni’  ( yang di ukur berdasarkan berat nya ). Khalifah ‘Ali juga menggunakan “bai’as-salam’’ dengan menjual untanya untuk mendapatkan dua pilih unta, dengan pengertian bahwa dia akan menerima bayaran itu pada waktu yang telah di tentukan. Hukum adat pera Islam yang mengatur persewaan dan peminjaman  juga di pakai oleh dua Khalifah, Abu Bakar dan Umar. Terutama selama masa pemerintahan Umar, persewaan merupakan tindakan hukum yang secara umum di praktikkan dalam masyarakat Islam Arab. Umar dan ‘Ali sama-sama memandang kerja sama dagang (mudarobah)- bentuk ini juga diderivasikan dari praktik adat sebagai suatu institusi yang legal. Demikian pula, dalam kapasitas sebagai seorang pedagang ‘Usman bin Affan berpartisipasi dalam perjanjian mudarabah dengan Abd.Allah ibn Ali, sementara Abd.Allah ibn Mas’ud juga terlibat dalam perjanjian yang sama dengan Zaid ibn Khulaidah.

Dalam pemikiran ulama fiqih, dapat dilihat pengaruh sosial budaya terhadap gagasan-gagasan yang dibangunnya. Abu Hanifah memasukkan adat sebagai salah satu prinsip istihsan-nya. Dalam ijtihadnya, Abu Hanifah memanfaatkan adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan sosial yang beragam dari masyarakat sebagai sumber hukum sekunder sepanjang hal tersebut tidak berlawanan dengan nass maupun spirit syari’ah.[21] Demikian juga dengan Imam Malik yang mendudukkan adat masyarakat Madinah sebagai bagian penting dalam teori hukumnya.[22] Karna Imam Malik percaya bahwa aturan-aturan adat dari suatu negri harus dipertimbangkan dalam memformulasikan suatu ketetapan, walaupun ia memandang ahl al-madinah sebagai suatu variabel yang paling  otoritatif dalam teori hukum nya. Tidak seperti fuqaha Hanafi dan maliki yang memegangi signifikan sosial dan politik dari adat dan menekankan kepentingan dari adat tersebut sebagai proses penciptaan hukum mereka.


Salah satu hal penting untuk menjelaskan pengaruh sosial budaya dalam konstruk pemikiran hukum Islam adalah terkait dengan fenomena Imam Syafi’i[23] dan Ibn Hanbal. Sejarah hidupnya menunjukkan bahwa pemikirannya sangat dipengaruhi oleh masyarakat sekitar. Dengan kata lain, keadaan sosial masyarakat dan keadaan zamannya amat mempengaruhi Imam Syafi’i dalam membentuk pemikiran hukumnya. Fakta yang paling nyata dari hal tersebut adalah munculnya apa yang disebut dengan qaul qadim dan qaul jadid dalam spektrum pemikiran Imam Syafi’i. Qaul qadim nya yang di kompilasikan di iraq dan di kontraskan dengan qaul jadid  Syafi’i yng di kompilasikan setelah ia berada di mesir. Dan ini membuktikan fleksibilitas fiqh dan adanya ruang gerak dinamis bagi kehidupan, perkembangan dan pembaharuan. Menurut Ali Sayis, lahirnya madzhab jadid merupakan dampak dari perkembangan baru yang dialaminya, dari penemuan hadis, pandangan dan kondisi sosial baru yang tidak ditemuinya di Hijaz dan Irak.[24] Dan penerimaan Ibn Hanbal terhadap hadis yang lemah ketika ia mendapatkan hadis tersebut bersesuaian dengan adat setempat, juga memberikan bukti bahwa prinsip adat pada kenyataan nya tidak pernah di kesampingkan oleh para juri muslim dalam usahanya untuk membangun hukum.[25]
Atas dasar-dasar itulah, para ahli hukum islam pada kurun waktu berikutnya memformulasikan kaidah hukum, yaitu adat dapat menjadi sumber penetapan hukum (al-adat muhakkamat).[26] Para fuqaha berikutnya kemudian mengualifikasikan peran adat dengan berbagai persyaratan agar valid menjadi bagian dari hukum Islam.seperti yang di nyatakan oleh tahrir mahmood,[27] berikut:
1.      Adat harus secara umum di praktikkan oleh anggota masyarakat jika di kenal secara umum oleh semua lapisan masyarakat, atau di praktikkan sebagian kelompok masyarakat tertentu.
2.      Adat harus berupa suatu kebiasaan yang sedang berjalan dalam masyarakat pada waktu akan di jadikan sebagai hukum.
3.      Adat harus di pandang tidak sah jika bertentangan dengan ketentuan yang eksplisit dari Al-Qur’an dan hadist.
4.      Dalam hal perselisihan, adat hanya akan di pakai ketika tidak ada penolakan yang eksplisit sifatnya untuk menggunakan adat dari salah satu pihak yang terlibat.
Berdasarka fakta tersebut, dapat di tarik titik terang bahwa adat tradisi bangsa Arab bisa menjadi sumber hukum islam karna memiliki keefektifan yang sangat besar dan penting. Pada tahap ini pandangan Schacht memang benar bahwa adat atau tradisi pra-Islam dapat di jadikan sebagai sumber hukum. Hal inibukan merupakan sumber hukum islam pertama, tetapi sebagai sumber hukum sekunder.


Penutup
Fakta menjelaskan bahwa banyak budaya yang ada di masa pra-Islam diadopsi dan dipraktekkan oleh nabi Muhammad. Hal ini mengindikasikan bahwa Islam lahir tidak dalam rangka menghilangkan seluruh kebudayaan yang berkembang dan dijalankan oleh masyarakat Arab pra-Islam. Nabi Muhammad banyak menciptakan aturan-aturan yang melegalkan hukum adat masyarakat Arab, sehingga memberi tempat bagi praktek hukum Adat di dalam sistem hukum Islam. Signifikansi peran budaya dalam hukum Islam kemudian diteruskan oleh para penerusnya. Para sahabat mengadopsi beberapa budaya masyarakat hasil ekspansinya, demikian juga dengan para imam madzhab yang juga memposisikan budaya lokal daerahnya sebagai salah satu faktor penting dalam teori hukumnya. Dengan demikian, budaya memiliki posisi yang penting dalam sejarah hukum Islam.

DAFTAR PUSTAKA
H. Lammens, S.J., Islam: Belief and institutions, New Delhi: Oriental Books Reprint corporation, 1979

Philip K. Hitti, History of The Arabs, lake Champlain, New York: Corlear bay Club, 1996

SM. Imamuddin, Arab Muslim Administration (622-1258), New Delhi: Kitab Bhavan, 1984

J.N.D. Anderson, islamic law in the modern world, New York University Press, 1959


[1] . H. Lammens, S.J., Islam: Belief and institutions, New Delhi: Oriental Books Reprint corporation, 1979, hlm. 1.

[2] . Philip K. Hitti, History of The Arabs, lake Champlain, New York: Corlear bay Club, 1996, hlm. 3.
[3] . SM. Imamuddin, Arab Muslim Administration (622-1258), New Delhi: Kitab Bhavan, 1984,hlm. 13.
[4] . Ahmad Hashori, Tarikh..., Op. Cit, hlm.25; lihat juga Philip K.Hitti, Op. Cit.,hlm. 23-29.

[5] . Wilfred Cantwel Smith, Op. Cit. Hlm. 93.
[6] . Asaf A.A. Fyzee, Outlines..., Op. Cit. Hlm. 5.
[7] . Jaih Mubarok, Op. Cit., hlm.16. Lihat juga Ahmad Hashori, Tarikh...., Op. Cit. Hlm.26-27.
[8] . Asaff A.A Fyzee, Op. Cit., hlm.8-9.
[9] . J.N.D. Anderson, islamic law in the modern world, New York University Press, 1959, hlm.40.
[10] . Anderson, Ibid., hlm. 60.
[11] . Charles J.Adam, Readers ..., Op. Cit., hlm. 411.
[12] . Philip K.hitti, Op. Cht., hlm. 121.
[13] . Q.S. Yunus (10): 38. Q.S. Hud (11): 13.
[14] . Khalil Abdul Karim. 2003. Syari’ah Sejarah Perkelahian Pemaknaan, terj. Kamran As’ad. Yogyakarta: LKiS. hlm. x-xi.

[15] . Majid Khadduri. 2002. Perang dan Damai Dalam Hukum Islam, terj. Kuswanto. Yogyakarta: Tarawang Press. hlm. 19; Ratno Lukito, Islamic Law…, hlm. 4.

[16] .  Sunah taqririyyah merupakan legitimasi Nabi terhadap ucapan atau perbuatan sahabat, baik dengan cara diam dan sebagainya. Lebih lanjut lihat, Muhammad ‘Ajaj Al-Khatib 1975. Usul al-Hadis, ‘Ulumuhu wa Mustalahuhu, cet. ke-3. Damaskus: Dar al-Fikr. hlm. 20; Abdul Wahhab Khalaf. 1978. ‘Ilm Usul al-Fiqh, cet. ke-12. Kuwait: Dar al-Qalam. hlm. 37. Al-Mawarid Edisi XVII Tahun 2007 107


[17]. Khalil Abdul Karim, Syari’ah Sejarah…, hlm. 7-8.
[18] . Ratno Lukito, Islamic Law…, hlm. 5-6.

[19] . Ibid., 8-9. lebih lanjut mengenai bentuk-bentuk budaya masyarakat pra-Islam yang kemudian di adopsi ke dalam Islam, lihat, Khalil Abdul Karim, Syari’ah Sejarah…, hlm. 3-135.

[20] . Ratno Lukito, Islamic Law…, hlm. 11.
[21] . Abu Ameenah Bilal Philips, Asal-Usul…, hlm. 99; Ratno Lukito, Islamic Law…, hlm. 21. Salah satu faktanya adalah pendapat Abu Hanifah yang menganggap bahwa kedua telapak kaki bukanlah termasuk dalam kategori aurat. Ia beralasan bahwa kedua telapak kaki lebih menyulitkan untuk ditutupi daripada kedua telapak tangan, khususnya bagi perempuanperempuan miskin di pedesaan yang (saat itu) seringkali berjalan (tanpa alas kaki) untuk memenuhi kebutuhan mereka. Lihat, Ibn Rusyd. 1992. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al- Muqtasid. Beirut: Dar al-Fikr. I: 83; Quraish Shihab. 2000. Wawasan al-Qur’an Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat, cet. ke-11. Bandung: Mizan. hlm. 176.

[22] .  Ratno Lukito, Islamic Law…, hlm. 21. Secara logis, Imam Malik berpandangan bahwa karena sebagian besar masyarakat Madinah merupakan keturunan langsung sahabat, dan Madinah merupakan tempat Rasulullah menghabiskan sepuluh tahun terakhir kehidupannya, maka praktek (adat) yang dilakukan pasti diperbolehkan, jika tidak malah dianjurkan oleh Rasulullah. Lihat, Abu Ameenah Bilal Philips, Asal-Usul…, hlm. 97. 108 Al-Mawarid Edisi XVII Tahun 2007

[23] . Atho Mudzhar, Membaca Gelombang…, hlm. 107.
[24] . Menurut sejarah, madzhab qadim dibangun di Irak, sedangkan madzhab jadid adalah pendapatnya selama berdiam di Mesir. Lihat, Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih…, hlm. 107.

[25] . Ibn Qudamah, Al-mugni, jilid 6, Kairo: Dar Al-Manar, 1974, hlm. 25.
[26] . Ibn Nujaim, Al-Asbah wa an-Nazari, hlm. 129-131. Baca juga Suyuthi. Asybah, dalam beberapa bab yang berhubungan.
[27]. Lihat Ratna lukito, Pengumulan adat ..., hlm. 25.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar