Selasa, 01 Mei 2012

MURTAD: ANTARA HUKUMAN MATI DAN KEBEBASAN BERAGAMA

Abstrak
Salah satu isu kontroversial yang muncul di Tanah Air belakangan ini yang berkaitan dengan SYARA adalah isu murtad dan hukuman terhadap pelaku murtad (apostasy). Kelompok agamawan Islam terpolarisasi menjadi dua kelompok. Pertama, mereka yang berpegang pada pendapat mayoritas ulama fikih bahwa hukuman terhadap orang yang keluar dari agama Islam adalah hukuman mati. Sementara kelompok kedua berpendapat, semata-mata keluar dari Islam hanya dinilai berdosa dan bukan merupakan tindak pidana. Analisis terhadap kedua pendapat tersebut dikaji dalam tulisan ini melalu pendekatan hadis.
Kata kunci: murtad, riddah mughalla§ah (murtad berat) riddah mukhaffafah (murtad ringan), hukuman mati

1. Pendahuluan
            Pada tahun 70-an, di Mesir muncul trend baru di kalangan anak muda kristen Koptik masuk Islam untuk melakukan perkawinan dengan wanita muslimah. Akan tetapi jika perkawinan tersebut gagal, mereka kembali kepada agama mereka semula, Kristen koptik, yang berarti murtad dari agama Islam. Hal ini memicu pro-kontra di kalangan tokoh-tokoh Islam Mesir, karena kitab-kitab fikih menyatakan hukuman bagi orang yang murtad adalah hukuman mati. Meskipun demikian, mereka gagal menerapkan hukuman mati itu. Peristiwa murtad juga muncul tahun 1989, ketika Salman Rusydi menerbitkan bukunya, The Satanic Verses. Tak ayal, Iran mengumumkan pemberian hadiah bagi siapa saja yang dapat menangkapnya hidup ataupun mati, karena bukunya itu merupakan pernyataan kemurtadannya. Sementara pada tahun 2006, di Afghanistan muncul pula seorang yang mengaku murtad dari Islam, yang jika tidak karena Prseiden Bush turun tangan membelanya atas nama kebebasan beragama, hukuman mati sudah dijatuhkan kepadanya.[1] Di kalangan Islam, munculnya persoalan murtad ini telah menggerakkan kembali perdebatan-perdebatan yang ramai di seputar hukuman bagi pelaku murtad. Bagaimanakah sebenarnya petunjuk dan aturan Islam dalam menghadapi kasus-kasus murtad? Pertanyaan inilah yang coba dijawab dalam tulisan ini, dengan mengacu pada petunjuk al-Quran dan hadis.
            Akan tetapi, sebelum lebih jauh mencari jawab atas pertanyaan di atas, perlu segera ditegaskan beberapa hal sebagai berikut.
 a.      Berbagai pendapat ulama yang berkembang di seputar masalah murtad mempunyai kedudukan yang sama dalam arti, semua pendapat tersebut mempunyai peluang untuk benar dan salah. Sebab semua pendapat tersebut merupakan hasil ijtihad yang tidak ma`¡­m (bebas dari kesalahan), yang masing-masingnya hanya sampai ke tingkat §ann³ (relatif). Yang ma`¡­m hanyalah Rasulullah saw.
b.      Seorang Muslim tidak boleh mengkafirkan atau menuduh fasik seorang Muslim lainnya yang cenderung kepada salah satu pendapat  ulama yang saling bertentangan, baik pendapat tersebut muncul pada masa sahabat, tabi`in, maupun muncul belakangan dewasa ini. Sebab, perbedaan pendapat tetap dibenarkan terjadinya dalam masalah-masalah yang termasuk dalam wilayah ijtih±diyyah, sampai hari kiamat. Dalam hal ini, sebagian ulama berpendapat, kesepakatan ulama dalam suatu masalah merupakan ¥ujjah, sedangkan perbedaan pendapat merupakan rahmat yang luas dari Allah SWT. Oleh karena itu, setiap orang bebas meyakini kebenaran hasil ijtihad ulama tertentu yang dipandangnya lebih kuat dalilnya, selama hasil ijtihad tersebut belum menjadi hukum positif (q±n­n; undang-undang). Apabila suatu pendapat telah berubah menjadi hukum positif, maka semua orang dalam suatu negara wajib mematuhi hukum positif itu, dan tidak dibenarkan lagi berbeda pendapat dalam masalah tersebut.
2. Bahaya Murtad
            Dalam pandangan Islam, seluruh tatanan ajaran agama yang ditetapkaan Islam, baik yang berkaitan dengan akidah, syari`ah maupun akhlak, bertumpu pada lima tujuan utama yang sangat mendasar, yaitu: memelihara keyakinan agama, keamanan dan keselamatan jiwa, keturunan, dan memelihara harta. Dari kelima tujuan dasar tersebut, memelihara agama merupakan tujuan yang tertinggi tingkatannya. Islam sangat mementingkan pemeliharaan agama, karena identitas yang memebedakan seseorang sebagai muslim atau kafir adalah apakah ia meyakini dan beriman atau tidak terhadap ajaran agama Islam. Di atas keyakinan dan keimanan kepada agama Islamlah berwujud dan berdirinya masyarakat Islam, dan dengan keyakinan agama tersebut seseorang menemukan jati diri dan ruh hidupnya. Karena itu, demi memelihara keyakinan agama, umat Islam rela mengorbankan nyawanya, berhijrah meninggalkan tanah tumpah darahnya, dan mengorbankan hartanya.
Karena memelihara keyakinan dan kebebasan memeluk suatu agama merupakan hal yang paling mendasar dalam Islam, maka Islam memandang orang yang murtad dari Islam, kemudian memusuhi Islam, baik dengan perbuatan, lisan maupun tulisan, atau mengajak Muslim lainnya untuk murtad, atau melakukan pelecehan, provokasi dan teror terhadap Islam dan kaum Muslimin adalah musuh Islam yang paling berbahaya. Itulah sebabnya Islam mengancam pelakunya dengan hukuman berat, yaitu hukuman mati.
Dalam pada itu, Islam melarang dan tidak pernah memaksa orang untuk masuk ke dalamnya, atau menyuruh keluar dari agama yang dipeluknya, karena Islam sangat menjunjung tinggi kebebasan memeluk dan meyakini agama seseorang. Akan tetapi, atas nama kebebasan beragama, seseorang tidak boleh menjadikan agama sebagai permainan, dimana seseorang dengan sesuka hati, hari ini masuk ke dalam satu agama, kemudian besok keluar dari agama tersebut. Semua orang yang sehat akalnya pasti akan berkata sikap seperti itu adalah pelecehan terhadap ajaran agama.
3. Beberapa Pendapat tentang Hukuman bagi Pelaku Murtad
            Ulama mazhab Hanafi, Maliki, Syafi`i dan Hanbali berpendapat,[2] orang yang murtad diberi kesempatan untuk bertaubat selama tiga hari, dengan cara memberi penerangan agama kepadanya, khususnya tentang yang menyebabkan ia menjadi murtad. Apabila ia taubat dan kembali kepada Islam, maka taubatnya diterima. Tetapi jika ia tetap pada kemurtadannya, maka kepadanya dijatuhi hukuman mati. Pendapat mereka didasarkan kepada tiga alasan.
Pertama, berdasarkan al-Qur`an, surah al-Fath, 48 :16;
قُلْ لِلْمُخَلَّفِينَ مِنَ الأعْرَابِ سَتُدْعَوْنَ إِلَى قَوْمٍ أُولِي بَأْسٍ شَدِيدٍ تُقَاتِلُونَهُمْ أَوْ يُسْلِمُونَ...
Katakanlah kepada orang-orang Badwi yang tertinggal: "Kamu akan diajak untuk (memerangi) kaum yang mempunyai kekuatan yang besar, kamu akan memerangi mereka atau mereka menyerah (masuk Islam)…
Kedua, didasarkan pada hadis riwayat al-Bukhari al-Tirmizi, al-Nas±’i, Ibn M±jah dan Ahmad dari jalur yang berbeda-beda:[3]
مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ
Barangsiapa yang mengganti agamanya, maka bunuh kamulah ia
Demikian juga hadis riwayat
لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ النَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالثَّيِّبُ الزَّانِي وَالْمَارِقُ مِنْ الدِّينِ التَّارِكُ لِلْجَمَاعَةِ
Tidak halal darah (tidak boleh dibunuh) seorang Muslim yang bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa saya adalah utusan Allah, kecuali karena salah satu dari tiga; jiwa dengan jiwa (hukum qi¡±¡ karena membunuh), orang yang sudah berumah tangga berzina, dan orang yang memisahkan diri dari agama dan meninggalkan jama`ah” 
Ketiga, berdasarkan ijm±`. Sebagaimana dikemukakan oleh Ibn `Abd al-Barr, Ibn Qud±mah, Ibn Daq³q al-`Aid, Ibn Hazm dan al-Naw±w³, bahwa terdapat ijm±` yang menyatakan, orang yang murtad dihukum mati. Agaknya, hal ini disimpulkan dari fakta sejarah, dimana Abu Bakr, khalifah pertama memerangi golongan yang murtad pada masa sahabat. Akan tetapi, sebagaimana disebut di bawah ini, ternyata `Umar ra, sebagai sahabat utama Rasulullah saw, berpendapat, hukumannya adalah penjara. 
            Adapun `Umar bin al-Khattab, berkaitan dengan salah satu kasus murtad yang diajukan kepadanya, ia berpendapat, orang yang murtad diajak untuk kembali kepada Islam. Tetapi jika ia tetap dalam kemurtadannya, maka ia dipenjarakan sampai kembali kepada agama Islam. Menurut informasi `Abd al-Razz±q, al-Baihaqi dan Ibn Hazm, suatu hari Anas mengajukan kepada `Umar ra enam orang yang murtad dan membelot bergabung dengan kaum musyrikin. Anas bertanya, adakah hukuman lain selain hukuman mati bagi mereka? `Umar menjawab: “Ya, saya akan kembalikan mereka kepada Islam. Jika mereka menolak, maka saya tempatkan mereka di penjara”. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh `Umar bin `Abd al-`Az³z, Ibrahim al-Nakha`³ dan Sufyan al-Tsauri[4] (dari kalangan Tabi`in).
            Dalam pada itu, Ibn Taimiah[5] membagi murtad kepada dua bagian yaitu: riddah mughalla§ah (murtad berat) dan riddah mukhaffafah (murtad ringan). Riddah mughalla§ah ialah murtad yang diiringi dengan tindakan memusuhi Islam dan mempengaruhi muslim lainnya menjadi murtad. Sedangkan riddah mukhaffafah adalah semata-mata murtad tanpa diiringi dengan tindakan yang menggambarkan permusuhan terhadap Islam. Meskipun kedua bentuk murtad tersebut dapat dijatuhi hukuman mati, namun dalam pelaksanaannya terdapat perbedaan. Murtad dalam bentuk pertama, dijatuhi hukuman mati, tanpa menunggu orang yang murtad itu kembali kepada agama Islam. Sedangkan murtad dalam bentuk kedua, yang bersangkutan diminta untuk bertaubat, dengan cara memberi penjelasan untuk meluruskan pemahamannya terhadap hal-hal yang menyebabkan dirinya bertaubat. Jika yang bersangkutan bertaubat, maka ia terbebas dari hukuman mati. Akan tetapi, apabila setelah proses penyadaran tersebut dilakukan dan telah lewat waktu tiga hari, sedangkan yang bersangkutan belum juga bertaubat dari kemurtadannya, maka kepadanya dijatuhi hukuman mati.
Pendapat yang berbeda dari ulama di atas dikemukakan oleh kelompok liberal modern, antara lain, diwakili oleh Dr. Muhammad `Abid al-J±bir³.[6] Menurut pendapatnya, pengertian riddah dibagi kepada dua macam, yaitu  pertama, semata-mata murtad berpindah agama, tanpa melakukan provokasi kepada muslim lainnya untuk berpindah agama dalam arti berpindah keyakinan agama dari Islam kepada agama lain, tetapi tidak melakukan permusuhan kepada Islam dan kaum muslimin. Sedangkan yang kedua, perbuatan murtad yang diiringi dengan sikap melawan pemerintahan Islam dan kaum Muslimin.
Menurut al-Jabiri, hukuman terhadap bentuk murtad yang pertama adalah hukuman di akhirat, dan tidak ada hukuman yang bersifat duniawi. Dalil yang dikemukakannya ialah, ayat-ayat al-Quran, antara lain;;
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (ia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (ia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. (al-Nahl, 16:106)
...وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآَخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
…Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.(al-Baqarah, 2: 217)
كَيْفَ يَهْدِي اللَّهُ قَوْمًا كَفَرُوا بَعْدَ إِيمَانِهِمْ وَشَهِدُوا أَنَّ الرَّسُولَ حَقٌّ وَجَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ.  أُولَئِكَ جَزَاؤُهُمْ أَنَّ عَلَيْهِمْ لَعْنَةَ اللَّهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ.  خَالِدِينَ فِيهَا لَا يُخَفَّفُ عَنْهُمُ الْعَذَابُ وَلَا هُمْ يُنْظَرُونَ.
Bagaimana Allah akan menunjuki suatu kaum yang kafir sesudah mereka beriman, serta mereka telah mengakui bahwa Rasul itu (Muhammad) benar-benar rasul, dan keterangan-keteranganpun telah datang kepada mereka? Allah tidak menunjuki orang-orang yang zalim. Mereka itu, balasannya ialah: laknat Allah ditimpakan kepada mereka, laknat para malaikat dan manusia seluruhnya. Mereka kekal di dalamnya, tidak diringankan siksa dari mereka, dan tidak (pula) mereka diberi tangguh. (Ali `Imran, 3: 86-88)
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (al-Nisa’, 4: 115)
إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا ثُمَّ كَفَرُوا ثُمَّ آَمَنُوا ثُمَّ كَفَرُوا ثُمَّ ازْدَادُوا كُفْرًا لَمْ يَكُنِ اللَّهُ لِيَغْفِرَ لَهُمْ وَلَا لِيَهْدِيَهُمْ سَبِيلًا
Sesungguhnya orang-orang yang beriman kemudian kafir, kemudian beriman (pula), kamudian kafir lagi, kemudian bertambah kekafirannya, maka sekali-kali Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka, dan tidak (pula) menunjuki mereka kepada jalan yang lurus  (al-Nis±’, 4: 137).
Menurut al-Jabiri, ayat-ayat di atas menjelaskan hukuman orang yang murtad adalah laknat dari Allah, malaikat dan umat Islam, kebaikannya menjadi terhapus, dan di akhirat mendapat siksa neraka, tetapi tidak satupun ayat-ayat tersebut yang menyebutkan hukuman mati terhadap mereka. Lebih dari itu, kepada mereka terbuka lebar pintu untuk bertaubat.
Bahwa kepada mereka yang semata-mata berpindah keyakinan tanpa memusuhi Islam tidak dijatuhi hukuman apapun  di dunia, menurut al-Jabiri, sejalan dengan prinsip kebebasan beragama yang diajarkan Islam. Dalam hal ini, al-jabiri mengutip ayat-ayat al-Quran, antara lain;
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآَمَنَ مَنْ فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ
Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya ? (Yunus,10: 99)
فَإِنْ أَعْرَضُوا فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا إِنْ عَلَيْكَ إِلَّا الْبَلَاغُ...
Jika mereka berpaling Maka kami tidak mengutus kamu sebagai Pengawas bagi mereka. kewajibanmu tidak lain hanyalah menyampaikan (risalah)… (al-Syura, 42: 48)
فَذَكِّرْ إِنَّمَا أَنْتَ مُذَكِّرٌ.  لَسْتَ عَلَيْهِمْ بِمُسَيْطِرٍ.  إِلَّا مَنْ تَوَلَّى وَكَفَرَ. فَيُعَذِّبُهُ اللَّهُ الْعَذَابَ الْأَكْبَرَ.  إِنَّ إِلَيْنَا إِيَابَهُمْ. ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا حِسَابَهُمْ
Maka berilah peringatan, Karena Sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka.  Tetapi orang yang berpaling dan kafir. Maka Allah akan mengazabnya dengan azab yang besar. Sesungguhnya kepada Kami-lah kembali mereka. Kemudian Sesungguhnya kewajiban Kami-lah menghisab mereka.(al-Gh±syah: 21-26)
وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا...
Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir". Sesungguhnya kami Telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka… (al-Kahf, 18: 29)
إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا
Sesungguhnya kami Telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.(al-Insan, 76: 3)
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ...
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat… (al-Baqarah, 2: 256)
Adapun bentuk murtad yang kedua, disamakan hukumannya dengan pelaku penentangan dan pemberontakan terhadap negara dan masyarakat Islam yang terdapat dalam kitab-kitab fikih. Dalam konteks ini, hukuman yang dijatuhkan kepadanya tergantung pada berat ringannya kejahatan yang dilakukannya. Karena itu, ulama sepakat, pelaku murtad yang disertai dengan pemberontakan fisik adalah hukuman mati. Sedangkan terhadap pelaku murtad yang belum sempat melakukan pemberontakan secara fisik, menurut sebagian ulama, diberi kesempatan untuk bertaubat, yang  jika ia bertaubat maka dibebaskan dari hukuman mati. Sedangkan sebagian ulama lainnya berpendapat, kepada mereka dijatuhkan hukuman mati tanpa diberi kesempatan untuk bertaubat. Dalam hal ini, hadis Nabi saw “Man baddala d³nah faqtul­h”  difahami dalam konteks pelaku murtad dalam bentuk kedua, bukan bentuk murtad yang pertama.
3. Hukuman Murtad dalam Rekaman sejarah
a. Zaman Rasulullah saw
            Apabila merujuk pada hadis-hadis yang menggambarkan hukuman bagi orang yang murtad pada masa Rasulullah saw, maka akan didapat gambaran bahwa semua hadis yang menjelaskan hukuman mati yang dijatuhkan Rasulullah saw. kepada orang yang murtad, tidak satupun yang menjelaskan bahwa penjatuhan hukuman tersebut karena semata-mata perpindahan agama, melainkan karena ada sebab lain yang menyertainya. Terkadang sebab itu dalam bentuk pengkhianatan mereka, dengan cara bergabung dengan pasukan kafir setelah murtad, seperti: Ibn Abi Sarah[7]; terkadang karena melakukan kejahatan mata-mata (spionase), dan terkadang karena pelaku murtad tersebut melakukan provokasi memusuhi Islam, seperti: Sarah dan Abdullah bin Khathal.[8] Bahkan dalam suatu kasus, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhari,[9] Rasulullah saw. menolak permintaan izin dari `Umar untuk membunuh `Abdullah bin Ubay Bin Salul, seorang munafik yang memprovokasi golongan Muhajirin dan Anshar agar saling berperang. Beliau bersabda: “Jangan!, nanti orang akan berkata, ia (Muhammad saw.) membunuh sahabatnya sendiri”
Pada bagian lain, al-Bukhari meriwayatkan hadis yang panjang yang diriwayatkan dari Abu Qil±bah, bahwa ketika `Umar bin `Abd al-Aziz meminta pendapatnya tentang hukuman bagi sekelompok orang yang telah membunuh seseorang, maka Abu Qilabah berkata: [10]
فَوَاللَّهِ مَا قَتَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَدًا قَطُّ إِلَّا فِي إِحْدَى ثَلَاثِ خِصَالٍ رَجُلٌ قَتَلَ بِجَرِيرَةِ نَفْسِهِ فَقُتِلَ أَوْ رَجُلٌ زَنَى بَعْدَ إِحْصَانٍ أَوْ رَجُلٌ حَارَبَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَارْتَدَّ عَنْ الْإِسْلَامِ
Demi Allah, Rasulullah saw tidak pernah menjatuhkan hukuman mati kepada seseorang kecuali terhadap salah satu dari tiga macam; pelaku tindak pidana pembunuhan, maka ia dibunuh; atau seseorang yang berzina setelah ia menikah, atau seseorang yang memerangi Allah dan rasul-Nya dan murtad dari Islam.
            Muslim  meriwayatkan hadis dari Anas bin Malik[11]:
أَنَّ نَاسًا مِنْ عُرَيْنَةَ قَدِمُوا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ فَاجْتَوَوْهَا فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنْ شِئْتُمْ أَنْ تَخْرُجُوا إِلَى إِبِلِ الصَّدَقَةِ فَتَشْرَبُوا مِنْ أَلْبَانِهَا وَأَبْوَالِهَا فَفَعَلُوا فَصَحُّوا ثُمَّ مَالُوا عَلَى الرُّعَاةِ فَقَتَلُوهُمْ وَارْتَدُّوا عَنْ الْإِسْلَامِ وَسَاقُوا ذَوْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَلَغَ ذَلِكَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَعَثَ فِي أَثَرِهِمْ فَأُتِيَ بِهِمْ فَقَطَعَ أَيْدِيَهُمْ وَأَرْجُلَهُمْ وَسَمَلَ أَعْيُنَهُمْ وَتَرَكَهُمْ فِي الْحَرَّةِ حَتَّى مَاتُوا
Bahwa sekelompok orang dari `Urainah mendatangi Rasulullah saw untuk berobat karena sakit perut, maka Rasulullah saw bersabda: “ Jika kalian mau pergilah ke kandang unta (harta) zakat, minumlah susu dan baulnya” Kemudian mereka melakukannya, dan mereka mejadi sehat. Lalu mereka mendatangi penjaga unta itu dan membunuhnya[12], murtad dari Islam, dan mencuri unta milik Rasulullah saw. Peristiwa itu disampaikan kepada beliau, dan beliau memerintahkan untuk mengakap mereka. Setelah mereka tertangkap, maka beliau memerintahkan untuk memotong tangan dan kaki dan membutakan mata mereka, lalu membuang mereka ke padang pasir yang terik sampai mati.
Dari uraian singkat di atas dapat disimpulkan, tidak satupun hukuman mati yang dijatuhkan Rasulullah saw kepada orang yang murtad semata-mata karena kemurtadannya saja, melainkan karena orang tersebut menyertainya dengan tindakan pengkhianatan umat Islam, atau karena mereka bergabung dan mendukung musuh-musuh Islam.
b. Pada zaman Sahabat
            Secara sederhana dapat dikatakan, tak seorangpun dapat membantah informasi sejarah yang sangat terkenal dalam Islam, bahwa Abu Bakr ra, Khalifah pertama, memerintahkan pasukan untuk membasmi golongan murtad. Akan tetapi, sejarah juga menjelaskan bahwa Abu Bakr, sebagai kepala negara, memerintahkan memerangi mereka, karena mereka menolak membayar zakat, meskipun mereka melaksanakan salat, sebagaimana tergambar dari alasan Abu Bakr ketika ia mematahkan argumen `Umar yang semula berpendapat bahwa mereka tidak berhak untuk diperangi, karena mereka melaksanakan salat.[13] Dengan kata lain, Dalam lintasan sejarah pada masa sahabat pun hukuman mati terhadap orang murtad tidak karena kemurtadabbya semata, melainkan karena adanya alasan lain yang menyebabkan merka berhak dijatuhi hukuman mati.
 4. Hadis-Hadis tentang Ancaman Hukuman Mati bagi Pelaku Murtad
Dari penelusuran terhadap hadis-hadis yang menyebutkan hukuman mati terhadap orang yang murtad, setidak-tidaknya ditemukan dua versi matan hadis. Pertama, sabda Rasulullah saw yang meunjuk pengertian umum (mu¯laq) yang berbunyi:
من بدل دينه فاقتلوه
“Barangsiapa yang menukar agamanya maka bunuh kamulah ia”
Dalam pada itu, sejauh penelitian penulis terhadap 42 kitab hadis, ditemukan sebanyak 56 teks hadis, yang meskipun melalui jalur sanad yang berbeda-beda, namun semua para perawi hadis meriwayatkan dengan bunyi teks yang sama seperti di atas. Dalam hal ini istilah murtad disebut secara umum dengan menggunakan man baddala d³nah (barangsiapa mengganti agamanya), tanpa diberi predikat apapun selain penggantian agama.
Agaknya perlu dijelaskan, mungkin karena terlalu dipengaruhi oleh aliran pemikiran yang sangat menghargai kebebasan beragama, sebagian kelompok liberal modernis, antara lain, Muhammad Talbi, dengan semangat yang tinggi menganggap bahwa hadis di atas adalah hadis palsu, karena kemungkinan dipengaruhi oleh Leviticus, pasal 24 ayat 16, dan Deuteronomi, pasal 13 ayat 2-19, dimana orang-orang Israel diperintah untuk merajam orang murtad hingga mati.[14] Sedangkan sebaian penulis lainnya (yang tidak memahami ilmu hadis), berpendapat, karena semua hadis yang menyebutkan hukuman mati bagi orang yang murtad adalah hadis ±¥±d,  maka hadis tersebut tidak dapat menjadi dasar untuk menetapkan hukuman ¥ad. Sebagaimana dikemukakan Yusuf al-Qardhawi,[15] apabila jalan pemikiran seperti ini diikuti, maka itu berarti, setidak-tidaknya 95 % sumber ajaran Islam yang berasal dari sunnah akan diabaikan. Sebab, sebagian besar hadis berpredikat sebagai hadis ±¥±d.  Sedangkan yang disebut sebagai hadis mutaw±tir, sebagai lawan hadis ±¥±d, jumlahnya sangat sedikit dan jarang ditemukan. Sedemikian sedikitnya hadis mutaw±tir, sebagian ahli hadis mengatakan, hadis mutaw±tir “hampir tidak ditemukan”.
Adapun versi matan/ redaksi yang kedua yang menunjuk penegertian murtad yang dijatuhi hukuman mati ialah, redaksi dalam bentuk lafaz murakkab yang setara dengan sabda Rasulullah saw: 
لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ الثَّيِّبُ الزَّانِي وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالتَّارِكُ لِدِينِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ
Tidak halal darah seorang Muslim yang bersaksi bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah dan saya adalah rasul Allah, melainkan karena salah satu dari tiga; orang yang telah menikah berzina, jiwa dengan jiwa (hukum qi¡±¡), dan yang meninggalkan agamanya dan memecah jama`ah.
Berkaitan dengan tema murtad, berbeda dengan versi hadis yang pertama, maka pada versi kedua di atas, dari 42 kitab hadis yang diteliti, terdapat 72 hadis yang menyatakan hukuman mati bagi orang yang murtad. Dalam pada itu, terdapat pula beberapa variasi matan yang digunakan untuk menunjuk pengertian orang murtad yang berhak dijatuhi hukuman mati, sebagaimana sebagiannya dikemukakan di bawah ini.
1.      Al-Bukhari meriwayatkan dari `Abdullah bin Mas`ud dengan redaksi: وَالْمَارِقُ مِنْ الدِّينِ التَّارِكُ لِلْجَمَاعَةِ  (memisahkan diri dari agama dan meninggalkan jama`ah).[16]
2.      Muslim dan al-Tirmizi, dari Ibn Mas`ud, dengan redaksi وَالتَّارِكُ لِدِينِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ (yang meninggalkan agamanya dan memecah jama`ah).[17]
3.      Abu Daud, dari `Aisyah, dengan reaksi: وَرَجُلٌ خَرَجَ مُحَارِبًا لِلَّهِ وَرَسُولِهِ فَإِنَّهُ يُقْتَلُ أَوْ يُصْلَبُ أَوْ يُنْفَى مِنْ الْأَرْضِ (Laki-laki yang pergi memerangi Allah dan rasul-Nya, maka ia dibunuh atau disalib atau dibuang ke pengasingan).[18] Sedangkan redaksi yang berasal dari Utsman: كُفْرٌ بَعْدَ إِسْلَامٍ (kafir setelah Islam)[19]
4.      Al-Tirmizi, dari Mu`awiyah, dengan redaksi: وَالتَّارِكُ لِدِينِهِ (yang meninggalkan agamanya).[20] Sedangkan dari `Utsman: ارْتِدَادٍ بَعْدَ إِسْلَامٍ (Murtad setelah Islam).[21]
5.      Al-Nasa’³, dari Abdullah bin Mas`ud: التَّارِكُ لِلْإِسْلَامِ مُفَارِقُ الْجَمَاعَةِ (yang meninggalkan Islam dan memecah jama`ah).[22]
6.      Al-Nasa’³, dari `Aisyah: رَجُلٌ يَخْرُجُ مِنْ الْإِسْلَامِ يُحَارِبُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَرَسُولَهُ فَيُقْتَلُ أَوْ يُصْلَبُ أَوْ يُنْفَى مِنْ الْأَرْضِ  (laki-laki yang keluar dari islam dan memerangi Allah `Azza wa Jalla dan rasul-Nya, maka dibunuh atau disalib atau dibuang dari negeri).
7.      Ahmad, dari Ibn Mas`ud; وَالتَّارِكُ دِينَهُ الْمُفَارِقُ أَوْ الْفَارِقُ الْجَمَاعَةَ (yang meninggalkan agamanya dan memecah, atau memecah jama`ah).[23]
Karena keterbatasan halaman, tidak semua redaksi versi kedua dikemukan. Akan tetapi, dari kutipan variasi redaksi hadis-hadis di atas (dan  yang tidak dikutipkan) dapat disimpulkan, sebagian besar dari 72 hadis yang ditemukan menggunakan redaksi yang mengaitkan kemurtadan dengan predikat memecah  belah jama`ah (وَالتَّارِكُ لِدِينِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَة/ وَالتَّارِكُ دِينَهُ الْمُفَارِقُ أَوْ الْفَارِقُ الْجَمَاعَة/ التَّارِكُ لِلْإِسْلَامِ مُفَارِقُ الْجَمَاعَةِ /  ). Bahkan ada yang menggunakan redaksi yang menunjuk pengertian ¥ir±bah (رَجُلٌ يَخْرُجُ مِنْ الْإِسْلَامِ يُحَارِبُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَرَسُولَهُ فَيُقْتَلُ أَوْ يُصْلَبُ أَوْ يُنْفَى مِنْ الْأَرْضِ). Sementara itu, sebagian kecil menggunakan redaksi yang menunjuk pengertian murtad secara umum, tanpa predikat “memecah jama`ah”.
5. Memadukan Doktrin Islam dan Fakta Sejarah Hukuman Mati terhadap Orang murtad
Sejauh uraian di atas, mulai dari beberapa pendapat tentang hukuman mati bagi orang yang murtad, sejarah penerapannya pada masa Rasulullah saw dan sahabat, serta redaksi hadis-hadis yang menggambarkan hukuman tersebut, agaknya dapat dikemukakan pendapat sebagai berikut.
Tidak dapat diingkari bahwa Islam sangat menghargai kebebasan beragama. Slogan “Tidak ada paksaan dalam memilih agama” merupakan simpulan yang sangat nyata, karena ditegaskan secara berulang-ulang dalam al-Quran, dengan menggunakan berbagai variasi redaksi ayat. Sejalan dengan prinsip kebebasan beragama yang ditekankan dalam al-Quran, sejarah yang terekam dalam hadis-hadis menggambarkan bahwa Rasulullah Muhammad saw. mempraktekkan prinsip kebebasan beragama itu secara konsisten, tanpa sedikitpun melenceng dari prinsip tersebut.
Praktek penjatuhan hukuman mati bagi orang murtad yang tergambar dalam berbagai peristiwa sepanjang sejarah zaman Rasulullah saw dan sahabat, semuanya menjelaskan, hukuman mati dijatuhkan kepada seseorang yang murtad, bukan karena semata-mata ia berpindah agama dan keyakinan dari Islam kepada agama lain, melainkan karena orang tersebut telah menyertai kemurtadannya dengan tindakan-tindakan makar, pengkhianatan, sikap bermusuhan, dan ikut bergabung dengan golongan kafir menyerang Islam dan kaum Muslimin. Tidak satupun informasi sejarah yang menyebutkan, pernah ada orang dijatuhi hukuman mati hanya karena semata-mata ia berpindah agama dari Islam dan tidak mengganggu Islam dan kaum Muslimin.
Mengenai matan hadis yang berbunyi: من بدل دينه فاقتلوه, hasil penelitian berdasarkan kriteria kesahihan hadis yang baku menunjukkan, ditinjau dari segi sanad/ jalur periwayatannya, sebagian besar memiliki kualitas sebagai hadis ¡a¥³¥, karena para perawinya berpredikat sebagai tsiq±t (terpercaya). Hanya sebagian kecilnya saja yang dinilai «a`³f. Dalam pada itu, dari segi matan/ redaksinya, sebagaimana telah disebutkan, semua perawi hadis meriwayatkannya dengan bunyi matan yang sama, sehingga pada hakikatnya, sedikitpun tidak ada keraguan bahwa Rasulullah saw pernah mengucapkan hadis tersebut.
Sesuai dengan kaidah umum lafaz dalam bahasa Arab; “Jika lafaz mu¯laq dan muqayyad memiliki persamaan dari segi sebab dan hukumnya, maka lafaz mu¯laq dikaitkan dengan lafaz muqayyad”, maka hadis-hadis من بدل دينه فاقتلوه yang menunjuk pengertian umum (mu¯laq); semua orang murtad tanpa kecuali diajtuhi hukuman mati, harus dikaitkan dengan hadis-hadis yang bersifat muqayyad, yang menunjuk pengertian murtad yang dijatuhi hukuman mati adalah murtad yang disertai dengan sikap dan tindakan memusuhi Islam, sebagaimana hadis-hadis versi kedua yang telah banyak dikemukakan sebelumnya.
Cara memahami kedua versi hadis di atas sama dengan memahami lafaz yang menunjuk pengertian umum haramnya semua darah hewan (al-dam) sebagaimana terdapat dalam al-Quran surah al-Ma’idah, 5: 3, dimana maksudnya harus difahami bahwa yang diharamkan adalah darah yang mengalir ketika hewan disembelih, dan tidak termasuk darah yang terdapat dalam daging dan hati hewan, sebagaimana dimaksud dalam surah al-An`±m, 6: 145 yang menyebut darah dalam bentuk lafaz murakkab yang mengandung makna muqayyad (al-dam al-masf­¥).
Cara memahami teks al-Quran dan hadis yang dikemukakan ini adalah absah, bukan saja karena diakui oleh semua ahli ushul fikih, tetapi sejalan dengan prinsip kebebasan beragama yang diajarkan al-Quran dan sejalan pula dengan praktek Rasulullah saw dan para sahabat, sebagaimana tergambar dalam kitab-kitab hadis dan kitab-kitab sejarah.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan, orang yang semata-mata murtad dalam arti berpindah agama, tanpa disertai dengan tindakan provokasi dan sikap memusuhi Islam dalam bentuk apapun, tidak dijatuhi hukuman di dunia ini; Hukuman mereka adalah siksaan neraka Jahannam di akhirat, sebagaimana ditegaskan ayat-ayat al-Quran. Sedangkan hukuman bagi orang murtad yang menyertai kemurtadannya dengan sikap permusuhan kepada Islam dan kaum Muslimin, baik dengan perbuatan, lisan maupun tulisan, atau mengajak Muslim lainnya untuk murtad, atau melakukan pelecehan, provokasi dan teror terhadap Islam dan kaum Muslimin, adalah hukuman mati.
Pada kenyataannya, sebagian besar fuqah±’ (ahli-ahli fikih) berpendapat sebalik dari yang disebutkan di atas, dimana orang murtad dijatuhi hukuman mati, tanpa memandang apakah ia menyertai kemurtadannya dengan tindakan memusuhi Islam dan kaum Muslimin ataupun semata-mata hanya berpindah agama dari islam kepada agama lain. Bagaimanapun juga, tanpa mengurangi rasa hormat kepada fuqah±’, dan hal ini sedikitpun tidak mengurangi kepiawaian mereka dalam bidang hukum Islam, harus dikatakan bahwa pendapat mereka merupakan hasil ijtihad yang secara substansial berpeluang untuk benar, sebagaimana juga berpeluang untuk salah. Akan tetapi, berdasarkan argumen-argumen yang telah dikemukakan di atas, harus ditegaskan bahwa dalam masalah ini pendapat penulis dan mereka yang sependapat dengan penulis adalah benar, meskipun berpeluang untuk salah. Penegasan ini sekaligus merupakan koreksi atas pendapat fuqah±’ tersebut. Pernyataan terakhir ini tidak lain, hanyalah konsekuensi logis dari suatu hasil penelitian ilmiah.          
6. Penutup
            Bagaimanapun juga, pada hakikatnya kesimpulan di atas hanya berada pada tataran teoritis atau yang biasa disebut pendapat fiqh³. Suatu teori baru dapat dilaksanakan apabila telah menjadi q±n­n (hukum positif) yang telah dijadikan peraturan atau undang-undang oleh negara. Dalam keadaan demikian barulah suatu teori bersifat mengikat dan berlaku bagi semua penduduk suatu negara. Dalam pada itu, yang berhak menentukan seseorang telah murtad dan bersikap memusuhi Islam atau tidak, adalah hakim pengadilan yang dibentuk negara. Apabila setelah diadili, yang bersangkutan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran terhadap suatu peraturan atau undang-undang. Oleh karena itu, seseorang hanya dapat dinyatakan murtad dan memusuhi Islam sehingga dapat dijatuhi hukuman mati, apabila dalam suatu negara telah lebih dahulu diundangkan peraturan tentang perbuatan murtad tersebut, dan ia telah terbukti secara sah berbuat murtad. Dengan demikian selain pejabat atau institusi resmi yang berwenang untuk itu, siapapun tidak dibenarkan main hakim sendiri menetapkan seseorang telah murtad dan memusuhi Islam, apalagi melakukan pembunuhan, dengan alasan bahwa menurut ketentuan fikih, hukuman terhadap orang murtad yang memusuhi Islam adalah hukuman mati. Agar ketentuan hukuman mati dapat diterapkan kepada pelaku murtad yang memusuhi Islam dalam berbagai bentuknya, diperlukan perjuangan yang gigih dan kompak dari semua umat Islam yang berkecimpung dalam proses melahirkan peraturan perundang-undangan yang berlaku secara sah di negara ini. Dengan lahirnya peraturan tersebut, maka prinsip pertama dan utama dari lima tujuan dasar syariat Islam, yaitu memelihara keyakinan agama (empat tujuan lainnya ialah, memelihara jiwa, akal, keturunan dan harta) dalam Islam dapat terwujud.

DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Talbi, Religious Liberty: ² Muslim Perspective”, Liberty and Conscience, Committee of Religious Liberty, 1989,
 “Kebebasan Beragama” Dalam: Charles Kurzman (ed), Islam Liberal: Pemikiran Islam kontemporer tentang Isu-Isu global, Jakarta: Paramadina, 2003

Yusuf al-Qardhawi, al-Mujtama` al-Muslim wa Muw±jahat al-Riddah, http://www. islamonline.net Tanggal 28 Pebruari 2002, diakses tgl. 13-08-2008.


[1] Mu`taz al-Khat³b, Kaifa Nufhim al-Jadal Haul ¦ukm al-Riddah?, Islam Online.net, edisi 04-04-2006. 
[2] Ibn `²bid³n, ¦±syiah Radd al-Mu¥t±r `al± al-Durr al-Mukht±r: Syar¥ Tanw³r al-Ab¡±r, juz IV, D±r al-fikr, tt., h. 226. Juz XI, h. 208; Al-Dardir, al-Syar¥ al-Kab³r, Mawqi` Ya`s­b, tt, juz I, h. 191; Al-Nawaw³, al-Majm­` Syar¥ al-Muhazzab, juz XIX, Dar al-Fikr, tt h. 228; Ibn Qud±mah al-Hanbali, al-Mugn³ wa al-Syar¥ al-Kabir, juz X, Dar al-Fikr, tt, h. 78.
[3] Al-Bukhari, ¢a¥³¥ al-Bukh±r³, Kit±b al-Jih±d wa al-Siyar, hadis nomor 2794. Selanjutnya: al-Bukhari; Al-Tirmizi, Sunan al-Tirmiz³, Beirut: Dar al-Fikr, tt., hadis nomor1378. Selanjutnya: al-Tirmiz³; al-Nas±’³, Sunan al-Nas±’³, Beirut: Dar al-Fikr, 1990, hadis nomor 3991. Selanjutnya al-Nas±’³; Ibn M±jah, Sunan Ibn M±jah, Dar al-Fikr, tt, hadis nomor 2526. Selanjutnya: Ib M±jah; Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, D±r al-¢±dir, tt., hadis nomor 2430.
[4] `Abd al-Razz±q al-¢an`±n³, Al-Mu¡annaf, juz X, ttp, tt., h. 165-166; al-Baihaq³, Sunan al-Baihaq³, juz VIII, h. 207; Ibn Hazm al-Z±hir³, al-Mu¥all±, juz XI, Ma¯ba` al-Im±m, tt., h. 221.
[5] Ibn Taimiah, Majm­` Fataw±, juz III, h. 343
[6] Muhammad `²bid al-J±bir³, “Hukm al-Murtad f³ al-Isl±m”, Dalam Jar³dah al-Itti¥±d, Abu Dhabi, tanggal 14 Agustus 2007.
[7] Abu D±ud, Sunan Abi Daud, D±r al-Fikr, ttp., tt, hadis nomor 2308
[8] al-Nasa’³, hadis nomor 3999
[9] Al-Bukhari, hadis nomor 4527
[10] Al-Bukhari, hadis nomor 6390
[11] Muslim, hadis nomor 3162, al-Tirmizi, hadis nomor 67
[12] Pada hadis riwayat Muslim lainnya: mata mereka dibutakan karena mereka membunuh penjaga unta dengan membutakan matanya.
[13] Al-Bukhari, hadis nomor 6413.
[14] Muhammad Talbi, Religious Liberty: ² Muslim Perspective”, Liberty and Conscience, Committee of Religious Liberty, 1989, vol. I (1), h. 12-20; “Kebebasan Beragama” Dalam: Charles Kurzman (ed), Islam Liberal: Pemikiran Islam kontemporer tentang Isu-Isu global, Jakarta: Paramadina, 2003, h. 259.
[15] Yusuf al-Qardhawi, al-Mujtama` al-Muslim wa Muw±jahat al-Riddah, http://www. islamonline.net Tanggal 28 Pebruari 2002, diakses tgl. 13-08-2008.
[16] Al-Bukhari, hadis nomor 6370
[17] Muslim, hadis nomor 3175
[18] Abu Daud, hadis nomor 3789; al-Tirmizi, hadis nomor 1322
[19] Abu Daud, hadis nomor 3903
[20] Al-Tirmizi, hadis nomor 1364
[21] Al-Tirmizi, hadis nomor 2084
[22] Al-Nasa’³, hadis nomor 3951
[23] Ahmad, hadis nomor 4197

4 komentar:

  1. Apapun alasannya membunuh seseotang adalah dosa.hanya yang berjiwa binatang yang bisa membunuh sesamax manusia.

    BalasHapus
  2. Apakah membunuh seorang pembunuh atau musuh yg kejam adalah dosa?

    BalasHapus
  3. Hukum murtad sudah jelas dalam al Quran melaksanakan hukum tergantung kepada pemerintah melaksanakannya. Demikian halnya hukum yang lainnya.

    BalasHapus