A.
Kondisi Sosial
Bangsa Arab Sebelum
Islam
Secara geografis, negara
Arab digambarkan seperti empat persgi panjang (bujur
sangkar) yang berakhir
di Asia Selatan. Negara Arab
di kelilingi berbagai negara; sebelah utara oleh
syiria, sebelah timur oleh Nejd,
sebelah selatan oleh yaman, dan sebelah
barat oleh laut Erit.[1]
Philip K. Hitty juga mendeskripsikan luas negara Arab adalah seperempat
negara-negara Eropa dan sepertiga negara Amerika Syarikat. Negara Arab berada
di semenanjung Asia bagian barat daya. Luas Semenanjung Arab adalah yang paling
besar di dunia kira-kira 1.027.000m2mil.[2]
Bangsa Arab Kuno terbagi menjadi dua, yaitu orang-orang kota
(ahl al-hadarah/town people) dan orang-orang padang pasir (ahl al-badiyah/the
desert dellers). Orang Arab Kuno dimulai pada masa-masa kuno sampai pada masa
orang-orang Arab modern.[3]
Lebih lanjut,Ahnad HAsori[4]
menjelaskan bahwa penduduk Arab Kuno adalah penduduk fakir miskin yang hidup di
pinggiran desa terpencil. Mereka senang berperang, Membunuh, dan kehidupanya
bergantung pada bercocok tanam dan turunnya hujan. Mereka juga berpegang pada
aturan kabilah atau suku dalam kehidupan sosial. Adapun penduduk Arab Kota
(madani) adalah orang-orang yang melakukan perdagangan dan sibuk dengan
bepergian. Mereka juga berpegang teguh pada aturan kabilah atau suku.
Adapun Karakteristik orang Arab
adalah bangga dan sensitif. Bangga karna bangsa Arab memiliki sastra arab yang
terkenal, kejayaan sejarah Arab, dan mahkota bumi pada masa klasik dan bahasa
Arab sebagai bahasa ibu yang terbaik di antara bahasa-bahasa lain di dunia.[5]
Beberapa sifat lain bangsa Arab pra Islam adalah:
1.
Secara
fisik, mereka lebih sempurna dibandingkan orang-orang Eropa dalam berbagai
organ tubuh.
2.
Kurang
bagus dalam pengorganisasian kekuatan
dan lemah dalam penyatuan aksi.
3.
Faktor
keturunan, keaktifan, dan keberanian lebih kuat dan berpengaruh.
4.
Mempunyai
struktur kesukuan yang diatur oleh kepala suku (clan).
5.
Tidak
memiliki hukum yang reguler, Kekuatan pribadi, dan pendapat suku lebih kuat dan
diperhatikan.
6.
Posisi
wanita tidak lebih baik daripada binatang, Wanita di anggap barang dan hewan
ternak, tidak mempunyai hak. Setelah menikah, suami menjadi raja dan penguasa.[6]
Dalam bidang hukum, Musthafa
Sa’id Al-Khinn sebagaimana dikutip oleh Jaih mibarok[7]
menyebutkan bahwa bangsa Arab pra-islam menjadikan adat sebagai hukum dengan
berbagai bentuknya. Mereka mengenal beberapa macam perkawinan, di antaranya:
1.
Istibdha,
yaitu seorang suami meminta kepada istrinya untuk berjimak dengan laki-laki
yang di pandang mulia atau memiliki kelebihan tertentu, seperti keberanian dan
kecerdasan. Selama istri ‘bergaul’ dengan laki-laki tersebut, suami menahan
diri dengan tidak berjimak dengan istrinya sebelum terbukti bahwa istrinya
hamil. Tujuan perkawinan semacam ini adalah agar istrinya melahirkan anak yang
memiliki sifat yang dimiliki oleh laki-laki yang menyetubuhinya, yang tidak
dimiliki oleh suaminya. Misalnya, seorang suami merelakan istrinya berjimak
dengan raja sampai terbukti hamil agar memperoleh anak yang berasal dari orang
yangterhormat.
2.
Poliandri,
yaitu beberapa laki-laki berjimak dengan seorang perempuan. Setelah hamil dan
melahirkan anak, perempuan tersebut memanggil semua laki-laki yang pernah
menyetubuhinya untuk berkumpul di rumahnya. Setelah semuanya hadir, perempuan
itu memberitahukan bahwa ia telah di karuniai anak hasil hubungan dengan
mereka, lalu menunjuk salah seorang dari semua laki-laki yang pernah
menyetubuhinya untuk menjadi bapak dari anak yang di lahirkan nya. Laki-laki
yang ditunjuk tidak boleh menolak.
3.
Maqthu’,
yaitu seorang laki-laki menikahi ibu tirinya setelah bapak nya meninggal dunia.
Jika anak ingin mengawini ibu tirinya,
ia melemparkan kain kepada ibu tirinya sebagai tanda bahwa ia
menginginkan nya, sementara ibu tirinya tidak mempunyai kewenangan untuk
menolak. Jika anak laki-laki tersebut masih kecil, ibu tiri di haruskan
menunggu sampai anak itu dewasa. Setelah dewasa, anak tersebut berhak memilih
untuk menjadikannya sebagai istri atau melepaskannya.
4.
Badal,
yaitu tukar-menukar istri tampa bercerai terlebih dahulu dengan tujuan
memuaskan hubungan seks dan terhindar dari rasa bosan.
5.
Sighar,
yaitu seorang wali menikahkan anak atau saudara perempuan nya kepada seorang
laki-laki tampa mahar. (Musthafa Sa’id Al-Khinn, 1984 : 18-19)
Selain beberapa tipe perkawinan di atas, Fyzee Al-Gumma[8],
menjelaskan beberapa perkawinan lain yang terjadi pada bangsa Arab sebelum
datang nya islam, sebagai berikut:
1.
Bentuk
perkawinan yang di beri sanksi oleh islam, yakni seseorang meminta kepada orang
lain untuk menikahi saudara perempuan atau budak dengan bayaran tertentu (mirip
kawin kontrak)
2.
Protitusi sudah dikenal. Biasanya dilakukan kepada para
pendatang (tamu) di tenda-tenda dengan cara mwngibarkan bendera sebagai tanda
memanggil. Jika wanitanya hamil, ia akan memilih diantara laki-laki yang
mengencaninya sebagai bapak dari anaknya yang di kandung.
3.
Mut’ah
adalah praktik yang umum di lakukan oleh bangsa Arab sebelum Islam. Meskipun
pada awalnya Nabi Muhammad SAW. Mengizinkan, tetapi selanjut nya beliau
melarangnya. Hanya kelompok Syi’ah itsna’a ‘ashari yang mengizinkan perkawinan
tersebut.
Analisis Anderson, menambahkan pula bahwa di Arab pada zaman pra
islam, Tampaknya telah ada berbagai corak perkawinan, boleh jadi mulai
perkawinan petrilineal dan patrilokal sampai perkawinan matrilineal dan
matrilokal, termasuk perkawinan sementara waktu untuk bersenang-senag (mut’ah).[9]
Dalam kasus lain, Anderson
menguraikan bahwa negara Arab sebelum islam, sebagaimana orang Baduy di Arab sekarang, terorganisasikan
berdasarkan kesukuan dan bersifat
patrirkhal. Di luar suku tidak ada jaminan keamanan, selain hukum pertumpahan
darah yang tidak tertulis. Berdasarkan Hukum ini, seorang harus di bela oleh
sanak keluarganya dari pihak laki-laki, bila dia dibunuh oleh salah seorang
anggota suku lain; sedangkan sanak keluarga dari pihak laki-laki si pembunuh,
jika mereka tidak menghendaki pertumpahan darah lebih lanjut, harus menyediakan
tebusan darah berupa sejumlah uang imbalan untuk diberikan kapada ‘Ahli
Waris si korban’. Oleh karna itu,
wajarlah bila keturuna dari pihak laki-laki secara hukum berhak mewarisi harta
milik seseorang pada saat ia meninggal, sedangkan para wanita, sanak keluarga
jauh, dan anak-anak yang belum dewasa tidak memiliki hak seperti itu. Namun
demikian, tampaknya perbuatan perjanjian wasiat pun bisa dilakukan,
setidak-tidaknya di mekkah...[10]
Uraian singkat di atas menunjuk kan bahwa kondisi sosial Arab
seblum islam cenderung primitif. Meminjam istilah Goldzier, Arab sebelum islam
cenderung ‘barbarism’, bukan ‘jahiliyah’ (bodoh,dungu, dan tidak tahu).[11]
Jahiliyah adalah orang yang menyembah berhala, memakan mayat binatang,
melakukan amoral, meninggalkan keluarga,dan melanggar perjanjian perkawinan dengan sistem mencari keuntungan
yang di lakukan kepada orang yang lemah.[12]
B.
Implikasi
Adat Bangsa Arab pra Islam sebagai Sumber Hukum Islam
Dalam paradigma
masyarakat, Islam dianggap sebagai agama yang lahir dengan membawa risalah baru.
Dalam hal ini, Islam dianggap sebagai
sebuah agama yang muncul untuk merubah
seluruh sistem kebudayaan, khususnya Arab pra-Islam. Dalam konsep yang ada, masa
pra-Islam seringkali dianggap sebagai masa kebodohan (jahiliyyah). Bila
jahiliyah terkait dengan sistem etika sosialnya yang tidak manusiawi, mungkin
bisa dianggap benar. Akan tetapi bila jahiliyyah ditujukan untuk seluruh sistem
budaya yang berkembang di masyarakat Arab, maka hal tersebut tidak bisa
dibenarkan. Thaha Husain menolak anggapan bahwa pra-Islam dianggap sebagai masa
jahiliyah dengan asumsi, pertama, al-Qur’an menantang bangsa Arab dengan
retorika untuk mendatangkan surat yang sepadan dan menyamai al-Qur’an.[13]
Tantangan ini tentunya tidak ditujukan kepada orang lemah. Dengan demikian
tantangan al-Qur’an mengindikasikan bahwa masyarakat Arab telah berada pada
tingkat kemajuan fantastik dalam stilistika, epistemik, dan peradaban, sebagai
sebuah sisi yang menjadi tema tantangan al-Qur’an. Kedua, dalam faktanya, Islam
banyak mewarisi
peninggalan-peninggalan bangsa Arab serta mengadopsi sistem
(pranata) yang berkembang dikalangan mereka.[14]
Dari fakta yang
ada, banyak budaya yang ada di masa pra-Islam diadopsi dan dipraktekkan oleh
nabi Muhammad. Hal ini mengindikasikan bahwa Islam lahir tidak dalam rangka
menghilangkan seluruh kebudayaan yang berkembang dan dijalankan oleh masyarakat
Arab pra-Islam. Nabi Muhammad banyak menciptakan aturan-aturan yang melegalkan
hukum
adat masyarakat Arab, sehingga memberi tempat bagi praktek hukum
Adat di dalam sistem hukum Islam.[15]
Sebagai bukti dari hal tersebut adalah adanya
konsep sunah taqririyyah[16]
Nabi Muhammad. Hal ini mengindikasikan bahwa Nabi tidak melakukan
tindakan-tindakan perubahan terhadap hukum yang berlaku di masyarakat Arab,
sepanjang hukum tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran fundamental
Islam.
Seperti Dalam hal ibadah, Islam menjalankan ibadah haji dan umrah sebagaimana
telah dipraktekkan dalam masyarakat Arab jauh sebelum Islam datang. Masyarakat
Arab menjalankan ritual-ritual tersebut sebagaimana dijalankan oleh umat Islam
sekarang ini, yaitu: talbiyyah, ihram, wukuf dan lain sebagainya. Setelah
kedatangan Islam, kemudian praktek tersebut diteruskan dengan penggunaan istilah
yang sama. Akan tetapi Islam kemudian membersihkan ibadah ini dari perilaku syirik,
seperti ungkapanungkapan talbiyyah mereka yang masih bernuansa syirik. Di
samping itu Islam juga melarang bertawaf secara telanjang.[17]
Selain dalam hal ibadah, hukum Islam juga mengadopsi
budaya yang lain, misalnya sistem qisas dan diyat. Kedua hal tersebut merupakan
praktek budaya masyarakat pra-Islam kemudian diadopsi dalam hukum pidana Islam[18]Demikian
juga terkait dengan beberapa sistem transaksi yang berkembang di masyarakat
pra-Islam juga diadopsi dalam sistem hukum Islam.[19]
Pada masa
sahabat Nabi, hukum-hukum yang dibangun oleh para sahabat juga senantiasa
memperhitungkan budaya yang berkembang di masyarakat. Apalagi setelah masa penaklukan
dimana kekuasaan dan pengaruh Islam semakin berkembang luas. Khalifah Umar
misalnya, mengadopsi sistem diwan dari tradisi masyarakat Persia. Selain itu,
Umar juga mengadopsi sistem pelayanan pos yang merupakan tradisi masyarakat Sasanid
dan kerajaan Byzantium[20]
yang bernama Diwan al-barid,yang berasal dari bahasa latin, ‘‘veredus atau
yunani, beredos. ...’’.adat lain yang berasal dari daerah non-islam yang di
serap kedalam budaya Islam adalah ‘usyur’. Sebagai bentuk pajak-pajak
tradisional yang dikenakan kepada para pedagang di daerah non-islam, ‘usyur ini
di terima oleh Umar setelah mendapat
informasi dari Abu Musa Al-Asy’ari tentang praktik-praktik lembaga pajak
ini di daerah-daerah lain.
Begitu juga,
para Khalifah mempertahankan adat-adat non islam dan juga mengadopsi serta
mengembangkan beberapa adatasing yang
berguna, misalnya dalam hal timbangan dan ukuran, untuk jenis padi-padian(
gandum dan gerst/gandum yang di pakai untuk membuat bir) tetap di pandang
sebagai ‘kaili’ ( yang di ukur berdasarkan kapasitasnya ), sementara emas dan
perak di golongkan sebagai ‘wazni’ ( yang di ukur berdasarkan berat nya ).
Khalifah ‘Ali juga menggunakan “bai’as-salam’’ dengan menjual untanya untuk
mendapatkan dua pilih unta, dengan pengertian bahwa dia akan menerima bayaran
itu pada waktu yang telah di tentukan. Hukum adat pera Islam yang mengatur
persewaan dan peminjaman juga di pakai
oleh dua Khalifah, Abu Bakar dan Umar. Terutama selama masa pemerintahan Umar,
persewaan merupakan tindakan hukum yang secara umum di praktikkan dalam
masyarakat Islam Arab. Umar dan ‘Ali sama-sama memandang kerja sama dagang
(mudarobah)- bentuk ini juga diderivasikan dari praktik adat sebagai suatu
institusi yang legal. Demikian pula, dalam kapasitas sebagai seorang pedagang
‘Usman bin Affan berpartisipasi dalam perjanjian mudarabah dengan Abd.Allah ibn
Ali, sementara Abd.Allah ibn Mas’ud juga terlibat dalam perjanjian yang sama
dengan Zaid ibn Khulaidah.
Dalam pemikiran
ulama fiqih, dapat dilihat pengaruh sosial budaya terhadap gagasan-gagasan yang
dibangunnya. Abu Hanifah memasukkan adat sebagai salah satu prinsip
istihsan-nya. Dalam ijtihadnya, Abu Hanifah memanfaatkan adat istiadat dan
kebiasaan-kebiasaan sosial yang beragam dari masyarakat sebagai sumber hukum
sekunder sepanjang hal tersebut tidak berlawanan dengan nass maupun spirit
syari’ah.[21]
Demikian juga dengan Imam Malik yang mendudukkan adat masyarakat Madinah
sebagai bagian penting dalam teori hukumnya.[22]
Karna Imam Malik percaya bahwa aturan-aturan adat dari suatu negri harus
dipertimbangkan dalam memformulasikan suatu ketetapan, walaupun ia memandang
ahl al-madinah sebagai suatu variabel yang paling otoritatif dalam teori hukum nya. Tidak
seperti fuqaha Hanafi dan maliki yang memegangi signifikan sosial dan politik
dari adat dan menekankan kepentingan dari adat tersebut sebagai proses
penciptaan hukum mereka.
Salah satu hal
penting untuk menjelaskan pengaruh sosial budaya dalam konstruk pemikiran hukum
Islam adalah terkait dengan fenomena Imam Syafi’i[23]
dan Ibn Hanbal. Sejarah hidupnya menunjukkan bahwa pemikirannya sangat
dipengaruhi oleh masyarakat sekitar. Dengan kata lain, keadaan sosial
masyarakat dan keadaan zamannya amat mempengaruhi Imam Syafi’i dalam membentuk
pemikiran hukumnya. Fakta yang paling nyata dari hal tersebut adalah munculnya
apa yang disebut dengan qaul qadim dan qaul jadid dalam spektrum pemikiran Imam
Syafi’i. Qaul qadim nya yang di kompilasikan di iraq dan di kontraskan dengan qaul
jadid Syafi’i yng di kompilasikan
setelah ia berada di mesir. Dan ini membuktikan fleksibilitas fiqh dan adanya
ruang gerak dinamis bagi kehidupan, perkembangan dan pembaharuan. Menurut Ali
Sayis, lahirnya madzhab jadid merupakan dampak dari perkembangan baru yang dialaminya,
dari penemuan hadis, pandangan dan kondisi sosial baru yang tidak ditemuinya di
Hijaz dan Irak.[24]
Dan penerimaan Ibn Hanbal terhadap hadis yang lemah ketika ia mendapatkan hadis
tersebut bersesuaian dengan adat setempat, juga memberikan bukti bahwa prinsip
adat pada kenyataan nya tidak pernah di kesampingkan oleh para juri muslim
dalam usahanya untuk membangun hukum.[25]
Atas
dasar-dasar itulah, para ahli hukum islam pada kurun waktu berikutnya
memformulasikan kaidah hukum, yaitu adat dapat menjadi sumber penetapan hukum
(al-adat muhakkamat).[26]
Para fuqaha berikutnya kemudian mengualifikasikan peran adat dengan berbagai
persyaratan agar valid menjadi bagian dari hukum Islam.seperti yang di nyatakan
oleh tahrir mahmood,[27]
berikut:
1.
Adat
harus secara umum di praktikkan oleh anggota masyarakat jika di kenal secara
umum oleh semua lapisan masyarakat, atau di praktikkan sebagian kelompok
masyarakat tertentu.
2.
Adat
harus berupa suatu kebiasaan yang sedang berjalan dalam masyarakat pada waktu
akan di jadikan sebagai hukum.
3.
Adat
harus di pandang tidak sah jika bertentangan dengan ketentuan yang eksplisit
dari Al-Qur’an dan hadist.
4.
Dalam
hal perselisihan, adat hanya akan di pakai ketika tidak ada penolakan yang
eksplisit sifatnya untuk menggunakan adat dari salah satu pihak yang terlibat.
Berdasarka
fakta tersebut, dapat di tarik titik terang bahwa adat tradisi bangsa Arab bisa
menjadi sumber hukum islam karna memiliki keefektifan yang sangat besar dan
penting. Pada tahap ini pandangan Schacht memang benar bahwa adat atau tradisi
pra-Islam dapat di jadikan sebagai sumber hukum. Hal inibukan merupakan sumber
hukum islam pertama, tetapi sebagai sumber hukum sekunder.
Penutup
Fakta
menjelaskan bahwa banyak budaya yang ada di masa pra-Islam diadopsi dan
dipraktekkan oleh nabi Muhammad. Hal ini mengindikasikan bahwa Islam lahir
tidak dalam rangka menghilangkan seluruh kebudayaan yang berkembang dan
dijalankan oleh masyarakat Arab pra-Islam. Nabi Muhammad banyak menciptakan
aturan-aturan yang melegalkan hukum adat masyarakat Arab, sehingga memberi
tempat bagi praktek hukum Adat di dalam sistem hukum Islam. Signifikansi peran
budaya dalam hukum Islam kemudian diteruskan oleh para penerusnya. Para sahabat
mengadopsi beberapa budaya masyarakat hasil ekspansinya, demikian juga dengan
para imam madzhab yang juga memposisikan budaya lokal daerahnya sebagai salah
satu faktor penting dalam teori hukumnya. Dengan demikian, budaya memiliki
posisi yang penting dalam sejarah hukum Islam.
DAFTAR PUSTAKA
H. Lammens, S.J., Islam: Belief and institutions,
New Delhi: Oriental Books Reprint corporation, 1979
Philip K. Hitti, History of The Arabs, lake
Champlain, New York: Corlear bay Club, 1996
SM. Imamuddin, Arab Muslim Administration
(622-1258), New Delhi: Kitab Bhavan, 1984
J.N.D.
Anderson, islamic law in the modern world, New York University Press, 1959
[1] . H. Lammens, S.J., Islam: Belief and institutions, New Delhi:
Oriental Books Reprint corporation, 1979, hlm. 1.
[2] . Philip K. Hitti, History of The Arabs, lake Champlain, New York:
Corlear bay Club, 1996, hlm. 3.
[3] . SM. Imamuddin, Arab Muslim Administration (622-1258), New Delhi:
Kitab Bhavan, 1984,hlm. 13.
[4] . Ahmad Hashori, Tarikh..., Op. Cit, hlm.25; lihat juga Philip
K.Hitti, Op. Cit.,hlm. 23-29.
[5] . Wilfred Cantwel Smith, Op. Cit. Hlm. 93.
[6] . Asaf A.A. Fyzee, Outlines..., Op. Cit. Hlm. 5.
[7] . Jaih Mubarok, Op. Cit., hlm.16. Lihat juga Ahmad Hashori,
Tarikh...., Op. Cit. Hlm.26-27.
[8] . Asaff A.A Fyzee, Op. Cit., hlm.8-9.
[9] . J.N.D. Anderson, islamic law in the modern world, New York
University Press, 1959, hlm.40.
[10] . Anderson, Ibid., hlm. 60.
[11] . Charles J.Adam, Readers ..., Op. Cit., hlm. 411.
[12] . Philip K.hitti, Op. Cht., hlm. 121.
[14] . Khalil Abdul Karim. 2003. Syari’ah
Sejarah Perkelahian Pemaknaan, terj. Kamran As’ad. Yogyakarta: LKiS. hlm.
x-xi.
[15] . Majid Khadduri. 2002. Perang
dan Damai Dalam Hukum Islam, terj. Kuswanto. Yogyakarta: Tarawang Press.
hlm. 19; Ratno Lukito, Islamic Law…, hlm. 4.
[16] . Sunah taqririyyah merupakan
legitimasi Nabi terhadap ucapan atau perbuatan sahabat, baik dengan cara diam
dan sebagainya. Lebih lanjut lihat, Muhammad ‘Ajaj Al-Khatib 1975. Usul
al-Hadis, ‘Ulumuhu wa Mustalahuhu, cet. ke-3. Damaskus: Dar al-Fikr. hlm.
20; Abdul Wahhab Khalaf. 1978. ‘Ilm Usul al-Fiqh, cet. ke-12. Kuwait:
Dar al-Qalam. hlm. 37. Al-Mawarid Edisi XVII Tahun 2007 107
[19] . Ibid., 8-9. lebih lanjut mengenai bentuk-bentuk budaya masyarakat
pra-Islam yang kemudian di adopsi ke dalam Islam, lihat, Khalil Abdul Karim, Syari’ah
Sejarah…, hlm. 3-135.
[21] . Abu Ameenah Bilal Philips, Asal-Usul…,
hlm. 99; Ratno Lukito, Islamic Law…, hlm. 21. Salah satu faktanya
adalah pendapat Abu Hanifah yang menganggap bahwa kedua telapak kaki bukanlah
termasuk dalam kategori aurat. Ia beralasan bahwa kedua telapak kaki lebih
menyulitkan untuk ditutupi daripada kedua telapak tangan, khususnya bagi
perempuanperempuan miskin di pedesaan yang (saat itu) seringkali berjalan
(tanpa alas kaki) untuk memenuhi kebutuhan mereka. Lihat, Ibn Rusyd. 1992. Bidayah
al-Mujtahid wa Nihayah al- Muqtasid. Beirut: Dar al-Fikr. I: 83;
Quraish Shihab. 2000. Wawasan al-Qur’an Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai
Persoalan Umat, cet. ke-11. Bandung: Mizan. hlm. 176.
[22] . Ratno Lukito, Islamic Law…, hlm. 21. Secara logis, Imam
Malik berpandangan bahwa karena sebagian besar masyarakat Madinah merupakan keturunan
langsung sahabat, dan Madinah merupakan tempat Rasulullah menghabiskan sepuluh
tahun terakhir kehidupannya, maka praktek (adat) yang dilakukan pasti
diperbolehkan, jika tidak malah dianjurkan oleh Rasulullah. Lihat, Abu Ameenah
Bilal Philips, Asal-Usul…, hlm. 97. 108 Al-Mawarid Edisi XVII Tahun 2007
[24] . Menurut sejarah, madzhab qadim
dibangun di Irak, sedangkan madzhab jadid adalah pendapatnya selama
berdiam di Mesir. Lihat, Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih…, hlm. 107.
[25] . Ibn Qudamah, Al-mugni, jilid 6, Kairo: Dar Al-Manar, 1974, hlm. 25.
[26] . Ibn Nujaim, Al-Asbah wa an-Nazari, hlm. 129-131. Baca juga Suyuthi.
Asybah, dalam beberapa bab yang berhubungan.
[27]. Lihat Ratna lukito, Pengumulan adat ..., hlm. 25.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar