Salah
satu isu kontroversial yang muncul di Tanah Air belakangan ini yang berkaitan
dengan SYARA adalah isu murtad dan hukuman terhadap pelaku murtad (apostasy).
Kelompok agamawan Islam terpolarisasi menjadi dua kelompok. Pertama, mereka
yang berpegang pada pendapat mayoritas ulama fikih bahwa hukuman terhadap orang
yang keluar dari agama Islam adalah hukuman mati. Sementara kelompok kedua berpendapat, semata-mata
keluar dari Islam hanya dinilai berdosa dan bukan merupakan tindak pidana. Analisis
terhadap kedua pendapat tersebut dikaji dalam tulisan ini melalu pendekatan
hadis.
Kata
kunci: murtad, riddah mughalla§ah (murtad berat) riddah mukhaffafah (murtad
ringan), hukuman mati
1.
Pendahuluan
Pada tahun 70-an, di Mesir muncul
trend baru di kalangan anak muda kristen Koptik masuk Islam untuk melakukan
perkawinan dengan wanita muslimah. Akan tetapi jika perkawinan tersebut gagal,
mereka kembali kepada agama mereka semula, Kristen koptik, yang berarti murtad
dari agama Islam. Hal ini memicu pro-kontra di kalangan tokoh-tokoh Islam
Mesir, karena kitab-kitab fikih menyatakan hukuman bagi orang yang murtad adalah
hukuman mati. Meskipun demikian, mereka gagal menerapkan hukuman mati itu.
Peristiwa murtad juga muncul tahun 1989, ketika Salman Rusydi menerbitkan
bukunya, The Satanic Verses. Tak ayal, Iran mengumumkan pemberian hadiah
bagi siapa saja yang dapat menangkapnya hidup ataupun mati, karena bukunya itu
merupakan pernyataan kemurtadannya. Sementara pada tahun 2006, di Afghanistan
muncul pula seorang yang mengaku murtad dari Islam, yang jika tidak karena
Prseiden Bush turun tangan membelanya atas nama kebebasan beragama, hukuman
mati sudah dijatuhkan kepadanya.[1] Di
kalangan Islam, munculnya persoalan murtad ini telah menggerakkan kembali
perdebatan-perdebatan yang ramai di seputar hukuman bagi pelaku murtad.
Bagaimanakah sebenarnya petunjuk dan aturan Islam dalam menghadapi kasus-kasus
murtad? Pertanyaan inilah yang coba dijawab dalam tulisan ini, dengan mengacu
pada petunjuk al-Quran dan hadis.
Akan tetapi, sebelum lebih jauh
mencari jawab atas pertanyaan di atas, perlu segera ditegaskan beberapa hal
sebagai berikut.
a.
Berbagai pendapat ulama
yang berkembang di seputar masalah murtad mempunyai kedudukan yang sama dalam
arti, semua pendapat tersebut mempunyai peluang untuk benar dan salah. Sebab
semua pendapat tersebut merupakan hasil ijtihad yang tidak ma`¡m (bebas
dari kesalahan), yang masing-masingnya hanya sampai ke tingkat §ann³ (relatif).
Yang ma`¡m hanyalah Rasulullah saw.
b.
Seorang Muslim tidak
boleh mengkafirkan atau menuduh fasik seorang Muslim lainnya yang cenderung
kepada salah satu pendapat ulama yang
saling bertentangan, baik pendapat tersebut muncul pada masa sahabat, tabi`in,
maupun muncul belakangan dewasa ini. Sebab, perbedaan pendapat tetap dibenarkan
terjadinya dalam masalah-masalah yang termasuk dalam wilayah ijtih±diyyah,
sampai hari kiamat. Dalam hal ini, sebagian ulama berpendapat, kesepakatan
ulama dalam suatu masalah merupakan ¥ujjah, sedangkan perbedaan pendapat
merupakan rahmat yang luas dari Allah SWT. Oleh karena itu, setiap orang bebas meyakini
kebenaran hasil ijtihad ulama tertentu yang dipandangnya lebih kuat dalilnya,
selama hasil ijtihad tersebut belum menjadi hukum positif (q±nn; undang-undang).
Apabila suatu pendapat telah berubah menjadi hukum positif, maka semua orang
dalam suatu negara wajib mematuhi hukum positif itu, dan tidak dibenarkan lagi
berbeda pendapat dalam masalah tersebut.
2. Bahaya Murtad
Dalam pandangan Islam, seluruh
tatanan ajaran agama yang ditetapkaan Islam, baik yang berkaitan dengan akidah,
syari`ah maupun akhlak, bertumpu pada lima
tujuan utama yang sangat mendasar, yaitu: memelihara keyakinan agama, keamanan
dan keselamatan jiwa, keturunan, dan memelihara harta. Dari kelima tujuan dasar
tersebut, memelihara agama merupakan tujuan yang tertinggi tingkatannya. Islam
sangat mementingkan pemeliharaan agama, karena identitas yang memebedakan
seseorang sebagai muslim atau kafir adalah apakah ia meyakini dan beriman atau
tidak terhadap ajaran agama Islam. Di atas keyakinan dan keimanan kepada agama
Islamlah berwujud dan berdirinya masyarakat Islam, dan dengan keyakinan agama
tersebut seseorang menemukan jati diri dan ruh hidupnya. Karena itu, demi
memelihara keyakinan agama, umat Islam rela mengorbankan nyawanya, berhijrah meninggalkan
tanah tumpah darahnya, dan mengorbankan hartanya.
Karena memelihara keyakinan dan
kebebasan memeluk suatu agama merupakan hal yang paling mendasar dalam Islam,
maka Islam memandang orang yang murtad dari Islam, kemudian memusuhi Islam,
baik dengan perbuatan, lisan maupun tulisan, atau mengajak Muslim lainnya untuk
murtad, atau melakukan pelecehan, provokasi dan teror terhadap Islam dan kaum
Muslimin adalah musuh Islam yang paling berbahaya. Itulah sebabnya Islam
mengancam pelakunya dengan hukuman berat, yaitu hukuman mati.
Dalam pada itu, Islam melarang dan tidak
pernah memaksa orang untuk masuk ke dalamnya, atau menyuruh keluar dari agama
yang dipeluknya, karena Islam sangat menjunjung tinggi kebebasan memeluk dan
meyakini agama seseorang. Akan tetapi, atas nama kebebasan beragama, seseorang
tidak boleh menjadikan agama sebagai permainan, dimana seseorang dengan sesuka
hati, hari ini masuk ke dalam satu agama, kemudian besok keluar dari agama
tersebut. Semua orang yang sehat akalnya pasti akan berkata sikap seperti itu adalah
pelecehan terhadap ajaran agama.
3. Beberapa Pendapat tentang Hukuman bagi Pelaku
Murtad
Ulama mazhab Hanafi, Maliki, Syafi`i
dan Hanbali berpendapat,[2] orang
yang murtad diberi kesempatan untuk bertaubat selama tiga hari, dengan cara
memberi penerangan agama kepadanya, khususnya tentang yang menyebabkan ia
menjadi murtad. Apabila ia taubat dan kembali kepada Islam, maka taubatnya
diterima. Tetapi jika ia tetap pada kemurtadannya, maka kepadanya dijatuhi
hukuman mati. Pendapat mereka didasarkan kepada tiga alasan.
Pertama, berdasarkan al-Qur`an, surah
al-Fath, 48 :16;
قُلْ لِلْمُخَلَّفِينَ مِنَ الأعْرَابِ سَتُدْعَوْنَ إِلَى قَوْمٍ
أُولِي بَأْسٍ شَدِيدٍ تُقَاتِلُونَهُمْ أَوْ يُسْلِمُونَ...
Katakanlah kepada orang-orang Badwi
yang tertinggal: "Kamu akan diajak untuk (memerangi) kaum yang mempunyai
kekuatan yang besar, kamu akan memerangi mereka atau mereka menyerah (masuk
Islam)…
Kedua, didasarkan pada hadis riwayat
al-Bukhari al-Tirmizi, al-Nas±’i, Ibn M±jah dan Ahmad dari jalur yang
berbeda-beda:[3]
مَنْ بَدَّلَ
دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ
“Barangsiapa yang mengganti agamanya,
maka bunuh kamulah ia”
Demikian
juga hadis riwayat
لَا
يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي
رَسُولُ اللَّهِ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ النَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالثَّيِّبُ
الزَّانِي وَالْمَارِقُ مِنْ الدِّينِ التَّارِكُ لِلْجَمَاعَةِ
“Tidak
halal darah (tidak boleh dibunuh) seorang Muslim yang bersaksi bahwa tidak ada
tuhan selain Allah dan bahwa saya adalah utusan Allah, kecuali karena salah
satu dari tiga; jiwa dengan jiwa (hukum qi¡±¡ karena membunuh), orang yang sudah
berumah tangga berzina, dan orang yang memisahkan diri dari agama dan
meninggalkan jama`ah”
Ketiga, berdasarkan ijm±`. Sebagaimana
dikemukakan oleh Ibn `Abd al-Barr, Ibn Qud±mah, Ibn Daq³q al-`Aid, Ibn Hazm dan
al-Naw±w³, bahwa terdapat ijm±` yang menyatakan, orang yang murtad
dihukum mati. Agaknya, hal ini disimpulkan dari fakta sejarah, dimana Abu Bakr,
khalifah pertama memerangi golongan yang murtad pada masa sahabat. Akan tetapi,
sebagaimana disebut di bawah ini, ternyata `Umar ra, sebagai sahabat utama
Rasulullah saw, berpendapat, hukumannya adalah penjara.
Adapun `Umar bin al-Khattab,
berkaitan dengan salah satu kasus murtad yang diajukan kepadanya, ia berpendapat,
orang yang murtad diajak untuk kembali kepada Islam. Tetapi jika ia tetap dalam
kemurtadannya, maka ia dipenjarakan sampai kembali kepada agama Islam. Menurut
informasi `Abd al-Razz±q, al-Baihaqi dan Ibn Hazm, suatu hari Anas mengajukan
kepada `Umar ra enam orang yang murtad dan membelot bergabung dengan kaum
musyrikin. Anas bertanya, adakah hukuman lain selain hukuman mati bagi mereka?
`Umar menjawab: “Ya, saya akan kembalikan mereka kepada Islam. Jika mereka
menolak, maka saya tempatkan mereka di penjara”. Pendapat yang sama juga
dikemukakan oleh `Umar bin `Abd al-`Az³z, Ibrahim al-Nakha`³ dan Sufyan
al-Tsauri[4]
(dari kalangan Tabi`in).
Dalam pada itu, Ibn Taimiah[5]
membagi murtad kepada dua bagian yaitu: riddah mughalla§ah (murtad
berat) dan riddah mukhaffafah (murtad ringan). Riddah
mughalla§ah ialah murtad yang diiringi dengan tindakan memusuhi Islam dan
mempengaruhi muslim lainnya menjadi murtad. Sedangkan riddah mukhaffafah adalah
semata-mata murtad tanpa diiringi dengan tindakan yang menggambarkan permusuhan
terhadap Islam. Meskipun kedua bentuk murtad tersebut dapat dijatuhi hukuman
mati, namun dalam pelaksanaannya terdapat perbedaan. Murtad dalam bentuk
pertama, dijatuhi hukuman mati, tanpa menunggu orang yang murtad itu kembali
kepada agama Islam. Sedangkan murtad dalam bentuk kedua, yang bersangkutan diminta
untuk bertaubat, dengan cara memberi penjelasan untuk meluruskan pemahamannya
terhadap hal-hal yang menyebabkan dirinya bertaubat. Jika yang bersangkutan
bertaubat, maka ia terbebas dari hukuman mati. Akan tetapi, apabila setelah proses
penyadaran tersebut dilakukan dan telah lewat waktu tiga hari, sedangkan yang
bersangkutan belum juga bertaubat dari kemurtadannya, maka kepadanya dijatuhi
hukuman mati.
Pendapat yang berbeda dari ulama di atas
dikemukakan oleh kelompok liberal modern, antara lain, diwakili oleh Dr.
Muhammad `Abid al-J±bir³.[6]
Menurut pendapatnya, pengertian riddah dibagi kepada dua macam,
yaitu pertama, semata-mata murtad berpindah
agama, tanpa melakukan provokasi kepada muslim lainnya untuk berpindah agama
dalam arti berpindah keyakinan agama dari Islam kepada agama lain, tetapi tidak
melakukan permusuhan kepada Islam dan kaum muslimin. Sedangkan yang kedua,
perbuatan murtad yang diiringi dengan sikap melawan pemerintahan Islam dan kaum
Muslimin.
Menurut al-Jabiri, hukuman terhadap
bentuk murtad yang pertama adalah hukuman di akhirat, dan tidak ada hukuman
yang bersifat duniawi. Dalil yang dikemukakannya ialah, ayat-ayat al-Quran,
antara lain;;
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ
وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا
فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Barangsiapa yang kafir kepada Allah
sesudah dia beriman (ia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa
kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (ia tidak berdosa), akan
tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah
menimpanya dan baginya azab yang besar. (al-Nahl,
16:106)
...وَمَنْ
يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ
أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآَخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ
فِيهَا خَالِدُونَ
…Barangsiapa yang murtad di antara
kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang
sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itu penghuni neraka,
mereka kekal di dalamnya.(al-Baqarah, 2: 217)
كَيْفَ يَهْدِي اللَّهُ قَوْمًا كَفَرُوا بَعْدَ إِيمَانِهِمْ
وَشَهِدُوا أَنَّ الرَّسُولَ حَقٌّ وَجَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَاللَّهُ لَا
يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ.
أُولَئِكَ جَزَاؤُهُمْ أَنَّ عَلَيْهِمْ لَعْنَةَ اللَّهِ وَالْمَلَائِكَةِ
وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ. خَالِدِينَ
فِيهَا لَا يُخَفَّفُ عَنْهُمُ الْعَذَابُ وَلَا هُمْ يُنْظَرُونَ.
Bagaimana Allah akan menunjuki
suatu kaum yang kafir sesudah mereka beriman, serta mereka telah mengakui bahwa
Rasul itu (Muhammad) benar-benar rasul, dan keterangan-keteranganpun telah
datang kepada mereka? Allah tidak menunjuki orang-orang yang zalim. Mereka itu,
balasannya ialah: laknat Allah ditimpakan kepada mereka, laknat para malaikat
dan manusia seluruhnya. Mereka kekal di dalamnya, tidak diringankan siksa dari
mereka, dan tidak (pula) mereka diberi tangguh.
(Ali `Imran, 3: 86-88)
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ
الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى
وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Dan barangsiapa yang menentang
Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan
orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu, dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali. (al-Nisa’, 4: 115)
إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا ثُمَّ كَفَرُوا ثُمَّ آَمَنُوا ثُمَّ
كَفَرُوا ثُمَّ ازْدَادُوا كُفْرًا لَمْ يَكُنِ اللَّهُ لِيَغْفِرَ لَهُمْ وَلَا
لِيَهْدِيَهُمْ سَبِيلًا
Sesungguhnya orang-orang yang
beriman kemudian kafir, kemudian beriman (pula), kamudian kafir lagi, kemudian
bertambah kekafirannya, maka sekali-kali Allah tidak akan memberi ampunan
kepada mereka, dan tidak (pula) menunjuki mereka kepada jalan yang lurus (al-Nis±’, 4: 137).
Menurut al-Jabiri, ayat-ayat di atas
menjelaskan hukuman orang yang murtad adalah laknat dari Allah, malaikat dan
umat Islam, kebaikannya menjadi terhapus, dan di akhirat mendapat siksa neraka,
tetapi tidak satupun ayat-ayat tersebut yang menyebutkan hukuman mati terhadap
mereka. Lebih dari itu, kepada mereka terbuka lebar pintu untuk bertaubat.
Bahwa kepada mereka yang semata-mata
berpindah keyakinan tanpa memusuhi Islam tidak dijatuhi hukuman apapun di dunia, menurut al-Jabiri, sejalan dengan
prinsip kebebasan beragama yang diajarkan Islam. Dalam hal ini, al-jabiri mengutip
ayat-ayat al-Quran, antara lain;
وَلَوْ
شَاءَ رَبُّكَ لَآَمَنَ مَنْ فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا أَفَأَنْتَ
تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ
Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki,
tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. maka apakah kamu
(hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman
semuanya ? (Yunus,10: 99)
فَإِنْ أَعْرَضُوا فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا إِنْ
عَلَيْكَ إِلَّا الْبَلَاغُ...
Jika mereka berpaling Maka kami
tidak mengutus kamu sebagai Pengawas bagi mereka. kewajibanmu tidak lain
hanyalah menyampaikan (risalah)… (al-Syura, 42:
48)
فَذَكِّرْ إِنَّمَا أَنْتَ مُذَكِّرٌ. لَسْتَ عَلَيْهِمْ بِمُسَيْطِرٍ. إِلَّا مَنْ تَوَلَّى وَكَفَرَ. فَيُعَذِّبُهُ
اللَّهُ الْعَذَابَ الْأَكْبَرَ. إِنَّ
إِلَيْنَا إِيَابَهُمْ. ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا حِسَابَهُمْ
Maka berilah peringatan, Karena
Sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang
yang berkuasa atas mereka. Tetapi orang
yang berpaling dan kafir. Maka Allah akan mengazabnya dengan azab yang besar. Sesungguhnya
kepada Kami-lah kembali mereka. Kemudian Sesungguhnya kewajiban Kami-lah
menghisab mereka.(al-Gh±syah: 21-26)
وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ
شَاءَ فَلْيَكْفُرْ إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا...
Dan Katakanlah: "Kebenaran itu
datangnya dari Tuhanmu; Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia
beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir".
Sesungguhnya kami Telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka…
(al-Kahf, 18: 29)
إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا
Sesungguhnya kami Telah
menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.(al-Insan,
76: 3)
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ
الْغَيِّ...
Tidak ada paksaan untuk (memasuki)
agama (Islam); Sesungguhnya Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang
sesat… (al-Baqarah, 2: 256)
Adapun bentuk murtad yang kedua, disamakan
hukumannya dengan pelaku penentangan dan pemberontakan terhadap negara dan
masyarakat Islam yang terdapat dalam kitab-kitab fikih. Dalam konteks ini,
hukuman yang dijatuhkan kepadanya tergantung pada berat ringannya kejahatan
yang dilakukannya. Karena itu, ulama sepakat, pelaku murtad yang disertai
dengan pemberontakan fisik adalah hukuman mati. Sedangkan terhadap pelaku
murtad yang belum sempat melakukan pemberontakan secara fisik, menurut sebagian
ulama, diberi kesempatan untuk bertaubat, yang
jika ia bertaubat maka dibebaskan dari hukuman mati. Sedangkan sebagian
ulama lainnya berpendapat, kepada mereka dijatuhkan hukuman mati tanpa diberi
kesempatan untuk bertaubat. Dalam hal ini, hadis Nabi saw “Man baddala d³nah
faqtulh” difahami dalam konteks
pelaku murtad dalam bentuk kedua, bukan bentuk murtad yang pertama.
3. Hukuman Murtad dalam Rekaman
sejarah
a. Zaman Rasulullah saw
Apabila merujuk pada hadis-hadis
yang menggambarkan hukuman bagi orang yang murtad pada masa Rasulullah saw,
maka akan didapat gambaran bahwa semua hadis yang menjelaskan hukuman mati yang
dijatuhkan Rasulullah saw. kepada orang yang murtad, tidak satupun yang
menjelaskan bahwa penjatuhan hukuman tersebut karena semata-mata perpindahan
agama, melainkan karena ada sebab lain yang menyertainya. Terkadang sebab itu dalam
bentuk pengkhianatan mereka, dengan cara bergabung dengan pasukan kafir setelah
murtad, seperti: Ibn Abi Sarah[7];
terkadang karena melakukan kejahatan mata-mata (spionase), dan terkadang karena
pelaku murtad tersebut melakukan provokasi memusuhi Islam, seperti: Sarah dan
Abdullah bin Khathal.[8]
Bahkan dalam suatu kasus, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhari,[9]
Rasulullah saw. menolak permintaan izin dari `Umar untuk membunuh `Abdullah bin
Ubay Bin Salul, seorang munafik yang memprovokasi golongan Muhajirin dan Anshar
agar saling berperang. Beliau bersabda: “Jangan!, nanti orang akan berkata, ia
(Muhammad saw.) membunuh sahabatnya sendiri”
Pada bagian lain, al-Bukhari
meriwayatkan hadis yang panjang yang diriwayatkan dari Abu Qil±bah, bahwa
ketika `Umar bin `Abd al-Aziz meminta pendapatnya tentang hukuman bagi
sekelompok orang yang telah membunuh seseorang, maka Abu Qilabah berkata: [10]
فَوَاللَّهِ
مَا قَتَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَدًا قَطُّ
إِلَّا فِي إِحْدَى ثَلَاثِ خِصَالٍ رَجُلٌ قَتَلَ بِجَرِيرَةِ نَفْسِهِ فَقُتِلَ
أَوْ رَجُلٌ زَنَى بَعْدَ إِحْصَانٍ أَوْ رَجُلٌ حَارَبَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
وَارْتَدَّ عَنْ الْإِسْلَامِ
Demi Allah, Rasulullah saw tidak
pernah menjatuhkan hukuman mati kepada seseorang kecuali terhadap salah satu
dari tiga macam; pelaku tindak pidana pembunuhan, maka ia dibunuh; atau
seseorang yang berzina setelah ia menikah, atau seseorang yang memerangi Allah
dan rasul-Nya dan murtad dari Islam.
Muslim meriwayatkan hadis dari Anas bin Malik[11]:
أَنَّ
نَاسًا مِنْ عُرَيْنَةَ قَدِمُوا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ فَاجْتَوَوْهَا فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنْ شِئْتُمْ أَنْ تَخْرُجُوا إِلَى إِبِلِ
الصَّدَقَةِ فَتَشْرَبُوا مِنْ أَلْبَانِهَا وَأَبْوَالِهَا فَفَعَلُوا فَصَحُّوا
ثُمَّ مَالُوا عَلَى الرُّعَاةِ فَقَتَلُوهُمْ وَارْتَدُّوا عَنْ الْإِسْلَامِ
وَسَاقُوا ذَوْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَلَغَ
ذَلِكَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَعَثَ فِي أَثَرِهِمْ
فَأُتِيَ بِهِمْ فَقَطَعَ أَيْدِيَهُمْ وَأَرْجُلَهُمْ وَسَمَلَ أَعْيُنَهُمْ
وَتَرَكَهُمْ فِي الْحَرَّةِ حَتَّى مَاتُوا
Bahwa sekelompok orang dari
`Urainah mendatangi Rasulullah saw untuk berobat karena sakit perut, maka
Rasulullah saw bersabda: “ Jika kalian mau pergilah ke kandang unta (harta)
zakat, minumlah susu dan baulnya” Kemudian mereka melakukannya, dan mereka
mejadi sehat. Lalu mereka mendatangi penjaga unta itu dan membunuhnya[12],
murtad dari Islam, dan mencuri unta milik Rasulullah saw. Peristiwa itu
disampaikan kepada beliau, dan beliau memerintahkan untuk mengakap mereka.
Setelah mereka tertangkap, maka beliau memerintahkan untuk memotong tangan dan
kaki dan membutakan mata mereka, lalu membuang mereka ke padang pasir yang terik sampai mati.
Dari uraian singkat di
atas dapat disimpulkan, tidak satupun hukuman mati yang dijatuhkan Rasulullah
saw kepada orang yang murtad semata-mata karena kemurtadannya saja, melainkan
karena orang tersebut menyertainya dengan tindakan pengkhianatan umat Islam,
atau karena mereka bergabung dan mendukung musuh-musuh Islam.
b. Pada zaman Sahabat
Secara sederhana dapat dikatakan, tak
seorangpun dapat membantah informasi sejarah yang sangat terkenal dalam Islam,
bahwa Abu Bakr ra, Khalifah pertama, memerintahkan pasukan untuk membasmi
golongan murtad. Akan tetapi, sejarah juga menjelaskan bahwa Abu Bakr, sebagai
kepala negara, memerintahkan memerangi mereka, karena mereka menolak membayar
zakat, meskipun mereka melaksanakan salat, sebagaimana tergambar dari alasan
Abu Bakr ketika ia mematahkan argumen `Umar yang semula berpendapat bahwa
mereka tidak berhak untuk diperangi, karena mereka melaksanakan salat.[13]
Dengan kata lain, Dalam lintasan sejarah pada masa sahabat pun hukuman mati
terhadap orang murtad tidak karena kemurtadabbya semata, melainkan karena
adanya alasan lain yang menyebabkan merka berhak dijatuhi hukuman mati.
4. Hadis-Hadis
tentang Ancaman Hukuman Mati bagi Pelaku Murtad
Dari
penelusuran terhadap hadis-hadis yang menyebutkan hukuman mati terhadap orang
yang murtad, setidak-tidaknya ditemukan dua versi matan hadis. Pertama, sabda
Rasulullah saw yang meunjuk pengertian umum (mu¯laq) yang berbunyi:
من بدل دينه
فاقتلوه
“Barangsiapa yang menukar agamanya
maka bunuh kamulah ia”
Dalam pada itu, sejauh penelitian
penulis terhadap 42 kitab hadis, ditemukan sebanyak 56 teks hadis, yang
meskipun melalui jalur sanad yang berbeda-beda, namun semua para perawi hadis
meriwayatkan dengan bunyi teks yang sama seperti di atas. Dalam hal ini istilah
murtad disebut secara umum dengan menggunakan man baddala d³nah (barangsiapa
mengganti agamanya), tanpa diberi predikat apapun selain penggantian agama.
Agaknya perlu dijelaskan, mungkin karena
terlalu dipengaruhi oleh aliran pemikiran yang sangat menghargai kebebasan
beragama, sebagian kelompok liberal modernis, antara lain, Muhammad Talbi,
dengan semangat yang tinggi menganggap bahwa hadis di atas adalah hadis palsu,
karena kemungkinan dipengaruhi oleh Leviticus, pasal 24 ayat 16, dan
Deuteronomi, pasal 13 ayat 2-19, dimana orang-orang Israel diperintah untuk
merajam orang murtad hingga mati.[14]
Sedangkan sebaian penulis lainnya (yang tidak memahami ilmu hadis),
berpendapat, karena semua hadis yang menyebutkan hukuman mati bagi orang yang
murtad adalah hadis ±¥±d, maka
hadis tersebut tidak dapat menjadi dasar untuk menetapkan hukuman ¥ad. Sebagaimana
dikemukakan Yusuf al-Qardhawi,[15]
apabila jalan pemikiran seperti ini diikuti, maka itu berarti, setidak-tidaknya
95 % sumber ajaran Islam yang berasal dari sunnah akan diabaikan. Sebab,
sebagian besar hadis berpredikat sebagai hadis ±¥±d. Sedangkan yang disebut sebagai hadis mutaw±tir,
sebagai lawan hadis ±¥±d, jumlahnya sangat sedikit dan jarang ditemukan.
Sedemikian sedikitnya hadis mutaw±tir, sebagian ahli hadis mengatakan,
hadis mutaw±tir “hampir tidak ditemukan”.
Adapun versi matan/ redaksi yang kedua
yang menunjuk penegertian murtad yang dijatuhi hukuman mati ialah, redaksi dalam
bentuk lafaz murakkab yang setara dengan sabda Rasulullah saw:
لَا
يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي
رَسُولُ اللَّهِ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ الثَّيِّبُ الزَّانِي وَالنَّفْسُ
بِالنَّفْسِ وَالتَّارِكُ لِدِينِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ
Tidak halal darah seorang Muslim
yang bersaksi bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah dan saya adalah rasul Allah,
melainkan karena salah satu dari tiga; orang yang telah menikah berzina, jiwa
dengan jiwa (hukum qi¡±¡), dan yang meninggalkan agamanya dan memecah jama`ah.
Berkaitan dengan tema murtad, berbeda
dengan versi hadis yang pertama, maka pada versi kedua di atas, dari 42 kitab
hadis yang diteliti, terdapat 72 hadis yang menyatakan hukuman mati bagi orang
yang murtad. Dalam pada itu, terdapat pula beberapa variasi matan yang
digunakan untuk menunjuk pengertian orang murtad yang berhak dijatuhi hukuman
mati, sebagaimana sebagiannya dikemukakan di bawah ini.
1.
Al-Bukhari meriwayatkan
dari `Abdullah bin Mas`ud dengan redaksi: وَالْمَارِقُ
مِنْ الدِّينِ التَّارِكُ لِلْجَمَاعَةِ (memisahkan
diri dari agama dan meninggalkan jama`ah).[16]
2.
Muslim dan al-Tirmizi,
dari Ibn Mas`ud, dengan redaksi وَالتَّارِكُ
لِدِينِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ (yang meninggalkan agamanya dan
memecah jama`ah).[17]
3.
Abu Daud, dari `Aisyah,
dengan reaksi: وَرَجُلٌ خَرَجَ
مُحَارِبًا لِلَّهِ وَرَسُولِهِ فَإِنَّهُ يُقْتَلُ أَوْ يُصْلَبُ أَوْ يُنْفَى
مِنْ الْأَرْضِ (Laki-laki yang pergi
memerangi Allah dan rasul-Nya, maka ia dibunuh atau disalib atau dibuang ke
pengasingan).[18]
Sedangkan redaksi yang berasal dari Utsman: كُفْرٌ
بَعْدَ إِسْلَامٍ
(kafir setelah Islam)[19]
4.
Al-Tirmizi,
dari Mu`awiyah, dengan redaksi: وَالتَّارِكُ
لِدِينِهِ (yang
meninggalkan agamanya).[20]
Sedangkan dari `Utsman: ارْتِدَادٍ بَعْدَ إِسْلَامٍ (Murtad
setelah Islam).[21]
5.
Al-Nasa’³,
dari Abdullah bin Mas`ud: التَّارِكُ لِلْإِسْلَامِ
مُفَارِقُ الْجَمَاعَةِ (yang meninggalkan Islam dan memecah jama`ah).[22]
6.
Al-Nasa’³,
dari `Aisyah: رَجُلٌ يَخْرُجُ مِنْ الْإِسْلَامِ
يُحَارِبُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَرَسُولَهُ فَيُقْتَلُ أَوْ يُصْلَبُ أَوْ
يُنْفَى مِنْ الْأَرْضِ (laki-laki yang keluar dari islam dan
memerangi Allah `Azza wa Jalla dan rasul-Nya, maka dibunuh atau disalib atau
dibuang dari negeri).
7.
Ahmad, dari
Ibn Mas`ud; وَالتَّارِكُ دِينَهُ الْمُفَارِقُ أَوْ
الْفَارِقُ الْجَمَاعَةَ (yang meninggalkan agamanya dan memecah, atau
memecah jama`ah).[23]
Karena keterbatasan halaman,
tidak semua redaksi versi kedua dikemukan. Akan tetapi, dari kutipan variasi
redaksi hadis-hadis di atas (dan yang
tidak dikutipkan) dapat disimpulkan, sebagian besar dari 72 hadis yang
ditemukan menggunakan redaksi yang mengaitkan kemurtadan dengan predikat
memecah belah jama`ah (وَالتَّارِكُ لِدِينِهِ الْمُفَارِقُ
لِلْجَمَاعَة/ وَالتَّارِكُ دِينَهُ الْمُفَارِقُ أَوْ
الْفَارِقُ الْجَمَاعَة/ التَّارِكُ لِلْإِسْلَامِ مُفَارِقُ الْجَمَاعَةِ / ). Bahkan ada yang menggunakan redaksi yang
menunjuk pengertian ¥ir±bah (رَجُلٌ يَخْرُجُ
مِنْ الْإِسْلَامِ يُحَارِبُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَرَسُولَهُ فَيُقْتَلُ أَوْ
يُصْلَبُ أَوْ يُنْفَى مِنْ الْأَرْضِ). Sementara itu, sebagian kecil menggunakan redaksi yang
menunjuk pengertian murtad secara umum, tanpa predikat “memecah jama`ah”.
5.
Memadukan Doktrin Islam dan Fakta Sejarah Hukuman Mati terhadap Orang murtad
Sejauh uraian di atas, mulai
dari beberapa pendapat tentang hukuman mati bagi orang yang murtad, sejarah
penerapannya pada masa Rasulullah saw dan sahabat, serta redaksi hadis-hadis
yang menggambarkan hukuman tersebut, agaknya dapat dikemukakan pendapat sebagai
berikut.
Tidak dapat diingkari bahwa
Islam sangat menghargai kebebasan beragama. Slogan “Tidak ada paksaan dalam
memilih agama” merupakan simpulan yang sangat nyata, karena ditegaskan
secara berulang-ulang dalam al-Quran, dengan menggunakan berbagai variasi
redaksi ayat. Sejalan dengan prinsip kebebasan beragama yang ditekankan dalam
al-Quran, sejarah yang terekam dalam hadis-hadis menggambarkan bahwa Rasulullah
Muhammad saw. mempraktekkan prinsip kebebasan beragama itu secara konsisten,
tanpa sedikitpun melenceng dari prinsip tersebut.
Praktek penjatuhan hukuman
mati bagi orang murtad yang tergambar dalam berbagai peristiwa sepanjang
sejarah zaman Rasulullah saw dan sahabat, semuanya menjelaskan, hukuman mati
dijatuhkan kepada seseorang yang murtad, bukan karena semata-mata ia berpindah
agama dan keyakinan dari Islam kepada agama lain, melainkan karena orang
tersebut telah menyertai kemurtadannya dengan tindakan-tindakan makar,
pengkhianatan, sikap bermusuhan, dan ikut bergabung dengan golongan kafir
menyerang Islam dan kaum Muslimin. Tidak satupun informasi sejarah yang
menyebutkan, pernah ada orang dijatuhi hukuman mati hanya karena semata-mata ia
berpindah agama dari Islam dan tidak mengganggu Islam dan kaum Muslimin.
Mengenai matan hadis yang
berbunyi: من بدل دينه فاقتلوه, hasil
penelitian berdasarkan kriteria kesahihan hadis yang baku menunjukkan, ditinjau
dari segi sanad/ jalur periwayatannya, sebagian besar memiliki kualitas sebagai
hadis ¡a¥³¥, karena para perawinya berpredikat sebagai tsiq±t (terpercaya).
Hanya sebagian kecilnya saja yang dinilai «a`³f. Dalam pada itu, dari
segi matan/ redaksinya, sebagaimana telah disebutkan, semua perawi hadis
meriwayatkannya dengan bunyi matan yang sama, sehingga pada hakikatnya,
sedikitpun tidak ada keraguan bahwa Rasulullah saw pernah mengucapkan hadis
tersebut.
Sesuai dengan kaidah umum lafaz dalam
bahasa Arab; “Jika lafaz mu¯laq dan muqayyad memiliki persamaan dari segi
sebab dan hukumnya, maka lafaz mu¯laq dikaitkan dengan lafaz muqayyad”, maka
hadis-hadis من بدل دينه فاقتلوه yang menunjuk
pengertian umum (mu¯laq); semua orang murtad tanpa kecuali diajtuhi
hukuman mati, harus dikaitkan dengan hadis-hadis yang bersifat muqayyad, yang
menunjuk pengertian murtad yang dijatuhi hukuman mati adalah murtad yang
disertai dengan sikap dan tindakan memusuhi Islam, sebagaimana hadis-hadis
versi kedua yang telah banyak dikemukakan sebelumnya.
Cara memahami kedua versi hadis di atas
sama dengan memahami lafaz yang menunjuk pengertian umum haramnya semua darah hewan
(al-dam) sebagaimana terdapat dalam al-Quran surah al-Ma’idah, 5: 3,
dimana maksudnya harus difahami bahwa yang diharamkan adalah darah yang
mengalir ketika hewan disembelih, dan tidak termasuk darah yang terdapat dalam
daging dan hati hewan, sebagaimana dimaksud dalam surah al-An`±m, 6: 145 yang
menyebut darah dalam bentuk lafaz murakkab yang mengandung makna muqayyad
(al-dam al-masf¥).
Cara memahami teks al-Quran dan hadis
yang dikemukakan ini adalah absah, bukan saja karena diakui oleh semua ahli
ushul fikih, tetapi sejalan dengan prinsip kebebasan beragama yang diajarkan
al-Quran dan sejalan pula dengan praktek Rasulullah saw dan para sahabat, sebagaimana
tergambar dalam kitab-kitab hadis dan kitab-kitab sejarah.
Berdasarkan uraian di atas dapat
disimpulkan, orang yang semata-mata murtad dalam arti berpindah agama, tanpa
disertai dengan tindakan provokasi dan sikap memusuhi Islam dalam bentuk apapun,
tidak dijatuhi hukuman di dunia ini; Hukuman mereka adalah siksaan neraka
Jahannam di akhirat, sebagaimana ditegaskan ayat-ayat al-Quran. Sedangkan
hukuman bagi orang murtad yang menyertai kemurtadannya dengan sikap permusuhan
kepada Islam dan kaum Muslimin, baik dengan perbuatan, lisan maupun tulisan,
atau mengajak Muslim lainnya untuk murtad, atau melakukan pelecehan, provokasi
dan teror terhadap Islam dan kaum Muslimin, adalah hukuman mati.
Pada kenyataannya, sebagian
besar fuqah±’ (ahli-ahli fikih) berpendapat sebalik dari yang disebutkan
di atas, dimana orang murtad dijatuhi hukuman mati, tanpa memandang apakah ia
menyertai kemurtadannya dengan tindakan memusuhi Islam dan kaum Muslimin
ataupun semata-mata hanya berpindah agama dari islam kepada agama lain. Bagaimanapun
juga, tanpa mengurangi rasa hormat kepada fuqah±’, dan hal ini
sedikitpun tidak mengurangi kepiawaian mereka dalam bidang hukum Islam, harus
dikatakan bahwa pendapat mereka merupakan hasil ijtihad yang secara substansial
berpeluang untuk benar, sebagaimana juga berpeluang untuk salah. Akan tetapi,
berdasarkan argumen-argumen yang telah dikemukakan di atas, harus ditegaskan
bahwa dalam masalah ini pendapat penulis dan mereka yang sependapat dengan
penulis adalah benar, meskipun berpeluang untuk salah. Penegasan ini sekaligus
merupakan koreksi atas pendapat fuqah±’ tersebut. Pernyataan terakhir
ini tidak lain, hanyalah konsekuensi logis dari suatu hasil penelitian ilmiah.
6. Penutup
Bagaimanapun
juga, pada hakikatnya kesimpulan di atas hanya berada pada tataran teoritis
atau yang biasa disebut pendapat fiqh³. Suatu teori baru dapat
dilaksanakan apabila telah menjadi q±nn (hukum positif) yang telah
dijadikan peraturan atau undang-undang oleh negara. Dalam keadaan demikian
barulah suatu teori bersifat mengikat dan berlaku bagi semua penduduk suatu
negara. Dalam pada itu, yang berhak menentukan seseorang telah murtad dan
bersikap memusuhi Islam atau tidak, adalah hakim pengadilan yang dibentuk
negara. Apabila setelah diadili, yang bersangkutan terbukti secara sah dan
meyakinkan melakukan pelanggaran terhadap suatu peraturan atau undang-undang. Oleh
karena itu, seseorang hanya dapat dinyatakan murtad dan memusuhi Islam sehingga
dapat dijatuhi hukuman mati, apabila dalam suatu negara telah lebih dahulu diundangkan
peraturan tentang perbuatan murtad tersebut, dan ia telah terbukti secara sah
berbuat murtad. Dengan demikian selain pejabat atau institusi resmi yang
berwenang untuk itu, siapapun tidak dibenarkan main hakim sendiri menetapkan
seseorang telah murtad dan memusuhi Islam, apalagi melakukan pembunuhan, dengan
alasan bahwa menurut ketentuan fikih, hukuman terhadap orang murtad yang
memusuhi Islam adalah hukuman mati. Agar ketentuan hukuman mati dapat
diterapkan kepada pelaku murtad yang memusuhi Islam dalam berbagai bentuknya,
diperlukan perjuangan yang gigih dan kompak dari semua umat Islam yang
berkecimpung dalam proses melahirkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
secara sah di negara ini. Dengan lahirnya peraturan tersebut, maka prinsip
pertama dan utama dari lima
tujuan dasar syariat Islam, yaitu memelihara keyakinan agama (empat tujuan
lainnya ialah, memelihara jiwa, akal, keturunan dan harta) dalam Islam dapat
terwujud.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Talbi, Religious
Liberty: ² Muslim Perspective”, Liberty and Conscience, Committee of
Religious Liberty, 1989,
“Kebebasan Beragama” Dalam: Charles
Kurzman (ed), Islam Liberal: Pemikiran Islam kontemporer tentang Isu-Isu
global, Jakarta: Paramadina, 2003
Yusuf
al-Qardhawi, al-Mujtama` al-Muslim wa Muw±jahat al-Riddah, http://www.
islamonline.net Tanggal 28 Pebruari 2002, diakses tgl. 13-08-2008.
[1] Mu`taz al-Khat³b, Kaifa
Nufhim al-Jadal Haul ¦ukm al-Riddah?, Islam Online.net, edisi
04-04-2006.
[2] Ibn `²bid³n, ¦±syiah Radd
al-Mu¥t±r `al± al-Durr al-Mukht±r: Syar¥ Tanw³r al-Ab¡±r, juz IV, D±r
al-fikr, tt., h. 226. Juz XI, h. 208; Al-Dardir, al-Syar¥ al-Kab³r, Mawqi`
Ya`sb, tt, juz I, h. 191; Al-Nawaw³, al-Majm` Syar¥ al-Muhazzab, juz
XIX, Dar al-Fikr, tt h. 228; Ibn Qud±mah al-Hanbali, al-Mugn³ wa al-Syar¥
al-Kabir, juz X, Dar al-Fikr, tt, h. 78.
[3]
Al-Bukhari, ¢a¥³¥
al-Bukh±r³, Kit±b al-Jih±d wa al-Siyar, hadis nomor 2794.
Selanjutnya: al-Bukhari; Al-Tirmizi, Sunan al-Tirmiz³, Beirut: Dar al-Fikr, tt., hadis nomor1378.
Selanjutnya: al-Tirmiz³; al-Nas±’³, Sunan al-Nas±’³, Beirut: Dar al-Fikr, 1990, hadis nomor 3991.
Selanjutnya al-Nas±’³; Ibn M±jah, Sunan Ibn M±jah, Dar al-Fikr, tt,
hadis nomor 2526. Selanjutnya: Ib M±jah; Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, D±r
al-¢±dir, tt., hadis nomor 2430.
[4]
`Abd al-Razz±q al-¢an`±n³, Al-Mu¡annaf,
juz X, ttp, tt., h. 165-166; al-Baihaq³, Sunan al-Baihaq³, juz VIII, h.
207; Ibn Hazm al-Z±hir³, al-Mu¥all±, juz XI, Ma¯ba` al-Im±m, tt., h.
221.
[5] Ibn Taimiah, Majm` Fataw±, juz
III, h. 343
[6] Muhammad `²bid al-J±bir³, “Hukm
al-Murtad f³ al-Isl±m”, Dalam Jar³dah al-Itti¥±d, Abu Dhabi, tanggal 14 Agustus 2007.
[7] Abu D±ud, Sunan Abi Daud,
D±r al-Fikr, ttp., tt, hadis nomor 2308
[8] al-Nasa’³, hadis nomor 3999
[9] Al-Bukhari, hadis nomor 4527
[10] Al-Bukhari, hadis nomor 6390
[11] Muslim, hadis nomor 3162,
al-Tirmizi, hadis nomor 67
[12] Pada hadis riwayat Muslim
lainnya: mata mereka dibutakan karena mereka membunuh penjaga unta dengan
membutakan matanya.
[13] Al-Bukhari, hadis nomor 6413.
[14] Muhammad Talbi, Religious
Liberty: ² Muslim Perspective”, Liberty
and Conscience, Committee of Religious Liberty, 1989, vol. I (1), h. 12-20;
“Kebebasan Beragama” Dalam: Charles Kurzman (ed), Islam
Liberal: Pemikiran Islam kontemporer tentang Isu-Isu global, Jakarta: Paramadina,
2003, h. 259.
[15] Yusuf al-Qardhawi, al-Mujtama`
al-Muslim wa Muw±jahat al-Riddah, http://www. islamonline.net Tanggal 28 Pebruari 2002,
diakses tgl. 13-08-2008.
[16] Al-Bukhari, hadis nomor 6370
[17] Muslim, hadis nomor 3175
[18] Abu Daud, hadis nomor 3789;
al-Tirmizi, hadis nomor 1322
[19] Abu Daud, hadis nomor 3903
[20] Al-Tirmizi, hadis nomor 1364
[21] Al-Tirmizi, hadis nomor 2084
[22] Al-Nasa’³, hadis nomor 3951
[23] Ahmad, hadis nomor 4197
Apapun alasannya membunuh seseotang adalah dosa.hanya yang berjiwa binatang yang bisa membunuh sesamax manusia.
BalasHapusSangat mencerahkan
BalasHapusApakah membunuh seorang pembunuh atau musuh yg kejam adalah dosa?
BalasHapusHukum murtad sudah jelas dalam al Quran melaksanakan hukum tergantung kepada pemerintah melaksanakannya. Demikian halnya hukum yang lainnya.
BalasHapus