A. GAMBARAN
UMUM PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA
Indonesia
adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki beragam suku bangsa,
bahasa, dan agama dengan jumlah penduduk 240 juta. Meskipun bukan negara islam,
indonesia merupakan negar adengan penduduk muslim terbesar di dunia dengan
jumlah penduduk beraga islam sebanyak 88 persen, keristen 5 persen, katholik 3
persen, hindu 2 persen, budha 1 persen, dan lainnya 1 persen. Semakin majunya
sistem keuangan dan perbankan serta semakin meningkatnya kesejahteraan,
kebutuhan masyarakat, khususnya muslim, menyebabkan semakin besarnya kebutuhan
terhadap layanan jasa perbankan yang sesuai dengan prinsip syariah.
1. STRATEGI
PENGEMBANGAN PERBANKAN SYARIAH INDONESIA
Atas
dasar dorongan kebutuhan masyarakat terhadap layanan perbankan syariah, bank
syariah pertama berdiri pada tahun 1992. Semenjak itu, pemerintah indonesia
mulai memperkenalkan dual bankin sistem. Komitmen pemerintah dalam usaha
pengembangan perbankan syariah baru mulai terasa sejak tahun 1998 yang memberikan
kesempatan luas kepada bank syariah untuk berkembang. Tahun berikutnya, kepada
bank indonesia (bank sentral) di beri amanah untuk mengembangkan perbankan
syariah di indonesia. Selain menganut strategi market driven dan fair
treatment, pengembangan perbankan syariah di lakukan dengan strategi pengembangan
bertahap yang berkesinambungan (gradual sustainable approach) yang sesuai
dengan prinsip syariah (comply to sharia principle). Tahap pertama di maksudkan
untuk meletakkan landasan yang kuat bagi pertumbuhan industri perbankan syariah
(2005-2009). Tahap ketiga perbankan syariah diarahkan untuk dapat memenuhi
standar kauangan dan mutu pelayanan internasional (2010-2012). Sedangkan tahap
keempat mulai terbentuknya integrasi lembaga keuangan syariah (2013-2015). Pada
yahun 2015 diharapkan perbankan syariah indonesia telah memiliki bangsa yang
signifikan yang ikut ambil bagian dalam mengembangkan ekonomi indonesia yang
mensejahterakan masyarakat luas.
2. KARAKTERISTIK
PERBANKAN SYARIAH INDONESIA
Karakteristik
perbankan syariah di indonesia dapat di lihat melalui beberapa hal, yaitu : 1)
sistem keuangan perbankan yang di anut.
2) aliran pemikiran atau mazhab dan pandangan yang di anut oleh negara
atau mayoritas muslimnya. 3) kedudukan bank syariah dalam undang-undang. Dan 4)
pendekatan pengembangan perbankan syariah dan produknya yang di pilih.
a. Sistem
Keuangan da Perbankan
Indonesia
merupakan negara yang menganut sistem ekonomi kapitalis. Mulai tahun 1992,
dengan di keluarkannya undang – undang perbankan No. 7 Tahun 1992, indonesia
mulai memperkenalkan sistem keuangan dan perbankan ganda karena bank boleh
beroperasi dengan prinsip bagi hasil. Bank syariah pertama berdiri pada tahun
itu juga. Di samping itu, asuransi syariah atau takaful mulai mincul pada tahun
1994.
Penerapan
sistem keuangan dan perbankan ganda mulai lebih terarah semenjak di
keluarkannya undang undang perbankan yang baru No. 10 tahun 1998. Semenjak itu,
bermunculan lembaga – lembaga keuangan syariah yang beroperasi berdampingan
dengan lembaga keuangan konvensional. Seperti halnya di malaysia, lembaga
keuangan syariah di indonesia tumbuh menjadi lembaga keuangan alternatif bagi
masyarakat yang menginginkan pelayanan jasa keuangan yang sesuai dengan prinsip
syariah, sekaligus menjadi pesaing langsung lembaga keuangan konvensional dalam
produk dan jasa yang di tawarkan.
b. Aliran
Pemikiran
Mayoritas
penduduk muslim di indonesia menganut mazhab syafi’i, seperti yang di anut
muslim dan pemerintah malaysia. Namun demikian, ulama indonesia mengaplikasikan
perinsip syariah dalam dunia perbankan dengan hati – hati dan cenderung
memiliki pendapat yang sama dengan ulama timur tengah. Oleh karena itu, akad
akad yang di gunakan dalam transaksi perbankan syariah merupakan akad – akad
yang sudah mendapat kesepakatan dari sebagian besar ulama (jumhur ulama).
Dengan prinsip kehati hatian ini, akad akad yang masih menimbulkan kontroversi
tidak di gunakan dalam praktik.
Dalam
hal utang, ulama indonesia berpendapat sama dengan pendapat ulama timur tengah
bahwa utang sama dengan uang, bukan harta benda. Dengan demikian, utang tidak
dapat di perjual belikan dengan harga apapun, kecuali dengan harga yang sama.
Dalam hal ini ulama indonesia sependapat dengan ulama sudan bahwa akad
bai’al-inah dan ba’i al-dayn (jual beli utang dengan diskon) tidak sesuai
dengan prinsip syariah sehingga tidak boleh di gunakan dalam transaksi.
c. Kedudukan Bank Syariah dalam Undang – Undang
Bank
syariah di indonesia, baik yang berbentuk bank umum syariah atau BUS (full
fledged islamic bank , unit usaha syariah atau UUS, maupun bank perkreditan
rakyat syariah atau BPRS, berada di bawah undang – undang perbankan (UUD No. 10
Tahun 1998). Operasi perbankan dengan prinsip syariah sepenuhnya di akomodasi
oleh undang – undang. Bank syariah di indonesia dapat melakukan transaksi
berdasar titipan, pinjaman, bagi hasil, jual beli, sewa, dan prinsip lain yang
di bolehkan syariah. Dengan demikian, bank syariah di indonesia merupakan bank universal yang dapat berusaha
sebagai consumer banking, investmen banking, merchant banking, leasing company,
investmen agent, dan sebagai amil zakat infaq dan sadaqah.
Perbedaan
operasi BUS dan UUS hampir tidak ada, kecuali dalam hal kebebasan kebijakan
manajemen. BUS merupakan badan usaha sendiri yang memiliki independensi
kebijakan sehingga memiliki otonomi dalam memilih strategi bisnis dan
pengembangannya. Sementara itu UUS, merupakan bagian dari bank konvensional
induknya sehingga kurang memiliki kebebasan dalam menentukan kebijakan
manajemen.
d. Kedudukan
Dewan Syariah
Otoritas
syariah tertinggi di indonesia berada pada dewan syariah nasional – majelis
ulama indonesia (DSN – MUI ), yang merupakan lembaga independen dalam
mengeluarkan fatwa yang berhubungan dengan semua masalah syariah agama islam,
baik masalah ibadah maupun muamalah, termasuk masalah ekonomi, keuangan dan
perbankan.
Tugas
DSN – MUI di bidang keuangan dan perbankan pada prinsipnya tidak berbeda dengan
tugas NSAC malaysia yang merupakan satu – satunya badan otoritas yang
memberikan saran kepada institusi terkait (bank indonesia, departemen keuangan
, atau bapepam ) berkaitan dengan operasi perbankan syariah atau lembaga
keuangan syariah lainnya, mengkoordinasi isu – isu syariah tentang keuangan dan
perbankan syariah, dan menganalisis dan mengevaluasi aspek – aspek syariah dari
skim atau produk baru yang di ajukan oleh institusi perbankan dan lembaga
keuangan syariah lainnya.
Keberadaan
DSN – MUI di luar struktur bank sentral membuat otoritas fatwa ini independen,
lebih kredibel, dan di akui secara nasional dalam mengeluarkan keputusan dan
fatwa yang berkaitan dengan masalah – masalah syariah yang di hadapi oleh
perbankan dan lembaga keuangan syariah lainnya, namun demikian, karena
beragamnya urusan yang di tangani oleh DSN – MUI dan tidak adanya spesialisasi
khusus di bidang ekonomi, kauangan, dan perbankan syariah, tanggapan DSN – MUI
terhadap masalah yang di hadapi oelh lembaga keuangan syariah menjadi kurang
responsif dan terlambat memenuhi kebutuhan pasar.
e. Strategi
Pengembangan Perbankan Syariah dan Produknya
Dalam
hal strategi pengembangan perbankan syariah dan produknya, indonesia memilih
pendekatan yang bertahap dan berkesinambungan yang sesuai syariah dan tidak
mengadopsi akad – akad kontroversial. Pendekatan yang bertahap dan
berkesinambungan memungkinkan perkembangan yang sesuai dengan keadaan dan
kesiapan pelaku tanpa paksaan serta membentuk sistem yang kokoh dan tidak
rapuh. Sementara itu , pendekatan yang berhati – hati yang sesuai dengan
prinsip syariah menjamin produk produk yang di tawarkan terjamin kemurnian
syariahnya dan dapat di terima masyarakat luas dan dunia internasional.
Dengan
strategi pengembangan yang dipilih, perbankan syariah di indonesia telah tumbuh
menjadi salah satu sistem perbankan syariah dalam dual financial sistem yang
paling sesuai dengan ketentuan syariah. Selain itu, pengembangan perbankan
syariah memiliki dampak positif terhadap pengembangan sektor lain dengan
prinsip syariah.
Pada
tahun 2000 juga muncul jakarta islamic index (JII ) yang merupakan
pengelompokan saham saham 30 emiten yang di pandang paling mendekati kriteria
syariah. Seleksi yang di lakukan terhadap saham saham yang dimasukan kedalam
JII meliputi seleksi yang bersifat normatif dan finansial. Sementra itu, pasar
modal syariah baru berdiri pada 14 maret 2003. Obigasi dan reksadana syariah
juga tumbuh dengan pesat.
Dukungan
dari aspek hukum dan perundang undangan menjadikan pertumbuhan lembaga keuangan
syariah semakin pesat karena telah memiliki landasan dan kepastian hukum yang
jelas. Disamping itu, sektor keuangan syariah lain juga berkembang, seperti
lembaga pembiayaan syariah.
Perkembangan
tidak terbatas pada sektor keuangan syariah, tetapi juga pada sektor riil
berbasis syariah, voluntary sector ( zakat, infaq, sadaqah, dan wakaf), dan
sektor pendidikan dari tingkat pendidikan dasar sampai tingkat perguruan tingi.
Perkembangan sd, smp, dan sma islam terpadu telah meluas hapir di seluruh
wilayah indonesia, terutama di kota kota besar dan daerah yang mayoritas
berpenduduk muslim. Di tingkat perguruan tinggi bahkan sudah ada universitas
yang menawarkan program doktoral bertaraf internasional dengan staf pengajar
bertaraf internasional yag datang dari berbagai negara.
Perkembangan
sistem yang berbasis syariah di bidang ekonomi, pendidikan, dan lainya di
indonesia terus bergulir seperti bola salju yang semakin lama semakin membesar
dan berdampak kesemua bidang kehidupan.
Dinamika dan
Karakteristik Undang-Undang No.3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
1.
Dinamika Legislasi
Dalam era reformasi hingga saat ini, telah terjadi tiga kali
perubahan terhadap pasal-pasal dalam UUD 1945. Salah satu perubahannya terdapat
pada Pasal 24 ayat (2) dinyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
sebuah Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berada di bawahnya, dalam
lingkungan Peradilan Umum, Agama, Militer, Tata Usaha Negara, dan sebuah
Mahkamah Konstitusi. Pasal ini sangat jelas mengamanatkan untuk menyatukan
semua lembaga peradilan di bawah satu atap Mahkamah Agung.
Perubahan UUD 1945 ini mengharuskan adanya perombakan dan
perubahan terhadap Kekuasaan Kehakiman untuk disesuaikan dengan UUD 1945.
Perubahan tersebut dimulai dengan diubahnya UU No. 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dengan UU No. 35 Tahun 1999 tentang
Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1970 yang kemudian diganti dengan UU No. 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman[1]
Pasal 13 ayat (1) UU No.
4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dikatakan bahwa organisasi,
administrasi, dan finansial badan peradilan diatur dalam undang-undang sesuai
dengan kekhususan peradilan di lingkungan masing-masing. Pasal 14 ayat (1) UU
No. 4 tersebut dikatakan, susunan, kekuasaan, dan hukum acara Mahkamah Agung
dan badan peradilan yang berada di bawahnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
diatur dengan undang-undang tersendiri. Sesuai dengan amanat Pasal 14 ayat (1)
UU No. 4 tersebut, dibentuklah UU No. 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum dan
UU No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan TUN, dan UU No. 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Di samping
perubahan-perubahan di tingkat konstruksi kekuasaan kehakiman, pada
kenyataannya di kehidupan masyarakat, khususnya tingkat kesadaran beragama di
kalangan umat Islam semakin meningkat untuk menjalankan ketentuan ajaran Islam
dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara, terlebih tuntutan untuk
mencari alternatif baru dari kegagalan sistem konvensional kepada sistem nilai
yang religius. Salah satunya adalah bidang muamalah. Lembaga-lembaga ekonomi
syari’ah tumbuh berkembang mulai dari lembaga perbankan syari’ah, asuransi
syari’ah, pasar modal syari’ah, dan pegadaian syari’ah. Perkembanagan ini
tentunya juga berdampak pada perkembangan sengketa atau konflik dalam
pelaksanaannya. Selama ini apabila terjadi konflik dalam bidang ekonomi
syari’ah harus melalui peradilan umum. Menyadari hal ini, dalam Undang-Undang
No. 3 tahun 2006 atas perubahan UU No. 7 tahun 1989 maka ruang lingkup
Peradilan Agama diperluas, ruang lingkup tugas dan wewenang Pengadilan Agama
yaitu :
·
Memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam
di bidang :perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, shadaqah, dan
ekonomi syariah;
·
Diberikan tugas dan
wewenang penyelesaian sengketa hak milik atau keperdataan lainnya;
·
Diberi tugas dan
wewenang memberikan itsbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan
pada tahun hijriyah. Selama ini Pengadilan Agama diminta oleh Menteri Agama
untuk memberikan penetapan (itsbat) terhadap orang yang telah melihat atau
menyaksikan awal bulan pada setiap memasuki bulan Ramadlan, awal bulan Syawal
dan tahun baru Hijriyah dalam rangka Menteri Agama mengeluarkan penetapan
secara nasional untuk rukyat Hilal.
Mekanisme pembentukkan
Undang-Undang No.3 Tahun 2006 ini yakni diawali dengan DPR RI yang mengajukan
Usul Inisiatif RUU tentang Perubahan Atas UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama melalui surat tertanggal 30 Juni 2005 kepada presiden untuk mendapatkan
persetujuan bersama. Pemerintah pun merespon positif atas prakarsa DPR RI
tersebut. Begitu juga berbagai fraksi di DPR RI juga memandang perlunya
perubahan terhadap undang-undang tersebut, sehingga dalam proses perumusan RUU
ini hampir tidak menuai perbedaan mendasar dalam pembahasannya.
Setelah melalui proses
pembahasan, DPR RI dan Pemerintah menyetujui bersama pada tanggal 21 Februari
2006. Kemudian pada tanggal 20 Maret 2006 diundangkan menjadi UU No.3 Tahun
2006 tentang Perubahan Atas UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
2.
Karakteristik
Bila dicermati konfigurasi politik ketika terjadinya usul
inisiatif atas perubahan UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, maka itu
sesuai dengan iklim politik di era reformasi, sehingga hal ini dapat disebut
sebagai konfigurasi demokratis dengan beberapa indikator penting yang dilakukan
oleh pemerintah dan DPR, antara lain:
1.
Partai politik dari
badan perwakilan rakyat berperan aktif dan ikut serta dalam menentukan hukum
negara atau politik nasional, khususnya dalam bidang reformasi;
2.
Tumbuhnya supremasi
rakyat diletakkan di atas kepentingan penguasa;
3.
Menjunjung tinggi
pelaksanaan hukum, termasuk hukum agama yang dijamin dalam UUD 1945;
4.
Peran eksekutif
menghormati kehendak rakyat dan melaksanakan kebijakan yang pro rakyat.
Dari segi karakter produk hukumnya, maka UU ini dikategorikan pada
produk hukum responsif yang lahir dari konfigurasi politik yang demokratis,
karena UU ini dapat mencerminkan aspirasi sebagian besar umat Islam dan rasa
keadilan. Selain itu, UU ini merupakan perwujudan pemenuhan atas harapan
masyarakat, seperti adanya perluasan absolut kompetensi pengadilan agama di
bidang ekonomi syariah.
[1] http://abysatrio.blogspot.com/2010/07/hukum-acara-peradilan-agama-di.html, diakses tanggal 31 Mei 2011